PRAAAAK! Robi sedikit terpental ke depan karena kursinya terdorong keras dari belakang. Seisi ruangan langsung menoleh ke sumber suara dan Febi langsung menoleh ke belakang Robi. Sepertinya badan Robi terpental ke depan karena kursinya terdorong dengan keras dari belakang. Dan yang duduk di belakang Robi adalah…
Wajah Ian terlihat begitu menakutkan menatap Robi. Pria dengan hawa dingin itu sama sekali tidak bergeming melihat Robi yang segera berdiri dan melabraknya. “Ngapain lu tendang gua?” bentak Robi sambil menggebrak meja Ian. Ian hanya melirikkan matanya agak ke atas menatap dingin Robi yang sedang berdiri dan menantang dirinya. Semua orang merasa suasana begitu tegang. Apa yang terjadi? Mereka sedang menunggu aksi balasan dari Ian yang tak kunjung datang membuat kasus di kelas itu mengambang tanpa diketahui penyebabnya.
“Harap mengikuti kuliah dengan tenang ya!” Suara dosen itu memecahkan ketegangan antara mereka berdua. Lalu Robi kembali duduk dan mengikuti kuliah hingga selesai. Begitu kuliah selesai, Febi langsung cepat-cepat menutup laptopnya dan menggapai buku teks yang sedang terbuka tanpa memasukkannya ke dalam tasnya dan ia segera melesat pergi meninggalkan tempat itu dengan tergopoh-gopoh ketakutan.
“Psycho…Beneran psikopat!” ujar Febi sambil berjalan cepat menyusuri lorong menuju ke lobi.
“Siapa yang psycho?” Tiba-tiba suara Jennifer terdengar dari belakang telinganya. Febi menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Jennifer.
“Jenn,” katanya sambil menarik lengan Jennifer dan menceritakan apa yang tadi terjadi di kelas.
Gadis mungil nan polos itu bercerita dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia menceritakan betapa takutnya ia terhadap sikap Robi yang agresif dan ketakutannya menjadi sempurna dengan kehadiran Ian yang selalu melemparkan pandangan dingin dan negatif terhadap dirinya. Dan Febi mendapat impresi bahwa sikap Ian seperti seorang psikopat yang tidak bisa ditebak apa yang dipikirkannya.
“Gua rasa dia itu psycho loh.” Febi membuat kesimpulan terhadap Ian di akhir laporannya kepada Jennifer.
“Gua rasa dua orang itu psycho,” timpal Jennifer.
“Kenapa harus sekelas dengan para psycho?” sesal Febi sambil mengerutkan alisnya dan berjalan lunglai.
“Lu juga aneh-aneh aja. Kelas apa itu? Kenapa lu bisa ada di sana?” Jennifer memandang sahabatnya itu dengan tatapan heran.
“Oh, sori Jenn. Gua langsung sambung kelas lagi nih” ucap Febi langsung berlari meninggalkan Jennifer yang semakin tak percaya dengan sahabatnya itu.
“Kelas apa? Kelas psikopat?” teriak Jennifer agar terdengar Febi yang terus berlari menjauhinya. “Dia tingkat berapa sih, kok gua gak tau kuliah-kuliah dia,” gumamnya sendirian.
Febi segera masuk ke ruangan kelas untuk mengikuti kuliah berikutnya, yaitu mata kuliah Hukum Kontrak. Tidak banyak mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini karena ini adalah mata kuliah semester 6 yang seharusnya diikuti mahasiswa tingkat 3. Mahasiswa tingkat 3 tidak sebanyak tingkat 1 tentunya karena banyak yang berhenti di tengah jalan dengan berbagai macam alasan. Dengan terengah-engah, Febi melemparkan pandangannya menyisir ruangan dengan cepat. Adakah tempat yang kosong baginya?
JREEENG! Apa itu? Di sayap kanan dekat jendela, di barisan tengah, sebuah tatapan dingin ditembakkan lurus tepat sasaran kepada Febi. “Ini tidak mungkin!” pikir Febi sambil mengangakan mulutnya. “Ini kuliah semester enam kan. Kenapa dia ada di sini?” Masih dengan mulut ternganga seakan-akan tak percaya apa yang dilihatnya. Ian sedang duduk di sana dengan mata yang dingin dan mulut cembetutnya yang selalu ia perlihatkan pada gadis polos itu.
“Oh…iya…kak Ian kan tingkat tiga…” Febi menutup kedua kelopak matanya tanda menyesal kenapa ia tidak memikirkan hal ini ketika mendaftarkan mata kuliah yang akan diambilnya. Tapi jadwal telah disusunnya dengan rapi, kalau dia drop kelas ini, semua rencana studi ke depan yang telah disusunnya akan jadi kacau. Kali ini Ian tidak hanya melemparkan tatapan dingin pada Febi, tapi ia bahkan tersenyum sinis seperti mengejek Febi. “Apa itu? Kenapa dia sinis seperti itu?” pikirnya sambil memilih tempat duduk di sayap kiri, tempat yang sangat jauh dari kedudukan di mana Ian berada. Sepertinya firasat baik Febi terhadap semester ini hanyalah sebuah firasat yang tidak akan pernah menjadi riil.
“Penilaian di kelas ini adalah kehadiran sepuluh persen, tugas empat puluh persen, ujian lima puluh persen.” Dosen pengajar memulai kelasnya.
“Tugas dikumpulkan seminggu sebelum ujian. Ketua kelasnya Ian ya?” lanjutnya sambil melihat ke arah Ian.
Dan Ian membalasnya sambil berdiri, ”Iya pak!”
“Tugas dikumpulkan ke Ian. Nanti Ian taruh di kantor saya.” Sambung dosen tersebut.
“Iya pak!” jawab Ian singkat tapi penuh kesopanan terhadap sang dosen.
“Lalu kehadiran, jika anda tiga kali terlambat akan dianggap tidak hadir satu kali…” lanjut sang dosen.
Febi terus menyimak dengan seksama. Karena ini adalah mata kuliah semester 6, maka ia harus bekerja lebih keras daripada peserta kelas yang lain. Setelah kelas selesai, Febi bergegas pulang sebelum hari semakin gelap. Hal ini dilakukannya karena perasaan diikuti yang akhir-akhir ini semakin kuat. Sambil berjalan pulang, Febi terus membayangkan jika semua bisa dapat A lagi, maka bisa dipastikan tahun ajaran berikut, ia bisa mendapatkan beasiswa lagi. Setibanya di kost, ia berpikir, “apa sebaiknya pindah kost ya? Gang ini terlalu gelap…tapi ini murah, kalo yang di perumahan itu mahal banget…” Gadis itu berdialog dalam hatinya sendiri. Kost yang ditempati oleh Febi terletak di sebuah gang kecil sempit yang hanya bisa dilalui oleh dua orang berdampingan dan mobil tidak bisa masuk ke dalam gang tersebut. Dan setiap kamar kost memiliki pintunya masing-masing yang langsung menghadap ke arah jalan gang sempit itu. Sebenarnya tipe kost seperti ini sangat cocok untuk Febi yang tidak pandai bersosialisasi karena tidak ada ruang bersama yang menghubungkan tiap-tiap kamar kost. Dengan demikian ia tidak perlu menyapa para penghuni kost yang lain. Tapi gang buntu yang sempit itu ternyata terlalu gelap dan menakutkan untuk dilalui oleh seorang gadis sendirian di malam hari.
Keesokan harinya selesai kelas, Febi berjalan menuju perpus bersama Jennifer. “Feb,” panggil Jennifer. “Kakak psikopat itu dipercayain masuk dalam tim advokatnya Pak Yahya.”
Febi sedikit kaget mendengar informasi dari Jennifer. Pak Yahya adalah seorang dosen yang juga menjadi seorang pemimpin sebuah firma hukum yang ternama. “Wow!” pikirnya kagum pada keunggulan Ian. “Tapi emang bisa ya masih mahasiswa gitu ikutan jadi advokat,” ucap Febi kurang dapat menerima kenyataan bahwa Ian memang lebih unggul daripada mahasiswa lainnya yang membuat para dosen menilai Ian begitu tinggi. Tiba-tiba dari belakang, Ian berjalan melewati Febi dan Jennifer. Melihat punggung Ian yang terus berjalan menjauhi, mereka berdua ternganga cukup lama sambil memikirkan apakah ia sempat mendengar pembicaraan mereka tadi. Aduh panggilan ‘kakak psikopat’ benar-benar membuat Jennifer kuatir. Jangan-jangan sebentar lagi dia yang ditargetin Ian.
“Gimana perasaan seorang psikopat ketika dia dipanggil psikopat?” tanya Jennifer pada Febi.
“Aduuuh nggak tau deh. Kok berasa semua semakin kacau,” balas Febi sambil menggaruk-garuk rambutnya sendiri.
“Kesel karena merasa tidak terima disebut psikopat? ... Atau malah seneng karena menemukan jati dirinya?” sambung Jennifer meneruskan pertanyaannya. Setibanya di lobi, kedua gadis itu masih dapat melihat sosok Ian dari belakang. Orang-orang yang ada di lobi banyak yang matanya melirik pada Ian yang terus berjalan cuek. Sambil berbisik-bisik mereka membicarakan betapa hebatnya Ian karena direkrut masuk dalam tim advokasi selagi ia masih mahasiswa tingkat 3.
Dalam perjalanan pulang, Febi terus memikirkan betapa hebatnya Ian sehingga ia bisa direkrut dini dalam tim advokat. “Apa dia akan berdiri di ruang sidang tar ya?” gumamnya kecil. Febi bermimpi untuk menjadi seorang pengacara. Masuk fakultas hukum adalah langkah menuju terwujudnya impiannya itu. Disatu sisi, gadis itu begitu kagum pada Ian, tapi di sisi lain, ia merasa takut dengan pria itu. Tiba-tiba…
Krrk! Suara itu lagi. Ini bahkan belum gelap. Hari masih terang. Febi melakukan gerakan tiba-tiba dengan membalikkan tubuhnya ke belakang. Kali ini ia berhasil melihat sekelebat bayangan. Di ujung gang yang keluar ke jalan besar, dilihatnya hidung sebuah mobil jenis sport yang agak tinggi besar dan berwarna putih menyembul dari balik tembok-tembok yang membatasi gang tersebut dengan tanah kosong di sebelahnya.