Dengan suara yang masih bergetar, kucoba untuk melanjutkannya lagi.
"Aku pernah bertanya kepada Tuhan. Apa sebenarnya salahku, hingga dengan teganya membuatku seperti ini. Dan mengapa Ia mengirimkan seseorang seperti dia yang hanya membuatku menderita. Aku tahu, aku adalah salah satu dari sekian banyak hambanya yang merasakan betapa hebatnya rasa sakit hati itu. Tapi aku tidak pernah rela jika dia harus pergi, apalagi hidup bahagia bersama orang lain. Aku merasa hidup ini benar-benar tidak adil bagiku."
Suaraku masih bergetar dan air mataku sudah tumpah kemana-mana. Tapi setelah itu aku mulai diam. Menenangkan diri sendiri. Laki-laki disebelahkupun diam seribu bahasa. Mungkin ia merasa bersalah karna menanyakan sesuatu yang tidak pernah ia tahu akan seperti apa akhirnya.
Setelah terdiam begitu lama, aku mulai menghela napas panjang. Badanku yang tadi bergetarpun sudah mulai tenang kembali. Kurasakan laki-laki disebelahku juga ikut menghela napas. Dan akupun merasakan jika ia sedang memandang kearahku. Ia memperbaiki posisi dudukknya. Tangannya sudah dilepaskan dari bahuku. Seperti mencoba mempersiapkan pertanyaan untuk kesekian kalinya padaku. Aku sempat berpikir, berapa pertanyaan lagi yang harus aku jawab?
"Sebelumnya maaf mungkin aku telah lancang. Tapi apakah.. Apakah..?"
Dia berkata seolah-olah ragu dengan ucapannya. Aku menolehkan kepala memandang kearah wajahnya. Biasanya aku tidak pernah melakukan itu, tapi aku mulai membiasakan diri. Menunggu pertanyaan yang menggantung itu. Ia menoleh kearahku. Mata kami bertemu, tapi cepat-cepat ia mengalihkan tatapannya. Lalu menunduk. Kemudian melanjutkan pertanyaannya.
"Apakah... Apakah kau tidak pernah berpikir untuk.. Mencari pengganti dirinya?"
Ia berkata seolah-olah malu dengan pertanyaannya. Karna aku bisa melihat wajahnya terlihat memerah. Lalu ia menoleh kearahku. Mata kami bertemu. Lagi. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum. Meski sedikit malu-malu. Aku mengalihkan tatapanku. Menghela napas sebelum menjawab.