Download App
84.21% "TRUSTED MAN"

Chapter 16: Chapter 16

***

"Biasanya saat dia pulang, dia akan menahan kami selama lima belas menit supaya tidak ada yang berusaha mencari tahu dimana rumahnya"jelas Marco

Dixie mendengarkan Marco sambil saling menepuk kedua telapak tangannya untuk menyingkirkan remah-remah roti yang menempel. Sesekali ia mengangguk dan mengerutkan dahi tanda berpikir. Mendiskusikan dalang kejahatan yang menimpa Dixie, Dionne dan Marco menjadi hal yang sangat intens diantara mereka saat ini.

"Berarti dalam hal mengikuti secara langsung kita tidak dapat kesempatan" ucap Edith.

"Bagaimana kalau memasang penyadap, apa kira-kira kau bisa mendapatkan kontak dengan dia untuk memasang penyadap, on his jacket maybe?" tanya Dixie.

"Umm, biar kucoba dulu" pinta Marco sebelum memastikan.

"Ah satu lagi, orang ini punya tipe suara yang huge low-pitched voice" tambah Marco.

"Itu akan membantu. Kerja bagus" puji Dixie dibalas senyuman dari Marco.

"Apa kau tidak tahu tempat tinggal orang itu?" tanya Edith

Benar, kenapa aku tidak menanyakan tempat tinggalnya saja? alih-alih menanyakan wajahnya gumam Dixie

"Setelah dipikir-pikir, jika dia menahan kami  selama sepuluh menit, dengan memperhitungkan lama tempuhnya berarti kemungkinan tempat tinggal dalang itu didekat rumah berpagar tinggi yang sering aku kunjungi" terka Marco.

"Didekat tempat kita berjumpa?"tanya Edith memastikan.

"Ya, aku pernah izin buang air saat dia akan pulang, jadi aku sempat melihat dia mengambil arah barat untuk pulang, aku sudah pernah mengecek arah timur hingga keujung, tidak ada perumahan disana" tutur Marco memberi penjelasan.

"Bukankah kalian berjumpa didekat rumah Gano?" kali ini Dixie yang bertanya.

Edith mengangguk

"Jadi dia tinggal di sekitar daerah rumah Gano?"

***

"Apa kau memang tidak ada rencana menikah? Atau memiliki anak?" tanya Dawn pada Gano.

Gumaman Gano sesekali membelah suara pancuran air di tengah taman yang dipenuhi rumput hijau yang tumbuh rapi itu. Kursi besi yang dicat  putih dengan pegangan terbuat dari kayu menjadi tempat duduk Dawn dan Gano bercengkerama.

"Setidaknya sekarang tidak, bisa saja nanti aku berubah pikiran"

Dawn mendengus.

"Menikah? Kau akan terikat pada satu wanita saja. Memiliki anak? Kau juga sama terikatnya, ketika kau ingin menikmati kebebasan pasti sangat mempengaruhi kehidupan anakmu, harus berhati-hati setiap saat supaya tidak mempermalukan anakmu" tambah Gano memberikan alasan.

"Dasar manusia bebas, ketika kau memutuskan menikahi seseorang kau bukan terikat, tapi kau jadi memiliki seseorang yang selalu mendukungmu, bukan memerintahmu untuk tidak melakukan ini dan itu, kalian akan saling memberikan saran satu sama lain juga mencari solusi bersama-sama"

Woah, apa yang baru saja bicara itu aku? pekik Dawn dalam hati, terkejut akan apa yang dirinya sendiri katakan.

"Just like Edith, you're so sick of love" ledek Gano menyuarakan pendapatnya.

Tak merasa kesal, Dawn malah menjulurkan lidahnya kepada Gano menandakan bahwa ia terima saja dengan perkataan sahabatnya itu.

***

"By the way, kau sudah tamat bersekolah?" tanya Dixie hati-hati memulai percakapan

Setelah Edith pergi keluar sebentar, Dixie memutuskan menonton televisi saja mengisi akhir pekan yang membosankan. Luckily, ada Marco, setidaknya sedikit lebih baik daripada termenung sendirian diapartemen itu.

"Ya, aku bahkan sudah menyelesaikan pendidikan tinggiku"jawab Marco.

"Lalu kenapa tidak mencoba mencari lowongan pekerjaan yang sesuai alih-alih bekerja ditoserba?"

"Dan mencuri?" gurau Marco menambahkan.

"I didn't mean it like that" sanggah Dixie

"I know, i'm just kidding. Melakukan pekerjaan itu tidak seperti mengikuti arahan seorang chef, bila mau langsung dikerjakan sesuai resep yang ada , karena resumenya cocok, bukan berarti langsung bisa aku ambil, dunia kerja lebih sulit dari yang kita bayangkan"

"Well, aku juga tidak ahli dalam hal ini, dulu aku bermimpi akan mengenyam pendidikan setinggi mungkin, tetapi pupus setelah tragedi yang menimpa Gail, sekarang aku hanya bekerja mengurus toko bunga yang saudariku tinggalkan itu"ucap Dixie membenarkan

"Sama-sama miris bukan? Aku sudah menyelesaikan studiku tetapi sulit mendapatkan pekerjaan bahkan sampai mencuri, kau bercita-cita mengambil pendidikan tinggi tetapi harus kandas karena sebuah tragedi"

"Um, hope things get better"

Marco mengangguk-angguk

***

Semilir angin mengibaskan rambut Dixie yang terurai sehabis keramas. Pola-pola tertentu dari cahaya matahari yang melewati celah-celah pohon tercetak dipakaian Edith dan Dixie yang sedang bersantai.

"Omong-omong Kyle pergi kemana? Bersembunyi lagi?" tanya Dixie penasaran tak melihat kehadiran Kyle seharian diapartemen Edith.

"Membereskan masalah romansa, sudah pernah dikhianati, dia malah terjebak di sebuah platonic relationship" keluh Edith heran dengan temannya yang satu itu.

Dixie hanya membalas keluhan itu dengan tawa.

"Dix, apa tidak ada jejak lain yang tertinggal dilokasi kejadian Gail?"

"Ada, sebuah rak yang penuh dengan sepatu. Semuanya memiliki ukuran yang berbeda. Sepertinya bedebah itu sengaja membuat kita bingung"

Dixie meletakkan gelas yang tinggal terisi setengahnya itu.

"Hufft, psikopat seperti itu pasti akan berpikir membunuh seseorang adalah perjuangan dan hasil jerih payah untuk mempertahankan posisinya" tambah Dixie

Edith tak membalas, sibuk menatap layar laptop yang menampilkan banyak data.

"Apa kau memasang pelacak diponsel Marco?"

Edith mengangguk.

"Kita tidak seharusnya mempercayai siapapun, kau juga bisa tidak mempercayaiku" jelas Edith

"Omong kosong macam apa itu?" komentar Dixie keberatan.

Jika ada seseorang yang sangat ia percayai saat ini, orang itu tentulah Edith. Tidak ada orang yang lebih patut diberikan kepercayaan sebesar itu selain pada Edith.

"Kenapa? Karena kau tidak mungkin mencurigai kekasihmu?" Goda Edith

Dixie tergagap dengan wajah merona.

"By the way, bisakah kau tidak meninggalkan pakaianmu diapartemenku, ada yang sangat mengganggu" pinta Edith

"Apa kau sedang mengusir dan melarangku datang?"

"Aish, aku hanya mengingatkanmu, malah kau kira mengusir"

Dixie terkekeh mengingat kecerobohannya itu.

"Apakah tidak ada jalan yang lebih baik daripada membunuh mereka?" tanya Dixie kembali pada ekspresi serius.

"Maksudmu mengalahkan mereka tanpa mengotori tangan kita?"

"Ya, misalnya mengadu-domba Brown, Korsakov dan komplotannya"saran Dixie

Bunyi dering ponsel Edith menghentikan sejenak pembicaraan mereka.

Marco's calling

"Halo, ada apa tuan berumah dua?"sapa Dixie merebut ponsel Edith karena ponsel itu lebih dekat dengan tempat duduknya.

"Aku baru saja menguping pembicaraan komplotan itu. I didn't heard the entire thing but i think i found something really important"

Marco mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Pesan yang pernah kau tunjukkan padaku, dia menyatukan semua itu dalam satu buku, wah dia benar-benar gila, kalau pembunuh memiliki jurnal pembunuhan, dalang yang satu ini malah menyimpan jurnal ancaman. Satu lagi,setiap pesan yang ia kirim selalu ada kalimat wanna play game. Hanya itu Dixie, aku akan menceritakan lebih lanjut setelah berjumpa dengan kalian" Marco memutuskan sambungan, sepertinya lelaki itu sedang terburu-buru karena takut ketahuan.

Edith tertawa sinis.

"Apa bajingan itu sedang melucu?

Wanna play a game with me, your ass" ujar Edith kesal

"Sepertinya dia suka bermain-main.

Kenapa tidak memilih menjadi penjaga wahana bermain saja? Terdengar lebih cocok. Ah, bahkan lebih cocok dipermainkan ketimbang bermain-main" tambah Dixie

🦋27 Juli 2020🦋


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C16
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login