POV Safaraz
Angin malam berhembus cukup kencang, menyapu wajah dan juga rambutku hingga membuatnya berterbaran menjadi riak, sepertinya hujan akan turun, karena udaranya lebih dingin dari malam-malam sebelumnya.
Aku masih tertegun kala mendengar suara seseorang yang menyapaku, seperti berada pada dimensi masalalu, di mana aku begitu akrab dengan suaranya, begitu senang mendengarnya berbicara dan bercerita tentang apapun. Suara bariton namun dalam versi yanglebih lembut, yang kurasa hanya dimiliki olehnya.
"Kamu apa kabar? Aku tidak menyangka, jika kita dipertemukan takdir di sini." ujarnya kala aku sudah berhasil membalikkan tubuh ku hingga menghadapnya.
Benar, dia pria yang sama, pria yang kutinggalkan, karena aku harus menuruti permintaan pak William untuk menikah dengan putranya. Malam itu kami bertemu untuk yang terkahir kalinya, susah payah aku mengatakan jika hubungan kami tidak bisa dilanjutkan lagi, karena aku harus menikah.
Tentu saja dia menolaknya, hubungan kami sudah serius, keluarganya sudah mengenalku dengan baik, hampir tiga tahun kami berpacaran dia adalah seniorku di kampus. Rencananya kami akan menikah setelah aku menyelesaikan program internship ku.
Saat bertemu dengan pak William siang itu, sebenarnya aku ingin mengatakan, jika ada pria yang selama ini dekat denganku ingin menikahiku, namun kuurungkan, karena telah lebih dahulu mendengar permintaannya, agar aku menikah dengan Daniel.
Namanya Essa, Adrian Essa, usianya sama seperti Daniel, dua puluh sembilan akhir tahun ini, saat aku awal masuk kuliah, Mas Essa aku biasa memanggilnya, sudah masuk semester akhir, dirinya terlambat lulus karena terlalu sibuk dengan organisasi yang dia pimpin di kampus dahulu.
Mas Essa menolak keputusanku, dirinya berjanji akan menemui pak William untuk membatalkan rencana perjodoanku dengan putranya, bahkan, dia rela jika harus mengganti segala biaya yang pak William keluarkan selama mengurus dan menyekolahkanku.
Namun, rasa sungkanku pada pak William lebih besar, dibandingkan rasa cintaku padanya, cukup kepada pak William saja aku berhutang budi, tidak ingin rasanya aku menyusahkan Mas Essa, dengan membiarkannya mengganti semua biaya yang pak William keluarkan, walaupun mungkin dia mampu.
Aku tidak ingin menyakiti orang yang sudah membantuku merasakan kasih sayang seorang ayah, walaupun aku seorang yatim piatu, aku tidak ingin mengecewakan orang yang sudah sangat dermawan membawaku hingga menggapai cita-cita. Aku lebih rela untuk membiarkan diriku sendiri yang terluka karena putus cinta, daripada melihat pak William kecewa dengan penolakkanku.
"Kamu tidak mau menyapaku, Raz?" tanyanya, sama sepertiku yang selalu memanggilnya Essa, diapun memanggilku dengan nama tengahku, Razra.
"M-mas Essa kerja di sini?" tanyaku gugup.
Mas Essa melangkah, memutus jarak diantara kami berdua, membawaku ke dalam pelukannya, sangat erat, hingga aku sulit bergerak dan menolak, ah, aku sangat merindukan pelukan hangat ini, merindukan aroma parfum bulgari yang bercampur dengan keringatnya.
Sebagai seorang dokter, Mas Essa sangat menjaga penampilan dan kebersihannya, tidak pernah kutemui dirinya dalam keadaan berantakan dan bau, sekalipun sehabis olah raga atau berkegiatan outdoor. Dulu kami sering olah raga bersama, terkadang bersepeda, berenang, atau hanya sekedar jogging. Mas Essa selalu harum.
"Aku enggak bisa nafas, Mas!" ucapku akhirnya saat kurasakan pelukannya makin erat.
"Oh, maaf, aku senang sekali soalnya bisa bertemu kamu lagi, Raz!" ujarnya seraya melepas pelukan.
"Mas Essa enggak boleh asal memelukku kayak tadi, aku sudah menikah" kataku seraya menunjukan cincin kawin di jari manis tangan kananku.
Tidak ku dengar jawabannya, wajahnya yang sejak tadi dipenuhi senyum, mendadak berubah murung, aku tau, pasti dia masih kecewa dengan perpisahan kami dua tahun lalu, karena nyatanya, selain berjuang untuk mencintai Daniel, akupun berjuang untuk melupakan Mas Essa, keduanya sama-sama sulit.
Awalnya aku berfikir jika sudah berhasil move on darinya, nyatanya, saat takdir mempertemukan kami malam ini, aku sadar, rasaku untuknya masih teramat besar, aku seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Di saat aku sudah bersusah payah untuk melupakan, namun pertemuan dan pelukan hangat, nyatanya menggagalkan segalanya.
Kami berjalan bersisian menuju kantin rumah sakit yang buka 24 jam, aku memesan cokelat panas, sedangkan Mas Essa memilih capucino, tidak ada percakapan setelah interupsiku tadi, mengenai aku yang sudah menjadi Suami orang lain. Dia masih diam, namun dengan ekor mataku, aku tahu, jika pandangannya tidak beralih sedikitpun dari memandangku. Membuatku merasa sedang dikuliti.
"Kamu lebih kurus dari terakhir kali aku lihat, matamu juga terlihat cukup sembab, apa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu, Raz?" tebaknya tanpa tendeng aling-aling, membuatku tersedak cokelat panas yang sedang kuseruput.
"Please, kamu jangan mengada-ada deh, Mas!"
"Kamu tau kan, jika aku tidak pernah salah menganalisa, instingku cukup tajam, walaupun dengan sekilas melihat wajahmu, aku tau apa yang kamu rasakan, Raz"' katanya lagi, membuatku hampir menangis. Dia selalu tepat jika menebak soal isi hatiku.
"Lepaskan suamimu, kembalilah kepadaku, Raz! aku masih setia menunggumu," ujarnya membuatku mengalihkan pandangan ke wajahnya, mencari-cari kebohongan dari pernyataanya, sial, tidak ku temukan, dia serius dengan yang dia katakan.
"Aku permisi dulu, sudah malam," bangkitku dari kursi, namun tanganya menahan tubuhku, hingga aku kesulitan untuk beranjak.
"Sudah cukup kamu membalas budi pak William, Raz, saatnya kamu membahagiakan dirimu sendiri"
"Aku sudah bahagia, Mas, suamiku membuatku merasa sangat beruntung karena menjadi suaminya, permisi."
"Bohong! Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa berbohong kepadaku, Raz, aku mengenalmu, sangat mengenalmu," tekannya di setiap kata, kemudian melepaskanku hingga aku bisa pergi meninggalkannya.
Jantungku masih berdegup kencang, saat taksi online yang kupesan sudah tiba di lobby rumah sakit, segera aku menaikinya, aku ingin segera pulang, mengistirahatkan fisik dan pikiranku yang mendadak kacau. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku terngiang-ngiang perkataan mas Essa tadi, saat dia mengatakan jika sudah cukup balas budiku kepada pak William.
Ah dia tidak tau, selain memintaku untuk menikah dengan Daniel, bapak juga memintaku bertahan dalam rumah tangga ini, apapun kondisinya, jangan sampai kami bercerai, itulah mengapa hingga saat ini aku masih saja bertahan, walaupun perlakuan Daniel dan keluarganya sudah sangat keterlaluan.
"Mengapa kamu kembali, Mas? Bahkan di saat aku sudah berusaha untuk mengapus setiap lembaran kenangan yang kita lalui bersama." Lirihku sesaat sebelum tertidur di taksi online yang kunaiki.
POV Author
Tubuh Daniel menegang kala melihat Suaminya dipeluk pria lain, walaupun selama ini dia tidak pernah mencintai Suaminya, namun saat melihatnya dalam pelukan pria lain cukup membuatnya merasakan perasaan yang mengganjal di hatinya.
Ini pertama kalinya dia merasakan keinginan untuk menjemput Suaminya, setelah peristiwa menguras air mata Safaraz sedari di rumah neneknya tadi, dirinya khawatir jika Safaraz akan kenapa-napa jika dibiarkan pulang tengah malam sendirian, namun saat melihatnya justru nyaman dalam pelukan pria lain, Daniel berfikir untuk pulang dan membiarkannya.
Suara deru mesin terdengar di depan rumah mereka, Daniel mengintip dari jendela kamarnya untuk melihat, dia tidak menyangka jika Suaminya pulang menggunakan taksi online, karena dia berfikir jika Safaraz akan pulang diantar pria tadi.
Segera dia turun ke bawah untuk menemui Suaminya, harga dirinya yang merasa tercoreng karena melihat Safaraz dalam pelukan orang lain, membuatnya harus meluruskan hal tersebut kepadanya. Namun, saat melihat Safaraz yang masuk ke rumah dengan tubuh lunglai, membuatnya mengurungkan niat, Daniel lebih memilih naik lagi ke kaDannya.
Jam di nakas menunjukan pukul lima pagi, saat samar-samar dirinya mendengar suara ketukan dari luar, dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, Daniel berjalan ke arah pintu untuk memutar kuncinya.
"Mau apa?" bentaknya saat melihat wajah Safaraz yang sudah berdiri di depan kamarnya.
"Ma-maaf, Dan, saya cuma mau bangunin kamu untuk sholat subuh" ucap Safaraz takut-takut, saat melihat wajah garang suaminya.
"Enggak usah sok suci kamu, pergi!" makinya lagi, masih dengan intonasi tinggi, membuat Safaraz ketakutan dan memilih pergi.
Bersambung