Download App

Chapter 3: 12 Tahun yang Lalu

Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka jika aku dan Steiner akan menjadi teman. Steiner adalah siswa idaman semua siswi di sekolah. Ia pasti disambut oleh godaan siswi setiap pagi ketika kakinya melangkah masuk ke dalam area sekolah. Bukan hanya siswi junior, tapi juga siswi senior.

Jika dalam sebuah drama, pemeran pria yang memiliki ketampanan luar biasa—biasanya akan menjadi saingan siswa lain, kecuali Steiner. Siswa lain ikut menyambut dan berlagak sok akrab—sok kenal, sok dekat dengannya. Merangkul Steiner seakan keluarga atau sahabat sejati mereka. Belum lagi, setiap ia melangkah atau bergerak, tubuhnya mengeluarkan aroma parfum yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Steiner pula adalah siswa berprestasi yang masuk ke sekolah unggulan ini melalui jalur beasiswa, tempat belajarnya dulu memberi rekomendasi mengenai sekolah ini. Namanya terpampang jelas saat pengumuman penerimaan siswa dengan nilai tertinggi dibanding dengan calon siswa lainnya.

Berbeda dengan ku. Tidak ada yang menyambut, tidak ada yang menemani ku berjalan dari gerbang sekolah hingga masuk ke dalam kelas—dan aku bahagia akan hal itu. Aku masuk ke sekolah ini pun karena bantuan dari teman nenek sebelum beliau berpulang. Ibuku sendiri menyarankan aku untuk langsung bekerja, melamar pada sebuah agensi penyalur tenaga kerja dan menyuruhku untuk menjadi orang kaya.

Sebenarnya Steiner bukan murid yang menyebalkan, ia menjadi rebutan semua murid di kelas karena kepintarannya. Setiap ada tugas kelompok yang diberikan oleh guru, namanya langsung menjadi trending topic dalam kelas. Andai saja kelas ku adalah aplikasi Twitter, nama Steiner akan menjadi trending topic world wide dengan 999 juta tweet yang menyebut namanya.

Sementara aku, mendapatkan tugas saja sudah bersyukur. Tidak mendapatkan kelompok juga tidak masalah bagiku. Aku mampu mengerjakan semuanya sendiri, dan tidak perlu repot-repot harus menulis nama orang lain dalam makalah atau tugas kelompok yang diberikan. Aku tidak menjadi faktor kerusuhan dalam kelas, aku juga selamat dari penilaian teman sekelas karena tidak perlu menuduh atau menyebutkan nama murid yang tidak melakukan tugasnya.

Kasihan Steiner. Aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi sosok Steiner, ia tidak mampu menikmati masa sendiri karena lingkungan sekitarnya. Ia tidak mampu menikmati ruang pribadinya, karena selalu ada orang yang ingin dekat dengannya. Ia tidak mampu seperti ku yang selalu mendapatkan me time.

Seluruh guru di sekolahku juga terhipnotis akan sikap dan sifat Steiner yang patut diacungi jempol. Pujian selalu membanjiri keseharian Steiner, sampai penjaga sekolah hingga penduduk kantin ikut memuji Steiner, kecuali aku—hanya aku yang tidak pernah memuji bahkan tidak pernah berbicara padanya. Ya, aku adalah seseorang yang tidak peduli akan hadirnya Steiner di sekolah ini.

Intinya, Steiner adalah idaman semua orang.

Suatu hari, aku tidak sengaja berpapasan dengannya dan untuk pertama kalinya aku berbicara dengan Steiner.

Aku berlari mengejar waktu agar aku tidak terlambat masuk sekolah, sementara ia dari lain arah mengambil kecepatan penuh dengan motor matik yang ia kendarai. Well, ini memang seperti drama drama yang ada di televisi, namun itu kenyataan yang aku alami. Aku hampir berteriak dan mengumpat pada Steiner karena ujung ban motornya hampir membuat ku terjatuh ke samping got—dan itu akan menjadi hal yang paling memalukan sepanjang hidupku karena terjatuh ke dalam got.

"Nyetir yang bener dong! Matanya di pake! Bisa nyetir motor gak—"

"Sorry..." ia memotong kalimat ku, melepas helmnya, dan tersenyum ke arahku.

Konyol, di saat seperti ini ia masih mampu memancarkan aura tidak bersalahnya padaku.

"Lu kesiangan? Sini bareng gue." ajaknya sembari membenahi posisi duduknya.

Hatiku ingin menolak ajakan Steiner sesungguhnya, namun apa daya otak ku sudah terserang inner charm Steiner yang memukau, lagipula aku sudah berkeringat dan membasahi punggung—bukan sebuah kondisi yang baik untuk berangkat sekolah.

"Pegangan yang kenceng." ucapnya sebelum mengenakan helm dan menarik gas.

"Pegangan? Pegangan sama—" aku terdiam dan tidak menyelesaikan kalimat ku ketika ia menancap gas dengan tarikan penuh. "You'll make us die instantly!"

Kedua tangan ku memeluk pinggangnya, mengikuti sarannya untuk berpegangan erat—entah pada apa. 5 menit kemudian, ia menyuruhku untuk turun dari motornya.

"Kenceng amat megangnya." ledek Steiner sambil menggoyangkan pundaknya memberi isyarat padaku jika sudah sampai di halaman parkir sekolah.

Ku lepas pelukan ku, dan bergegas turun dari jok.

"Gue gak mau mati! Thanks, by the way!" jawab ku dengan nada yang sedikit tinggi.

Aku langsung berlari menuju kelas, dan tidak memedulikannya.

-***-

Sejak itu, ia selalu menunggu di depan gang tempat aku tinggal dan mengajak ku berangkat sekolah bersama. Sejak saat itu pula, aku mengetahui apa yang orang lain tidak ketahui. Steiner sama nakalnya dengan berandal.

Penduduk sekolah tertipu oleh wajah tampan manusia itu. Mereka tertipu oleh pancaran aura Steiner yang membutakan mata, telinga, otak dan hati mereka. Maksudku bukan berandal dalam artian sebenarnya, ia memiliki tingkat keisengan yang sangat tinggi dibanding murid lain. Steiner begitu jahil, begitu kekanak-kanakan, begitu menyebalkan dan begitu mempesona hingga aku membiarkannya tetap melakukan itu walau sesungguhnya aku tidak menyukainya.

Steiner sangat bahagia jika meledek ku di depan teman-temannya, ia bercerita dan melebih-lebihkan kejadian hampir mati yang ku alami saat pertama berbicara dengannya—dan, cerita itu menyebar ke seluruh penjuru sekolah.

Aku menjadi buah bibir sekolah karena kejadian itu, selain itu aku juga menjadi musuh seluruh siswi di sekolah—kecuali beberapa siswi yang tidak peduli dengan kehadiran Steiner di dunia ini.

Thanks, Steiner. Really.

Aku menjadi parno—insecure di setiap waktu. Biasanya aku berjalan ke kantin dengan hati yang ringan tidak terbebani kini aku selalu di ikuti sekumpulan perempuan yang menatapku dengan tatapan seperti ingin menerkam, ingin membunuh ku karena aku dekat dengan Steiner. Bahkan aku pernah dihadang oleh sekumpulan siswi saat aku ingin masuk ke dalam toilet sekolah. Para siswi di sekolahku menggila, benar-benar berubah. Belum dengan siswa lain yang jika bertatapan muka dengan ku mereka akan tertawa sembari membicarakan kejadian saat itu.

Lengkap sudah penderitaan ku ini.

"Wah ada Freya nih!" ujar Steiner dengan nada riang, membangunkan ku yang tenggelam dalam lamunan.

"Jajan apaan lu?" aku menatapnya sinis, memberi raut wajah 'pergi lu' padanya.

"Kenapa Stein?" teman laki-laki lain datang mengikuti Steiner dan berhenti di area tempat aku duduk.

"Freya nih, gak tau mau jajan apaan." ia tertawa, lalu matanya bergerak kesana kemari dan berhenti pada satu arah. "Bentar, gue kesana dulu."

Ku pikir, saat ia berkata seperti itu, Steiner akan pergi dengan antek-anteknya dan meninggalkan aku yang sedang menikmati waktu ku. Tapi, ternyata, 3 teman lainnya duduk di hadapan ku sembari menatap ku.

Aku risih ditatap seperti itu.

"What?" ujarku dengan nada ketus sementara mereka menahan tawa.

"Gue udah pesen jajanan sih, lu juga udah gue pesenin kok." selang beberapa detik, telinga ku menangkap suara Steiner yang datang dengan nada riang lalu duduk di sampingku.

"Pesen apaan lu?" aku bertanya padanya merespon kalimatnya yang tak pernah aku duga sebelumnya.

"Mie ayam, tiap hari juga lu makan mie ayam yang di sono kan?" tangannya menunjuk gerobak di pojok kantin, lalu tangannya merangkul pundakku.

"Sumpah, ini bocah kocak parah. Berapa hari lalu gue kan telat ya ketemu lah sama Freya nih—" perasaan ku mulai tidak enak mendengar ini, aku yakin ia akan membahas kejadian itu.

"Terus awalnya gue tuh mau nyamperin doang, tapi gue lupa ngerem. Mungkin yang ada di otak ini anak gue pengen nabrak kali ya, dia marah ke gue."

"Lagian lu mah iseng." salah satu temannya menimpal. "Terus gimana?"

"Ya gue ajak dia bareng lah, 10 menit lagi pager sekolah bakal tutup." mereka berempat tertawa, tapi aku tidak paham apa yang mereka tertawakan. "Gue ajak dia, dan lu tau?"

"Kenapa?" temannya yang lain bertanya sembari memandang ku dan Steiner bergantian.

"Gue kan bilang buat pegangan kenceng, terus gue narik gas tuh, maksudnya sih dia bisa megang ke yang lain atau behel motor.

Pas gue jalan, dia langsung meluk gue." Steiner memandang ku, tubuhnya bergerak ke arah ku, mempraktekkan apa yang aku lakukan saat itu. "Pelukannya kenceng banget sampe kepala dia nempel di punggung gue."

Ketiga temannya itu tertawa terbahak-bahak. Aku tak dapat melihat apa yang ia lakukan di punggung ku, mungkin ia menunjukkan ekspresi yang berlebihan, aku hanya dapat merasa kepalanya menempel pada punggung dan tangannya yang melingkar di pinggangku.

"Padahal jarak tuh gak jauh, dan menurut gue, gue itu gak ngebut sama sekali."

"Elah lu mah 60 gak kebut, menurut gue itu kebut." aku memotongnya dengan nada ketus. Tapi, kalimat ku membuat mereka tertawa semakin kencang.

"Frey, wajarin aja, doi mah emang iseng." temannya berbicara padaku di tengah tawaan.

"Lagian, jarak kita waktu itu gak jauh, Frey. Kalian tau kan perempatan di ujung sana?" Steiner menunjuk arah utara dari sekolah. "Itu loh yang ada saluran got panjang, yang kalau pagi suka ada tukang nasi uduk."

"Kan jarak dari situ kesini tuh gak jauh kalau naik motor ya, dasar lu aja mau meluk gue dari belakang, mana waktu gue cek dari spion muka lu jelek banget lagi." lagi, ia menunjukkan ekspresi yang berlebihan pada ku dan teman-teman lainnya, sambil memperagakan tingkah ku saat itu.

"Kepedean astaga." aku menggerakkan tubuhku, menjauhkan punggungku darinya. Aku tidak ingin ia terus-menerus meniruku saat itu. Ternyata, kalimat ku semakin membuat mereka tertawa bahkan di antaranya ada yang batuk karena kalimat ku yang ketus.

-***-

Aku menyadari hal baik datang karena Steiner menjadi teman ku. Teman laki-laki lain datang menghampiri ku dan mengajakku berbicara dan bermain. Terkadang aku tidak menjawab sapaan mereka, tapi mereka memaklumi itu malah semakin mengajak ku untuk mengobrol hingga aku menjawab. Aku belum pernah memiliki teman laki-laki sebanyak ini—begitupun teman perempuan. Dari kecil aku terus menyendiri, aku melakukan semuanya sendiri dan selalu seperti itu hingga sekarang.

Kejadian saat itu bersama Steiner membuat ku dikenal teman laki-laki ku, banyak yang menilai jika aku sebenarnya siswa dengan rasa humor tinggi walau terlalu serius. Kalimat ketus yang aku ucap membuat semua teman laki-laki ku tertawa tiada henti, apalagi jika mereka melihat ku bertengkar secara verbal dengan Steiner. Semua yang menyaksikan pertengkaran ku akan memihak ku di banding Steiner, dan itu yang membuat Steiner semakin senang mengerjai ku.

Seperti beberapa jam yang lalu saat pelajaran biologi.

Aku dan Steiner berdebat mengenai kromosom X pada tubuh laki-laki, dan ia meledekku karena aku memiliki banyak kromosom X dibanding dengan kromosom Y.

"Oh pantes lu pendiem ya?" sesaat aku terdiam, berusaha mencerna kalimat Steiner. "Pembawa sifat laki-laki lu mungkin hampir punah kaya yang dijelasin di buku."

"Asik nih, ada yang ribut." celetuk salah satu teman kelas ku.

"Kelainan pada kromosom laki-laki memang menyebabkan beberapa kelainan seperti pemalu, pendiam, kurangnya percaya diri dan beberapa sifat feminim yang dibawa kromosom X." ujarku dengan sekuat tenaga untuk tidak emosi.

"Ya kaya lu berarti kan?"

"Kromosom X memang memberikan kelainan seperti payudara membesar, testis yang mengecil, tidak dapat memproduksi sperma, autisme atau kelainan fisik pada pria lainnya, bukan berarti—"

"Lu cengeng, gue ajak boncengan aja teriak sampe meluk." Steiner memotong ku.

"Cie." siswa lainnya serontak menyoraki ku.

"Tolong bedakan antara rasa takut dan kelainan fisik."

"Berarti 'anu' lu kecil dong?" aku mematung.

Kuedarkan pandanganku ke seluruh area dalam kelas, berujung menatap guruku yang berdiri di depan sambil menahan tawa.

"Sebentar, kok lu bawa bawa 'anu'?" tubuh ku memanas.

"Kalau diliat-liat dari fisik lu nih ya, muka oriental kaya orang-orang negeri ginseng, badan lu keker, laki-laki banget. Autis juga enggak. Gak ada yang salah dari diri lu, kecuali... gue kan gak pernah liat 'anu' lu—"

"Sinting!" sontak seluruh kelas tertawa mendengar ku, "Perlu gue buka celana gue disini?"

Seluruh siswi berteriak, aku dapat mendengar salah satunya berteriak mengatakan "Perlu!"

Seandainya saja guru biologi tidak menyudahi perdebatan ku dengan Steiner, mungkin kata-kata kasar akan aku ucapkan dan aku ingin sekali mengumpat di hadapan wajahnya.

Lagipula, apa maksudnya dengan menyindir milik ku? Toh, milik ku ini memiliki standar nasional. Remaja seusiaku juga memiliki ukuran dan panjang yang sama. Maksudku, 'anu' ku ini adalah 'anu' yang luar biasa. Konyol.

Steiner selalu saja membuatku emosi.

"Hey!" seperti biasa, ia menyapaku dengan nada riang, namun aku diam seribu bahasa.

"Mie ayam, lagi?" aku membuang muka, aku mengeluarkan ponsel ku dan menyibukkan diri.

"Oh ya, gue gak punya nomor lu, bagi dong." aku masih tidak menjawabnya.

"Lu sewot?" pertanyaannya membuat ku diam sejenak, namun masih tetap tidak berbicara padanya.

"Woy, Frey!" teman laki-laki lainnya—antek-antek Steiner datang menyapa ku, aku menoleh dan tersenyum pada tiga sekawan yang datang ke arah ku.

"Lagi nunggu mie ayam?" salah satu dari mereka bertanya padaku, sambil menyiapkan diri untuk duduk di hadapan ku.

"Engga, gue beli ketoprak, katanya sih enak terus sepi pula, jarang ada yang jajan di sono." aku menaruh ponsel ku di meja, menunjuk pada gerobak cokelat yang berada di jejeran gerobak mie ayam.

"Sono lu pesen buat kita-kita disini." Steiner menyela obrolan ku, lalu menyuruh satu siswa dari mereka untuk membelinya.

Aku memandang sinis padanya.

"Ya udah aja lu yang pesenin buat mereka, terus lu pesen buat lu sendiri. Bossy amat." celetuk ku.

Rupanya, celetukan ku membuat teman-teman lainnya tertawa. Wajah ku memasang raut heran saat mereka bertiga berdiri lalu meninggalkan ku berdua dengan Steiner. Maksudku, aku memberi saran seperti itu agar Steiner pergi dan menghilang untuk sesaat dari samping ku.

"Listen to me." Steiner berbicara dengan pelan seperti berbisik padaku. "Lu tuh kenapa?"

"Gue? Lu tuh yang kenapa?" Ia mendekatkan wajahnya ke arah ku dan kali ini benar-benar berbisik padaku.

"Kalau gue salah, gue minta maaf."

Bulu kuduk ku berdiri mendengar permintaan maafnya yang terucap di telinga ku. Ku jauhkan tubuhnya dan menatap ke arahnya.

"Never do that again to me! Gue geli!"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login