Beberapa binatang spiritual setelah masa hidup tertentu dapat berkomunikasi dengan makhluk lain. Mereka memiliki tekad dan emosi tersendiri sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja mereka tidak memiliki tubuh kasar. Singkatnya, mereka tergolong makhluk ghaib dari dimensi lain. Alasan mereka bisa hadir di dimensi fana karena adanya tabrakan zat sihir antardimensi yang dapat membuka gerbang dimensi. Gerbang ini dapat terbentuk secara sengaja maupun tidak disengaja.
Konon keberhasilan Kaki Tangan Tuhan menyelamatkan dunia dibayar dengan terbentuknya Gerbang Antardimensi. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah besar makhluk spiritual masuk ke dunia yang Aswa tinggali sekarang ini.
Walaupun tidak menutup kemungkinan sebelum periode Gloria yang digaungkan Kaki Tangan Tuhan sudah ada makhluk dari dimensi lain yang bermukim di dunia ini.
Para Penguasa di tiap-tiap Negara telah menginventaris sebagian besar makhluk spiritual. Setelah diteliti oleh Badan Khusus Makhluk Spiritual yang diakui secara internasional, makhluk spiritual akan dimasukkan ke dalam daftar peringkat untuk memudahkan masyarakat menangani makhluk tersebut. Hanya saja untuk sosok tupai yang berada di hadapan Aswa sekarang ini tidak masuk dalam daftar.
Si Tupai memandang sedih ke arah Ningtyas yang saat ini sudah berbalur Kain Kuning lalu berkata, "Seandainya kau masih melakukan hal buruk setelah ku hajar tadi, aku pasti akan membunuh. Perilaku itu sangat memalukan bagi seorang manusia sebagai makhluk yang mulia."
Dalam durasi si Tupai berpidato untuk Aswa, sebagian informasi berhasil Aswa persepsikan hingga menghasilkan kesimpulan. Berawal dari Kain Keramat yang membalut parang secara otodidak. Dilanjutkan dengan balutan kain yang tidak dapat dilepas saat dibutuhkan. Aswa menduga Si tupai ini adalah Roh Pedang!
Aswa hanya perlu mengkonfirmasi kebenarannya. Mengingat selama ini baik dirinya maupun Muhayman tidak menyadari keberadaan Si Tupai yang terlihat seperti Squishy. Sosoknya sungguh menggemaskan!
"Kau mengatakan manusia adalah makhluk mulia, sedangkan diriku dan banyak manusia lain melakukan perbuatan tidak terpuji. Anggapan manusia adalah makhluk mulia di zaman sekarang ini tidak lebih dari kata hiburan..." pancing Aswa.
Si Tupai menatap dalam mata Aswa dan menjawab, "Apakah kau tidak pernah mendengar cerita awal kejadian manusia pertama? Ketika manusia pertama dizahirkan oleh Maha Segalanya, seluruh hamba-Nya diperintahkan untuk sujud kepadanya. Seketika itu juga seluruh hamba itu bersujud, kecuali satu, Iblis. Menurut Iblis itu, keturunan manusia inilah yang akan membuat kerusakan di muka bumi. Baginya tidaklah pantas makhluk yang lebih mulia bersujud kepada makhluk yang lebih rendah. Tapi Maha Segalanya lebih mengetahui apa yang akan terjadi sesudahnya. Pertanyaanku, kenapa hamba-hamba itu diperintahkan untuk bersujud?"
"Itu hanyalah sebuah cerita yang belum diketahui kebenarannya," tentang Aswa santai. Akan tetapi sebenarnya Aswa sedang menutupi hatinya yang mulai tergerak dengan cerita ini. Ia belum pernah mengetahui ada cerita seperti ini sebelumnya.
Si Tupai tersenyum imut sambil terpejam lalu berucap, "Kau boleh tidak percaya aku. Aku memang tidak melihat langsung kejadian itu. Tapi jika Yang Mulia yang menceritakan hal itu, maka aku yakin kau akan seratus persen yakin!"
"Dari mana kau tau tentang Yang Mulia?" tanya Aswa dengan ekspresi terkejut. Pada kenyataannya Aswa telah berhasil mengkonfirmasi bahwa si Tupai ini benar-benar Roh Pedang yang berkhadam pada parang. Hanya saja, satu-satunya informasi tentang Roh Pedang ia dapat dari mimpi takdir, bukan dari sumber informasi lain.
"Kau tidak perlu bertele-tele. Aku memang Roh yang bersemayam di besi parang itu. Setelah kau menumpahkan darah pada parang itu, kesadaranku akhirnya bangkit. Selama kau memasukkan parang itu dalam benakmu, selama itu juga aku mengamatimu! Aku bersamamu saat menghadapi delapan bayangan dirimu sendiri selama dua puluh tahun!" kata si Tupai dengan nada serius.
Tidak perlu pembuktian lain. Pengetahuan si Tupai tentang apa yang menjadi rahasia Aswa cukup bagi Aswa. Banyak hal yang ingin Aswa tanyakan kepada si Tupai. Akan tetapi waktunya tidak memungkinkan untuk saat ini.
"Kalau seperti itu, kita lanjutkan perbincangan kita nanti. Rekanku sedang bertarung. Aku tidak tau apa yang terjadi dengan mereka," ujar Aswa.
Si Tupai lalu berdiri dan berjalan ke arah Ningtyas dan berucap, "Baiklah jika demikian. Aku akan membantumu."
"Aku harus memanggilmu apa? Chip, Munk atau Dale?" tanya Aswa.
"Terserah kau memanggilku apa?" jawab si Tupai dengan santai.
Aswa menawarkan satu nama sambil tersenyum, "Kalau begitu ku panggil Puspus... hehehe..."
"Itu nama kucing!" protes si Tupai.
"Barusan kau katakan terserah padaku! Bagaimana kalau Pukus?" tawar Aswa kembali.
Si Tupai melirik sinis ke arah Aswa sembari berucap, "Itu seperti gabungan nama kucing dengan tikus! Biarlah sudah..." Bagi si Tupai, semestinya nama itu harus merefleksikan kekuatannya. Nama ini jelas menandakan Aswa ingin menjadikannya sebagai hewan peliharaan! Sayangnya ia tidak menyadari hal tersebut.
Pukus nampak cekatan merapikan tempat tidur Ningtyas. Beberapa saat kemudian Aswa membaringkan tubuh Ningtyas yang masih berselimut Kain Keramat.
Aswa tidak begitu menaruh perhatian dengan tubuh Ningtyas karena takut kejadian sebelumnya terulang kembali. Segera setelah membaringkan tubuh Ningtyas, Aswa bergegas meninggalkan ranjang.
Secepatnya Aswa merapikan mayat-mayat yang bergelempangan dan menutupnya dengan kain seadanya. Sembari merapikan mayat, Aswa melihat Pukus sedang menyapu ruangan. Itu jelas-jelas tidak perlu!
"Kenapa kau melawak seperti itu? Setelah urusan kita selesai silahkan kau kerja bakti di sini sendirian!" kata Aswa sedikit kesal.
"Nyanyanya... kalau tidak seperti ini, bagaimana ada unsur humor dalam novel ini?" jawab Pukus tanpa merasa bersalah.
.....
Di saat yang bersamaan, Godel, Neo, Jeon dan Yanda sudah kalah telak dari lawan-lawannya. Mereka saat ini sedang tidak sadarkan diri! Menunggu ajal datang menjemput. Terkecuali Neo yang masih terus sadar dan berdiri walau dihajar habis-habisan oleh Sadi'a.
Kala itu Pria bertelanjang dada mengangkat Jeon ke bahunya membiarkan Yanda yang tersandar di dinding. "Daya tahan gadis ini boleh juga. Jika dididik dengan benar ia akan menjadi sumber daya yang tangguh! Hehehe... aku akan membawanya ke kamar untuk bersenang-senang dulu..." ujarnya dengan senyum mesum.
"Tidak diragukan lagi, Gundik, si bandit rendahan ngotot menghajar remaja gadis hanya untuk melampiaskan nafsu!" komentar Encore yang berpapasan dengan pria bertelanjang dada yang ternyata bernama Gundik. Salah seorang bawahan Encore saat itu sedang menyeret tubuh Godel.
Gundik melotot ke arah Encore. Biarpun kekuatan Encore lebih tinggi dari dirinya, kelicikan Gundik masih bisa meladeni kehebatan Encore. "Urus dirimu sendiri! Aku tidak seperti dirimu yang lebih suka sesama jenis!" bentak Gundik.
Dengan santai Encore membalas, "Aku akan membayar satu juta Rupiah untuk gadis itu. Jika kau tertarik, hubungi aku seminggu lagi."
Mata Gundik terbelalak. Uang satu juta Rupiah melebihi harga buronan dirinya. Harga buronan Gundik senilai 800ribu Rupiah. Dengan uang satu juta ia bisa membeli berbagai hal untuk meningkatkan sumber daya kekuatannya. Hingga saat ini, hanya ia dan kelompok bandit kecilnya yang masih kesulitan mengembangkan kekuatan. Di antara kelompok-kelompok yang dibayar untuk menghancurkan Keluarga Pipit Ungu, mereka adalah yang terlemah.
Gundik mengerti maksud Encore. Ia diberi kesempatan untuk bersenang-senang selama seminggu lalu melepas Jeon dengan harga yang menggiurkan. Memikirkan tingginya harga Jeon membuat Gundik tak dapat berkata-kata. Tokoh setenar Encore tidak akan membuang air liur sembarangan!
Di sisi pertarungan Neo melawan Sadi'a, arah pertarungan sudah menunjukkan tanda-tanda kemenangan Sadi'a. Kaki Neo sudah sangat gemetaran untuk berdiri. Neo sudah mencapai batasnya!
*Bam!*
"Ugh...!" desah Neo kala tubuhnya terhempas ke lantai terkena pukulan keras Sadi'a. Hingga akhirnya Neo tidak mampu untuk bangkit kembali.
"Akhirnya bocah ini menyerah! Sial!" kutuk Sadi'a yang masih belum puas melampiaskan amarahnya karena dipukul Neo sebelumnya.
Sadi'a mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk mengeluarkan serangan ultimate. Ia ingin segera mengakhiri riwayat Neo!
Tubuh besar Sadi'a semakin membesar...
Kedua tangannya saling menggenggam, lalu ia tarik ke arah belakang...
Ancang-ancang Sadi'a membuat tubuh besarnya melayang ke udara!
"Houuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....!"
*Wuuuussszzz....*
Sesaat sebelum kedua lengannya menyentuh tubuh Neo, sosok Sadi'a berubah menjadi pasir! Lalu menghilang tertiup angin!
Sesaat kemudian tubuh Neo turut berubah menjadi pasir dan lenyap begitu saja!
Sama halnya dengan Neo, berturut-turut tubuh Jeon, Godel, dan Yanda ikut lenyap setelah berubah menjadi pasir.
"Tidak ku sangka penjahat paling dicari di kawasan tenggara Benua Kuning hadir saat ini," pikir Encore. "Segera laporkan kepada Master Guild!" perintah Encore kepada bawahannya.
Sadar siapa yang sedang dihadapinya saat ini adalah pendekar yang kekuatannya lebih tinggi dari dirinya, Gundik terkejut dan tubuhnya mulai berkeringat. "Ku pikir tidak ada yang perlu ku lakukan lagi di sini. Aku akan pergi," kata Gundik. Ia memilih untuk terus hidup walau diberi label pengecut dari Encore. Kehilangan Jeon pun sangat tidak masalah saat ini!
.....
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00.
Aswa membongkar item bertarung milik Ningtyas. Semua item dibuat dengan bentuk khusus untuk perempuan. Namun item itu masih jauh lebih baik karena ia tidak punya. Hanya mengandalkan Rantai Babi masih tidak dapat menjamin keselamatan.
Sebuah item Bando dengan telinga kucing menjadi pilihan Aswa di kepala. Item ini dapat membantu Aswa meningkatkan konsentrasinya saat bertarung. Sifat item ini mampu menstimulasi peredaran darah di otak dengan cukup baik.
Pernak-pernik seperti kalung, cincin, gelang dan pelindung kaki yang Aswa gunakan semua bentuknya untuk anak perempuan. Ini wajar karena milik Ningtyas!
Hal yang membuat Pukus tidak bisa menahan tawa adalah gaun putih milik Ningtyas juga dikenakan Aswa!
Aswa jadi HODE!
"Kalau jadi perempuan aku terlihat jelek, ya! Hihihi..." kata Aswa dengan jujur saat bercermin. Bagi Aswa jadi Hode tidak jadi masalah selama kekuatannya meningkat. Tidak kurang dari 60 persen tenaga dalam Aswa meningkat saat mengenakan item-item milik Ningtyas. "Memang harus seperti ini... Orang sekaya Ning tidak mungkin membeli item ecek-ecek!" komentar Aswa.
"Hiks... kenapa kau menyelamatkan ku?"
"Ning..." Aswa kaget melihat Ningtyas yang sudah sadarkan diri. Kain Keramat memang sesuatu!
Ningtyas menutup sekujur tubuhnya dengan Kain Keramat. "Aku malu, Wa... Aku ingin mati saja."
Samar-samar apa yang dipikirkan Ningtyas saat ini muncul di benak Aswa. Kepedihan yang selama ini dirasakan Ningtyas, ditambah dengan kejadian yang baru ia alami turut tampil di minda Aswa walaupun Aswa tidak tau persis seperti apa yang dirasakan Ningtyas saat ini.
Ningtyas sebenarnya sangat sayang dengan keluarganya. Tapi di sisi lain ia membenci praktik kotor yang mereka lakukan. Menurutnya, lambat laun orang-orang yang dendam dengan keluarganya akan menuntut balas.
Akhirnya hal itu benar-benar terjadi. Sampai-sampai kesucian Ningtyas direnggut seorang bandit. Dari kejadian ini, Ningtyas menyalahkan keluarganya sendiri...
Aswa berpikir dengan cepat untuk menenangkan Ningtyas. Salah perkataan dapat menyebabkan perdebatan yang tidak perlu. Bahkan menyampaikan rasa simpati jangan dilakukan dalam kasus ini.
Sayangnya, walau dapat mengetahui apa yang dipikirkan Ningtyas, Aswa tidak bisa turut merasakan kepedihannya.
Saat Aswa yang berada di posisi Ningtyas, bisa saja bukan kepedihan yang dirasakan Aswa, tapi perasaan lain! Aswa dan Ningtyas jelas-jelas berbeda! Bagaimana mungkin Aswa dapat merasakan apa yang dirasakan Ningtyas?
Kadar kepekaan sosial tiap manusia berbeda-beda. Layaknya suatu warisan gen dari nenek moyang. Bahkan mereka yang terlahir kembar sekalipun tetap memiliki kadar kepekaan sosial yang berbeda.
Situasi seperti saat ini memang belum pernah dialami Aswa. Namun dengan pengetahuannya, Aswa tau hal-hal yang tidak perlu disampaikan. Sebaliknya, hal yang perlu dilakukan saat ini adalah berempati!
Dengan berempati, Aswa dapat merasakan seperti apa yang dirasakan Ningtyas dari versi Ningtyas, bukan dari versi dirinya sendiri. Sehingga Aswa dapat memahami apa yang diinginkan Ningtyas saat ini, bukan menerka apa yang Ningtyas inginkan berdasarkan perasaan pribadi.
Aswa tidak boleh berpikir subjektif saat ini. Ia harus mengasumsikan perbedaan antara dirinya dengan Ningtyas terlebih dahulu. Aswa benar-benar wajib menghindari perasaannya saat menempatkan dirinya di posisi Ningtyas.
Biarpun cukup sulit untuk berempati, ada beberapa tips mengembangkan empati yang Aswa baca dari buku Komunikasi Antarbudaya karya Deddy Mulyana. Menerapkan tips mengatasi kaidah emas yang ditawarkan Milton J. Bennet dalam buku itu sedikit banyaknya akan membantu.
Di dalam Kain Keramat, tubuh Ningtyas bergetar hebat. Ia benar-benar tidak sanggup menanggung penderitaan lagi. Kejadian memalukan yang menimpa dirinya ia anggap takdir yang menutup masa depannya.
"Aku mau mati! Aku mau mati... aku mau mati saja..." pikiran ini mulai terus-terusan muncul di benak Ningtyas. Bahkan menggema di benak Aswa!
"Hei! Cukup!" bentak Aswa dengan reflek. Ini adalah respon Aswa dari gema pikiran Ningtyas di benaknya. Lama kelamaan ini bisa saja membuat kepala Aswa menjadi pusing.
Terlanjur berkata dengan nada tinggi, Aswa melanjutkan, "Kau memiliki satu alasan untuk mati! Tapi ada lebih banyak alasanmu yang lain untuk tetap hidup!" kata-kata ini Aswa kutip dari salah satu film Boolywood yang beberapa kali ia tonton. Salah satu adegan favorit Aswa dalam film itu adalah aksi tokoh pria menyelamatkan wanita yang ingin bunuh diri.
"Kau tidak tau apa yang aku rasakan!" bentak Ningtyas dengan nada yang lebih tinggi.
Merasa kesal kalah suara dengan Ningtyas, Aswa mendekat ke telinga Ningtyas dan berteriak, "Kau hanya peduli dengan dirimu sendiri! Tidak peduli dengan keluargamuuuuuu....!!!!"
"Tidaaaaak....!!!!!!" teriak Ningtyas sambil menutup kedua telinganya. Teriakan Ningtyas kali ini lebih nyaring lagi dari Aswa hingga menimbulkan gelombang aura.
Usai berteriak, Ningtyas menangis rendah, isakan tangisnya sedikit menyentuh perasaan Aswa. Saat ini Aswa mulai berhasil melakukan empati. Ia telah memperluas batas-batas persepsi dirinya dan persepsi Ningtyas.
***