Download App

Chapter 21: Ch. 21 Mengatasi Kaidah Emas; Ikatan Ayah-Anak

Secara imajinatif, Aswa sedang membayangkan dirinya menjadi pengamat fenomena interaksi antara dirinya sendiri dengan Ningtyas. Sebagai seorang pengamat, dirinya sendiri saat itu seolah-olah adalah orang lain. Layaknya sutradara  yang sedang memperhatikan adegan dialog drama antara seorang aktor dan aktris remaja. 

Pada tahap selanjutnya, imajinasi Aswa seolah tersedot ke dalam jiwa Ningtyas. Aswa mulai mengalami bayang-bayang masa lalu Ningtyas. Seketika Aswa membiarkan pengalaman itu terjadi. Perasaan itu seolah tiada asing bagi Aswa. Menjadi diri Ningtyas yang dikucilkan dari teman seusianya sejak dari kecil... Mendapat cemoohan dari masyarakat... Terlebih lagi Ningtyas kecil dituntut untuk belajar seni bela diri yang memuakkan... Inilah hidup anak suci dari keluarga penjahat...

Hati Aswa terasa perih mengingat kematian Ayah yang terbunuh saat diserang sekelompok pembunuh bayaran... Tidak berapa lama Ibu menyusul Ayah karena terus sakit-sakitan...

Mengingat perlakuan Gundik, hati Aswa tambah teriris... Inilah rasanya menjadi korban nafsu bejat...

Baginya, keperawanan adalah simbol kehormatan. Melambangkan kesucian. Hanya kepada orang yang dicintailah kesucian itu diberikan...

Masih dalam bayang-bayang empati, terbesit dalam pikiran Aswa kala itu keinginan memutar balik waktu... 

"Aku ingin menjadi diriku di usia sepuluh tahun... kabur dari keluarga ini... mengejar impianku menjadi seorang pembalap... Walaupun aku sangat sayang kepada mereka... Ibu... Ayah... maafkan Ning..." 

Keinginan memutar balik waktu lenyap di benak Aswa karena itu tidak mungkin. Keinginan itu berubah kembali menjadi memori kelam tentang perilaku bejat Gundik! "Diriku telah ternoda! Tidak ada yang akan mau menerima diriku!"

" Aku ingin mati saja... Aku ingin mati saja..."

Aswa tenggelam dalam pengalaman Ningtyas. Hingga akhirnya ia lupa bahwa dirinya bukan Ningtyas!

...........

*Plok!*

Pukus memukul kepala Aswa untuk menyadarkannya. "Hentikan itu! Kau ingin selamanya jadi orang lain?" bisik Pukus.

Berhasil berempati, Aswa menjadi paham dengan apa yang dirasakan Ningtyas. Tidak diragukan lagi, pengalaman itu hampir sama persis. Bahkan Aswa sempat menjadi diri Ningtyas. Jika itu dibiarkan berlarut-larut, Aswa akan melupakan dirinya sendiri dan berubah menjadi Ningtyas versi laki-laki!

Masih dalam mode empati yang berangsur-angsur tertekan diri Aswa yang asli, Aswa memeluk tubuh Ningtyas seakan-akan ia memeluk dirinya sendiri. "Ayah dan Ibumu tidak akan bahagia melihatmu mati. Mereka berharap kau dapat memperjuangkan keluarga ini. Walau pada akhirnya sekarang kita tidak tau nasib keluargamu. Kau boleh menyalahkan mereka karena berbuat kejahatan di mana-mana. Tapi kau tidak boleh bohong kalau kau menyayangi mereka dan mereka sangat sayang padamu. Kalau kau ingin meraih mimpimu yang tertunda, Tuhan telah memberikanmu kesempatan untuk itu. Tidak perlu lagi kau berlatih seni bela diri. Kau sudah cukup kuat! dan kau tidak sendirian, Ning! Ada aku, Jeon, kami akan menyayangimu seburuk apapun keadaanmu!"

"Ayaaaaah..." Ningtyas meraung, menangis sambil memeluk Aswa. Sosok Aswa seolah menghidupkan kembali Ayahnya yang telah meninggal dunia.

"Ning sayang Ayah... Ning tidak mau mengecewakan Ayah... Ning akan meraih cita-cita dan membuat bangga keluarga kita..." kata Ningtyas sambil menangis sejadi-jadinya. 

Ningtyas memeluk erat dan semakin erat tubuh Aswa. Dalam bayangannya, Aswa adalah ayahnya yang telah hidup kembali...

Aswa dapat merasakan ikatan itu. Tidak ada sedikitpun perasaan negatif di diri Aswa. Setelah berempati, Aswa menganggap Ningtyas adalah bagian dari dirinya. Bahkan jika Ningtyas menunjukkan sisi sensual dirinya, Aswa tidak akan memiliki gairah ke arah itu.

.......

Perasaan rindu dengan Ayahnya kini sudah Ningtyas tumpahkan melalui Aswa. Peristiwa ini juga mengikat perasaan Aswa kepada Ningtyas. Bahkan adegan ini membuat Pukus meneteskan air mata terharu.

"Ning! Jeon sedang bertarung hidup mati demi kamu di luar. Jika kita tidak membantunya, maka kematian akan menjemputnya," ujar Aswa.

"Jeon..." bayangan Jeon terlintas di benak Ningtyas. "Ya, kita harus menyelamatkannya..."

Segera Ningtyas mengenakan pakaian.

Aswa masih duduk termangu merasakan sensasi dari empati yang telah ia lakukan. Samar-samar ia bisa melihat Ningtyas sedang berganti pakaian. Akan tetapi, setelah kejadian sebelumnya, tidak ada lagi ketertarikan biologis Aswa kepada Ningtyas. Selayaknya orang tua dengan anak, jika masih ada hasrat biologis, itu binatang namanya! Aswa sadar kondisi ini. Bahkan ia mendapat pelajaran dari kejadian barusan. 

Kesimpulan sementara Aswa, kekuatan Empati benar-benar bukan main hebatnya!

Jika semua orang bisa berempati, dunia akan menjadi wadah kedamaian sejati.

........

Setelah Ningtyas berpakaian lengkap, tiba-tiba dinding dan lantai kamar Ningtyas berubah menjadi pasir! Begitupun dengan atap bangunan.

"Oh, tidak!" Aswa sedikit terkejut lalu berpikir dengan cepat sambil melompat ke atas ranjang.

"Ayah, masuk ke sini!" teriak Ningtyas.

"Hah! Kau panggil aku Ayah?" ucap Aswa kebingungan.

"Ayo cepat! Ranjangnya sudah berubah jadi pasir," tegur Pukus yang sudah berdiri di atas meja. 

Aswa menyusul Pukus. Tanpa bertele-tele lagi, Aswa dan Pukus melompat ke dalam lubang mengikuti Ningtyas.

...........

Banjir sudah tidak lagi menggenangi Kota Samareand. Praktis serangan Manglong tidak lagi menjadi ancaman. Warga yang mengungsi di Kabupaten atau Kota terdekat menyaksikan proses itu melalui siaran televisi maupun melalui gadget.

Di saat Aswa, Pukus dan Ningtyas menyelamatkan diri. Sosok raksasa pasir berdiri di atas reruntuhan bangunan utama Keluarga Pipit Ungu. Sosok ini setidaknya dua kali lebih besar dari bangunan tersebut.

Ribuan pendekar mengelilingi sosok ini melancarkan serangan tenaga dalam. Elemen petir tidak akan berguna saat ini, sehingga hanya pendekar berelemen tanah, es, api dan air yang masih aktif melakukan penyerangan.

Raksasa Pasir tidak peduli dengan pendekar keroco karena serangan mereka bahkan tidak geli-geli sedikitpun di tubuhnya.

"Terus serang! Serang! Jangan kasih kendor!" teriak seorang pria Pejabat Penguasa Kota yang mengenakan baju zirah emas lengkap dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

Ia adalah Sekretaris Kota, Aigis Setto. Fisik Aigis selayaknya pria macho dengan tubuh kekar dan berkulit sawo matang. Tingginya 181 senti meter. Nada bicara Aigis seperti tante-tante cerewet. Maklum, presentasi Aigis lebih condong ke sisi feminimitas.

"Encore! ke mana kau pergi? Tugas kalian belum selesai, cinta!" kata Aigis dengan nada keibuan.

Encore sedikit berpaling lalu berkata, "Aku tau kau menginginkan 'prasasti' itu. Jangan lupa kerja sama kita selesai pada pukul 12 malam ini. Sekarang sudah lewat dua menit."

"Tinggalkan anak buahmu untuk membantuku. Akan ku ganti kerugianmu dengan duri-duri asmara!" ujar Aigis menyodorkan penawaran.

Encore berjalan meninggalkan Aigis sambil berucap, "Ku tinggalkan beberapa. Pendekar berelemen petir akan tetap ku bawa mundur."

 Tidak banyak yang bisa dilakukan pendekar petir. Oleh karena itu, Encore memilih untuk tidak meladeni Raksasa Pasir. 

Keluarga Pipit Ungu sudah hancur. Tinggal merekayasa berita agar opini publik terhadap penguasa tetap terkontrol dengan baik. Semua rencana telah berhasil dilakukan tenaga bayaran.

Namun, bagi pihak penguasa,  kehancuran Keluarga Pipit Ungu hanya setengah dari misi. Mereka masih ada kepentingan lain. Yaitu, mengambil Prasasti Yudha! Prasasti ini telah dirawat keluarga Pipit Ungu selama lebih dari satu millenium!

.........

"Whooooaaaaaa....!"

Sesosok Ular Naga Air berwarna kuning kecoklatan seolah berenang di angkasa. Ular Naga Air itu lalu menembakkan pisau air yang menyebabkan pasir-pasir di tubuh raksasa sedikit demi sedikit berubah menjadi basah. Pasir yang basah pun terjatuh ke tanah.

*Grrrrrrrrrr....**Wusssszzzzz....*

Gelombang pasir dari raksasa tiba-tiba melebar. Melemparkan ribuan pendekar di dekatnya. 

"Kubur mimpi kalian menguasai Prasasti Yudha! Prasasti itu sudah hancur menjadi pasir..." ujar monster pasir.

Mata Aigis melotot. Ia sangat geram setelah mengetahui Prasasti Yudha telah hancur. "E-eh... jangan seenakmu, ya! Ayo kita bertarung! One by one!" celoteh Aigis.

Seketika gelombang pasir tertiup angin kencang, pergi meninggalkan lokasi pertarungan.

"Kejar dia sebisa mungkin! Yang tampan-tampan lain kumpulkan harta berharga dan bikin ko-it anggota keluarga yang masih hidup!" perintah Aigis. 

Kehilangan Prasasti Yudha sangat disesali dirinya. Aigis tidak menyangka Guild Cahaya dan raksasa pasir juga tau tentang harta Prasasti yang dimiliki keluarga Pipit Ungu. Prasasti itu tidak memiliki kegunaan lain selain mengandung informasi kuno. Harganya benar-benar sangat mahal jika dijual di pelelangan internasional!

....

#Pemakaman Keluarga Pipit Ungu

"Apa itu Prasasti Yudha?" tanya Aswa kepada Pukus. Dari kejauhan samar-samar Aswa mendengar perkataan Raksasa Pasir. Aswa tidak pernah tau benda tersebut karena tidak ada sumber literasi yang menyebutkannya.

Mendapat pertanyaan dari Aswa, Pukus duduk di atas ekor, melipat tangan, menatap langit lalu berucap, "Prasasti Yudha... nyamm... aku tidak pernah mendengar. Tapi kalau beberapa prasati lain aku pernah membacanya. Tuanku yang pertama pernah memiliki beberapa prasasti."

Jawaban Pukus menarik perhatian Aswa. Sejenak Aswa berpikir dan bergumam, "Tuan yang pertama? Siapa dia?" Aswa kembali fokus kepada Pukus lalu bertanya, "Prasasti apa saja yang kau ketahui?"

Pukus lalu berjalan mendekati Aswa, duduk di atas ekor, melipat tangan, menatap langit dan berkata, "Cukup banyak sebenarnya yang aku tau. Seperti Prasasti Hierarki, Prasasti Baqara, Prasasti... nyamm... Nganggur di dalam besi ribuan tahun membuatku lupa banyak hal... nyam-nyam..."

Pukus lalu berjalan mengitari area makam.

"Seingatmu aja... Isi prasasti itu apaan?" tanya Aswa lagi.

Mencoba menjawab pertanyaan Aswa, pukus berjalan mendekat, duduk di atas ekor, melipat tangan, menatap langit lalu berucap, "Seingat..."

"Hentikan!" potong Aswa. "Hentikan perilakumu yang selalu berulang-ulang!"

"Apa yang berulang-ulang?" protes Pukus.

"Kau itu tidak tau variasi, ya? Tidak mesti selalu harus duduk dulu, melipat tangan, menatap langit lah... sudahlah... lanjutkan!" kata Aswa sedikit kesal.

Pukus menatap bengong ke arah Aswa. "Kau tadi bertanya apa? Aku lupa..."

"Apa isi lumpia itu?" tanya Aswa geram.

Segera Pukus menjawab, "Oh, Nyam... isinya tentang cerita masa lalu, kejadian masa depan, aturan hidup makhluk hidup..." Pukus berhenti sejenak lalu sedikit menampakkan ekspresi kebingungan. "Hah, isi lumpia? Bukannya kau bertanya tentang isi tulisan prasasti?" tanya Pukus sembari terkejut.

"Sejak kapan aku bertanya tentang isi lumpia? Ya tentang prasasti lah!" balas Aswa.

"Ooo... mungkin aku sedang mengalami gangguan kesadaran. Sebaiknya beri pertanyaan yang mudah-mudah saja," pinta Pukus.

Aswa tidak tau harus berkata apa lagi. Mendapat rekan baru sangatlah disyukurinya. Tapi melihat masalah kepribadian Pukus yang sedikit menjengkelkan membuatnya cukup kesal. Ia mengingat perilaku Neo yang di luar kendali, Godel yang munafik, kebodohan Yanda, dan kecerobohan Jeon. Menambahkan Pukus dalam tim akan menambah panjang daftar masalah nantinya.

"Di mana Jeon sekarang?" tanya Ningtyas.

"Sepanjang pelarian kita tadi, aku tidak melihat tanda-tanda ada Jeon dan yang lain. Sulit memastikan keberadaan mereka," jawab Aswa.

Pukus melompat ke pundak Aswa dan berkata, "Sebaiknya kita pergi dari sini. Ke mana kau pergi aku akan ikut."

Naluri pukus dalam mempersepsi keadaan sangat baik. Berdasarkan pengalamannya, setelah pertarungan besar yang ia saksikan selesai, para pendekar itu akan menyadari keberadaan mereka.

"Boleh Aku ikut?" ujar Ningtyas dengan lirih. 

Aswa memegang pundak Ningtyas. "Kau pasti ikut... tenang saja. Ayo!"

Ningtyas saat ini merasa sedikit tenang. Sementara waktu ia bisa melupakan musibah yang telah menimpa dirinya. Dengan Aswa di dekatnya, Ningtyas seolah menemukan sosok ayah yang telah lama hilang. 

Di usianya saat ini, Ningtyas masih butuh perhatian orang tua. Orang yang memberikan dukungan dan menegurnya saat melakukan kesalahan.

.....

Beberapa saat setelah Aswa, Ningtyas dan Pukus pergi meninggalkan pemakaman Keluarga Pipit Ungu,dua sosok tokoh terkenal duduk di atas pokok pohon di puncak bukit. Ketua Ansep dan Kepala Keluarga Pipit Ungu, Scarlet Nata Prahara Pipit Ungu.

Tubuh Kepala Keluarga Pipit Ungu terlihat samar-samar. Seolah tubuh ini hanyalah sisa jiwanya yang belum mati.

"Hahaha... Aku kalah cepat dengan anak muda itu," ucap Ketua Ansep.

Nata Prahara mengangguk sembari tersenyum. "Ya... Ya... Ya... Kau tidak berencana merebut hartaku dari anak itu?" tanyanya.

"Oh, itu tidak perlu. Anak ini calon anggota kami. Mempercayakan hartamu kepadanya ku pikir adalah langkah yang tepat," jawab Ketua Ansep.

Sambil menatap Aswa dan Ningtyas yang semakin pergi menjauh, Nata Prahara menganggukkan kepalanya, menyetujui saran Ketua Ansep. "Ya... itu ide yang bagus. Tapi kau harus tetap mengawasinya." 

"Itu sudah pasti," ujar Ketua Ansep sembari tersenyum.

"Aku tidak menyangka bisa menyaksikan bangkitnya Roh Pedang. Masa depan anak itu cukup cerah," kata Nata Prahara dengan mata yang berbinar.

Tiba-tiba Ketua Ansep berdiri dari duduknya. "Kita lanjutkan obrolan kita nanti. Sekarang giliran kami yang akan masuk ke arena pertarungan..."

.....

#Kediaman Aswa Pukul 01.30

Belasan orang mengenakan topeng burung bergegas meninggalkan rumah Aswa. Di dalam rumah, Neo, Yanda dan Godel duduk melantai mengelilingi Jeon yang masih tidak sadarkan diri. Luka-luka yang mereka derita sudah dirawat oleh anggota Sekte Kelopak Anggrek Putih.

Godel menatap tajam ke arah Yanda dan Neo. "Ini pelajaran buat kalian. Seorang pendekar perlu mengukur kemampuan dirinya dan kemampuan lawannya. Aku memang belum pernah memperingatkan. Tapi kalian semestinya sudah paham."

"Halah... kau pun digebuk sama paman petir!" balas Neo dengan acuh.

Tidak berapa lama Aswa datang bersama Pukus dan Ningtyas.

"Kalian...?" Aswa kaget setelah melihat rekannya berkumpul di rumahnya.

"Jeon?" Ningtyas yang sebelumnya lesu tiba-tiba berlari ke arah Jeon.

"Binatang Spiritual!" kata Neo dan Yanda bersamaan. Perhatian mereka saat ini fokus kepada Pukus.

"Aduh imutnya..." ujar Yanda yang langsung meraih tubuh Pukus.

Neo mencekik leher Pukus lalu mencoba mengintimidasinya. "Kita lihat berapa banyak kemampuannya!"

Kepala Pukus memerah terkena cekikan Neo.

*Plup*

Pukus menghilang lalu muncul tidak jauh dari Neo. Merasa kesal Neo mencoba menangkap Pukus kembali. Aksi kejar-kejaran tidak dapat dihindari.

"Hah! Apa yang kau dapat sekarang?" tanya Godel kepada Aswa dengan ketus.

Sembari mengeluarkan Kain Keramat untuk mengobati Jeon, Aswa tersenyum kepada Godel dan berkata, "Sudah Ku katakan kepadamu sebelumnya. Bersama Ning aku akan dapat harta karun keluarganya."

"Kembali ke rumah itu? Apakah kau tidak berpikir kalau harta di rumah itu akan dijarah habis sekarang?" tanya Godel dengan nada tinggi.

Setelah menyelimuti Jeon, Neo duduk di hadapan Godel. "Aku tidak bilang akan kembali ke rumah itu. Keluarga Pipit Ungu tidak sebodoh itu menyimpan harta di bawah bantal."

"Kau pikir mereka menyimpannya di Bank? Atau di museum?" celoteh Godel dengan nada meremehkan.

Aswa menggeleng lalu menampakkan wajah serius ke arah Godel, "Mereka menyimpannya di bawah Sungai Mahakam."

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C21
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login