Biar Aku Memujamu
Kadang aku bertanya dalam diam: apakah aku sedang menggenggam sesuatu yang memang tak seharusnya kugenggam? Ataukah ini hanya fase berat dari harapan yang sebenarnya layak diperjuangkan?
Jika Malhamah adalah gabungan antara tindakan negatif dan positif dalam satu waktu, maka bukankah aku juga demikian—merasakan kesenangan dan kesedihan dalam waktu yang bersamaan? Hidup memang seperti roda, katanya. Ada saat di atas, ada pula di bawah. Tapi bagaimana jika atas dan bawah itu hadir bersamaan? Bagaimana jika roda itu tak lagi berputar karena sisi atas dan bawahnya berhenti berganti? Maka perjalanan pun berhenti. Begitu pula denganku.
Aku selalu bahagia saat bersamamu. Saat melihat wajahmu, mendengar suaramu, bahkan sekadar mengetahui bahwa kamu masih bernapas di bumi yang sama denganku—itu sudah cukup membuat hariku terasa lengkap. Masalah yang datang silih berganti, selalu kuanggap hanya seperti debu yang bisa kubersihkan kapan saja.
Mungkin, aku hanya seseorang yang terlalu keras bertahan di tempat yang perlahan-lahan membuatku kehilangan arah. Tapi entah kenapa, aku masih di sini—antara Tamanni dan Tarroji. Masih bertanya-tanya, apakah kamu adalah harapan yang layak diperjuangkan, atau hanya sekadar keinginan yang tak pernah bisa benar-benar terjadi.