Download App

Chapter 2: Kunci Loker

Hara membuka pintu lokernya. Memasukkan beberapa buku tulis dan tempat pensil ke dalam sana. Matanya beberapa detik menatap lama isi loker tersebut.

Lokernya rapih. Bersih.

Tidak seperti loker disekolahnya dulu, penuh sampah, surat-surat dengan tinta merah yang tak jarang ada minuman yang ditumpahkan dengan sengaja ke buku-bukunya.

Hara menggeleng, berusaha menetralkan pikiran negatif yang hinggap dibenaknya. Nggak ada untungnya juga mengingat masa kelam, kan?

Lagipula, Hara sudah cukup beruntung bisa menjauh dari kehidupan sekolah lamanya. Dan yang paling penting, ia jauh dari 'mereka'.

Ketika Hara menutup pintu loker. Ekor matanya tak sengaja menengok ke arah kanan. Dalam dua detik, mulutnya terkatup rapat.

Cowok itu lagi.

Berdiri di depan loker dengan tangan kiri memegang sebuah cermin kecil, dan tangan yang satunya memegang sehelai kertas minyak untuk wajah. Ia memoles wajahnya yang kusam karena aktifitas sekolah hari ini.

Hara berkedip beberapa kali, melihat fenomena yang sangat nggak wajar untuk ukuran cowok.

Lagi.

Pandangan mereka bertemu.

Rey menghentikan aksinya lalu melirik Hara sinis. Cowok itu langsung memasukkan barangnya ke dalam loker dan mengambil beberapa buku.

Suara pintu loker yang dibanting membuat Hara berjengit. Hara menghela nafas karena ia merasa kesempatannya untuk berteman dengan cowok itu hilang beberapa persen.

Hara yakin. Rey tidak menyukai keberadaannya.

Tidak sama sekali.

Bahkan sejak hari pertama Hara duduk di bangku barunya.

Nggak ada yang aneh dengan Rey, kecuali tingkah lakunya yang lebih condong ke sisi feminim. Bahkan cara berjalannya pun tidak bermasalah. Gesturnya tidak terlalu gemulai dan masih seperti anak cowok pada umumnya.

Mungkin hanya style-nya? Entahlah.

Hara menyipitkan matanya, memperhatikan Rey dari jauh, ketika cowok itu melewati kerumunan siswa yang ada di koridor.

Mereka semua tertawa.

Dan yang membingungkan, Rey justru hanya tersenyum, melambaikan tangan seolah ia bangga terhadap gelak tawa yang di tujukan padanya. Hara nggak ngerti pola pikir cowok itu.

Aneh, tapi... nge-gemesin.

Ah, ralat. Dia nggak aneh.

Dia unik.

Ketika Hara hendak mengambil beberapa langkah untuk melenggang pergi, sebuah pantulan cahaya dari benda mengkilap yang terjatuh di lantai membuat langkahnya terhenti.

Hara berjongkok untuk memperhatikan sekaligus mengambil benda kecil tersebut.

Sebuah kunci.

Dan Hara yakin ini adalah kunci loker. Karena memiliki bentuk yang sama dengan kunci loker miliknya. Kuncinya diberi gantungan sebuah plat nama kecil yang wajib ada untuk setiap kunci loker siswa. Tambahan lain, gantungan kunci yang berupa minatur sebuah kucing berbulu oranye yang membuat Hara tersenyum gemas.

Garfield.

Ini kartun kesukaannya.

Kerika ia melirik plat nama mungil, yang juga gantungan dari kunci tersebut. Hara membeku.

Reynand.

Ini milik cowok itu.

Hara menenggelamkan benda tersebut dalam kepalan tangannya. Lalu memilih pergi dan menyimpan kunci tersebut jika sewaktu-waktu Rey mencarinya.

***

Suasana kantin cukup ramai siang ini. Bel istirahat baru berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, dan masih tersisa dua puluh menit lagi untuk mengisi perut yang keroncongan.

Hara melirik kesekitar. Suasana yang benar-benar asing. Hara nggak suka suara berisik.

Suara sendok garpu yang saling beradu, suara gelak tawa mereka, suara teriakan-teriakan kecil dan semua suara itu mengganggu pikirannya. Seolah dia kembali tepat ke masa lalu, dimana jam istirahat adalah mimpi buruknya.

Tentang suasana kantin.

Tentang lumuran jus mangga.

Tentang kuah kari di seragamnya.

Tentang semua penghinaan yang ditujukan ke arahnya.

*

Hara berjengit ketika baru sadar kalau sejak tadi ia hanya berdiri di tengah-tengah meja yang penuh. Membuat banyak tatapan tertuju ke arahnya. Seolah menganggapnya orang aneh yang melamun di tengah kantin.

Faktanya, sejak saat itu sampai sekarang, kantin bukanlah tempat yang cocok untuknya.

Hara memutar langkahnya, lebih memilih kembali ke kelas dan melakukan sesuatu yang setidaknya nggak terlalu membosankan. Tapi lagi-lagi pandangannya menangkap siluet seorang cowok yang duduk di meja paling pojok.

Cowok dengan bando hitam di poninya, duduk sambil mebaca sebuah majalah dengan segelas jus alpukat.

Hara hanya diam beberapa detik, mengambil waktu untuk berusaha mengingat sesuatu.

Sebuah kunci.

Benda yang ia temukan beberapa menit lalu. Itu milik Reynand. Cowok yang kini menjadi objek matanya. Dan disaat seperti ini, Hara justru bingung antara memilih menghampiri Rey atau justru tetap diam dan menunggu hingga cowok itu kelimpungan sendiri mencari kunci lokernya.

Pada akhirnya, Hara memilih opsi pertama.

Saat kakinya mulai melangkah, tangannya justru ditarik oleh seorang cowok lain. Dan ia menekan bahu Hara-seolah memaksa-untuk duduk satu meja bersama teman-temannya.

"Duduk sini, deh."

Hara berkedip beberapa kali, menatap satu persatu wajah-wajah asing di depannya. Sekaligus, sekarang Hara sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian untuk kedua kalinya, bahkan di hari pertama sekolah. Kebanyakan dari mereka adalah cewek yang bisa dikategorikan eksis di sini.

Percaya atau tidak, Hara pernah menjadi bagian dari mereka.

"Har-ra?" Cowok berhidung lancip ini mengeja nama yang terbordir di kemeja putih yang Hara kenakan.

"Lo... anak baru, kan?"

Hara mengangguk samar, lalu mengalihkan pandangan ke meja di pojok sana. Dan, tepat. Pandangan mereka bertemu lagi. Tapi, Hara merasakan sesuatu yang aneh dari cara padang Rey. Lebih kepada... Khawatir.

Aldo mengikuti kemana arah tatapan Hara. "Kok, ngeliatin dia?"

"Hh?" Hara berkedip. Lalu menolehkan kepalanya. "Nggak. Nggak papa."

"Lo kenal dia?" Tanya Aldo.

"Siapa? Rey?"

"Hm," Aldo mengangguk. "Dari awal gue liatin lo. Kayaknya lo kenal sama cowok freak itu."

Cowok freak? Hara mengulang dalam hati.

"Gue baru liat dia pas masuk kesini, nggak kenal lebih."

Aldo mengulum senyum sinis. "Bagus. Mending nggak usah kenal. Dia emang lebih baik nggak punya temen."

Hara mengerutkan dahi' "Kok lo ngomongnya gitu, sih?"

Aldo tertawa kecil. Lalu menatap teman-teman satu mejanya seolah ini adalah lelucon. "Lo mau temenan sama cowok aneh kayak dia?! Gue malah lagi berusaha buat nendang dia dari sekolah ini. Malu-maluin tau punya murid cowok yang-"

"Oke, kita bisa ke intinya aja?" Hara memutar bole mata, jengah.

Hal yang paling Hara tidak suka adalah; tipe orang yang suka berbasa- basi. Membicarakan hal-hal yang sejatinya nggak berhubungan dengan inti pembicaraan.

Aldo tersenyum lebar. Memperlihakan deretan gigi putihnya.

"Ah, gue sampai lupa,"

Hara tetap menunggu, menatap Aldo masih dengan tatapan bosan seperti sebelumnya. Sampai cowok itu mengulurkan tangan, dengan senyum semanis mungkin.

"Nama gue, Aldo. Anak dari pemilik Yayasan SMA Nusa. Lo?"

Hara memutar bola matanya. Please, gue nggak butuh silsilah keluarga lo.

"Lo tadi udah tau nama gue, kan?'

Aldo menjentikkan jarinya. "Ah, iya. Kita sekelas."

Hara hanya mengerutkan dahi untuk beberapa saat mencerna fakta kalau nantinya ia akan satu kelas dengan cowok seperti ini. Tapi kemudian, ia mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Hm, kalau gitu.. gue mau kesana bentar, ya?"

Perlahan Hara mengangkat bokongnya. Sejak tadi ia tidak nyaman dengan situasi ini. Sebelum Aldo menarik tangannya lagi, Hara sudah menjauh dan menghampiri orang yang sejak tadi ingin Hara ajak bicara.

"Mau keman-ih! Sialan!" Aldo berdecak, mengepalkan tangan frustasi.

Ini kali pertama ia di abaikan.

Hara tersenyum pada Rey. "Hei, Lo-"

Kurang dari dua detik, senyum itu pudar.

Hampir beberapa langkah lagi, Hara mendekat ke arahnya. Rey langsung bangkit, menutup majalah Fashion yang ia baca lalu membawa jus alpukatnya menghindar dari Hara. Sorot matanya memperlihatkan, bahwa Rey harus menjauh dari perempuan ini.

Pandangannya mengikuti kemana Rey pergi. Dengan terburu-buru cowok itu beranjak meninggalkan Hara yang masih kebingungan dengan tingkah laku cowok itu yang sulit terbaca.

Dan diam-diam, di belakang sana. Aldo menatap Hara tajam. Di bawah meja, tangannya terkepal. Ia benar-benar tidak menyangka, akan mendapat saingan yang tidak setara dengan kelasnya.

Sekarang, Aldo nggak lagi memiliki satu alasan untuk menyerang Rey.

Mungkin dua alasan, atau lebih.

Aldo benci Reynand dan segala tentangnya.

***

Ceroboh.

Itu salah satu hal yang sampai saat ini sulit di hilangkan oleh seorang Reynand. Beberapakali ia mendesah dan membungkukkan badan untuk meneliti lantai koridor. Ia yakin kunci lokernya jatuh disini.

"...Duh, mana, sih!"

Bisa gawat kalau sampai lokernya terkunci. Ponsel dan juga dompetnya ada didalam. Rey nggak tahu harus bagaimana lagi kalau barang-barangnya terperangkap disana.

"Nyari apa?"

Rey berjengit. Saking kagetnya dengan kemunculan seorang perempuan berambut sebahu yang memiringkan kepalanya dan tersenyum. Jadi inget... Annabel.

Oke, itu kejauhan. Nyatanya dia nggak se-seram itu.

"Kunci."

"Kunci apa? Kunci rumah? Kunci Mobil? Atau kunci-?

"Kunci loker." Rey menegakkan tubuhnya. Lalu menghela nafas. "Kalau lo emang nggak niat ngebantu, mendingan lo pergi."

Hara menyeringai geli, lalu merogoh saku seragam. Tangannya terulur dan memberikan benda kecil yang ada di telapak tangan. "Ini? Punya lo?"

Rey menaikkan sebelah alis. "Nemu... dimana?"

Karena Rey tak kunjung meraih kuncinya, dengan paksa Hara menarik telapak tangan Rey agar benda itu kembali ke pemiliknya. "Tadi, jatuh disitu. Pas di kantin, gue cuma mau ngembaliin ini, tapi-"

"Makasih." Rey tersenyum. Tipis. Sangat tipis.

Cowok itu membuka lokernya dan memasukkan barang-barannya ke dalam tas. Hari ini, Rey nggak bawa mobil. Terpaksa, ia harus memilih opsi terakhirnya; naik Bus.

Dan yang paling nyebelin adalah... nunggu lama di halte karena Bus yang datang enggak selalu on time.

Harusnya sekarang Rey cukup bersyukur karena kelas selesai dua jam lebih awal dengan alasan klasik; Rapat Guru. Yah, Rey cuma berdo'a supaya sering-sering ada rapat guru.

***

Hara menjatuhkan bokongnya i kursi halte. Tangannya mengutak-atik layar ponsel untuk membuka Playlist lama. Berupa sekumpulan lagu yang tak pernah lagi ia dengarkan beberapa bulan lalu.

Hampir ketika Hara akan memasangkan earphone ke telinga, ekor matanya tak sengaja menangkap sosok cowok yang duduk sambil memangku tas-nya di paha. Matanya memperhatikan beberapa mobil dan kendaraan lain yang melintas.

Hara mengabaikan alunan msik dari earphone-nya, karena Hara mengurungkan niat untuk mendengarkan musik setelah menyadari keberadaan cowok itu. "Lo naik Bus juga?"

Rey tidak menoleh dan baru menoleh ketika menyadari bahwa seorang perempuan menggeser posisi duduknya supaya lebih dekat. "Gue?'

Hara mengangguk. "Emang lo biasanya naik Bus, ya?"

"Enggak," Rey hanya menggeleng samar. "Cuma kebetulan aja nggak bawa mobil."

"Hmm," Hara manggut-manggut.

Untuk beberapa menit kedepan, terjadi keheningan di antara mereka. Kecuali suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. Sampai sebuah Bus melintas dan berhenti di depan halte, menurunkan beberapa penumpang, lalu Rey melirik perempuan di sebelahnya. "Duluan?"

Hara menyeringai, menarik tangan Rey untuk naik. "Yuk! Kita satu jurusan, Kok."

*

Beruntungnya, penumpang di dalam Bus tidak terlalu padat. Jadi , tidak ada yang sampai berdiri karena nggak kebagian tempat duduk. Hara langsung menjatuhkan bokongnya di kursi dan menepuk kursi sebelahnya; bermaksud agar Rey mau duduk disana.

Beberapa detik Rey diam, tapi lagi-lagi tangannya ditarik. "Duduk, sini."

Hara diam-diam tersenyum, memastikan musik di ponselnya dan memasukkan benda itu kedalam tas bersama earphone-nya. Hidungnya tak sengaja menghirup aroma bedak bayi yang menyengat, dan ia yakin, aroma ini berasal dari parfum yang Rey gunakan.

Berbeda dari kebanyakan cowok pada umumnya, yang lebih menyukai aroma-aroma tajam dan menyengat seperti musk dan mint.

"Lo... itu aneh, ya?'

Hara mengerutkan dahi, lalu memirigkan kepalanya. "Aneh kenapa?"

Rey mengerjap beberapa kali, berusaha menghindari kontak mata dengan perempuan yang duduk di dekat jendela itu. Rasanya aneh, karena saat pandangan mereka bertemu, Rey merasa gugup.

"Yaa, aneh aja... kebanyakan orang-orang pada ngejauhin gue, tapi lo justru malah ngedeketin gue."

Hara tersenyum lebar. "Kenapa? Lo risih, ya?"

Rey menggeleng. "Nggak juga, sih. Gue cuma lebih suka sendirian."

"Ih, nggak boleh gitu. Manusia itu, kan makhluk sosial, mungkin nggak sekarang, tapi suatu saat nanti lo pasti butuh temen."

Rey memangku tasnya di paha, dan meletakkan tangannya disana. Ia diam beberapa saat untuk sekedar memandangi kuku-kukunya yang baru saja dipotong rapi. "Kalau sendiri, gue ngerasa bebas ngelakuin apa aja yang gue mau. Gue cuma nggak mau bikin orang yang temenan sama gue malu karena tingkah gue yang aneh ini."

"Gue nggak malu, kok. Temen, kan harus nerima apa adanya."

Rey mengangkat wajahnya, menatap Hara lembut. " Kenapa lo mau temenan sama gue?"

Hara bertopang dagu. "Nggak beralasan, sih. Temanan, kan nggak harus punya alasan."

Rey diam. Lalu menggeleng cepat. "Jangan temenan sama gue, nanti lo kena masalah."

"Kenapa? Lo lagi ada masalah, ya?

Rey menggeleng cepat dan tersenyum kikuk. "Bukan. Bukan apa-apa, kok."

Hara mengerjap sekaligus mengerutkan dahi bingung, tapi setelah ia menatap mata elang milik Rey cukup lama, ia tersenyum. "Lo salah. Gue justru yang bakal bantuin lo kalau lo kena masalah."

Kalimat barusan berhasil membuat Rey tertegun. Memilih untuk mengakhiri pembicaraan tanpa menatap Hara lagi. Sampai ia merasakan sebuah tinjuan ringan di lengannya. "Lo harus tau dulu, apa fungsinya temenan, My Bro."

Sejak saat itu, untuk pertama kalinya, Rey merasakan dadanya bergetar, lalu bergemuruh. Degupan jantungnya sudah melebihi batas normal.


CREATORS' THOUGHTS
destia_ destia_

- 20:58

17 Februari 2019

Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login