Masa SMA Ian: Flash back On
...
“Dia gak akan mati kok,” ucapnya tenang tanpa melihat ke arah Rendy.
...
“Aku cuma butuh dia tertunda agar tidak pergi ke audisi model yang harusnya dia ikuti,” lanjut Ian lagi membuat Rendy semakin penasaran apa yang terjadi. Semua teman-teman di kelas memang tahu bahwa Dina sedang berusaha masuk ke dalam dunia model untuk mendapatkan uang tambahan karena ekonomi keluarganya yang sangat minim. Lalu Ian tidak berkata apa-apa lagi tentang kasus Dina.
Masa SMA Ian: Flash back Off
“Trus apa?” Jennifer jadi makin emosi mendengar cerita Rendy. Karena cerita itu justru mengkonfirmasi bahwa Ian adalah seorang psikopat. “Aku coba cari tahu tentang agency model yang temen kami mau ikuti itu,” sambung Rendy mengenang masa lalunya. “Ternyata agency itu ditutup karena dicurigai terlibat human trafficking.” Jennifer langsung mengangakan mulutnya seakan-akan rahangnya mau copot mendengar kata ‘human trafficking’. “Menurut aku, Ian tahu tentang itu dan sebenarnya berusaha tolongin temen kami itu,” lanjut Rendy.
“Mmm, dia juga pernah bantuin aku sih,” sambung Rendy agak ragu melanjutkan ceritanya. “Gak jadi deh.” Rendy urung melanjutkan ceritanya karena kuatir Jennifer tidak siap mendengarkan cerita-cerita manipulatif yang telah dilalui oleh Ian dan Rendy. Rendy terus berjalan berusaha mengacuhkan Jennifer yang terus memanggilnya dari belakang.
“Kak Rendy tunggu!” panggil gadis itu sambil mengejarnya.
Lalu tiba-tiba Rendy berpaling melihat Jennifer. Ia menatap tajam gadis itu membuat gadis itu terkejut jadi salah tingkah.
“Ok aku certain,” ucapnya dengan tegas. “Tapi kamu mesti luangin waktu buat dinner sama aku,” lanjutnya masih menatap lekat mata gadis itu.
Jennifer seperti terhipnotis dan hanya bisa mengatakan, “ok.”
Rendy tersenyum melihat Jennifer sejenak menjadi begitu penurut. “Besok malem ya. Aku lanjutin ceritanya waktu dinner,” ucapnya sambil berbalik cepat dan berjalan meninggalkan Jennifer sendirian. Gadis tomboy itu seperti terkesima terus menatap punggung Rendy yang semakin menjauh. Tiba-tiba ia sadar, “Buset deh. Dari SMA mana sih dua orang itu,” “yang satu ini kayaknya sama manipulatif juga.”
Sementara itu, Febi memasuki kelas kuliah Hukum Kontrak untuk mengikuti ujian. Sebelum ujian dimulai, semua peserta harus mengumpulkan tugas yang nilainya adalah 40%. Dan semua tugas harus dikumpulkan lewat ketua kelas, yaitu Ian. Febi begitu enggan untuk berkomunikasi dengan Ian tapi ia mengumpulkan keberanian untuk mendekati pria dingin itu. Ian yang duduk dengan tenang dan posisi tegap sedang menyiapkan peralatannya untuk mengikuti ujian. “Ee,” ucapnya begitu Febi berdiri di samping tempat duduk Ian. Pria berpundak lebar itu mendongakkan kepalanya menatap Febi yang kesulitan bicara. Rambut depannya jatuh ke depan menutupi mata sebelah kirinya membuat auranya semakin angker.
“Ini tugas aku. Kumpul ke kak Ian kan?” ujarnya sambil menyerahkan tumpukan kertas A4 yang berisikan hasil kerja kerasnya hingga begadang dua malam untuk menyelesaikannya.
Ian tidak segera menjawab, ia menatap Febi sebelum kemudian berkata, “Semua tugas sudah aku kumpulin ke kantor Pak Dani.”
Perkataan itu bagaikan geledek di siang hari bagi Febi. Dengan tersendat-sendat Febi berusaha memastikan, “He? Kenapa…bukannya…k-kumpul tugas ke kakak sebelum ujian?”
“Sebelum ujian, ketua kelas kumpulin ke kantor pak Dani,” tegasnya, “ini sudah lima menit sebelum ujian dimulai. Kamu selalu ngepres masuk kelas, apa kamu ada persiapan setiap kali sebelum kelas mulai?”
Wajah Febi memucat. Nilai tugas ini sangat besar, kalau dosen tidak mau terima tugasnya maka nilai kuliah ini bukan hanya tidak bisa dapat A tapi Febi bahkan bisa gagal dalam kelas ini. Febi mulai panik. “Kak Ian…” ucapnya tersendat.
“Mendingan sekarang kamu lari ke lantai tiga, masukin tugas kamu ke kantor Pak Dani,” ucap Ian dengan tegas tanpa rasa kasihan ataupun menyesali kejadian ini. Tanpa pikir panjang Febi berlari keluar kelas dan menuju ke lantai 3. Ia mencari ruang kantor Pak Dani, dosen mata kuliah Hukum Kontrak. Dengan berkeringat dan nafas tersengal-sengal, ia mengetuk pintu kantor yang ada di depannya itu dan berusaha membukanya dengan lembut. Terlihat Pak Dani sedang duduk di belakang meja kantornya dan sedang melihat Febi yang baru masuk.
“Ada apa?” tanyanya lembut.
“Maaf Pak, saya mau mengumpulkan tugas,” jawab gadis itu dengan mengernyitkan dahinya.
Tetesan keringat mulai mengalir dari dahinya membasahi sebagian rambutnya.
“Tapi semua tugas sudah terkumpul disini,” kata dosen setengah baya itu.
“Maaf Pak, saya kira kumpulkan tugas ke ketua kelas sebelum ujian…” “Saya tidak tahu kalau ketua kelas sendiri harus kumpulkan ke kantor bapak sebelum ujian mulai,” jelas Febi dengan nada takut.
Ketakutan Febi yang terbesar…takut akan nilai yang anjlok. Ia terus memohon agar dosennya itu mau menerima tugasnya. Dosen itu menghela nafasnya, “Sebenarnya kamu tidak salah jika mengumpulkan sekarang,” “tapi kenapa kamu tidak berkomunikasi dengan Ian sebagai ketua kelas? Kenapa orang-orang yang lain tidak ada masalah dalam hal ini?” selidik dosen itu.
Exactly. Kenapa yang lain tidak ada masalah? Kenapa dirinya selalu bermasalah?
Pak Dani terus menatap Febi. “Ok,” lanjut dosen itu tanpa menunggu jawaban dari Febi. “Karena kamu tetap mengumpulkan sebelum ujian, saya tetap akan terima tugas kamu.” Sejenak kalimat itu benar-benar membuat beban yang begitu berat dalam hati Febi copot dan ia merasa begitu lega dan mulai dapat tersenyum. “tapi,” lanjut Pak Dani. “Saya hanya bisa memberikan nilai C untuk tugas ini karena kejelasan dalam berkomunikasi juga merupakan faktor penting dalam hukum.” Keputusan itu sudah tidak bisa diubah lagi. Jantung Febi seakan-akan copot, hidupnya seakan-akan hancur berkeping-keping. Jangankan nilai C, gadis perfeksionis ini bahkan tidak mengharapkan nilai B. Selama 2 malam suntuk, ia begadang memberikan data-data yang seakurat mungkin dalam tugasnya ini. Bukan hanya itu, penulisan dan penampilan tugas pun ia tuliskan dengan serapi mungkin sampai tidak ada celah bagi dosen untuk tidak memberikan nilai A padanya. Tapi apa yang ia hadapi saat ini? Ini bukan masalah remeh, sosialisasi … komunikasi …. Kegagalan dalam hal ini dapat berakibat fatal. Febi tidak bisa berlama-lama di ruang kantor Pak Dani untuk memohon agar memberikan nilai A atas jerih payahnya itu, karena ia harus segera berlari kembali ke lantai 2 untuk mengikuti ujian. Dengan mata sembap dan keringat yang semakin membasahi kening dan bajunya, ia memasuki kelas dan berusaha menenangkan diri untuk mengikuti ujian. Beberapa orang bertanya pada Febi mengenai tugasnya yang terlambat kumpul itu. “Diterima kok,” Febi berusaha menguatkan hatinya. “Tapi jadinya cuma bisa dapet C.” jelasnya kepada orang-orang yang prihatin dan menanyakan tentang tugas Febi. Mendengar bahwa tugas Febi dapat nilai C, Ian yang duduk di barisan belakang langsung tersenyum puas. Febi yang melihat senyuman Ian seakan-akan tak percaya. “Dia sengaja!” ucapnya dalam hati.