Download App
100% You'll Fall For Me / Chapter 6: 03: Aku kerasukan ta rek?

Chapter 6: 03: Aku kerasukan ta rek?

Kalau dikatakan tidak merasakan shock, maka hal itu tak mungkin juga. Bagas jelas sekali sport jantung mendengar penuturan manusia ini. Dan itu membuatnya menganga lebar, mukanya tunjukkan ketidak percayaan.

"Hah? Apa?! Aku kakakmu?" Bagas menunjuk dirinya dan lelaki itu bergantian. "Kakak perempuan?" dia bertanya. Pikirannya melayang pada pantulan keramik yang ia lihat sesaat setelah dia bangun tadi. Dia yakin mendapati sosok perempuan ayu berambut coklat kemerahan dengan mata merah di sana. Bagas melupakan hal ini karena fokusnya beralih pada Mr. P nya yang raib dari selangkangan. Namun setelah mengingatnya kembali ... Bagas segera memijat pelipis.

"Heidi?" Pemuda berahang kokoh di depannya itu menangkup wajah Bagas. Dia memandang lekat Bagas yang membuat Bagas impulsif mendorong manusia ini. Jantung berdegup tak karuan, dia terkejut setengah mati.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu mau menciumku?" Bagas mendesis seraya menggeser pantatnya dan menjauh dari pemuda itu. Dia memasang mimik horor. Yah, pada dasarnya dia laki-laki, kalau tiba-tiba ada laki-laki lain menangkup mukanya kan ... AWAWAWA. GELIIII! GELIIIIII!

"Menci—Hah? Apa? Aku tak akan melakukan hal begitu pada kakakku!" Memerah, lelaki berkelereng biru itu berseru.

"Ya kalau begitu jaga jarak dong. Aku saja nggak kenal kamu siapa, kok main pegang-pegang!" tutur Bagas kuat. Dia menunjukkan ekspresi penolakan untuk didekati lebih dari ini. Namun ucapannya, memberikan efek lain pada pemuda itu. Apalagi dibagian 'aku saja tak mengenal kamu siapa'.

"Heidi! Aku Brian! Brian VonDrechslerg."

"Beuh, cok. Jenengmu cek uangel e," (astaga naga. Namamu kok sulit bet sih.) gumam Bagas tanpa sadar, mengomentari nama Brian. Yang, tentu saja, membuat Brian mengerjapkan matanya. Mukanya terkejut mendengar bahasa khas yang meluncur dari bibir Bagas.

"H-Heidi, kau berbicara apa?"

"Oh, engga. Cuma kagum namamu kok keren sekali. Kelihatan anak bangsawannya," berusaha menutupi komentar miringnya, Bagas mengelabui. Dia tertawa kecil 'hohoho' sambil memandang ke lain sisi kala berkata demikian.

"Kau bicara apa?!" Brian menyabetkan tangannya di udara. Wajahnya tampak frustasi. "Kau juga anak bangsawan, Heidi. Ini rumahmu juga! Namamu Engel Heidi VonDrechslerg!" dia menjelaskan sambil sedikit berseru. Mukanya kalut, ia jelas ketakutan. Dari gelagatnya, dia tahu kakaknya tak mengingat siapa dia dan itu adalah hal yang paling tak ingin dia terima.

Bagas mengerutkan kening mendengar hal ini. Sedari tadi dia memiliki satu teori selain dia diculik, yakni dia bereinkarnasi atau transmigrasi ke dunia lain. Teori seperti ini ada di negara lain, tapi di negaranya, tak mengenal yang demikian itu. Masa iya dia reinkarnasi di dunia lain dan jadi perem—

"ACK!" sakit kepala yang teramat sangat menyerang Bagas. Ia mengernyit, desisan lirih meluncur dari bibirnya. Kepalanya seperti habis dihantam godam. Matanya berkunang-kunang, tak fokus. Tidak, Bagas bahkan kini merasa antara ada dan tiada. Dia seolah mengambang atau menapak, hidup atau mati, tak jelas. Semua abu.

Brian yang melihat hal ini, terkejut. Dia segera berada di sisi Heidi, mengenggam tangan mungil sang Kakak. Namun mukanya kian lama kian memucat begitu merasakan kehangatan tubuh kakaknya memudar. Dia terlempar ke ingatan 4 bulan silam. Dingin yang ia rasa ini sedingin saat dia mengangkat tubuh Heidi yang mengambang di atas kolam.

"Ayah, Ibu! Kondisi Heidi memburuk!" dia berseru pada orang tuanya, sebelum mengengkat Heidi, menggendongnya dengan bridal style, "Heidi! Dengarkan aku, semua akan baik-baik saja! Heidi! Tetap sadar!" serunya sembari membopong tubuh sang Kakak ke atas kasur.

Sedang Bagas ... dia tak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Otaknya sedang jumpalitan menangkap dan merekam memori-memori asing yang merasuk. Ia mengerang di setiap bayang kejadian tereka ulang seolah mereka terjadi tepat di depan matanya. Tubuhnya bergetar.

Yang dia lihat adalah memori Heidi. Gadis yang wajahnya ia lihat sebagai pantulan dirinya di atas lantai itu sedang berjuang keras mendapatkan afeksi keluarganya. Dia berusaha mendekati sosok pria nomor satu di Kerajaan Indeschlain ini untuk membuat ayahnya bangga. Sayang sekali, bukannya dipuji dia justru dicerca. Berkali-kali dia mendengar kalimat tajam. Ujungnya, dia menyerah dan lompat ke arah kolam.

Lalu tiba-tiba, saat tubuhnya melayang ke bawah, kepala ular besar berwarna emas muncul dari dalam air. Heidi terkejut bukan main. Dia melihat mulut lebar nan besar itu menganga sebelum tiba-tiba ular ini melompat dan memakannya bulat-bulat.

Bagas menegang, bulu romanya berdiri sempurna, tubuhnya begetar. Dia kenal ular itu. Dia mengingat sebuah kejadian absurd sebelum membuka mata.

Sebuah sosok ayu berbalut kebaya hijau dengan selendang emas.

Sosok yang wajahnya berubah mengerikan dengan ukiran-ukiran huruf Jawa di mukanya.

Dan seiring bayangan itu mencuat ke permukaan, Bagas mendengar suara tawa datang. Awalnya tapi lama-kelamaan membahana. 'HIHIHIHI'

Lalu berikutnya, dia merasakan ada tangan menangkupnya. Reka kejadian di tempat gelap itu terulang. Apa yang ia lihat, apa yang dia dengar, kini terjadi lagi. "Kuberi kau kekutanku. Gunakan sebaik mungkin," kata suara itu, sebelum kencang tawa 'HIHIHIHI' menggelegar dan sosok itu menjadi ular, lalu menghilang tergantikan asap.

Bagas bergidik. Dia menggelengkan kepala berusaha menepis bayangan yang menghantuinya. Dia memandang ke atas, ke arah adiknya yang sangat bisa diandalkan itu. Hatinya merasakan rindu amat dalam dan luka. 'Hatiku? Apa benar ini perasaanku?' tapi Bagas menyangsikan. Dia tak mengenal Brian, karenanya perasaan ini mustahil ada. Otaknya menyadari satu hal di sini. 'Ini adalah perasaan Heidi.'

Dan itu artinya dia benar, telah bereinkarnasi menjadi Heidi.

"Brian ...," Bagas memanggil sambil menjulurkan tangan. Tidak, Heidi memanggil adiknya. Brian menoleh, dia yang sedang memeras kompres di atas baki, membelalak melihat kakaknya memanggil dengan nada penuh kasih dan sayang. Matanya berkaca-kaca.

Bagas sendiri tak berusaha menepis rasa ini. Dia menyadari hubungan Brian dan Heidi tidak secetek hubungan kamu dan aku (ala-ala orang pacaran di negaranya). Mereka memiliki ikatan yang sangat kuat. Hanya saja ... Bagas mematung begitu melihat ke arah baki. Tangannya yang terjulur pun terasa membeku. Dan udara ... tiba-tiba menjadi dingin. Temperatur turun drastis.

Di dalam baki, di depan Brian ... Bagas melihat kepala manusia. Dia berputar ke segala sisi. Yang jelas, kepala itu memiliki rambut lurus basah, wajahnya terendam air sempai tulang hidung, matanya tertutupi rambut dan kulit yang terlihat ... putih pucat seperti mayat.

Seluruh roma di tubuh Bagas berdiri.

'Siapa itu? Kepala apa itu?'

Bagas merasakan kepalanya blank. Otaknya tiba-tiba tak tahu harus berpikir apa. Dia hanya melihat ke arah kepala dan ke segala sisi baki yang ternyata dikelilingi rambut panjang sosok itu. Rambut itu bahkan menjuntai ke bawah dan membuat karpet beludru di sana basah. Namun yang paling membuat Bagas membeku ... rambut itu menggulung di handuk basah yang Brian peras, lalu membebat tangan Brian, naik ... naik ... hingga leher.

"Heidi? Kau memanggilku?" Brian mendekat, ia berseri-seri. Tangannya yang penuh rambut itu menjulur ke arah Bagas. Manik Bagas bisa melihat air yang ternyata lendir menetes dari rambut itu. Dia menegang karenanya.

"Kakak ... kau mengingatku?" tanya Brian yang penuh semangat ini luput tertangkap gendang Bagas. Dia fokus pada tangan itu, pada lendir yang makin mendekat seiring Brian mendekatkan diri.

Dan ketika jemari Brian di depan muka Bagas, reflek dia bergerak, PLAAAAK! ia menepis tangannya.

Semua orang di situ terdiam. Termasuk Bagas.

Namun berbeda dengan mereka yang terkejut atas perangainya, fokus Bagas hanya satu: kepala di baki. Kepala itu kini posisisnya lebih naik dan Bagas bisa melihat ceruk mata kosong di sana. Dan dia sedang mengamati Bagas. Sebelum tiba-tiba suara tawa menggaung, 'Hihihihihi~'

Bagas terkejut setengah mati. Ia bahkan sampai duduk dan menggeser tubuhnya menjauh. Namun kalah cepat, kepala itu mencuat keluar dari baki dan bak peluru meluncur ke arahnya.

Tepat di depan Bagas dia tertawa. "Aku mencium bau yang berbeda darimu, hihihihi" kata kepala yang kini melayang ke sana ke mari sambil meneteskan lendir. Dia mengitari Bagas kini. "Bau ini ...," dia mengendus-endus, hidungnya yang hanya lubang itu mendekat ke rambut Bagas.

Bagas hanya bisa mematung seperti retjo pentung. Dia menahan napas, pura-pura mati dalam duduknya. Namun rupanya kepala yang dari tadi terbang di sekeliling Bagas belum selesai, dia masih membaui dirinya, makin menempel sampai membuat Bagas berjengkit karena bau busuknya.

Beberapa lama akhirnya pemilik kulit kusut pucat bak mayat itu kembali ke depan Bagas. Mata mereka bertemu, Bagas bisa melihat bagaimana di sekeliling mata itu hitam dan matanya mendelik. Darah hitam mengalir dari mata itu hingga mulut. Dan mulut itu kini tengah terangkat, tersenyum lebar.

Bulu roma Bagas berdiri semua. Dia melihat mulut hitam itu memamerkan giginya yang kuning dan busuk. Dia sepertinya gembira. "Hahaha! Aku menemukan seseorang yang melakukan kontrak dengan makhluk suci! Siapa yang memilihmu?" dia mengendus lagi, Bagas diam terpasak menjadi satu dengan alam. "oooh! Dewi Ular! Nyai Blorong ya? Woaaa~" Dia bertepuk rambut girang.

Sosok itu bergerak riang kemudian. Dia menari dan menarik seluruh rambutnya yang menjuntai kesana kemari. Bagas bisa melihat lilitan hitam di tubuh Brian hilang. "Halo Missy, Namaku Banyu. Timbangan e dewean, kowe tak kancani yo, nduk. Ketok e asik nek aku nang sandingmu~ Mumpung Nyi Blorong e jek turu~" (Daripada sendirian, kamu aku temani ya. Kayaknya asik kalau aku bersamau~ Mumpung si Blorong masih tidur~) kata kepala melayang itu sambil berputar-putar di udara dan menjulurkan rambut—mungkin dia menganggap rambut ini tangan—ke arah Bagas.

Bagas hanya bisa membelalak melihat hal ini. Matanya membola besaaaar. Napas tertahan dan darah meninggalkan kepalanya dengan cepat. Apalagi ketika rambut yang tadi mengikat di lengan adiknya, kini mulai menjalar naik ke tubuhnya seperti ular.

Detik berikutnya, dia pingsan. Tapi dia sempat mengugumam, "aku kerasukan, cok," menggunakan bahasa Indonesia yang jelas tak dimengerti orang-orang di sekelilingnya.

[]


CREATORS' THOUGHTS
Deelnefire Deelnefire

Judul pada bab ini "aku kerasukan ta rek?" memiliki arti 'aku kerasukan kah bro?' begitu. wkwkwk

next chapter
Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login