Download App
83.33% (IN) SIDE

Chapter 10: Terbangun Kembali

Semilir angin menerbangkan gorden tipis dari jendela yang terbuka setengah. Angin sore hari mengusik pemuda yang terlelap di atas ranjang usang. Pemuda itu sedikit terusik karena angin menyusup menggelitik pori-porinya.

Sukses terbangun karena rasa dingin menerpa tubuh bagian atasnya yang polos. Nathan sadar ia tengah bertelanjang dada. Dengan hanya mengenakan celana seragamnya. Bercak tanah yang telah mengering tercetak pada ujung celana. Tak begitu terlihat karena celananya berwarna biru gelap. Ada sebuah sobekan mengoyak ujung celana. Menambah kelusuhan.

Kembali ia merasakan pening mendera seluruh kepalanya, bukan hanya migrain biasa. Pusing yang membuat isi perutnya terdorong naik. Menyusuri organ pencernaannya, memaksa untuk keluar dari tenggorokan. Ini sangat menyiksa.

Bergegas walau sempoyongan namun ia berusaha menjangkau pintu kamar mandi. Merangsak masuk dengan nafas tersenggal dan wajah yang pucat pasi.

Menenggelamkan wajahnya kedalam kloset, menumpahkan seluruh isi perut yang tadi berlomba keluar. Namun nihil, hanya ada air yang keluar dari tenggorokannya. Tak peduli seberapa mual dirinya, apa yang ia muntahkan tak lebih dari membuang cairan.

Beberapa waktu terasa begitu menyakitkan baginya. Satu detik terasa seperti berjam-jam lamanya. Tubuh kurus mencoba melawan siksaan yang muncul dari dalam. Tepatnya berasal dari isi kepalanya. Memproyeksi ka.n hal-hal buruk yang menjadi momok menyeramkan ketika bangun dari tidur.

Seberapa keras Nathan menahan semua rasa sakit, namun itu tetap tak berhasil mengatasi penyakit yang menggerotorinya perlahan. Membunuhnya pelan - pelan hingga ia lupa cara untuk hidup.

Tangan kurus memijit pelipis yang menjadi asal rasa sakit. Getaran aneh kembali ia rasakan begitu matanya mencoba terpejam. Bayangan akan mimpi buruknya tadi benar-benar begitu nyata. Suara teman-temannya bergaung dengan begitu jelas. Mereka seakan berada disekitarnya namun tak kasat mata.

Begitu pula dengan wujud Dean yang ia lihat berdiri di ujung terowongan. Entahlah ia tak tahu harus mennyebut sosok itu sebagai temannya ada monster yang menyerupai Dean. Hanya satu yang ia tahu, rasa sakit ketika melihat Dena terjatuh ke jurang benar-benar ia rasakan hingga detik ini. Atau mungkin itu penyebab semua rasa mual tadi.

Mengecao sekali membasahi bibir tipis yan telah kering. Mengeluarkan semua cairan dalam perutnya berarti telah kehilangan penyeimbang tubuhnya. Menjadikan kerongkongannya serak.

Tubuh kurus berjalan lunglai keluar dari kamar mandi sempit ini. Mencari segelas air atau apapun untuk membasahi kerongkongannya.

Bertelanjang kaki menyusuri ruangan berpetak sempit, tak butuh waktu lama unntuk sampai didapur. Ah, bahkan ruangan ini tak layak disebut dapur karena tak mempunyai peralatan yang mendukung. Begitu juga dengan makanannnya.

Tangan kurusnya langsung mengambil botol mineral. Menenggak habis isi didalamnya. Nathan sangat kehausan. Ia seperti telah berlari ratusan kilometer panjangnya tanpa istirahat dan minum. Pegal menyelimuti kaki kurusnya. Sekali lagi, ia tak tahu bagaimana dirinya berakhir kembali di atas ranjang.

Seperti biasa, penyakitnya kambuh lagi. Membuat Nathan melupakan beberapa hari kebelakang. Hal terakhir yang ia ingat adalah tangannya terluka akibat menahan kaca tajam yang hendak menghunus Wyatt.

Kini sebuah perban tampak melilit pergelangan tangannya yang terluka. Rasa perih tak lagi muncul. Nathan tak bisa menghitung seberapa lama ia melupakan hari. Sehari ? seminggu? sebulan ? . Semoga saja hanya terlupa beberapa hari saja.

Akan sangat bahaya jika ingatannya terhapus cukup lama. Butuh banyak waktu untuk menyusun kepingan - kepingan hal dan kegiatan. Apalagi jika menyangkut kesalahan yang mungkin saja ia lakukan pada anak - anak berkuasa disekolahnya tanpa sadar.

Nathan bisa saja memanggil Wyatt. Pemuda berambut pirang yang bisa menghabisi seluruh pasukan preman di sekolahnya. Namun untuk apa ? ini sama sekali tak membantu dan justru menambah masalah. Mengorbankan teman-temannya merupakan hal rendahan yang hanya dilakukan oleh sampah.

Nathan memang pecundang, tapi ia bukanlah sampah. Teman-temannya sangat berharga lebih dari apapun. Mereka satu-satunya keluarga yang ia miliki. orang - orang yang menganggap keberadaanya nyata.

Jika memikirkan semua itu, rasa sakit yang menjalari tubuhnya perlahan menghilang. Lenyap tanpa bekas bagaikan tersihir.

Mata sayu itu menatap seluruh ruangan. Ingatannya memang hilang, tapi Nathan jelas sadar jika ia tak serajin itu untuk merapikan ruangan tempat tinggalnya. Bersekolah, dipukuli, pulang. Begitu terus hari-harinya diisi. Tubuh kurus yang terlanjur lemas karena kelelahan menjadikannya tak sempat merapikan tempat tinggal.

Semilir angin menggelitik permukaan kulit penuh lebam. Gorden lusuh terlihat melambai-lambai tertiup angin. Benar, tadi Nathan belum sempat menutup lagi jendela yang terbuka.

Tanpa berasalkan apapun telapak kakinya melangkah menapaki lantai ruangan sedingin es. Hampa terasa disetiap kakinya terhentak. Derap kaki kurus menjadi melodi yang mengiringi kesunyian. Tak ada satupun suara yang lebih keras dari langkah kakinya.

Jemari putih pucat menyentuh permukaan kaca jendela. Hembusan angin semakin jelas menerpa tubuh tak berbalut pakaian. Dingin, tapi rasa ini lebih baik daripada dingin yang ia rasakan di dalam terowongan gelap di mimpinya.

Entah apa arti dari semua mimpi berulang yang ia alami. Apakah ada arti dibaliknya, atau hanya bunga tidur biasa. Semakin dipikirkan semakin terasa berputar kepalanya.

Pandangannya mulai kabur. Nathan sebisa mungkin berpegangan pada tepi jendela. Berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang masih lunglai.

"Ughh.. sial"

Semua rasa menyakitkan ini pasti karena ia tak mengkonsumsi obat lagi. Nathan pikir ia mulai terbiasa untuk tak menenggak butiran pahit berwarna biru itu. Selain rasa pening tak separah dulu, tingkat lupa ingatannya juga lebih baik.

Sayang, tubuhnya berkata lain. Kesembuhan yang ia harapkan tak berjalan sesuai rencana. Belum lagi dengan luka-luka yang tertinggal ditubuhnya. Lama-kelamaan tubuhnya akan dipenuhi dengan goresan dan perban.

Saat itu terjadi orang yang akan meledeknya adalah Jeremy. Pemuda berdarah Jerman itu pasti berkontribusi meledeknya habis-habisan.

'Tokk..Tokk..Tokk'

Nathan sontak menoleh pada pintu. Menajamkan telinganya agar lebih jelas menangkap suara yang tadi ia dengar. Hening, mungkinkah tadi hanya perasaannya saja ?

Tokk... Tokk.. Tokk..

Ah sepertinya tidak. Ada seseorang dibalik pintu lusuh itu. Menanti untuk dibukakan.

Nathan berniat menutup jendela, hingga sudut matanya menangkap seseorang yang terlihat menatap kearahnya. Ia lalu berhenti sejenak, memfokuskan pandangannya ke bawah. Tepatnya pada pertokoan yang dilalu beberapa pejalan kaki.

Aneh, ia tak mendapati sesuatu atau seseorang yang mencurigakan. Sudut mata bisa saja salah menangkap. Seperti seseorang yang menyatakan dirinya melihat bayangan hitam lewat sekelebat, namun hanya sebuah firasat semata.

Mungkin kepalanya masih belum beres hingga memproyeksikan sesuatu yang tak nyata. Setelah ini Nathan akan segera membeli obat memuakkan itu. Memaksa menenggak lebih baik daripada ia tersiksa oleh sakit yang tak tertahankan.

"Iya sebentar.."

Jendela sukses menutup setelah Nathan pastikan jika terkunci dengan rapat. Pemuda itu bergegas mengambil pakaian apapun untuk menutupi tubuh putih pucatnya.

Jika diperhatikan lagi, otak cukup baik merespon keadaan disekitarnya. Seperti seseorang yang bersembunyi dibalik bilik telepon umum. Menatap lurus pada bangunan kumuh diseberangnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C10
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login