Download App

Chapter 3: Integritas Moral

Dia menundukkan kepalanya dengan sedih. Pikirannya kembali ke kejadian malam kemarin ketika dia sedang mabuk dengan teman-temannya.

"Hei, ada apa denganmu?" Seorang pria muda dengan pakaian formal menepuk punggungnya. "Kamu minum begitu banyak hari ini. Apa ada masalah?"

Ariana atau yang mungkin harus kita sebut dengan Arie Pramana tersenyum pahit. "Apa kamu tidak mendengarnya? Keluargaku bangkrut, ayahku berada di penjara karena kasus korupsi, dan ibuku mengalami depresi. Brian, aku hancur!"

Pria yang mengenakan pakaian formal, Brian, menatap Arie yang mabuk. "Aku mendengar berita itu pagi ini," ucapnya.

Arie meletakkan kepalanya di meja dengan malas. "Aku tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang, tidak punya pekerjaan..." gumamnya. "Oh, apakah ini berarti aku akan mati kelaparan?"

"Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan?" tanya Brian menyarankan.

"Pekerjaan?" Arie tertawa. "Pekerjaan apa? Aku tidak memiliki kemampuan apapun. Yang aku bisa hanyalah bermain, mabuk, menghabiskan uang..."

Brian tiba-tiba menyentuh wajah Arie dengan lembut, membuat Arie terkejut meskipun dia setengah tidak sadarkan diri.

"Kamu memiliki wajah yang terlalu cantik untuk seorang pria," komentarnya. "Aku rasa aku tahu apa yang bisa kamu lakukan."

Arie memejamkan matanya dengan frustasi saat mengingat kejadian itu. Ya, dia dijual ke tempat ini oleh temannya sendiri! Pria bajingan itu kebetulan merupakan teman pemilik klub ini dan dengan santainya mendadani dirinya sebagai seorang gadis!

Kalau saja dia tidak mabuk... dia mungkin tidak akan pernah menandatangani kontrak dengan setan itu!

Arie mendesah saat mengingat jumlah yang ditawarkan oleh Brian. Itu jumlah yang tidak sedikit dan bisa menghidupinya dengan baik. Tapi... apa mereka pikir dia akan membuang integritas moralnya hanya karena uang, hah?!

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ariana yang merasakan perubahan emosi Arie.

Arie menggeleng cepat. "Aku baik-baik saja," jawabnya lembut lalu bergeser semakin dekat dengan 'pria' di sampingnya.

Ya, dia akan membuang integritas moralnya demi uang!

Arie menangis dalam hati sambil merutuki dirinya sendiri dengan sedih.

Ariana menatap 'gadis' di sampingnya dengan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Dia hanya duduk di sampingnya dan tiba-tiba terlihat depresi...

Dia menggeleng pelan. Yah, gadis-gadis memang sulit dimengerti...

***

Ariana menatap ke sekelilingnya yang sepi dan mendesah lega. Dia menyentuh perutnya yang terasa sakit sejak tadi. Yohanes sialan itu terus berbicara dan tidak membiarkannya pergi dengan mudah. Apa dia tidak melihat ekspresinya yang memburuk?

Ariana meringis saat merasakan nyeri yang semakin intens. Dia duduk berjongkok di sudut yang tersembunyi sambil menunggu Liam.

Pria itu yang seharusnya menunggunya di sini. Tetapi, sekarang dia yang harus menunggu karena pria itu menghilang entah kemana. Uh, kemana perginya dia?

Arie yang lewat tidak sengaja melihat pemandangan ini dan alisnya berkerut. Apa yang terjadi pada pria itu? Sejak di dalam ruang pribadi tadi, dia mengamatinya dan melihat wajahnya yang samar-samar memucat. Apakah dia sakit?

Dia bingung harus membantunya atau tidak. Saat dia sedang berpikir keras, dia melihat 'pria' itu tiba-tiba menekan perutnya dengan raut wajah kesakitan.

Arie dengan cepat bergerak menghampirinya tapi sebelum dia bisa mendekat, dia melihat seorang pria tinggi berkacamata muncul dan berbicara dengan ekspresi cemas.

Arie menatap mereka berdua dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa itu? Mereka terlihat begitu dekat. Apa jangan-jangan...

Jiwa penggosip Arie terbangun.

"Hei, cantik, apa yang kamu lakukan di sini?" Seorang pria paruh baya yang terlihat asing tiba-tiba menghalangi pemandangan Arie. "Kamu sendirian? Bagaimana kalau kamu menemaniku?"

"Hah? Ma... maaf?" ucap Arie gugup. Dia melirik ke tempat Ariana dan melihat tempat itu kosong. Woah, kemana Mr. White pergi?

***

Liam melihat Ariana yang berbaring di kursi belakang mobil dari kaca spion. "Apa itu masih terasa sakit?" tanyanya.

"Hmm."

"Mungkin kita harus membawamu ke dokter," ucap Liam. "Sepertinya nyerimu semakin lama semakin parah."

Liam menunggu tapi tidak kunjung mendengar jawaban dari Ariana. Dia menoleh ke belakang dan melihat Ariana yang terpejam.

"Ari?" Liam memanggilnya sekali lagi tapi Ariana masih menutup matanya.

Dia buru-buru menghentikan mobilnya di tepi jalan dan berbalik menghadap Ariana. "Hei, bangun!" ucapnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ariana. "Apa kamu tertidur? Apa kamu pingsan?"

Ariana masih tak kunjung bergerak.

"Hei, kamu tidak mati, kan?"

"Kuburkan aku dengan Baby K jika aku mati," gumam Ariana lemah.

Liam menatap Ariana yang masih terpejam dan mendengus pelan. "Aku pikir kamu benar-benar mati."

"Oh, sayang, jangan terlihat begitu kecewa atau aku mungkin berpikir bahwa kamu tidak menyukaiku," ucap Ariana.

"Kamu masih bisa menggoda, huh? Aku pikir kamu tidak begitu sakit?"

Ariana cemberut. "Ini sakit. Ayo, pulang sebelum aku mati."

"Jangan menggunakan kematian sebagai lelucon," tegur Liam sambil menyalakan kembali mesin mobilnya. "Kamu memiliki selera humor yang buruk."

Ariana tertawa mendengarnya tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

***

Meira yang baru saja keluar dari laboratorium tidak sengaja berpapasan dengan Liam dan Ariana yang juga baru saja tiba.

"Ya Tuhan! Ari, apa yang terjadi padamu?!" pekik Meira saat melihat kondisi Ariana.

Ari meringis. "Meira, sakit..." keluhnya dengan manja.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan! Kemarilah!" Meira buru-buru membantu Ariana berjalan ke kamarnya.

"Apakah kamu meminum alkohol?! Sudah berapa kali aku katakan? Hindari alkohol saat sedang haid! Itu hanya akan membuatmu semakin sakit!" omel Meira.

"Hmm. Telingaku sakit," gumam Ariana dengan malas.

"Kamu..."

"Cukup! Cukup!" Liam memotong ucapan Meira sebelum gadis itu berhasil memberi Ariana ceramah. "Biarkan dia beristirahat."

Meira melirik Ariana dan menyadari wajah gadis itu sudah sepucat kertas. Dia mendesah lalu memberikan beberapa obat. "Minum ini dulu," ucapnya.

"Oh, terima kasih, sayang," ucap Ariana dengan senyuman lima senti.

Dia tidak akan terlihat seperti orang sakit kalau saja wajahnya tidak begitu pucat.

"Aku harus segera kembali ke laboratorium," pamit Meira saat mengingat sesuatu. "Beristirahatlah dengan baik."

"Hmm."

"Aku juga akan pergi," sahut Liam lalu berbalik mengikuti Meira.

Ariana mempertahankan senyumannya hingga pintu tertutup. Saat tidak ada seorang pun lagi yang melihatnya, senyumannya menghilang. Dia menatap sekelilingnya dengan tatapan suram. "Merepotkan," gumamnya lalu menatap obat di tangannya.

Setelah meminum obat yang diberikan Meira, Ariana bangkit dengan perlahan dan berjalan menghampiri cermin yang diletakkan di ruangan itu. Dia menatap cermin yang memantulkan sosok 'pria' serba putih dan hilang dalam pikirannya untuk beberapa saat.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Ariana tersentak saat mendengar suara seseorang di ruangan yang seharusnya kosong itu. Dia menatap cermin dan melihat bayangan Liam yang sedang berdiri sambil memegang gagang pintu.

Tatapan Ariana kosong untuk sesaat sebelum seringai lebar muncul di wajahnya. "Oh, aku hanya berpikir betapa tampannya aku," ucapnya sambil mengelus-elus wajahnya yang lembut. "Berapa banyak orang yang akan jatuh cinta padaku, huh?"

Liam memutar kedua bola matanya. "Tidak akan ada jika kamu tidak menghentikan kegilaanmu sesegera mungkin," ucapnya sinis.

Ariana tersenyum lalu berbalik menghadap Liam. "Omong-omong, aku rasa kamu melupakan sopan santun, huh? Masuk ke kamar seseorang tannpa menge..."

"Aku sudah mengetuk pintu untuk waktu yang lama," sahut Liam. "Kamu saja yang tuli."

"Oh?" Ariana mengangguk pelan, tidak mengejar masalah itu lebih jauh. "Lalu ada apa?"

Liam membenahi letak kacamatanya. "Penyusup," ucapnya singkat.

Ariana menaikkan alisnya, terlihat tertarik.

"Dia sepertinya tidak bermaksud untuk memasuki tempat ini," lanjut Liam. "Tapi itu tidak berarti bahwa kita akan melepaskannya begitu saja, bukan?"

"Jadi, kamu mengatakan bahwa keamanan markas kita yang 'katanya' tidak bisa ditembus oleh pembunuh bayaran internasional baru saja dilewati oleh seorang pejalan kaki?"

Liam merasa tidak bisa bernapas saat melihat aura membunuh yang dilepaskan oleh Ariana. Dia yakin bahwa gadis itu sedang tersenyum tapi kenapa...

"Ari... aku..."


CREATORS' THOUGHTS
Cloudland Cloudland

Setelah ragu mau buat cerita ini jadi genre Action 100% atau nggak. Akhirnya, aku putuskan buat melanjutkannya menjadi action comedy~

Yah, hidupku lelucon. Jadi, aku lebih suka buat komedi daripada adegan laga yang harus mikir. Eheheh~

P.s. Terima kasih sudah membaca!~

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login