Download App
19.44% Tiba Saat Iblis Menggenggam Dunia / Chapter 7: Ch. 7 Diatmar O'Vshaloma

Chapter 7: Ch. 7 Diatmar O'Vshaloma

Di depan kelas 10-1.

Seorang pria berwajah lonjong dengan jenggot panjang berdiri di depan kelas dengan sabar. Pakaiannya seperti gamis putih dari arab dengan lengan panjang. Mengenakan ikat pinggang untuk menaruh pedang dengan ganggang dan sarung berwarna abu-abu. Dari kejauhan dia melihat Aswa datang sendirian. Senyum tergores di wajahnya yang agak gelap. Lalu berjalan menemui Aswa. 

" Asnawarman Hamran... salam kenal... Saya Ansep Balasudewa."

"Salam kenal Bapak. Cukup panggil Aswa." Menunjukkan sopan santun Aswa menundukkan kepala di hadapan guru.

Ansep mengangkat pundak Aswa agar kembali tegak, "Tidak perlu sopan.  Anda pantas untuk sedikit sombong. Wakil Kepala Sekolah meminta saya menjemput Anda menemuinya. Mari, silahkan."

Ruang Wakil Kepala Sekolah bidang Pendidikan berdekatan dengan ruang guru yang berada di sisi barat sekolah. Selain bidang pendidikan, Kepala Sekolah juga dibantu dua Wakil lainnya di bidang Umum yang berkantor di sisi selatan sekolah dan di bidang Kesiswaan yang berkantor di sisi timur sekolah.

Bersama Ansep, Aswa mengitari lorong sekolah sebelum menaiki lift yang dikawal seorang penjaga. Melewati ruang dewan guru, laboratorium, dan ruang latihan, mereka akhirnya tiba di depan pintu wakil kepala sekolah. Plang nama ruangan juga tertulis seperti itu.

Ruangan wakil kepala sekolah seluas satu lapangan futsal. Aswa tidak berhenti berpikir dengan santai, merekam setiap detil yang ia lalui sejak bersama Ansep Balasudewa, hingga akhirnya masuk ke ruangan wakil kepala sekolah. Pertanyaan yang muncul bisa saja seputar itu karena kemungkinan besar ini adalah tes menjadi guru untuk Aswa. Muhayman sudah menginstruksikannya untuk menerima posisi tersebut.

Namun sayangnya, kemampuan Aswa membaca pikiran tidak mampu menembus seorang ahli spiritual dengan ranah pikiran yang luas, padat dan mendalam. Walaupun tidak sekompleks alam pikiran Aswa. Menggambarkan belum matangnya kemampuan Aswa untuk membaca pikiran.

Hal-hal seperti ini sudah Aswa prediksi tadi malam, sebelum tidur. Wawasannya akan diuji sekarang.

Tidak bisa membaca pikiran. Tidak mengetahui latar belakang siapa wakil kepala sekolah bidang pendidikan saat ini. Tidak ada informasi di internet atau sumber lain yang bisa Aswa akses untuk mengetahui orang tersebut. Di dunia ini, orang-orang lebih fokus pada mengembangkan kemampuan diri dari pada bermain di dunia maya dengan sekian banyak layanan di dalamnya.

Praktis, ibarat main game, Aswa tidak tau gaya permainan lawannya. Hanya sedikit informasi yang saat ini dapat diindranya. Warna dinding krem, jenis tanaman air dalam pot, satu lukisan abstrak yang sepintas mirip naga. Informasi ini bisa ia jadikan sumber data sementara. Ada lagi lukisan dua ekor kuda sedang berlari.

Untungnya lawan saat ini bukan untuk dikalahkan. Bahkan tidak boleh dikalahkan. Jika Aswa benar-benar menang, tidak diketahui bahaya yang akan dihadapinya di masa depan. Tapi secara konsep, Aswa juga tidak boleh kalah karena instruksi ayahnya, Muhayman. Hasilnya harus "remis". Bagaimanapun caranya.

Strategi awal, Aswa harus menunjukkan ekspresi normal. Ekspresi seorang remaja yang sedikit gugup karena tidak tau apa yang akan terjadi. Ini untuk mengurangi tingkat kesulitan tes. Akting adalah kemampuan Aswa yang lain.

"Bisa menjawab dengan tenang saat terjadi kericuhan sungguh seorang jenius. Silahkan duduk."

Aswa mengangguk lalu duduk di atas sofa putih yang sangat empuk. Pikirannya menjadi sangat tenang saat itu. Namun masih dalam kuasanya.

Kursi disusun leter U. Satu sofa panjang di tengah dan dua single sofa di sampingnya saling berhadapan. Meja diletakkan di sisi lain dinding berhadapan dengan sofa panjang. Di atasnya tersedia kudapan dan susu panas di antara 3 cangkir kosong.

Saat ini Aswa duduk berhadapan dengan wakil kepala sekolah yang tidak menampilkan sedikitpun senyum di wajahnya. Dari persepsi awal Aswa, ia seperti seorang Demigod. Tingginya hampir 190 cm. Tubuhnya besar dan berotot dapat tergambar walau berbalur pakaian putih dan jubah putih yang longgar. Pinggangnya jelas ramping dengan ikat pinggang dari kulit binatang. Rambutnya disisir rapi ke arah belakang dan berwarna abu-abu.

"Asnawarman Hamran... putra dari Muhayman. Ayahmu alumnus sekolah ini dan sekarang sudah menjadi veteran resimen, usia 75-an." Wakil kepala sekolah memandang lukisan sambil berbicara. Menunjukkan sikap angkuh.

 Aswa menggunakan satu domain [Domain 8] pikiran untuk merekam tiap kata dan perilaku wakil kepala sekolah, satu domain [Domain 7]untuk menjaga sikap, satu domain [Domain 6] untuk melakukan verifikasi data dan menggunakan satu domain [Domain 5] untuk menganalisa. Total 4 domain digunakan! Setiap ranah pikirannya saling berinteraksi memecahkan setiap pertanyaan yang ia ajukan sendiri sebagai suatu rumusan masalah.

"Bisa melanjutkan pengabdian orang tua terhadap pemerintah adalah sesuatu hal yang tentu saja membanggakan. Benar begitu, bukan?" Wakil kepala berdiri mengambil minum di atas meja.

Aroma susu membuat Aswa sedikit ngiler... untung satu domainnya menjaga sikap seluruh tubuhnya, meredam gerakan-gerakan yang tidak diperlukan...

Wakil kepala kembali duduk di sofa tapi kini bersebelahan dengan Ansep di sofa panjang membawa kudapan dan secangkir susu. "Santai saja, tidak ada ujian atau test atau semacam hal bodoh lainnya."

Senyum Wakil kepala sekolah tersimpul di wajahnya. "Oh, ya! kita belum berkenalan. Siapa saya?"

"hmm... Anda jelas orang yang bodoh di sini." Mulut Aswa sedikit bergumam. Saat ini ia membuat kesimpulan pertamanya. Pertanyaan ini membawa kesan angkuh. Memandang rendah seorang remaja. Intinya adalah pantaskah Aswa menjadi seorang guru dengan mentalitas yang ia miliki? Tekanannya tentu lebih berat dari guru lain, karena secara de Jure ia adalah seorang siswa. Sangat mudah untuk disimpulkan, tapi bagaimana Aswa menjawabnya.

Selama situasi ini ia telah membuat beberapa hipotesis berdasarkan sedikit informasi yang ia miliki. Wakil kepala sekolah bidang pendidikan ini menunjukkan kepada Aswa jika ia sedang berbohong. Beberapa hal di ruangan ini bisa saja rentetan kebohongan. Namun tidak semua, dalam matematika negatif dikali negatif hasilnya positif. Ada beberapa hal yang bukan kebohongan, tapi apa itu? Pertama, lukisan. Wakil kepala sekolah menyukai seni lukis adalah 80 persen kebohongan. Saat pertama berkomunikasi dengan Aswa, ia malah memandang lukisan tanpa memandang lawan bicaranya, bak seorang yang angkuh namun mencintai seni. Hal ini justru memberikan banyak informasi yang membantu Aswa mengurangi redudancy. Hanya saja, bagaimana menjawab pertanyaan tersebut? Jawaban-jawaban cerdas diperlukan di sini untuk mendapat hasil "remis". Jika tidak, maka nyawa yang menjadi taruhannya.

Mati dibunuh oleh seorang penting di dunia yang mengandalkan kekuatan akan menjadi pertentangan yang melelahkan. Bahkan bagi keluarga rendahan, melawan mereka yang memiliki kekuasaan atau relasi dengan pemilik kekuasaan akan membuat kerugian yang lebih besar.

Makhluk rendahan dalam percaturan dunia ini seperti seorang hamba yang hendak makan nasi dengan lauk. Nasib buruk. Lauk dicuri kucing. Pergi mengejar kucing, nasi habis dipatuk ayam.

Dalam kondisi seperti ini Aswa tetap berupaya menjawab dengan sopan ala remaja dari keluarga pelayan.

"Tentu saja Bapak adalah wakil kepala sekolah bidang pendidikan. Tugas Bapak super sibuk jadi hampir tidak ada waktu untuk diluangkan. Saya berterima kasih karena Bapak sudi meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya?" Aswa menjawabnya dengan nada polos, tapi tidak cengengesan. Mengapresiasi, tapi tidak menjilat.

Wakil kepala sekolah menunjukkan wajah tidak suka dengan jawaban Aswa yang ia akui cukup baik.

Matanya melotot.

"Dari mana kau tau aku wakil kepala sekolah? Berada di ruangan ini bukan berarti aku wakil kepala sekolah. Bagaimana jika aku penjaga sekolah? Seorang guru? Atau malah akulah kepala sekolah?"

"Saya mengakui kalau saya hanya menebak. Pak Ansep yang mengatakan akan membawa saya bertemu wakil kepala sekolah bidang pendidikan dan kami berakhir duduk santai di sini. Pak Ansep memang tidak mengatakan apa-apa. Saya keliru dalam menginterpretasi perilaku non-verbal. Saya minta maaf." Jawaban Aswa menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak salah, yang salah itu adalah wakil kepala sekolah yang sok amnesia, namun tidak perlu ada yang disalahkan.

"Baiklah, sebenarnya aku adalah kepala sekolah. Saat ini aku juga sedang menunggu wakil kepala sekolah yang saat ini menuju ke sini. Jika kau tidak percaya, kau bisa bertanya dengan pak Ansep. Saat ini banyak sekolah yang kesulitan mencari guru mata pelajaran umum yang memenuhi standar. Anak muda banyak yang memilih untuk mengembangkan kemampuan dan kekuatan spiritual ketimbang memperdalam wawasannya. Kami memang sudah memiliki dua orang guru untuk mata pelajaran itu. Tapi itu kami rasa kurang. Sudah lima tahun kami membuka lowongan, tapi tidak ada yang mendaftar." Pria Demigod benar-benar tidak menyukai percakapan ini. Semakin banyak kata-kata yang ia keluarkan, semakin menunjukkan jika ia tidak ingin Aswa kembali berbicara.

Kontak sosial seperti ini belum pernah Aswa alami sebelumnya. Namun secara teoritis ia telah banyak membaca jurnal hasil penelitian tradisi psikologi sosial. Ditambah lagi tentang wawasan retoris dan pemahamannya tentang sosiokultural. Secara verbal dan nonverbal, Aswa melihat bahwa Pria Demigod seakan ingin mengakhiri perbincangan.

Pria Demigod tiba-tiba berdiri dengan tegas. "Setelah saya melihatmu secara langsung, sudah saya putuskan untuk tidak merekrutmu menjadi guru karena wawasanmu masih dangkal, dengan informasi yang ada anda masih tidak dapat mengetahui siapa saya. Di samping itu, kualitas spiritual dan kekuatan fisikmu sangat lemah. Mulai besok anda tidak perlu sekolah di sini lagi, semua kerugian yang anda derita akan kami ganti sebagai kompensasi."

Check mate!

Check mate!!

Check mate...!!!

Wakil kepala sekolah merasa tidak perlu melanjutkan obrolan sampah ini. Aswa jelas tidak kompeten di matanya dengan menyudahi obrolan.

"Pak Kepala Sekolah..." Aswa masih duduk dengan tenang di atas sofa.

"Apa yang kau tunggu?" Mata pria Demigod melotot marah.

"Tidak ada yang saya tunggu... saya hanya ingin mengganti bentuk kompensasi." Aswa masih sangat tenang.

Prak...!!! cangkir di tangan Pria Demigod pecah dalam genggamannya. "Tidak ada negosiasi!!"

"Saya tidak ingin uang. Saya hanya ingin 'nama seseorang' dari Anda."

Aswa masih sangat tenang, lebih tenang. Berdiri, lalu berjalan menuju meja yang berada di sisi dinding yang lain. Pria Demigod bingung dengan tingkah Aswa.

"Arum Naja Nadvorce!!! Itu namaku! Pergilah!"

"Bukan nama Anda, tapi nama wakil kepala sekolah bidang pendidikan."

Aswa sudah sangat dekat dengan meja. Tangan kanannya segera mengambil cangkir kosong. Sesaat ketika ia hendak mengambil teko berisi susu, meja tiba-tiba terbakar!

"Diatmar O'Vshaloma... ini kompensasi untuk mu..." Tubuh Pria Demigod ini memerah.

"...dan ini kembaliannya!"

Bam...!!

Sebuah tinju mengarah ke kepala Aswa. Pukulan itu sangat cepat dan tepat sasaran, menimbulkan riak energi antara kepala dengan tinju. Sepersekian detik kemudian kepala Aswa membentur dinding hingga memunculkan retakan pada beton. Dengan kekuatan Aswa saat ini, mustahil baginya dapat mengelak. Item Rantai Babi masih mampu menghindarkan Aswa dari kerusakan fatal. Kepala Aswa sedikit pusing karena getaran.

"Anak kurang ajar ini pakai item haram!" Mengetahui Aswa memakai Rantai Babi, Diatmar kembali memukul kepala Aswa.

Bam...!!!

"Menarik. Sejauh mana kekuatan Rantai Babi?" pukulan kembali mendarat di kepala Aswa. Kali ini lebih cepat dan lebih banyak.

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Sepintas Diatmar melihat senyum di wajah Aswa, seolah sedang mengoloknya. Tubuh Diatmar lebih memerah dan mengeluarkan asap!

"Kauuu....!! kau bosan hidup anak tengik??"

Pukulan kembali dilontarkan Diatmar. Namun dengan dua tinju yang mengobarkan api! Kesabarannya sudah habis.

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Bam...! Bam...!! Bam...!!!

Pukulan dengan semangat api  menyebabkan item Rantai Babi sedikit mengalami kerusakan. Jika diteruskan dapat menghancurkan item tersebut. Namun amarah Diatmar sudah tidak terkendali. Dia sudah tak sabar!

"Aku akan membakar anak ini sampai habis... hahaha..." Api mengitari tubuh Pria Demigod.

"Kau yang memutuskan semuanya, kau juga yang akan menanggung resikonya..." Ansep hanya menjadi penonton kala itu. Tidak ada gerakan untuk menghentikan apa yang dilihatnya. Walau menurutnya Diatmar sudah kelewatan.

Nyawa Aswa jelas dalam bahaya, salah satu kelemahan item defensif Rantai Babi adalah Api. Dengan mudah api akan membakar pengguna item Rantai Babi seolah tiada item yang menghalangi.

Sekelebat api berubah menjadi bayangan ular api, terbang ke arah tubuh Aswa. Dalam keadaan terbaring, Aswa yang sedang merintih kesakitan hanya bisa melihat jalaran api ke arahnya.

Aswa mencoba menangkis ular api dengan tangan. Namun, itu semua sia-sia, kobaran api dengan cepat melahap seluruh tubuhnya...

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login