Descargar la aplicación
7.14% Di Antara Dua Dunia : Kisah Dari Sungai yang Mengalir ke Dua Takdir / Chapter 1: Bab 1 – Pulang ke Desa
Di Antara Dua Dunia : Kisah Dari Sungai yang Mengalir ke Dua Takdir Di Antara Dua Dunia : Kisah Dari Sungai yang Mengalir ke Dua Takdir original

Di Antara Dua Dunia : Kisah Dari Sungai yang Mengalir ke Dua Takdir

Autor: Ardiansyah_DS

© WebNovel

Capítulo 1: Bab 1 – Pulang ke Desa

1.1 Kedatangan di Desa

Ardan menatap langit senja yang perlahan meredup, memadukan semburat jingga, ungu, dan abu-abu tipis yang melarut di cakrawala, seperti cat minyak yang belum kering sempurna, memberikan nuansa lembut namun dramatis. Setiap detik di udara yang mulai dingin itu terasa berat dan ringan secara bersamaan; berat karena perjalanan panjang meninggalkan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, ringan karena setiap tarikan napas menghembuskan ketegangan modernitas yang menempel di tubuhnya. Bus yang membawanya dari kota melintasi jalan desa berdebu, di sepanjang tepinya pepohonan rimbun menari perlahan mengikuti arah angin. Daun-daun bergesekan satu sama lain, menghasilkan bisikan lembut yang mengusik kenangan masa kecil Ardan—ketawa, tangisan, dan aroma tanah basah setelah hujan sore. Ia bisa mendengar suara jangkrik di semak-semak, ritme detak jantung yang selaras dengan gemerisik daun kering, aroma kayu bakar yang samar tapi menenangkan, dan gemuruh jauh hewan malam yang tak tampak tapi terasa kehadirannya.

Di kejauhan, sungai berliku menampakkan kilau yang samar, seperti pita cahaya yang menari di antara bayangan pepohonan. Ardan berhenti sejenak, menatap air yang bergerak perlahan, seolah menunggu sesuatu. Ia teringat masa kecilnya, saat ia dan kakeknya bermain di tepi sungai, melempar batu kecil ke dalam air, mendengar gemericik yang menenangkan hati. Kini, sungai itu tetap sama, namun Ardan merasa ada sesuatu yang berbeda—sebuah kehadiran yang tak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan melalui hembusan angin dan desahan air. Setiap riak air membawa bisikan tak kasat mata, seakan menyampaikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa yang siap mendengarkan. Ia menundukkan kepala, menutup mata, dan membiarkan pikiran tenggelam dalam kenangan: aroma tanah basah setelah hujan, bisikan dedaunan, dan cahaya terakhir senja yang memantul di air.

Bus berhenti dengan deru mesin yang perlahan melemah, menghentikan Ardan di depan rumah tua kakek. Bangunan kayu itu terlihat renta, namun setiap ukiran pada tiang penyangga dan kusen pintu seakan menyimpan sejarah yang tak terhitung. Ia menurunkan kopernya perlahan, langkah kakinya berat, tapi hatinya ringan; beban kota yang menekannya seperti menguap dalam aroma tanah basah dan hujan yang tersisa di dedaunan. Ia memandang rumah itu dari sudut pandang baru: jendela-jendela seperti mata yang menatap, pintu yang berderit seakan menghela napas panjang dari masa lalu. Sebuah aroma nostalgia menyelinap melalui hidungnya—campuran kayu tua, debu, dan wangi sisa bunga dari halaman depan yang belum kembang sempurna. Angin malam yang lembut berdesir melalui celah-celah kayu, membelai pipinya, seperti tangan lembut yang mengingatkan akan kehangatan kakeknya.

Ardan menapaki jalan setapak yang dipenuhi daun kering dan ranting kecil yang retak di bawah kaki. Ia berhenti sejenak, menutup mata, dan membiarkan kenangan menghujani pikirannya. Ada kedamaian, tapi juga peringatan samar; sesuatu yang lebih tua dan lebih bijak sedang mengamati kepulangannya. Di udara malam yang sunyi, ia mendengar suara burung hantu di kejauhan dan riak air sungai, menandai bahwa desa ini bukan sekadar tempat fisik—ini adalah ruang di mana masa lalu dan sekarang berinteraksi, di mana manusia dan alam saling memantulkan kehidupan satu sama lain. Bayangan pepohonan di tanah berinteraksi dengan cahaya bulan, menciptakan pola abstrak yang seakan menari mengikuti ritme pikirannya. Setiap aroma dan suara menjadi sebuah bahasa rahasia, mengabarkan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata biasa.

Memasuki rumah, aroma kayu tua bercampur debu dan sisa asap tungku yang hampir padam menyapa indera Ardan. Meja kayu di ruang tengah penuh dengan goresan waktu, setiap lekuk dan retaknya seakan menyimpan cerita yang tak pernah ia dengar. Ia menyentuh permukaan meja itu dengan telapak tangannya, merasakan tekstur kayu yang halus namun berpori. Kenangan menghampiri dalam gelombang: tawa kakek, suara gemericik air sungai, aroma masakan tradisional yang hangat, dan cahaya matahari sore yang menembus jendela rumah tua. Semua itu memukulnya dengan campuran nostalgia dan kerinduan yang menyakitkan namun menenangkan. Ia berjalan ke jendela yang menghadap sungai, menatap air yang kini memantulkan cahaya bulan, merasakan keheningan malam yang penuh potensi mistis dan filosofis. Sungai ini tampak hidup, seolah memiliki napas sendiri, ritme yang tak bisa dikontrol manusia.

Dalam hening itu, Ardan mendengar desah halus angin yang berbisik melalui celah-celah kayu, membawa aroma lembab sungai dan tanah basah. Desah itu seperti suara kakek, seperti suara sungai, seperti suara masa lalu yang menuntun langkahnya. Ia menutup mata, membiarkan diri hanyut dalam getaran yang tak bisa dijelaskan: rasa kehilangan, keinginan untuk memahami, dan rasa takut akan tanggung jawab yang tak terucap. Sungai ini bukan sekadar air yang mengalir; ia adalah nadi desa, roh yang hidup, dan cermin dari perjalanan batin setiap manusia yang pernah merasakan cinta, kehilangan, dan pencarian jati diri.

Ia menyalakan lampu minyak yang kecil di ruang tengah, cahaya hangatnya menembus bayangan rumah tua. Setiap sudut terlihat hidup; debu menari di udara yang lembap, bayangan kayu bergerak mengikuti cahaya, dan setiap suara—dari gesekan daun hingga detak jantungnya sendiri—menjadi bagian dari simfoni malam. Ardan duduk di lantai kayu, kaki menyentuh permukaan yang dingin namun familiar, dan ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri, membiarkan kata-kata lahir tanpa sadar:

“Aku kembali, sungai. Aku kembali untuk mendengar apa yang telah lama menungguku. Aku siap menghadapi apa pun yang tersembunyi di antara riak air dan bayangan pepohonan.”

Ia merasakan kekuatan dan kelembutan yang bersatu: cinta pada desa, rasa bersalah karena meninggalkannya, dan hasrat untuk memahami dunia yang lebih besar dari diri sendiri. Angin malam membawa bisikan tambahan, seperti bahasa roh leluhur yang hanya bisa diterjemahkan oleh hati yang terbuka dan jiwa yang siap mendengar. Ardan menatap keluar jendela, memperhatikan kilauan air yang bergerak lambat, seolah menari mengikuti ritme alam dan waktu. Ia mengingat pelajaran-pelajaran kakek: keseimbangan, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap alam dan tradisi.

Seiring malam semakin dalam, Ardan berjalan ke teras, menghirup udara malam yang segar, membiarkan setiap molekul dingin menembus kulitnya. Ia mendengar suara gemerisik di antara semak-semak, suara yang samar namun familiar, memanggilnya, mengingatkannya akan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Dalam detik-detik itu, ia menyadari bahwa kedatangannya bukan sekadar perjalanan fisik; ini adalah perjalanan spiritual, sebuah panggilan untuk terhubung kembali dengan akar, dengan alam, dan dengan bagian terdalam dari dirinya yang telah lama terasing. Setiap detik malam itu menjadi meditasi alami; ritme desah angin dan suara sungai mengajar Ardan tentang kesabaran, ketulusan, dan cinta yang tidak menuntut.

Dan ketika bulan menanjak, cahaya lembutnya memantul di sungai, menciptakan jalur cahaya yang tampak seperti tangan yang menuntun Ardan. Ia tahu, malam pertama ini akan menjadi titik awal dari perjalanan panjang: sebuah pencarian yang melintasi batas waktu dan ruang, antara manusia dan alam, antara kehidupan nyata dan dunia magis yang menunggu untuk ditemukan. Setiap detik menjadi saksi bisu bagi pertumbuhan batin Ardan, persiapan untuk menghadapi misteri, folklore, dan tugas yang akan datang, semuanya berpadu dalam pengalaman sensorik, emosional, dan filosofis yang kaya dan mendalam.

Ardan duduk di teras, menatap sungai yang berkilau, memikirkan filosofi hidupnya sendiri. Ia merenungkan cinta dan kebebasan, kesadaran akan keterbatasan manusia, dan bagaimana hubungan antara manusia dengan alam adalah refleksi dari keseimbangan yang lebih besar. Sungai menjadi metafora dari perjalanan batin, setiap riak air mencerminkan langkah-langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam. Ia menghembuskan napas panjang, membiarkan malam menelannya, dan bersiap menghadapi mimpi pertama yang akan menghubungkan dirinya dengan kakek dan dunia magis desa yang telah lama menunggu.

1.2 Malam Pertama & Mimpi Kakek

Malam di desa terasa lebih hidup daripada yang pernah Ardan bayangkan. Hembusan angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan gugur, bercampur dengan aroma kayu bakar yang samar dari rumah-rumah tetangga. Suara jangkrik bersahutan, kadang diiringi dengkuran jauh anjing kampung, membentuk simfoni malam yang tidak pernah ia alami di kota. Setiap suara seolah memiliki makna, membisikkan pesan yang hanya bisa ditangkap oleh telinga yang terbuka dan hati yang siap menerima.

Ardan duduk di kursi kayu di ruang tengah rumah kakeknya, membiarkan tubuhnya meresapi ketenangan yang aneh tapi menenangkan. Ia menatap lampu minyak yang kecil, melihat bayangan menari di dinding, dan merasa seolah rumah itu bernapas bersama dirinya. Kenangan tentang kakek menyeruak: tangan yang kasar tapi hangat, suara yang penuh hikmat, cerita-cerita tentang sungai, pohon, dan roh leluhur yang ia dengar sejak kecil.

Seiring malam merayap, Ardan merasakan kantuk yang tak biasa, bukan kantuk karena lelah fisik, tapi kantuk yang seperti undangan menuju dunia lain. Ia menutup mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam selimut tipis, namun pikirannya tetap terjaga, menangkap setiap hembusan angin dan bisikan malam. Dalam diam itu, ia mulai mendengar suara samar, seperti kakek sedang memanggilnya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan getaran halus yang meresap ke tulang dan jiwa.

Dalam mimpinya, Ardan menemukan dirinya berdiri di tepi sungai yang tidak seperti sungai nyata. Airnya berkilau dengan cahaya yang seolah berasal dari bulan dan matahari sekaligus, mengalir perlahan namun penuh tenaga. Di sisi lain sungai, sosok kakek berdiri dengan wajah teduh dan mata yang bersinar. Ardan mencoba menyeberang, tapi air sungai tampak menahan langkahnya, setiap riak mengalir melawan gerakannya.

Kakek berbicara, tapi suaranya bukan suara yang terdengar dengan telinga, melainkan suara yang masuk langsung ke hati:

"Ardan, sungai ini adalah hidup, mengalir di antara dunia yang kau kenal dan dunia yang belum kau pahami. Setiap langkahmu di dunia nyata harus seimbang dengan langkah batinmu. Jangan biarkan kesibukan menutup mata dan hati."

Ardan merasakan air sungai yang menolak tubuhnya, seolah menguji kesungguhannya. Ia mencoba lagi, menatap kakek, dan mendengar kata-kata lain, seperti mantra yang menenangkan sekaligus menantang:

"Setiap manusia memiliki dua dunia: satu yang terlihat dengan mata, dan satu yang tersembunyi di balik tirai waktu dan alam. Jangan takut untuk menyeberang, tapi ingat, jangan tergesa-gesa. Hargai setiap arus, pelajari setiap riak, dan biarkan hatimu menjadi jangkar yang menuntunmu."

Angin malam mendorong Ardan ke tepi sungai, membuat rambutnya menari-nari, seolah ikut mengiringi ritme alam. Cahaya dari air sungai memantul ke wajahnya, menerangi ketakutan dan harapannya secara bersamaan. Ia merasakan keseimbangan yang aneh antara ketenangan dan kegelisahan, antara rindu masa lalu dan harapan masa depan.

Mimpi itu berlanjut, membawa Ardan ke dalam hutan di tepi desa. Pohon-pohon besar berdiri megah, daun-daun mereka berbisik seperti sedang berbicara dalam bahasa kuno yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa yang murni. Ardan berjalan perlahan, merasakan tanah lembap di bawah kakinya, aroma akar dan lumut menyatu dengan udara malam. Di tengah hutan, sebuah cahaya lembut menunggu, seolah pohon itu sendiri ingin menunjukkan jalan. Ardan merasakan bahwa di sinilah rahasia desa, rahasia leluhur, dan rahasia dirinya sendiri bersemayam.

Di momen itu, ia mendengar suara lain, lebih lembut, seperti bisikan perempuan yang tak dikenalnya. Suara itu menembus pikirannya, membuat hatinya bergetar, memperkenalkan konsep cinta yang tidak hanya fisik, tapi juga spiritual.

"Ardan, kau harus siap menghadapi takdirmu. Cinta bukan sekadar emosi; ia adalah jembatan yang menghubungkan dunia yang kau kenal dan dunia yang menunggu di balik tirai realitas. Jangan lari dari panggilan ini, meski kadang ia membawa kebingungan dan penderitaan."

Setiap kata membekas, setiap bisikan menjadi simbol, setiap riak air dan cahaya yang berpendar membentuk bahasa rahasia alam dan jiwa. Ardan sadar bahwa mimpi ini bukan sekadar bunga tidur; ini adalah awal dari perjalanan yang akan menantangnya untuk menyeimbangkan rasionalitas dan intuisi, kota dan desa, modernitas dan tradisi, cinta dan tanggung jawab.

Ia bangun ketika cahaya pertama fajar menembus celah jendela. Tubuhnya lelah tetapi jiwanya segar. Rasa hangat memenuhi dadanya; malam itu ia telah menyentuh sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri—suatu dunia yang hidup di antara realitas dan mitos, di mana setiap arus sungai, setiap hembusan angin, dan setiap daun yang bergoyang memiliki pesan yang menunggu untuk dimengerti.

Sambil menyeduh kopi dan menyaksikan matahari perlahan muncul dari balik pegunungan, Ardan menulis catatan tentang mimpinya, mencatat setiap simbol, kata, dan rasa yang ia alami. Ia menyadari bahwa pesan-pesan ini adalah instruksi yang terselubung, panduan dari kakek dan alam, untuk menuntunnya menyeberangi dunia yang nyata dan magis.

Sepanjang malam dan pagi itu, ia mulai merasakan keterhubungan dengan desa yang jauh lebih dalam. Hembusan angin membawa bisikan-bisikan halus, setiap daun yang jatuh menjadi bahasa simbolik, dan suara burung seperti menyampaikan mantra alam. Ardan memahami bahwa mimpinya adalah jembatan antara logika dan intuisi, antara pengetahuan dan kebijaksanaan, serta antara cinta dan tanggung jawab.

Di penghujung subbab ini, Ardan duduk di tepi sungai, menatap air yang berkilau di bawah cahaya fajar. Ia merasakan getaran yang mengalir melalui tanah, air, dan udara, sebuah simfoni kehidupan yang mengajarinya tentang kesabaran, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap alam. Malam dan mimpi itu menjadi fondasi awal dari perjalanan spiritual, emosional, dan filosofisnya, mempersiapkannya untuk penemuan rahasia desa dan interaksi dengan dunia magis yang menunggu.

1.3 Fajar dan Awal Penemuan Rahasia Desa

Fajar pertama di desa menyapa Ardan dengan cahaya lembut yang menembus celah-celah jendela rumah kayu tua. Udara pagi masih basah oleh embun yang menempel di dedaunan dan tanah, menyelimuti rumah dengan aroma segar yang menenangkan. Ardan membuka mata perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah tetapi jiwanya ringan, seolah mimpi semalam telah memberikan energi baru. Suara burung-burung menyanyikan lagu-lagu yang riang, gemerisik daun yang tergoyang angin pagi, dan aroma tanah basah menciptakan simfoni yang menyambutnya kembali ke dunia nyata, namun dunia yang kini terasa lebih luas dan penuh misteri.

Ia bangun, menyalakan lampu minyak, dan menyeduh kopi tradisional yang aromanya menembus ruangan. Setiap hirupan memberikan rasa hangat dan kesadaran baru, menghubungkan dirinya dengan akar desa dan kakeknya. Pandangan Ardan tertuju pada lukisan tua di dinding, potret kakeknya dengan ekspresi serius namun penuh kelembutan. Ia menyadari bahwa lukisan itu seakan menunggu untuk diceritakan, seperti mengingatkan bahwa rahasia desa tidak hanya tersimpan di sungai atau hutan, tapi juga dalam setiap benda yang ada di rumah tua ini.

Setelah sarapan sederhana, Ardan berjalan keluar. Embun masih menempel di rerumputan, dan tanah basah menempel di sepatu kayunya. Ia menatap sungai dari kejauhan, memerhatikan kilauan air yang kini memantulkan cahaya fajar. Sungai ini tidak lagi hanya menjadi kenangan masa kecilnya; kini ia terasa hidup, seakan menunggu untuk diajak berbicara, untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi di alirannya. Di tepian sungai, ia menemukan jejak kaki yang asing—lebih kecil dan lebih ringan, seperti milik seorang anak muda yang bergerak lincah. Ardan menunduk, memperhatikan jejak itu, dan merasakan campuran penasaran dan rasa hormat. Jejak itu seolah mengundangnya untuk mengikuti, menelusuri misteri desa yang baru akan terungkap.

Di tengah perjalanan pagi, Ardan bertemu dengan Pak Tirta, tetua desa yang bijak dan dikenal sebagai penjaga legenda desa. Pak Tirta menyapa dengan senyum hangat, matanya memancarkan ketenangan dan kedalaman yang memikat.

"Selamat pagi, Ardan. Sepertinya sungai telah memilihmu untuk kembali," kata Pak Tirta.

"Sungai memilihku?" tanya Ardan, nada suaranya campur aduk antara penasaran dan bingung.

"Iya, sungai dan hutan desa ini memiliki cara sendiri untuk berbicara. Mereka mengenal siapa yang datang dan siapa yang siap mendengar," jawab Pak Tirta, matanya menatap jauh ke arah sungai.

Ardan merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Kata-kata Pak Tirta seperti mantra, membuka mata batinnya untuk memahami desa bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai dunia magis yang berinteraksi dengan setiap jiwa yang datang. Ia menyadari bahwa setiap langkahnya di desa kini bukan sekadar berjalan di tanah; setiap langkah adalah dialog dengan alam, dengan roh-roh leluhur, dan dengan bagian terdalam dari dirinya sendiri.

Melanjutkan perjalanan, Ardan menemukan pohon tua di tepi hutan, akar-akarnya menembus tanah seperti menahan rahasia yang telah berabad-abad tersimpan. Ia menyentuh kulit pohon, merasakan getaran halus yang mengalir melalui tangannya. Di sinilah ia pertama kali merasakan adanya koneksi antara alam dan dirinya, pengalaman yang tak bisa dijelaskan dengan logika semata. Getaran itu mengajarinya tentang kesabaran, penghormatan, dan keseimbangan antara manusia dengan alam. Ia berdiri sejenak, memejamkan mata, membiarkan kesadaran dirinya menyatu dengan ritme napas pohon, desah angin, dan riak air sungai.

Di dekat pohon, Ardan menemukan gulungan kertas tua yang setengah terkubur di tanah. Gulungan itu terikat dengan pita yang sudah pudar warnanya. Dengan hati-hati, ia membukanya dan membaca tulisan yang hampir pudar. Tulisan itu adalah petunjuk dari kakeknya, mengenai lokasi simbol-simbol kuno desa, cerita-cerita roh leluhur, dan ritual yang hanya bisa dipahami melalui pemahaman hati dan kesadaran spiritual. Ardan tersenyum dan merasakan getaran hangat di dadanya; perjalanan mistis yang dimulai semalam kini menemukan titik awalnya secara nyata.

Sepanjang pagi, Ardan menjelajahi desa, memperhatikan setiap detail yang sebelumnya tampak biasa. Setiap batu, daun, dan riak air sungai kini memiliki makna tersendiri. Ia mencatat setiap simbol, setiap bisikan alam, dan setiap interaksi dengan penduduk desa. Mulai dari gerakan tangan seorang wanita tua menepuk meja sambil mengucapkan mantra halus, hingga cahaya yang menembus celah atap rumah tua yang membentuk pola-pola simbolik di lantai, semuanya seakan memberi petunjuk dan membimbing Ardan dalam memahami rahasia desa.

Ia menemukan bahwa setiap elemen desa memiliki peran filosofis: sungai adalah arus kesadaran, pohon adalah kesabaran yang teguh, dan rumah tua adalah ruang memori kolektif yang menghubungkan generasi. Dialog dengan Pak Tirta menekankan kesadaran Frommian tentang kebutuhan manusia untuk memiliki hubungan autentik dengan lingkungan dan sesamanya, sementara pengalaman mistis yang ia alami menegaskan Marcusean tentang kemampuan manusia untuk menemukan kebebasan melalui imajinasi dan kesadaran kritis.

Di penghujung pagi, Ardan duduk di tepi sungai, memikirkan pesan dari mimpi semalam dan pertemuannya dengan Pak Tirta. Ia mulai menyadari bahwa desa ini bukan sekadar rumah masa kecilnya, melainkan panggung untuk memahami kehidupan, cinta, dan hubungan antara manusia dengan alam serta dimensi lain. Sungai, hutan, pohon, dan rumah tua semuanya adalah guru, mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan kepekaan terhadap dunia yang tidak terlihat.

Ia menulis catatan di buku hariannya, memetakan simbol-simbol yang ditemukan, dan merenungkan pesan-pesan dari kakeknya. Getaran energi yang mengalir dari alam seakan menguatkan kesadaran batin Ardan bahwa perjalanan ini adalah panggilan spiritual dan filosofis. Ia menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah latihan untuk menyeimbangkan intuisi dan rasionalitas, dunia nyata dan dunia magis, serta tanggung jawab terhadap diri sendiri dan komunitas.

Seiring fajar semakin tinggi, Ardan menyadari bahwa ia telah memasuki fase baru dalam hidupnya: fase di mana setiap tindakan, setiap pengamatan, dan setiap hubungan menjadi bagian dari pembelajaran yang lebih besar. Ia merasakan bahwa sungai, hutan, pohon, dan rumah tua bukan sekadar latar, tetapi tokoh aktif dalam kisahnya, membimbing dan menantangnya untuk membuka mata batin dan hati terhadap realitas yang lebih luas.

Pagi itu menjadi awal dari serangkaian penemuan yang akan mengubah hidup Ardan: rahasia leluhur, legenda desa, dan interaksi magis dengan alam yang membimbingnya dalam perjalanan spiritual, emosional, dan filosofis yang mendalam. Setiap langkah, setiap nafas, dan setiap tatapan adalah pembelajaran, membuka mata Ardan terhadap kenyataan bahwa cinta, keberanian, dan pengetahuan tidak hanya ditemukan di kota, tetapi di antara riak sungai dan bisikan angin desa yang abadi.

Ardan menatap matahari yang mulai menanjak, cahaya pagi yang hangat menyentuh wajahnya, dan merasakan energi kehidupan yang mengalir melalui dirinya dan desa. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan, dan sungai, hutan, pohon, rumah tua, serta pesan-pesan kakek akan terus menjadi panduan dalam menghadapi misteri, folklore, dan hubungan magis yang menantinya. Dengan penuh kesadaran, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan cahaya, udara, dan energi alam menyatu dengan jiwanya, menandai awal dari babak baru yang akan menuntun Ardan di antara dunia nyata dan dunia magis desa.


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C1
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión