Download App
100% White Romance (Sudah Terbit) / Chapter 3: Part 3

Chapter 3: Part 3

`````Hajoon terlihat tampan dengan setelan jas berwarna biru tua dan kemeja hitam ngepas yang terlihat dari sela jasnya. Lengkap dengan dasi hitam dan sepatu kulit mengkilat yang juga berwarna hitam. Jam tangan tampak di pergelangan tangannya, sedikit tertutupi lengan kemejanya. Pagi itu rambutnya tak terlalu rapi, ia hanya mengeringkannya tanpa sempat merapikannya. Hal hasil poni menutupi keningnya. Lalu mengapa begitu? Karena ia telat istirahat hingga bangun kesiangan. Dan mengapa ia bisa sampai telat? Ya karena Wanita itu. Yang tengah asik duduk dibangku penumpang bagian belakang dengan sandwich yang tadinya ia beli di tengah perjalanan.

"Tuan, bukankah hari ini kau tidak memiliki jadwal apapun?" tanya Yongsup memecah keheningan didalam mobil itu. Yang tengah meluncur santai menuju perusahaan milik Hajoon.

"Hmm."

Sembari membaca email dari tablet, ia melanjutkan. "Hyung, nanti bawa dia menemui temannya. Kopernya harus segera diambil."

"Baiklah."

Yongsup dan kembali serius menyetir. Sedangkan Je Ah, Wanita itu masih fokus pada sandwichnya.

Mereka tiba di kantor dan Yongsup lebih dulu menurunkan Hajoon di pintu masuk. Setelah itu mobil kembali meluncur menuju parkiran di basement. Usai itu, bersama Je Ah, mereka melangkah bersama masuk kedalam kantor.

Mereka menaiki lift khusus yang hanya bisa dinaiki oleh Hajoon dan petinggi lainnya. Memang kini Je Ah tampak kacau, tapi tidak membuat orang lupa padanya. Ya, seluruh karyawan disana sudah sangat mengenal Je Ah. Sahabat sang Direktur. Tidak ada yang menatap aneh padanya, malah tersenyum ramah menyambut kedatangannya. Sesungguhnya Je Ah sudah banyak membantu mereka. Membantu? Ya, membantu mereka dalam menghadapi sang Direktur yang luar biasa dingin itu.

"Kau orang pertama yang berpakaian seperti ini disini." Gumam Yongsup yang dapat Je Ah dengar dengan jelas. Mereka melangkah bersama keluar dari lift.

"Aku tidak peduli."

"Oppa, bagaimana kabar anakmu?" Tanya Je Ah ketika mereka melewati sebuah koridor yang memperlihatkan kesibukan para karyawan.

"Masih nakal sepertimu." Je Ah langsung tertawa mendengarnya.

"Aku benar-benar berharap putraku tumbuh menjadi manusia yang berguna. Tidak sepertiku."

"Memangnya kau kenapa?"

"Aku ini hanya seorang sopir, Kau kan tahu itu."

"Lalu? Apa yang salah?"

"Aish. Apa kau ingin anakmu juga menjadi seorang sopir?!" Menepuk kepala Je Ah pelan.

"Bukan begitu.. Maksudku. Tidak ada yang perlu kau risaukan. Terutama mengenai pekerjaanmu. Yang penting uang yang kau hasilkan dari cara yang baik. Dan juga anakmu. Kau hanya perlu menuntunnya agar nantinya bisa menjadi orang besar seperti Hajoon."

"Tak biasanya kau berkata seperti ini. Sesaat aku baru teringat bahwa kau ini seorang penulis."

Mereka tiba di kantin yang sepi karena masih dalam jam bekerja. Walau disebut kantin, tapi yang terlihat adalah Kafe elite sesuai selera Hajoon.

"Kau mau kopi?"

Je Ah mengangguk seraya ikut duduk disamping Yongsup. Disebuah sofa empuk yang berada di sudut kantin dengan dinding kaca yang terpampang lebar disampingnya. "Bibi, 2 kopi seperti biasa!" Teriak Yongsup ke wanita setengah baya yang berdiri dibelakang meja kasir.

"Ne.." Sahut wanita itu.

"Apa Joon Young tidak ada menghubungimu?"

"Tidak ada." Je Ah menghembuskan nafas dengan kesal.

"Sudahlah. Masih ada Hajoon." Goda Yongsup yang malah membuat Je Ah tertawa geli.

"Aa, apa model itu tidak pernah menghampirinya lagi?"

Mengingat tadinya Hajoon tidak menjawab pertanyaannya. Yongsup menggeleng menandakan tidak.

"Apa Wanita itu sudah menemukan Lelaki yang lebih kaya?"

"Sepertinya begitu."

"Kupikir dia sangat menginginkan Hajoon." Je Ah tertawa geli.

"Akhirnya Hajoon merasakan seperti apa rasanya ditolak."

"Apa maksudmu? Ditolak apanya?" Yongsup merasa ada kesalahpahaman.

"Bukankah model itu menolaknya?" Tanya Je Ah disisa tawanya.

Yong Suk menatap Je Ah keheranan. "Hajoon yang menolaknya!" Bentaknya geram. Masih tak habis pikir mengapa Wanita itu bisa menjadi sahabat tuannya.

"Heeee???" Mata Je Ah membesar melebihi batasnya.

"Yang benar saja?!! Hajoon menolak model itu? Model seksi super panas itu?"

"Kecilkan suaramu."

Suara itu berasal dari arah lain. Je Ah dan Yongsup langsung menoleh secara bersamaan. Mereka mendapatkan Hajoon yang sudah duduk di sofa diseberang mereka. Lelaki itu membalas tatapan mereka datar. Tapi dibalik wajah datarnya, mereka menyadari itu. Hajoon tengah berusaha meredam amarahnya.

"Selama pagi Direktur. Ini masih sangat pagi dan anda sudah disini."

Sapa bibi penjaga kantin yang baru menyadari lirikkan gelisah dari Je Ah dan Yongsup untuknya. Ia diam sejenak mengamati mulut Je Ah dan Yongsup yang mulai meracau tanpa suara, tentu kepadanya.

"Bibi, cepat taruh kopinya." Tegur Je Ah diikuti gerakkan tangannya yang mengisyaratkan untuk menyuruh si bibi segera pergi. Yongsup melirik Hajoon yang tengah menutup matanya. Sepertinya Hajoon tengah marah besar. Terlihat dari tangannya kini yang sedang membuka jam tangannya dengan kasar lalu memasukkan kedalam saku jasnya dengan masih menutup mata.

"Direktur, apakah anda—"

"Aa bibi!!! Aku ingin menambah gula!" Sela Je Ah mencoba membuat si Ahjumma yang tak peka itu untuk diam.

"Baiklah akan kuambilkan."

"Aku akan ikut denganmu." Bergerak cepat menarik si bibi pergi dari sana dengan cangkir kopi yang ia bawa bersamanya. Barulah suasana menjadi tenang. Sebagaimana yang Hajoon inginkan.

"Tuan, kau sedang ada masalah?"

Dilihatnya Hajoon yang mendengus kesal. Terlihatlah manik kecoklatannya yang tampak terang karena terpancar cahaya matahari dari balik dinding kaca.

"Mereka tidak jadi tandatangan kontrak."

"Lagi?" Hajoon kembali mendengus dan kali ini terdengar lelah.

"Sepertinya aku tidak ada pilihan lain." Hajoon memandang kosong keluar dinding kaca.

"Aku harus segera mencari calon isteri." Sulit untuknya mempercayai perkataannya sendiri.

"Mereka tetap kukuh pada syarat-syarat itu?" Hajoon mengangguk lemah.

"Cih, Memangnya kenapa jika seorang Direktur belum memiliki isteri?!!" Marah sekaligus merasa gemas.

"Entahlah, aku juga tidak tahu mau berkata apa lagi."

"Tuan, apakah tidak ada jalan lain selain bekerjasama dengan mereka?"

"Harapan terbesarku hanya ada pada mereka."

"Jika memang begitu.. Menikahlah."

"Uhukk!"

Je Ah terbatuk dan batal menempelkan pantatnya di sofa. Diletakkannya kopi yang baru saja ia minum di atas meja lalu menatap Hajoon tak percaya. Tak menyadari sisa kopi yang tertinggal di bibir dan dagunya.

"Kau mau menikah?" Tanya Je Ah tanpa berkedip.

"Bersihkan dulu mulutmu."

Kata Hajoon setelah menempelkan tisu ke bibir Je Ah. Wanita itu meraihnya dan meletakkan tisu itu ke atas meja tanpa melepasakan matanya dari Hajoon.

"Menikah dengan siapa?" Sama sekali tak berkedip.

"Duduk dulu.." Tegur Yongsup melihatnya yang masih berdiri disamping meja.

"Jawab aku!" Kesal melihat Hajoon yang tak juga menjawab pertanyaannya.

"Dia juga masih belum tahu mau menikah dengan siapa. Karena itu duduklah dulu."

Sambar Yongsup yang sudah menarik Je Ah agar segera duduk disampingnya. Tanpa melepaskan pandangannya Je Ah kembali bertanya.

"Kenapa mendadak sekali?" Hajoon terlihat enggan menjelaskannya. Hanya menatap kosong keluar jendela.

"Kau tidak tahu apa-apa, jadi diamlah." Sambar Yongsup lagi.

"Yak Kim Hajoon! Jangan diam saja! Jawab aku!" Bentak Je Ah seraya memukul meja. Membuat Hajoon dan Yongsup terperanjat berkat bunyi keras itu.

"Masalah kantor.. Masalah kantor.."

Jelas Yongsup mencoba mewakili tuannya untuk berkata. Karena Hajoon terlihat tetap bungkam dan sama sekali tak berniat menjelaskannya.

"Masalah kantor kenapa harus menikah?"

"Kau ini, cerewet sekali sih!" Yongsup melotot heran ke Je Ah.

"Maka itu jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Dia bahkan tidak pernah pacaran, kenapa mendadak mau menikah?"

Mulut Hajoon langsung bergetar hendak memaki sahabatnya itu.

"Banyak mantan juga tidak menjamin kau cepat menikah."

Ujar Hajoon santai walau sesungguhnya sangat kesal mendengar ucapan Je Ah barusan.

"Hah, kau menyindirku?!" Mengacak pinggang membalas tatapan Hajoon.

"Dan kau mengakuinya."

"Sudahlah, lupakan itu. Sekarang ceritakan saja padaku. Kenapa kau mendadak mau menikah?"

Je Ah kembali serius dan fokus menatap wajah Hajoon yang terlihat enggan membalas tatapannya.

"Aku harus kembali ke ruanganku. Hyung, jangan lupa ambil kopernya." ujarnya sebelum bangkit dari duduknya lalu pergi begitu saja.

"Yak Kim Hajoon sialan!"

Syukur tak ada orang lain disana selain Yongsup dan si bibi. Je Ah berniat mengejar Hajoon yang terlihat berjalan santai seakan tak mendengar caciannya. Tapi dering ponselnya membuat tubuhnya bertahan di sofa empuk itu. Tanpa melihat dari siapa ia langsung menjawab panggilan itu.

"Halo!" Dan membentak penelepon yang tak bersalah itu.

Entah karena kaget atau apa, si penelepon hanya diam.

"Halo?" Tak lagi membentak, tetapi lebih terdengar kesal.

"Hei kau, bicaralah!"

Siapa sih ini? Dijauhkannya ponsel itu dari telinganya. Oh Shit! Joon Young Oppa? Ia langsung berdehem tak jelas. Bingung harus berkata apa.

"Kenapa? Ada apa lagi?!" ucapnya berusaha terdengar ketus.

[Kau dimana? Aku sudah didepan rumahmu.] Kata Joon Young pelan.

What? What?? WHAT!!!

"Cepat pergi dari sana!" bentak Je Ah.

"Jika ibuku melihatmu bisa gawat!" mengingat ibunya sangat membenci Lelaki itu.

[Aku memang berniat bertemu dengan ibumu]

"Kau gila? Kubilang pergi dari sana sekarang juga!"

Yongsup yang duduk disampingnya sudah lebih dulu menyelamatkan telinganya dari suara melengking Je Ah.

[Jadi kau sedang tidak dirumah? Lalu dimana kau sekarang?]

"Kau tidak perlu tahu."

[Kalau begitu aku bertemu ibumu saja] Terdengar suara pintu mobil terbanting. Je Ah rasakan tulang punggungnya yang seketika meremang.

"Tunggu!" Teriaknya frustasi. "Kumohon, jangan."

[Jika begitu beri tahu aku dimana kau sekarang.]

Joon Young membuat Je Ah menyerah. Sebenarnya dia benar-benar tidak ingin bertemu Lelaki itu. Tapi disamping itu, Je Ah tidak bisa menyimpan perasaannya yang sesungguhnya tengah merindukan mantannya itu. Joon Young memutuskan panggilan itu setelah Je Ah mengatakan keberadaannya. Dengan sisa debaran jantungnya yang membuatnya lemas bukan main, Je Ah bangkit dari duduknya.

"Kau mau kemana?" Tegur Yongsup yang baru saja melepas tisu dari kedua rongga telinganya.

"Menemui mantan." Jawab Je Ah dengan lesu dan mulai melangkah pergi.

--

--

--

--

--

"Kau masih marah padaku?" Wajah pucat Joon Young menatap Je Ah lesu.

Tak berniat menjawab, Je Ah memaksakan matanya untuk memandang lurus kearah air Sungai Han yang tenang. Disana sepi, hanya beberapa orang yang sedang bersepeda terlihat berlalu lalang.

"Dia sepupuku." Suara beratnya yang lembut berusaha menghipnotis Je Ah.

"Aku bukan anak-anak yang bisa kau bohongi." Je Ah masih tak membalas tatapan itu. Joon Young mendengus pasrah.

"Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?" Je Ah nyaris menoleh berkat suaranya yang terdengar rapuh itu.

"Hubungan kita sudah berakhir. Jadi tidak ada gunanya kau meminta maaf." Hatinya berdesir perih ketika mengucapkan itu.

"Aku belum menyetujui itu. Aku tidak mau mengakhiri hubungan kita."

Kontras Je Ah langsung melayangkan pandangannya ke wajah itu. Sungguh, rasanya ingin menangis. Melihat wajah pucat Joon Young membuat Je Ah goyah.

"Kau bahkan belum mendengarkan penjelasanku sedikitpun."

Dapat Je Ah lihat luka di sudut bibir Joon Young. Luka yang dihasilkan dari tamparan bertubi-tubi darinya kemarin. Ingin rasanya meminta maaf, Tapi Je Ah menahannya.

"Kenapa kau baru menghubungiku? Kenapa pada malam itu kau tidak mengejarku? Jelas sekali kau lebih memilih wanita itu."

Menahan kesedihan yang tengah menyeruak didalam dirinya. Tak kuat membalas tatapan Joon Young yang menatap sendu matanya.

"Kau memukulku." Ujarnya lembut tak menyalahkan.

"Dan setelah itu aku jatuh pingsan."

Mata Je Ah melebar mendengar itu. Apa itu alasan dari wajah pucatnya kini.

"Sejak kepergianmu ke Jepang seminggu yang lalu, aku demam hingga sekarang."

Ada apa ini? Haruskah aku mempercayai perkataannya?

"Dan tepat dihari kau menghampiriku. Amy sepupuku datang. Dia bermaksud merayakan ulang tahunku karena mengetahui bahwa kau masih di Jepang. Tapi karena ia melihatku dalam keadaan demam. Akhirnya ia memaksaku untuk ke rumah sakit. Aku akui itu. Sepulang kami dari rumah sakit, Amy memaksaku untuk duduk sejenak di kafe. Bermaksud untuk memaksaku makan."

Tentu Je Ah tidak ingin mempercayai perkataan Joon Young. Tetapi, raut wajah Joon Young kini membuatnya merasa bimbang.

"Itulah kebenarannya."

Je Ah benar-benar tak bisa berkata. Ia rasakan matanya yang mendadak perih seakan hendak meneteskan airmata. Ia tak menyangka, ternyata dirinya selemah itu. Joon Young mengusap lembut pipinya.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Melangkah maju mendekati Je Ah yang berdiri disampingnya. Berdiri menghadap Je Ah lalu menatap Wanita itu dalam-dalam. Menyeka airmata yang mengalir tanpa sepengetahuan Wanita itu. Tak tahan lagi, Je Ah langsung terisak menyesali perbuatannya. Guna meredam isak tangisnya, Joon Young pun segera memeluknya. Tak menghiraukan pandangan orang yang sesekali tampak melintas disana. Ketika itu barulah Je Ah sadari. Tubuh Joon Young sangat panas. Je Ah langsung melepas pelukan itu.

"Oppa, tubuhmu panas sekali." Joon Young hanya tersenyum padanya.

"Kau harus istirahat. Aku akan membawamu pulang."

Ia sudah menarik tangan Joon Young dan segera melangkah menghampiri mobil Lelaki itu. Suka dengan perlakuan Je Ah yang sudah sangat ia rindukan, Joon Young ikuti semua yang Je Ah pinta dengan suka rela. Meskipun tadinya ia harus berbohong, tak masalah untuknya. Asalkan Je Ah kembali padanya. Berbohong? Ya, Joon Young telah berbohong.

--

--

--

--

--

"Huh.. Aku bosan sekali."

Yongsup yang baru saja masuk kedalam ruangan Tuannya. Dilihatnya Hajoon yang tengah serius di meja kerjanya.

"Tuan, kau tidak bosan?" Tegurnya.

"Hyung. Jangan ganggu aku."

Hajoon sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya.

"Aku nonton TV saja."

"Aish.. Kenapa tidak ada yang seru?"

Gumamnya tak menghiraukan lirikan laser dari Hajoon yang merasa terganggu.

"Oo?" Sebuah berita membuatnya fokus pada tontonan itu. "Yang benar saja!" Teriaknya setelah itu.

"Hyung! Jangan berisik!" Bentak Hajoon geram.

"Kau dengar itu? 2NE1 Bubar! Bubar!" Mengerang berlebihan.

"Oh Yang Hyun Suk.. Kenapa kau tidak mempertahankan mereka?!! Merekalah satu-satunya Girlband yang kusuka!!!"

"Bukankah itu berita lama?"

"Begitukah?"

"Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, hyung?"

"Mungkin aku lupa. Tapi, oho.. Tuan. Kenapa kau bisa mengetahuinya daripadaku? Kau suka girlgrup juga ya?"

Godanya dengan cengiran menggelikan diwajahnya. Hajoon melirik kearahnya sejenak. Memperlihatkan ekpresi tak tertarik di wajahnya lalu lanjut bekerja.

"Beritanya ada disemua media cetak yang kubaca."

Sesaat ia tersadar. Tak ada Je Ah disana. Pandangannya langsung mengarah ke sopirnya—yang masih meratapi kesedihannya dihadapan televisi.

"Hyung, dimana Je Ah?"

"Menemui mantan." Hajoon mendengus kesal. Entah mengapa, ia merasa tak senang mendengar itu.

-

-

-

-

-

Continued..

-

-

-

-

Selanjutnya baca cerita ini di aplikasi Hinovel ya.

Bisa download aplikasinya di playstore.

di Hinovel cerita ini sudah tamat loh. Tokoh utamanya Sehun dan Yoona.

Maaci.. ^^


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login