Aroma harum dari gulai ikan buatanku menyebar ke seluruh sudut kafetaria yang sepi. Perutku makin tak sabar, jadi tanpa ragu aku ambil piring, menuang gulai ke atas nasi hangat, dan mulai makan.
Tak jauh dari tempatku duduk, gadis yang tadi—Absen nomor 6—masih berdiri, matanya terpaku ke arah makananku dengan ekspresi... sulit dijelaskan. Seperti sedang menahan sesuatu.
Aku melirik sekilas dan mengangkat alis.
"Hei, kalau kau mau, jangan cuma berdiri di sana. Duduklah."
Dia terlihat kaget.
"A-aku... tidak lapar."
Suara dan ekspresinya bertolak belakang dengan matanya yang penuh harap.
Aku tertawa kecil.
"Jangan bohong. Kau terus menatap makananku seperti anak kucing kelaparan. Duduklah."
Dia ragu sejenak, lalu akhirnya menarik kursi dan duduk di seberangku.
"Baiklah... kalau kau memaksa." gumamnya pelan.
Kami pun makan bersama dalam keheningan yang tidak canggung, tapi juga belum bisa disebut akrab.
Setelah beberapa suap, aku membuka percakapan.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu? Kurasa kita belum sempat kenalan."
Dia berhenti mengunyah, sedikit gugup.
"U-umm, aku? Namaku... Sophia D'Valois."
Aku langsung menoleh cepat.
"D'Valois? Keluarga mage kelas tinggi itu? Pantas saja kau ada di kelas A."
Sophia hanya tersenyum kecil.
"Kalau kau? Absen 11, kan?"
Aku mengangguk.
"Lucian. Cuma itu."
"Keluarga?" tanyanya pelan.
Aku menunduk sebentar.
"Tak punya. Aku bukan siapa-siapa."
Matanya sedikit membelalak.
"Apa...? Jadi kau rakyat jelata tapi bisa masuk kelas A? Bukankah itu luar biasa?"
Aku hanya mengangkat bahu.
"Mungkin cuma kebetulan."
Lalu ia menatapku, kali ini lebih lembut.
"Tapi... kau tidak seperti yang dikabarkan. Ada rumor aneh soalmu. Katanya kau pernah hampir membunuh seseorang."
Aku mendesah pelan.
"Itu rumor dari mana lagi...? Aku pun baru sadar kalau banyak omong kosong yang tersebar."
Sophia tertawa kecil, untuk pertama kalinya sejak kami bertemu.
"Kalau begitu... mungkin aku akan menilaimu sendiri, bukan dari rumor."
Aku yang sedikit tersipu, langsung memalingkan wajahku. Dalam hati, ini pertama kalinya ada orang yang berkata seperti itu padaku. "Terima kasih..." gumamku lirih.
Sophia menoleh. "Untuk apa?"
"Aku... bahkan tidak melakukan apa pun," jawabku gugup sambil kembali meliriknya.
Saat itu, mataku tanpa sengaja menangkap cara makannya yang begitu anggun. Lembut, teratur, penuh sopan santun. Jadi seperti ini bangsawan yang sesungguhnya... pikirku. Tanpa sadar, aku bergumam, "Cantik sekali..."
Sophia menghentikan gerakannya. Wajahnya memerah seketika. "A-Apa yang kau ucapkan tadi?!"
"Aku? Tidak bilang apa-apa!" jawabku cepat-cepat, mengelak.
Kami pun melanjutkan makan dalam diam, lalu kembali ke asrama. Aku langsung menjatuhkan tubuhku ke atas kasur yang empuk dan tertidur dalam hitungan detik.
Keesokan harinya, aku bangun dan bersiap menuju kelas. Aku langsung duduk di kursiku. Tak lama kemudian, datanglah siswa dengan nomor absen 8. Di game, dia adalah karakter pengganggu yang sering menindas rakyat jelata.
"Heh, siapa namamu?" tanyanya sinis.
"Lucian. Aku tak punya nama belakang," jawabku datar.
"Apa? Tidak punya nama belakang? Bagaimana kau bisa masuk ke Akademi Aetherion? Apa kau melakukan kecurangan?!"
"Aku lolos karena usahaku sendiri."
Dia terus saja mengejekku. Sampai akhirnya—PLAK!—aku menamparnya dengan keras. Seluruh kelas sontak heboh.
Kami hampir saja baku hantam, sampai suara berat itu datang.
"HENTIKAN DI SITU!" teriak Instruktur Miguel yang langsung masuk ke dalam kelas. "Absen 11 dan absen 8, ikut aku ke ruang guru. Sekarang!"
Dan untuk kedua kalinya dalam dua hari... aku kembali duduk di ruang guru. Rumor pun menyebar lebih luas. Bisik-bisik pun terdengar di seluruh koridor.
"Baru dua hari di sini, sudah dua kali ke ruang guru... katanya dia memang berandalan!"
Setelah kami berdua tiba di ruang guru, suasana langsung terasa tegang. Instruktur Miguel duduk di kursinya dengan postur tegap dan mata tajam yang menilai kami satu per satu. Ia menghela napas panjang, lalu membuka suara.
“Kalian pikir ini pasar malam? Ini Akademi Aetherion, tempat mencetak para pahlawan, bukan ajang adu ego murahan!” Suaranya menggema keras, membuat kaca jendela bergetar halus.
Absen 8 mencoba membela diri. “Tapi dia yang memukul saya lebih dulu!”
“Diam.” kata Miguel tajam. “Aku tidak sedang bertanya padamu. Absen 11, katakan apa yang sebenarnya terjadi.”
Aku mengambil napas dan menurunkan nada bicara, berpura-pura tersudut.
“Dia menghina rakyat jelata dan melanggar peraturan akademi, Pak. Saya tahu tempat ini menjunjung tinggi kesetaraan. Tapi dia… menginjak-injaknya.”
Mata instruktur Miguel langsung menajam, kini menatap absen 8. “Apa itu benar?”
Absen 8 tampak ingin menyangkal, tapi tekanan dari tatapan Miguel membuatnya gentar. “...Iya,” jawabnya pelan.
“Baik,” ucap Miguel tegas. “Absen 11, kembali ke kelas dan lanjutkan pelajaran. Absen 8, tetap di sini. Kita belum selesai.”
Aku menunduk sopan dan berjalan keluar. Namun, begitu pintu tertutup di belakangku, bisik-bisik kembali terdengar dari para siswa di lorong.
“Itu dia, si berandalan…”
“Sebaiknya jangan tatap matanya, Jika kau menatap nya ia akan menekan mu”
Aku menoleh sekali, tatapan dingin. Mereka langsung bungkam dan kabur seperti anak ayam kehilangan induk. Aku hanya mendengus pelan.
Saat aku tiba di lapangan, suasana terasa semakin tegang. Aku terlambat datang dan sebagai akibatnya, aku dijatuhi hukuman berat. "10 kali menggiling lapangan!" perintah instruktur dengan nada tegas, membuatku langsung merasa kesal. Jangan bilang aku harus lari lagi... pikirku dalam hati.
Instruktur itu mengamatiku dengan tajam, seolah-olah membaca pikiranku. "Ada apa, Kadet? Kau tidak suka?" katanya dengan nada datar, namun ada ketegasan yang tak bisa diabaikan. Aku tak punya pilihan lain selain berlari.
Dengan rasa malas yang menyelimuti, aku mulai berlari. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Tubuhku tidak terasa seberat kemarin. Aku merasa lebih ringan, lebih cepat, bahkan lebih kuat. Aku mengamati sekitar, melihat para karakter yang ada dalam game ini. Erick—pahlawan utama yang terlihat seperti tak pernah lelah—sudah selesai dengan larinya dan langsung melanjutkan ke latihan kedua. Gila, apa dia terbuat dari mesin? pikirku, merasa iri melihat kecepatan dan ketangguhannya.
Sementara itu, yang lain masih tertinggal jauh di belakangku, berlarian dengan kecepatan yang sama seperti aku. Tiba-tiba, aku merasakan getaran halus di sakuku. Sebuah pesan muncul di layar HUD-ku.
Ding!
Selamat! Anda telah meningkatkan stamina Anda! Stamina Anda kini berada di Level 2!
Anda menerima hadiah: Skill "Penyamaran Tingkat Tinggi."
Aku berhenti sejenak, terkejut dengan pesan itu. Skill penyamaran? Itu... bisa sangat berguna. Seandainya aku berada dalam situasi yang sulit, kemampuan untuk menghilang atau menyamarkan diri pasti akan menyelamatkan nyawaku.
Aku berhenti sejenak untuk membaca pesan yang muncul di layar HUD-ku, terkejut dengan apa yang baru saja aku dapatkan. Namun, kesenaganku hanya sesaat. Sebuah suara keras memecah keheningan, memaksa aku kembali ke kenyataan.
"He! Kenapa berhenti? Lanjutkan lari atau aku akan tambahkan hukumanmu!" teriak instruktur dengan nada yang mengguncang. Aku menghela napas berat, lalu tanpa pilihan, aku melanjutkan lari, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mulai menggerogoti tubuhku.
Namun, saat aku hampir menyelesaikan putaran ke-9, aku melihat sesuatu yang menarik perhatian. Absen 8, seorang kadet yang tampaknya sangat tertekan, tiba-tiba muncul di lapangan dengan wajah murung. Dia tampak seperti orang yang baru saja kalah taruhan besar—wajahnya pucat dan matanya tampak kosong.
Instruktur yang tadi memerintahku langsung mendekat, matanya tajam menatap Absen 8. "Terlambat, huh? Kalau begitu, kamu harus membayar dengan 15 putaran!" katanya tanpa rasa ampun.
Absen 8 hanya bisa menunduk dan mengangguk, jelas terlihat cemas. Wajahnya semakin gelap saat instruktur itu meninggalkan dia untuk mulai berlari. Sepertinya, hukuman ini lebih berat daripada yang aku bayangkan.
Sementara itu, aku terus berlari di putaran 8, menertawakan situasi yang terjadi. Selamat bersenang-senang dengan 15 putaranmu itu, bangsawan, pikirku dengan sedikit ejekan. Aku sempat melihat Absen 8 yang mulai berlari, wajahnya penuh frustrasi .
Namun, wajahnya segera berubah saat kemarahan mulai merasuk. Dia berusaha menahan amarahnya, mungkin ingat akan sanksi yang diberikan di ruang guru sebelumnya. Sepertinya dia tidak ingin masalah bertambah buruk, apalagi dengan risiko hukuman yang lebih keras.tapi itu bukann urusan ku.