Perasaan sakit yang memenuhi dada Caspar tidak bertahan lama, segera digantikan oleh perasaan marah. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun.
Ia mengorbankan banyak hal demi Finland, tetapi pada titik ini ia merasa bahwa gadis itu tidak pernah mencintainya sebesar ia mencintai Finland. Caspar tidak pernah berlaku demikian sabar dan pengertian terhadap gadis mana pun sebelumnya, tetapi Finland begitu cepat berpindah ke lain hati...
Ia tahu Lauriel adalah seorang pria yang luar biasa. Sewaktu muda, Caspar juga mengaguminya dan ikut dengannya keliling dunia untuk bertualang... Ia sudah cukup mengalah dengan kedekatan Finland dan Jean, tetapi kini ia tak dapat menerima kenyataan bahwa Lauriel merebut Finland darinya.
Ia hanya berdiri di tempatnya menatap Finland dan Lauriel yang membawa Aleksis masuk melewati imigrasi dan menghilang dari pandangannya. Lama setelah mereka pergi, barulah ia bergerak dan berjalan kembali ke mobilnya.
"Paman baik-baik saja?" tanya Jadeith pelan.
Caspar tidak menjawab.
***
Penerbangan selama 4 jam dari Hong Kong ke Singapura terasa lama sekali bagi Finland yang sudah tidak sabar ingin segera menginjakkan kaki di rumah keduanya itu. Setelah satu setengah tahun bermukim di Amerika ada banyak hal yang ia rindukan dari kota kecil itu. Ia rindu apartemen Jean di Robertson Road, ia merindukan Rose Mansion, dan tentu saja kantornya dulu di Menara Suntec.
Yang terpenting, ia sungguh berharap dapat memperoleh petunjuk keberadaan Caspar di Singapura.
Lauriel dengan tenang membacakan sebuah buku dongeng bagi Aleksis yang duduk di pangkuannya untuk membuat anak itu tidur, baru kemudian mendengarkan musik di iPod-nya dan memejamkan mata.
Lauriel dan Aleksis terlihat bagaikan sepasang malaikat dewasa dan malaikat kecil yang sedang duduk di kursi pesawat, membuat pramugari bolak-balik mencari alasan untuk lewat agar bisa memandang keduanya. Mereka sungguh menjadi pemandangan yang indah di mata.
Di sepanjang perjalanan Finland menjadi sasaran pandangan iri begitu banyak perempuan yang berharap punya lelaki tampan dan penyayang seperti Lauriel mengurusi bayi mereka.
Sejak bertemu Lauriel memang Finland merasa sangat beruntung. Hidupnya tidak lagi susah seperti sebelumnya. Pekerjaannya bagus karena ia bisa berkonsentrasi penuh tanpa menguatirkan anaknya di rumah. Ia juga hampir tidak mengeluarkan uang untuk keperluan Aleksis karena Lauriel menyediakan semuanya tanpa diminta.
Finland akhirnya sampai memutuskan pindah ke apartemen yang lebih bagus dengan kelebihan uang yang dihematnya agar Aleksis bisa memiliki tempat tinggal yang lebih nyaman. Ia tak ingin Aleksis lebih menyukai tinggal di rumah Lauriel daripada di apartemen ibu kandungnya sendiri.
Setelah mereka mendarat di Singapura, Finland dan Lauriel segera menuju tempat penjemputan. Mereka menginap di Hotel Continental dan memesan penjemputan dari bandara supaya tidak repot mencari taksi.
"Kenapa mobilnya tidak ada, ya?" tanya Finland bingung. Mereka telah menunggu 10 menit tetapi tidak ada tanda-tanda mobil jemputan dari Hotel Continental. Lauriel menggeleng-geleng, lalu mengangkat ponselnya dan menelepon Hotel Continental.
"Apa? Pesanan kami dibatalkan?" Ia tampak keheranan untuk sesaat tetapi kemudian wajahnya segera berubah biasa. "Hmm.. aku mengerti. Kami akan mencari hotel lain."
"Ada apa?" tanya Finland kuatir. Ia tahu Hotel Continental adalah milik Caspar dan ia tak mengerti kenapa pesanan mereka dibatalkan.
"Pemilik hotel tidak menyukaiku," kata Lauriel singkat. "Kita cari hotel lain saja."
Ia mengajak Finland pindah ke tempat menunggu taksi lalu menelepon Hotel Raffles dan memesan suite 2 kamar. Sesaat kemudian mereka sudah duduk di taksi menuju hotel.
"Kenapa pemilik hotel tidak menyukaimu?" tanya Finland penuh selidik. Ia tak mengira Caspar kenal dengan Lauriel.
"Kami dulu berteman."
"Berteman?" Finland menatap Lauriel dengan kening berkerut. Tiba-tiba ia baru menyadari wajah tampan Lauriel memiliki garis-garis simetri sempurna, dan mata biru hijaunya tampak sangat cemerlang kalau ia melepas kacamatanya. "Kau kenal Caspar?"
"Kenal," kata Lauriel singkat.
"Kau seorang alchemist?"
Lauriel mengangguk.
"Namaku sebenarnya adalah Lauriel. Aku mengenal Caspar dengan baik."
Finland menekap mulutnya dengan wajah sangat terkejut.
Akhirnya ia mengetahui siapa Rory sebenarnya. Nama aslinya adalah Lauriel dan ia adalah seorang alchemist.
Barulah Finland merasa sikap Lauriel yang aneh dan gaya hidupnya yang tidak biasa itu menjadi masuk akal.
"A.. apakah kau punya nomor teleponnya?"
"Kenapa?" tanya Lauriel.
Kalau kemarin Lauriel menanyakan siapa ayah Aleksis, Finland tidak akan memberitahunya, karena ia takut membuka rahasia Caspar. Tetapi karena sekarang ia menyadari Lauriel sendiri adalah seorang alchemist, sudah tidak ada lagi yang harus dirahasiakan.
"Dia adalah ayah Aleksis. Aku mau menghubunginya."
"Nanti saja di hotel," kata Lauriel tegas.
Seketika hati Finland berbunga-bunga. Tak disangkanya ternyata Lauriel mengenal Caspar. Usahanya untuk menghubungi Caspar akan menjadi lebih mudah. Ia sedikit menyesal tidak memberi tahu Lauriel lebih awal. Seandainya ia tahu, mungkin ia sudah bisa menghubungi Caspar sejak setahun yang lalu.
Memikirkan ini membuat air matanya menggenang.
Lauriel yang melihatnya hampir menangis hanya bisa menghela napas, dan untuk pertama kalinya sejak di rumah sakit dulu, ia menggenggam tangan Finland.
Gadis itu merasa sedikit terkejut. Ia merasa Lauriel bersikap agak berbeda sejak mereka meninggalkan Hong Kong. Ia mengangguk pelan dan menarik tangannya dari genggaman Lauriel untuk menghapus air matanya. Finland lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela taksi.
Lauriel menepati janjinya. Ia memberikan nomor telepon Caspar kepada Finland setelah mereka check in di hotel dan duduk beristirahat di ruang tamu suite mereka. Finland tak bisa menahan perasaan harunya ketika ia memasukkan nomor telepon Caspar ke dalam ponselnya dan masuk ke dalam kamar untuk menelepon.
TUT!
TUT!
Tolong angkatlah...
Lama sekali Finland menunggu.
Setelah deringan kesepuluh akhirnya panggilannya diangkat.
"Hallo, Caspar..." ia segera berbicara, tak tahan ingin mendengar suara Caspar yang dirindukannya.
"Siapa ini?" Suara Caspar terdengar sedingin es.
"Ini aku..."
"Oh. Ada apa?"
Finland tertegun. Ia sama sekali tidak mengira sambutan Caspar akan seperti ini. Tiba-tiba ia kehilangan kata-kata.
"Jean sudah bangun dari komanya..." Lalu terhenti. Finland tak tahu lagi harus berkata apa.
"Jadi sekarang kau percaya padaku?" tanya Caspar dengan suara datar.
"I.. iya. Terima kasih kau telah memberinya ramuan abadi sehingga ia bisa selamat."
"Terlambat setahun, tapi baiklah, aku terima ucapan terima kasihmu." Caspar terdiam sesaat lamanya. "Ada lagi?"
Lidah Finland terasa kelu. Ia memang terlambat setahun, tetapi ponsel hilang sekarang terdengar seperti alasan remeh dan tidak niat...
"Aku... aku sudah memaafkanmu..." katanya akhirnya.
"Begitu ya?" Di Hong Kong, Caspar sedang minum alkohol banyak sekali untuk menghilangkan kesedihan. Di sekitarnya ada beberapa botol kosong dan gelas yang berantakan. Dituangnya segelas wine lagi lalu diteguk pelan-pelan sambil memilih kalimat demi kalimatnya, "Aku memang selalu menjadi orang yang salah dalam hubungan kita. Aku selalu menjadi orang yang meminta maaf dan mengejarmu, hingga tidak mempedulikan harga diriku. Aku melakukan begitu banyak hal untukmu, sementara yang ada di pikiranmu selalu hanya orang lain. Bahkan sampai saat terakhir kau lebih memilih Jean daripada aku. Sekarang aku sadar, sudah saatnya aku menghentikan kegilaan ini dan kembali menjadi diriku yang sebenarnya..."
"Caspar... apa maksudmu?" Seketika perasan Finland menjadi tidak enak. Bukan seperti ini yang dibayangkannya saat ia akhirnya dapat berbicara kembali dengan Caspar.
"Maksudku adalah... tolong kembalikan cincin ibuku, dan jangan pernah menghubungiku lagi..."
Finland terpaku mendengarnya. Air mata mengalir deras di sepasang matanya.
"Kita jangan berpisah seperti ini... Aku harus bertemu denganmu... Please, Caspar. Aku harus bertemu denganmu sekali lagi. Kita tidak bisa bicara di telepon begini..."
Caspar terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia menghela napas panjang dan mengiyakan.
"Baiklah. Nanti malam aku tunggu di Hotel Continental." katanya sebelum menutup telepon.
TUT TUT TUT...
Dengan sedih Finland menyimpan ponselnya. Ia sangat terkejut dengan respons Caspar. Tadinya ia mengira Caspar akan sangat senang karena ia menelepon, lalu segera akan menjemputnya.
Tetapi tadi sikapnya dingin sekali, dan Finland bahkan tak bisa menemukan celah untuk menceritakan kehamilannya. Ia merasa satu-satunya jalan adalah bertemu secara langsung dan menunjukkan Aleksis kepada Caspar.
Ia berharap pertemuan mereka di Hotel Continental nanti bisa berlangsung dengan baik,
"Bagaimana?" tanya Lauriel saat Finland keluar kamar.
"Aku akan bertemu dengannya nanti malam di Hotel Continental," jawab Finland.
"Kau mau aku ikut?"
"Tidak usah. Aku akan membawa Aleksis sendiri."
"Hmm..." Lauriel tidak berkata apa-apa lagi.
Finland benar-benar menghitung setiap menitnya menuju malam. Ia tak sabar ingin segera ke Hotel Continental untuk bertemu Caspar. Ia sudah rindu sekali.