Download App

Chapter 3: “Salah Paham”

🌹 Yuna Pov~

Menjadi seorang advokat bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana, semuanya memerlukan ketelitian apalagi menyangkut dengan nasib seseorang, sekali salah melangkah maka dampaknyapun akan terasakan baik olehku, terdakwa maupun keluarga terdakwa. Oleh karena itu sudah menjadi rahasia umum jika pengacara melakukan peninjauan ulang apalagi jikalau lusa adalah hari sidang perdananya.

Di sebuah ruangan kerja yang hanya diisi olehku dan Tiara. Aku hendak pergi ke lapas tempat di mana klienku ditahan untuk mengulik lebih dalam kasus ini, dengan memasukan berkas yang sudah selesai aku baca ke dalam tas jinjing.

"Mau kemana??" tanya Tiara

"mau ke lapas. Ada apa??" tanyaku

Dari kursi duduknya, Tiara berjalan ke arahku dengan membawa sebuah map.

"ini!!" ucap Tiara memberikan map itu padaku

"Apa ini??" tanyaku dengan menerima map.

Belum sempat di jawab Tiara, percakapan kami terpotong oleh sebuah panggilan telepon dari lapas. Maka saat itu juga aku menyimpan map itu ke dalam laci meja dan segera bergegas pergi meninggalkan Tiara sendiri di kantor.

Karena ini merupakan sidang perdana yang akan dialami oleh terdakwa, perasaan was-was serta gelisah sudah pasti terpancar jelas di wajahnya, maka dari itu aku datang untuk menenangkannya sekaligus mengulik kisah itu kembali. Di sebuah ruangan kecil yang diisi meja dan dua buah kursi sekaligus ditemani 1 orang sipir yang bertugas menjaga tahanan, kamipun mengobrol.

"bapak tidak perlu khawatir, saya akan melakukan yang terbaik". Ucapku

"haruskah saya mengaku??" pungkasnya yang membuatku merasa bingung.

"Apa maksud bapak??" tanya tegasku

"kamu bilang kalau saya mengaku, hukumannya bisa berkurang" dengan suara gelagap sambil menatap mataku "saya takut,, saya memang tidak membunuh dia, tapi... tapi bagaimana kalau mereka memutuskan vonis maksimal??" lanjutnya.

Sidang Perdana

Ruangan sidang sudah hampir penuh, baik itu diisi oleh para petugas kepolisian, para petugas lapas maupun khalayak umum yang ingin menonton persidangan. Kami semua menempatkan diri masing-masing. Ketiga Hakim datang dengan gagah menuju kursi tempatnya. Untuk menghormati kedatangan para hakim, kami semua berdiri sejenak kemudian duduk kembali.

"Jaksa penutut umum, silakan berikan dakwaan" pinta hakim utama

Jaksa Irene berdiri kemudian memberikan pernyataannya "Hakim yang terhormat, berdasarkan penyelidikan saya sebagai jaksa penuntut umum, mendakwa saudara 'Amir' atas perbuatannya yakni melakukan pembunuhan dimana telah menghilangkan nyawa seseorang sesuai dengan hukum yang ada berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 340 dengan ancaman pidana 20 tahun kurungan penjara" lalu duduk kembali.

Hakim melanjutkan "pembela, silakan berikan pernyataan"

Maka aku pun berdiri "saya...." menoleh ke arah terdakwa "menolak tuduhan tersebut. Terdakwa mengaku tidak bersalah".

Aku menilai bahwa klien yang saat ini aku hadapi sama sekali tidak bersalah dalam perkara ini dan aku percaya bahwa hukum akan melindungi orang-orang yang tidak bersalah untuk itu aku meminta terdakwa agar tidak cemas.

Lanjutan Sidang,

"Saya akan menghadirkan saksi" ucap Irene

Saksi pun duduk di kursi saksi, sebagaimana mestinya setiap saksi akan disumpah lebih dahulu agar tidak memberikan kesaksian palsu sehingga kredibilitas pernyataannya dapat dipercaya.

"Saudara saksi, apakah terdakwa 'Amir' menanyakan sesuatu mengenai korban sebelum terjadinya pembunuhan??" tanya jaksa Irene.

Saksipun menjawab "iya"

"Apa yang terdakwa tanyakan pada saat itu??" tanya Irene kembali.

"Ia bertanya mengenai tempat tinggal korban"

"lalu apa jawaban anda??"

"Saya memberitahu tempatnya" jawab saksi itu

Yang ditanyakan jaksa Irene hanya itu saja, agar semua yang hadir disini berspekulasi sama dengannya. Hakim pun menawarkan pertanyaan untukku agar aku melakukan pembelaan.

"Saudara saksi, dimana tempat tinggal anda sekarang??"

Saksi itu terlihat kebingungan mendengar pertanyaan yang saya lontarkan.

"Silakan dijawab" ujarku kepada saksi

Kemudian saksi itu menjawab sesuai dengan alamat tempat tinggalnya

"setelah bertanya demikian, apakah saya akan membunuh anda??" kata-kata sayapun terpotong Jaksa Irene yang merasa keberatan dengan pertanyaan yang saya ajukan, namun saya bersikukuh melanjutkan "bukankah pertanyaan itu wajar jika kita memiliki tetangga baru dan ingin mengetahui rumahnya. Sekian"

"Pembela seharusnya tidak melontarkan pertanyaan demikian" ucap hakim yang sama-sama merasa keberatan dengan pertanyaanku.

Pertanyaan tersebut sekaligus menjadi pertanyaan penutup untuk saksi pertama. Selanjutnya saksi kedua dihadirkan dalam sidang. Sama halnya dengan saksi pertama, saksi kedua pun mengikuti aturan yang ada. Jaksa Irene lebih dulu bertanya kepada saksi setelah Hakim mengizinkannya.

"Saudara saksi, apakah anda melihat saudara terdakwa selalu berada disekitar rumah korban??" pertanyaan yang dikeluarkan Irene dengan mata tajam yang melihat saksi kedua itu.

"Iya, benar!!"

"Bisa anda deskripsikan kejadian saat itu??" tanya Irene

"Iya. Selama beberapa hari terakhir sebelum korban ditemukan tewas di rumahnya, setiap kali saya mau berangkat kerja maupun pulang kerja, ia selalu berada di sekitar sana" jawab saksi itu

Irene lanjut bertanya "pada malam itu, apakah anda melihat saudara terdakwa keluar dari rumah korban??"

"Saya melihat seseorang lari keluar dari rumah korban"

"apakah anda melihat wajahnya??"

"Tidak" jawab singkat saksi

"Anda yakin tidak melihat wajahnya??" tanya penasarannya Irene

"Iya, saya yakin"

"Seseorang telah meninggal, siapa orang yang pertama kali anda curigai??"

Mendengarkan pertanyaan Irene, saya merasa keberatan dan melakukan pembelaan kembali.

Irene yang berpendapat bahwa kita harus mengetahui dari sudut pandang seorang saksi, namun untungnya Hakim menyuruh Irene agar mengajukan pertanyaan lain.

"Pakaian seperti apa yang orang itu kenakan saat keluar dari rumah korban??" pertanyaan Irene berikutnya.

"Orang itu menggunakan pakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala yang berwarna hitam" jelas saksi

"ke arah mana ia pergi meninggalkan rumah korban??"

"Ke arah barat"

"Berdasarkan keterangan saksi bahwa pelaku menggunakan pakaian serba hitam dan lari ke arah barat dari rumah korban, sudah menunjukkan bahwa pelaku lari ke arah rumahnya. Maka dengan itu saya melakukan penyelidikan dan menemukan barang bukti berupa pakaian yang berada di rumahnya dan lokasinya berada di sebelah barat rumah korban" memberikan foto barang bukti yang sebelumnya disimpan dimejanya kepada hakim *barang bukti asli sudah diamankan terlebih dahulu dan diberikan kepada hakim diluar persidangan guna melindungi dari tindakan kejahatan yang lainnya.

Kemudian Jaksa Irene melanjutkan "di dalam pakaian tersebut terdapat bercak darah yang terbukti berdasarkan hasil tes yang dilakukan Badan Forensik cocok dengan darah korban" memberikan hasil laporan tersebut kepada hakim sekaligus menutup pertanyaan kepada saksi kedua dan kembali duduk ke tempatnya.

Hakim memberikan kesempatan bertanya untukku, namun sepertinya pikiranku sedikit kosong setelah melihat dan mendengar apa yang Irene lakukan sehingga aku sendiri bingung untuk menanyakan apa terhadap saksi kedua. Jujur aku sedikit merasa kecewa terhadap klienku karena ia sama sekali tidak mengatakan bahwa terdapat noda darah dipakaiannya. Tapi dengan melihat tangannya yang berkeringat akibat gemetar karena jaksa sudah mulai menyudutkannya, aku harus tetap membelanya.

Untuk kedua kalinya hakim memberikan kesempatan untukku bertanya kepada saksi, aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Saudara saksi, apakah anda melihat langsung saudara terdakwa membunuh korban??"

"heuh??" ungkap spontan saksi kemudian dilanjut "tidak! Saya tidak melihat dia membunuh korban" jawab tegas saksi

"Berdasarkan keterangan saksi yang tidak melihat pembunuhan, maka jaksa hanya menghadirkan bukti tidak langsung. Oleh karena itu, saya meminta agar jaksa segera menemukan bukti langsung berupa senjata yang digunakan untuk membunuh korban. Sekian" tutupku.

Sidang perdana telah selesai dilakukan dan sedikit membuatku merasa lega apalagi setelah Hakim memberikan tenggang waktu kepada Jaksa untuk segera menemukan alat bukti tersebut. Semua orang sudah pergi meninggalkan ruang sidang ini dan yang tersisa hanya aku dan Irene saja. Sambil merapikan dokumen-dokumennya ia berkata "jangan terlalu senang!" kemudian pergi meninggalkanku sendiri.

Wahhh melihat sikap arogannya itu, aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Sekeras apapun aku mencoba bersikap baik padanya, tetap saja dimatanya aku ini tidak bernilai sama sekali. Prinsip 'Diam Lebih baik' itu lebih tepat jika sedang berhadapan dengannya. Karena sidangnya telah selesai, aku merasa lelah dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Baru sampai di luar ruangan sidang, Dean menjegatku.

"Aku barusan liat Irene keluar, diliat dari raut wajahnya kayaknya dia kesel sama kamu" ucap Dean sambil mengikutiku.

"Entah" jawab acuhku

"mau kemana??"

"Pulang" jawab lemasku

"ada yang mau aku omongin sama kamu" ucap Dean yang berhenti melangkah

"Apa itu??" tanyaku yang turut berhenti melangkah

"Ikut aku!!" pinta Dean dan berjalan lebih dulu.

Setelah mengikuti Dean, kita berada di tempat yang lumayan sepi dari suara bising atau suara apapun itu dan yang terdengar hanya suara angin saja karena kita berada di atap gedung.

"Ngapain sih kesini??" ujarku "ayo!!" ajakku untuk turun.

"Bentar dulu!!" pinta Dean yang meraih tanganku.

Di atap gedung ini sudah tersedia sebuah bangku tempat menyaksikan sunset dan sunrise, terlihat jelas gedung-gedung pencakar langit memenuhi hampir sebagian langit ibu kota. Kami berdua duduk dibangku tersebut sembari menatap pemandangan sekitar yang ditemani langit menuju gelap.

"Apa yang mau kamu omongin??"

"aku mau kerja!!... bukan di perusahaan tapi di pengadilan, bukan menjadi pengacara biasa tapi sebagai pengacara publik" jawab lengkap Dean

"Kamu harus berusaha!! Aku pasti dukung kamu" ujarku kemudian berdiri hendak pergi dari tempat ini

"Ada satu lagi" ucap Dean yang membuatku duduk kembali

"Aku,,, menyukai seseorang. Aku berencana mau ngungkapin itu" lanjut Dean yang membuatku sedikit termenung

"Kenapa juga kamu ngasih tau aku soal itu??" tanyaku

"Aku rasa, kamu harus tahu he..he" ditutupnya dengan sebuah senyuman.

Entah apa maksud pernyataan Dean, aku masih belum bisa memahaminya. Tanpa sadar aku memikirkannya maka tanpa sadar pula aku tersenyum.

"Barusan aku senyum??" tanyaku kepada diri sendiri saat sedang tiduran di kamar "eyy gak mungkin aku berharap padanya kan??" tanyaku kembali kepada diri sendiri.

Benar, aku tidak akan berharap lebih kepada seseorang lagi. Akupun saat ini belum sepenuhnya membuka hati untuk orang lain, rasanya kenangam manis dan pahit masih melekat di benakku.

Malam mulai dingin, suara gemercik hujan terdengar di luar jendela kamarku. Rasa sepi mulai kembali menyelimuti malamku. Aku mulai bosan menjalani kehidupan yang seperti ini. Ibuku jauh disana, apalagi ayahku yang entah berada dimana. Sembari menatap ponsel aku mulai bergumam "aku harap ada yang rindu padaku". Setelah beberapa saat, ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk datang dari Dean, tanpa ragu aku menerima panggilan itu.

"Yuna??" panggil Dean

"Apa??"

"Lagi ngapain"

"kenapa??" tanya balikku.

"Jangan bilang, kamu lagi mikirin aku" canda Dean

"heuh... kok tau" godaku

"Karena kamu.... euhhh... euhh" jawab Dean yang kebingungan mencari balasan gombal

"Lupain. Ada apa??" tanyaku

"Besok kamu mau kemana??"

"Kerja"

"Abis itu mau kemana??"

"Entah. Kenapa??"

"Kalau gitu pulang kerja aku jemput ya!!"

Begitulah akhir percakapan kami, terkadang Dean itu bersikap gak jelas, kekanak-kanakan namun dia juga mampu bersikap layaknya seorang pria dewasa dan bahkan bersikap seperti Mario Teguh.

Sesuai dengan apa yang diucapkannya kemarin di telepon, Dean menjemputku di depan gedung tempatku bekerja menggunakan mobil yang katanya hasil dari profesi pengacara di sebuah firma hukum milik temannya. Dia nampak keren dengan gaya busana kasual yang dikenakannya. Ia sedang bersender di depan mobil sambil menyilangkan kaki, aku datang menghampirinya.

"Masuk!!" suruh Dean padaku untuk menaiki mobilnya.

Ia pun masuk ke dalam mobil. Dan parahnya dia memasangkan sabuk pengaman untukku yang jelas sedikit membuatku merasa canggung bahkan tegang. Setelah itu ia memasang sabuk pengaman untuknya dan kemudian menyetir dalam kecepatan sedang menjauhi gedung kantorku.

"Aku bawa brosur ini buat kamu!!" membuka percakapan dengan mengeluarkan kertas dari tas yang kubawa agar situasi canggungnya menghilang.

"Brosur apa??" tanya Dean yang sedang fokus menyetir.

"Perekrutan pengacara publik tahun ini".... kemudian melanjutkan "mau aku ambilkan formulirnya??"

"aku daftar online aja" ucap Dean

"Biasanya karena membludaknya peminat yang login, situsnya suka crush jadi pihak yang bersangkutan agak mengutamakan yang daftar secara langsung" uraiku

"ohhh,,, kalau gitu bawa satu buat aku" ucap Dean sembari tersenyum

"oke!! Tapi, kita mau kemana??" tanyaku sembari melihat jalan.

Setelah hampir 30 menit waktu tempuh perjalanan, mobil yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan yang dekat dengan pekarangan rumah. Kamipun keluar dari mobil dan menuju sebuah rumah.

Sembari berjalan aku bertanya "ini dimana??" karena lingkungannya terlihat asing di mataku

"Ini rumah nenek aku.. maaf gak bilang dari awal!!"

Sesuai dengan adab yang ada, kami mengetuk pintu dan mengucap salam lebih dulu. Tak lama seseorang datang membuka pintu. Terlihat perempuan yang cukup tua dengan penampilan rambut putihnya. Kami berdua mencium tangannya sebagai bentuk hormat kepada orang yang lebih tua.

"Nenek sehat??" tanya Dean

"Untungnya nenek sehat pas tau cucu nenek mau datang" jawaban sang nenek yang suka bercanda.

Nampaknya nenek Dean bingung dengan keberadaanku, melihat situasi demikian Dean langsung tanggap memperkenalkanku kepada neneknya. Kamipun masuk kedalam rumah nenek.

Di dalam rumah itu, tidak timbul ciri-ciri orang lain yang tinggal disana maka aku menyimpulkan bahwa nenek Dean tinggal seorang diri. Di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman kami duduk di kursi dan berbincang-bincang.

"Saya minta maaf, karena datang dengan tangan kosong" ucapku pada nenek Dean yang sedang menyiapkan minuman untuk kami.

"Tidak papa, kalian datang kesini saja nenek sudah senang" balas nenek, kemudian melanjutkan "sudah berapa lama kalian pacaran??"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan nenek Dean, membuatku diam seribu bahasa.

"Kita gak pacaran kok nek!" bantah Dean

"Eyy.. diakan perempuan pertama yang kamu kenalkan. Masa kalian gak pacaran" ungkap nenek yang tidak percaya.

Omongan yang diucapkan nenek Dean membuatku merasa tidak nyaman. Untungnya kami tidak lama berada disana, Dean segera memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Di perjalanan pulang, aku sedikit merasa terhormat karena aku adalah perempuan pertama yang ia kenalkan kepada neneknya.

"Yang nenek kamu bilang tadi, itu beneran??" tanya penasaranku kepada Dean yang sedang fokus menyetir.

"Yang mana??"

"Itu... yang.. itutu" gelagapku yang kemudian diserobot Dean.

"Ahhh.... bener. Kamu yang pertama". Jelasnya yang membuat pipiku merah merona mirip orang kepanasan.

Dari hari ke hari, perasaan ingin segera bertemu dengan Dean mulai muncul. Melihat sikap baiknya padaku membuatku merasa nyaman ketika berada dekatnya. Mengingat perkataannya beberapa hari yang lalu bahwa dia menyukai seseorang, sekarang aku mulai berharap bahwa orang itu adalah aku.

Pekerjaan masih terus berlanjut. Untuk kali ini, aku berangkat kerja tanpa sarapan lebih dulu. Gerimis pagi tak menyurutkan semangatku untuk bekerja apalagi di senin pagi ini. Sampai di kantor dengan baju yang sedikit basah karena harus berjalan dari halte, disambut oleh Tiara dan Rizky yang sedang melakukan tugas masing-masing.

"Good Morning" sapa Rizky dan Tiara

"Good Morning" balasku dengan menuju tempat duduk

"Kamu gak bawa payung??" tanya Rizky

"Euhh" jawab sederhanaku sembari mengangguk "Febri belum dateng??" tanyaku pada mereka.

"Dia menuju ke mahkamah" jawab Rizky.

"ahhh..... kalian udah sarapan??" lanjut tanyaku

"Belum" jawab Tiara

"Aku udah" jawab Rizky yang masih fokus dengan komputernya

"Kalau belum, istri kamu kebangetan ky. Masa ia pengantin baru gak dikasih sarapan" candaku yang membuat fokusnya tergoyahkan.

"Kita sarapan dulu yuk!!" ajakku kepada Tiara.

Berada di sebuah restoran cepat saji yang posisinya tidak jauh dari kantor, aku dan Tiara duduk berhadapan dan pastinya tidak akan pernah luput dari obrolan-obrolan.

"Aku mau cerita" imbuhku

"Aku mau dengerin" balas Tiara

"Aku punya temen, nah dia itu punya temen cowok"

"Terus??" tanya Tiara

"Dia itu dibawa ke rumah keluarga temen cowoknya itu, padahal mereka itu gak pacaran. Gimana menurut kamu??"

"Biasa aja" jawab singkat Tiara sembari menyantap sarapannya.

"Apa??" balasku yang sedikit tertegun mendengar jawaban Tiara

"Bukannya itu udah jadi hal lumrah di zaman sekarang" jawab santainya

"Tapi, dia itu cewek pertama yang diajak kerumah keluarganya itu" balasku dengan intonasi ngotot "memang bukan acara formal sih, tapi tetep aja kan dia cewek pertama yang diajak ke rumah keluarganya".

"Kalau gitu, selamat ya!" Tiara mengulurkan tangan padaku.

"Selamat buat apa??" secara spontan menerima uluran tangan Tiara.

"Selamat aja!"

"Terus, kenapa kamu ngulurin tangan segala??" tanyaku sembari melepaskan uluran tangan Tiara.

"Bukannya 'dia' itu kamu??" tanya polos Tiara

"Bukan aku, beneran bukan aku. Aku bilang temen kan!" ngototku

"Iya, iya.... pokoknya siapapun itu, selamat. Karena siapa tau si cowoknya itu punya perasaan khusus sama cewek itu" jelas Tiara.

"Iya gitu??".

Disisi lain, malam hari sekitar pukul 20.40. Sikap gigihnya Irene yang ingin menaklukanku di sidang berikutnya. Ia berusaha keras mencari barang bukti senjata tajam itu. Beberapa polisi serta penyidik bahkan anjing pelacak turut dikerahkan mencari barang bukti tersebut. Tak luput dari itu, bahkan Irene sendiri ikut turun tangan. Hampir menghabiskan waktu 1 jam di sekitar TKP, barang bukti itu masih belum ditemukan sampai-sampai membuat Irene frustasi.

"Saya menemukan pisaunya!!" ujar salah seorang polisi

Irene pun langsung menuju polisi itu. Setelah sekian lama ia mencari, akhirnya berkat kerja keras serta kegigihan mereka terbayar sudah dengan ditemukannya senjata tajam berupa pisau yang masih tertempel darah. Lalu, Irene yang merasa puas akan hal ini dan segera meneleponku tanpa menunggu waktu lama. Yang terlintas dipikiranku akan fenomena ini adalah "ngapain dia nelpon malem-malem??" yang seperti tidak ada waktu lain lagi, aku pun menerima panggilannya tersebut.

"Alat buktinya sudah ketemu!!" ujar dia

"Oh ya??"

"Aku pastikan, kamu akan kalah di persidangan nanti!!" balasnya yang kemudian menutup panggilan telepon.

Percakapan via telepon antara aku dan Irene hanya sampai disitu. Terkadang aku merasa lucu melihat tingkahnya yang seolah mengatakan ia belum dewasa. Aku bahkan tidak pernah tahu alasan pasti kenapa ia bertingkah seperti itu hanya padaku. Dia akan bersikap konyol layaknya orang bodoh yang tidak mau kalah.

Setelah mendapat panggilan dari Irene, aku merasa terganggu dan bergumam sendiri "gimana kalau di senjata itu ada sidik jarinya terdakwa??" sembari duduk di sofa depan tv dengan menggigit kuku jempol jari tangan kiri.

Esok harinya, aku segera menuju lapas untuk memberitahukan hal ini kepada klienku dan merancang strategi untuk sidang berikutnya. Seperti biasa, di ruangan yang sama bahkan ditemani sipir yang sama pula. Kami berbincang mengenai perihal ini.

"Senjatanya sudah ditemukan!!" ucapku membuka percakapan ini.

Terdakwa pun menjawab dengan spontan "Alhamdulillah kalau gitu"

"Bapak gak takut??"

"Kenapa saya harus takut??".... "kalau memang senjatanya sudah ditemukan, berarti saya akan terbebas dari tuduhan ini" ucap terdakwa dengan wajah senyum

"Tidak ada sidik jari bapak'kan di sana??" tanya keraguanku

"Tentu saja. Bahkan melihat bentuknyapun saya tidak pernah"

"Kita pikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Gimana, kalau seandainya tidak ada sidik jari siapapun di sana??" tanyaku yang membuat terdakwa tertegun tak dapat merangkai kata.

"Kalau saja itu sampai terjadi, karena peran bapak sebagai pelaku utama maka otomatis jaksa akan menuduhkan itu semua kepada bapak. Dan,,,, pastinya akan menyulitkan kita"

Benar-benar mengganggu, aku sampai tidak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan cerita ini, yang paling jelas adalah aku harus membuktikan ketidakbersalahan klienku.

"Saya tanya sekali lagi, bukan bapak'kan pelakunya??"

"Saya tidak bohong. Beneran bukan saya" jawab terdakwa yang kukuh dengan prinsipnya

"Kalau gitu, kita harus menangkap pelaku sebenarnya!" ucapku sembari menggigit kuku jari jempol tangan kiri dengan wajah gelisah.

Jelas terasa, langit biru laun-laun berganti dengan langit hitam yang ditemani cahaya kelap-kelip. Rasa pegal terasa diseluruh badan apalagi di kaki karena sering sekali berjalan. Ketika masih berjalan menyusuri trotoar seorang diri, ada sebuah mobil berhenti tepat sejajar denganku di bahu jalan sehingga membuatku berhenti berjalan. Pemiliknya membuka kaca pintu mobil perlahan-lahan. Tanpa diduga sebelumnya, pemilik mobil itu ternyata Dean.

"Neng,, jomblo ya?? Kok jalannya sendiri aja!!" ucapnya didalam mobil yang membuatku tersenyum

"Iya nih, udah cantik gini masih belum laku juga" balasku

"Kalau gitu sini naik! Abang anterin pulang"

Bukan karena aku ini perempuan gatal ya, tapi berhubung itu Dean makanya aku mau. Kalau saja itu orang lain, tentunya sudah tak akan aku gubris sama sekali.

Masih dalam tugas yang sama, di sebuah ruangan yang sama pula. Saat ini aku menemani klien untuk menanyakan hal yang membuat janggal di benakku.

"Karena bapak sudah mengamati korban sebelum ditemukan tewas, maka setidaknya bapak tahu orang yang pernah mendatangi rumah korban"

"kenapa kamu penasaran sama hal itu??" pertanyaan klienku.

"Sebelum ke orang lain, bukannya kita harus mengenal orang terdekatnya dulu kan??" balik tanyaku dengan sedikit mimik melebarkan bibir.

"Seingat saya, hanya satu orang yang pernah masuk ke rumahnya"

"Siapa??" tanya seriusku.

"Entah pacarnya, temannya atau keluarganya saya kurang tahu"

"Laki-laki??"

"iya!" jawab singkatnya

"Seperti apa penampilannya??" tanya penasaranku

"Tingginya ideal, tampan, yang pasti usia pria itu terlihat tidak beda jauh dengan korban"

"Ngapain dia disana??" pikirku bertanya pada diri sendiri. Namun karena terdengar oleh terdakwa maka ia pun menjawab "saya juga tidak tahu"..

"Tapi, yang jelas" lanjut terdakwa

"Kenapa??" tanyaku

"Saya lihat pria itu keluar dari rumah korban, tak lama disusul korban yang menangis memohon sama pria itu"

"Memohon?? Kenapa??"

"Sepertinya mereka sedang bertengkar, karena pria itu memasang wajah marah"

Jawaban terdakwa membuatku berpikir lebih keras 'siapa yang berbohong diantara mereka??'. Araghhhh entahlah, yang paling penting adalah mendengarkan lebih dulu baru kemudian membuktikan semua apa yang ia katakan jika memang benar adanya.

"Ahhh... saya juga mendengar kalau pria itu tidak mau menikahinya. Dan saya mendengar perihal anak" lanjut terdakwa.

"Bapak yakin??"

"iya, saya yakin!" ucap klienku.

"Bapak tidak sedang mengada-ada kan??" ucap keraguanku.

"Saya tidak bohong!" tegas terdakwa

"Kenapa bapak baru bilang ini sekarang??" dengan wajah kecewa

Dan dia menjawab dengan polosnya "karena kamu baru bertanya ini sekarang".

Jawaban polosnya yang keterlaluan itu membuatku ingin 'menyleding' lehernya. Sesuai apa yang ia sebutkan, aku harus membuktikan semuanya. Oleh karena itu, aku kembali ke kantor untuk meminta bantuan Tiara. Berkat ketekunan dan kerja keras Tiara jugalah, sejauh ini aku mampu memenangkan kasus. Dengan tergesa-gesa aku memasuki ruangan dan langsung menghampiri Tiara yang sedang bekerja di mejanya.

"Kenapa?? Kamu bikin aku gelisah tau gak??" tanya Tiara yang merasa keresahan melihat tingkahku.

"apa korban punya anak??" tanyaku dengan gelagapan

"Apa maksud kamu??" balik tanya Tiara yang jelas tidak mengetahui akan hal ini.

"Jawab aku!!"

"Setau aku dia masih gadis. Kenapa??"

"Nggak papa" tutup ku.

Sesaat mendengar jawaban Tiara, aku duduk di tempat kerjaku. Pembicaraan terdakwa membuatku kembali berpikir keras sehingga tanpa sadar aku melakukan kebiasaan yakni menggigit kuku jari jempolku.

"Map yang waktu itu aku kasih, udah dibuka??"

"Heuh??" linglungku "belum! Belum sempet" pungkasku

"Bukannya belum sempet, tapi tidak menyempatkan!!" ceramah Tiara dengan memainkan komputernya.

Aku membuka laci dan mengambil map itu, disana tertera sebuah cap serta tulisan dari Badan Forensik tempat dimana korban dilakukan visum. Aku mulai membuka map itu, kemudian membaca isinya dari awal sampai akhir. Setelah selesai membaca, isinya membuatku tercengang. Karena melihat mimik wajahku yang demikian adanya, membuat Tiara penasaran dan iapun bertanya.

"Kenapa??"

"Korban sedang hamil 2 bulan!" jawabku yang masih tak percaya.

"Apa?? Tapi diakan belum menikah. Gimana bisa??" tanya kembali Tiara sama sepertiku yang masih belum percaya.

"bodoh!! Kenapa aku baru buka ini sekarang!!" sesalku kepada diri sendiri. "kamu tahu kontak temen korban??" tanyaku kepada Tiara.

"Iya. Aku nyari tau buat berjaga-jaga"

Sesuai dugaanku, keahlian Tiara memang sudah tidak diragukan lagi. Sikapnya yang sigap akan hal-hal seperti ini menjadikanku betah bekerja dengannya. Tiara mengirimkan kontak teman korban padaku. Segera setelah mendapatkan kontak itu, aku menghubunginya. Tanpa menunggu lama orang itu menerima panggilan telepon dariku.

Terdengar "Halo!"

"Iya, Halo" jawabku "apa kamu temennya 'Melinda'?" *nama korban

"Iya" jawabnya "tapi, anda siapa ya??" lanjutnya

"Saya pengacara terdakwa yang membunuh 'Melinda'"

"Ahh. Ada apa ya??"

"Bisa kita bicara sebentar?? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan!" Pungkasku.

"Iya.. bisa. Tapi, sekarang saya sedang kerja. Gimana ya??" ucap bingung dia.

"Tidak apa-apa. Saya tunggu jam pulang kerja ya?"

"Iya. Nanti saya kirim alamatnya!"

"Iya. Terima kasih sebelumnya" tutupku kemudian menutup panggilan.

Dengan adanya hasil autopsi ini, setidaknya aku memangkas sedikit keraguan terhadap terdakwa. Waktu pulang kerja sebentar lagi, dan teman 'Melinda' mengirim pesan padaku. Setelah mendapat pesan itu, aku menuju tempat yang ia tulis via pesan.

10 menit berlalu, aku masih menunggunya di sebuah kafe. Jarum jam bahkan sudah menunjuk pukul 5 yang artinya waktu kerja sudah berakhir. Sedikit demi sedikit aku meminum coffe latte yang sudah aku pesan tadi, bahkan karena lamanya aku menunggu dia, coffe ku sudah hampir habis namun dia masih belum datang juga. Setelah menunggu 30 menit di kafe ini, akhirnya ia meneleponku sekaligus menyuruhku untuk mengacungkan tangan agar ia tau posisi dudukku dan tidak salah orang. Kami pun bertemu.

"Maaf, aku terlambat!" ucapnya sebagai tanda bersalah

" tidak apa-apa. Silakan duduk!" suruhku padanya

Ia pun duduk berhadapan denganku, situasinya jelas canggung sekali karena ini pertama kalinya kami bertemu.

"Saya pesankan coffe latte, tapi mungkin sudah dingin"

"Ohh iya, tidak papa!" ucapnya sambil tersenyum

"Saya Yuna, pengacaranya terdakwa yang membunuh teman anda" kenalku dengan mengulurkan tangan pertanda untuk berkenalan.

"Saya Jenni" bersalaman denganku.

Kami menyudahi bersalaman, sebagai tanda sebuah perkenalan.

"Ada apa ya??" tanya Jenni

"sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu. Karena ada hal yang saya ingin tanyakan mengenai korban makanya saya mencari kamu sebagai orang yang dekat dengan korban"

"Iya, silakan tanya apa yang ingin kamu ketahui dari saya!"

"Apa kamu tau, korban meninggal dalam keadaan hamil??" ungkap pertanyaan pertamaku.

"Apa?? Hamil??" jawabnya dengan wajah kaget

"Kamu belum tau??" Tanyaku dengan melihat wajahnya yang sudah mengungkapkan ketidaktahuannya tentang ini. Aku pun membuka tas, mengambil map hasil autopsi korban yang kubawa-bawa dari kantor. Kuberikan map itu pada Jenni, teman korban. Ia pun mulai membacanya dan memperlihatkan wajah seakan tak percaya dengan apa yang tertulis di sana.

"Di sana tertera, kalau korban meninggal dalam usia kandungan 2 bulan!"

"Saya baru tau ini. Bahkan kalau kamu tidak memberitahu maka saya tidak akan pernah tau" ungkap Jenni.

"Kenapa dia menutupi kehamilannya?" pertanyaan keduaku dan selanjutnya bertanya "dia punya pacar??"

"iya, punya. Namanya Juna" jawab Jenni

"Kamu mengenalnya??" lanjutku bertanya

"Saya tidak terlalu mengenal pacarnya, tapi kami pernah bertemu. Bahkan itu hanya sepintas saja" pungkas Jenni

"Kami sudah melihat akun media sosial milik korban tapi tidak ada satupun foto pria. Kamu punya fotonya??"

"iya, Juna melarangnya untuk mengupload. Tapi, kami semua pernah berfoto bersama"

"Kamu bisa kirim fotonya??" pintaku

"Iya bisa" ucap Jenni yang kemudian membuka ponsel dan mengirimkan foto via whatsapp (aplikasi chat)

"sebelum terjadi pembunuhan, apakah pacarnya sering mengunjungi rumah 'korban'??" pertanyaan berikutnya.

"Saya kurang tau, tapi waktu itu kebetulan saya mau ke rumah barunya, tapi tiba-tiba dia ngirim pesan via whatsapp dan bilang 'nanti aja, soalnya sekarang lagi ada Juna'. Karena dia bilang gitu, makanya saya gak jadi pergi" jelas Jenni

"Kalau boleh tau, itu kapan ya??"

"Entah, saya juga lupa. Tapi chatnya belum saya hapus. Sebentar ya!" pintanya sembari memeriksa percakapan chat di ponselnya "ahh.. tanggal 9 januari" lanjutnya.

"Itu tepat sehari sebelum korban dibunuh" ucapku. "Boleh saya minta alamatnya Juna??"

Tak lupa diakhir percakapan, aku mengucapkan terima kasih banyak pada Jenni karena sudah bersedia menjadi narasumberku. Mendengar dari teman korban yang ceritanya senada dengan klienku. Kemungkinan memang benar bahwa dia tidak membunuh korban dan bisa jadi yang membunuh korban itu adalah pacarnya sendiri. Memang belum ada bukti konkritnya tapi setidaknya spekulasi ini bisa menjadi awal tombak tercipta cerita yang sebenarnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login