Sepulang dari pemakaman kala itu, Dassa kecil takut dan ragu membuka pintu kamar ibunya. Ada rasa penasaran teramat besar dalam hatinya sementara tak ada lagi orang yang bisa ia jadikan tempat bertanya. Dassa memutar knop pintu dan pintu terbuka... Sekarang kamar yang penuh kenangan itu seakan kamar asing yang baru pertama kali ia datangi. Darah ibunya sudah hilang, bahkan sprei ranjang pun sudah diganti.
Takut takut Dassa berjalan masuk ke dalam, sementara kilasan tubuh ibunya yang tergeletak penuh darah memenuhi pelupuk matanya. Tapi tak ada apapun, Dassa tak bisa menemukan apapun kecuali... Ujung kertas yang mencuat keluar dari bawah ranjang. Dassa menariknya dan tangannya gemetar hebat, ada dua penggal kata yang tertulis dengan bercak darah yang sudah mengering, Dassa membacanya lirih, hukum dia!
Lalu tiba tiba kilasan lain muncul... Ayahnya yang didorong oleh pamannya bernama Julian yang tak lain adalah ayah Roy. Ayahnya memohon bantuan namun yang diterimanya hanya hinaan, keduanya pulang dalam keadaan hujan sampai ayahnya tiba tiba jatuh tak sadarkan diri.
Kenangan pahit kedua orang tuanya berputar, terus berputar membuat kepala Dassa sakit, "HAAAAA!" Dassa terbangun dengan keringat memenuhi wajahnya, jantungnya berdegup kencang bahkan tangannya gemetaran. Mimpi yang selalu sama, yang terus menghantuinya. Dassa langsung mengambil ponselnya, "Rob lo di mana?! Apa ada Ring Hitam malam ini?" Tanya Dassa.
"Jelas ada Don, lo mau join?" Robby balik bertanya.
"Lo bawa Roy ke sana! Gue gak mau tau pokoknya gue dateng, Roy udah harus ada di sana!" Ancam Dassa lalu menutup telponnya. Ada kilatan dendam terpancar dari kedua mata Dassa.
"Malam ini abis lo Roy!" Gumam Dassa sambil mengepal jemarinya.
***
Gemuruh hentakan kaki terdengar mengitari ring. Para penonton yang notabene adalah para pengamen, anak anak jalanan, pengemis pura pura merupakan teman teman Dassa yang haus akan hiburan sudah lama menanti dimulainya Ring Hitam.
"Turun lo!" Suruh Robby pada Roy. Roy tau tempat apa ini dan apa fungsi ring yang ada di tengah tengah gudang mobil bekas ini. Dassa mengajaknya duel.
Dassa datang, dia berjalan sambil melepaskan jaket kulitnya. Suara hentakan kaki makin terdengar bergemuruh, mereka kompak menyerukan nama Dassa sambil mengangkat kepalan tangan mereka tinggi tinggi.
Dassa berhenti di samping Roy, "Lama gue menantikan hari ini Roy," katanya.
"Buat apa semua ini? Apa yang lo lakuin ke gue gak akan bisa mengembalikan keadaan Dassa."
Dassa tersenyum menggantung lalu menoleh pada sepupunya itu, "Lo tau kenapa gue masih punya keinginan untuk hidup meskipun gue udah gak punya apa apa? Gue hidup hanya untuk membalaskan dendam orang tua gue,"
Kemudian Dassa berjalan lebih dulu, lalu masuk ke dalam ring. Jari telunjuk Dassa mengarah pada Roy, "Lo bukan banci kan Roy?! Jadi ayo! Ayo lawan gue!"
Roy mengepal tangannya lalu mulai melangkah masuk ke dalam ring. Dia melepaskan jaketnya di sana dan mulai memasang kuda kuda. Roy tau takkan ada gunanya bicara, sementara sepupunya ini sudah lama bahkan mungkin semenjak tujuh belas tahun yang lalu sudah memiliki kebencian terhadapnya.
Dassa melayangkan tinjunya, namun Roy menangkap kepalan tangan itu lalu menyengkat kaki Dassa hingga jatuh. Suara gemuruh makin terdengar lantang, Robby memukul lantai ring sambil berteriak, "Bangun Don! Ayo bangun!"
Dassa perlahan bangkit, sedang Roy yang kini melayangkan tinjunya ke arah wajah Dassa, tapi Dassa dengan mudah mengelak. Secepat angin Dassa menunduk lalu menendang pinggang Roy kuat. Roy terhuyung jatuh, meronta kesakitan. Dassa tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia mengunci kedua lengan Roy dengan dua lututnya, wajah beringas Dassa terlihat saat meninju wajah Roy sekuat-kuatnya. Dia lakukan terus hingga sudut bibir Roy pecah dan mengeluarkan darah segar, tapi itu pun tidak menghentikan pukulan demi pukulan di wajah Roy.
Lama kelamaan suasana menjadi hening, penonton bisa melihat jika ini bukan pertarungan yang biasa Dassa lakukan secara sportif. Ada hal lain di sini, ada dendam yang membara, sampai akhirnya Roy tak sadar dan Robby turun tangan masuk ke dalam ring untuk memegangi Dassa. Wajah Dassa basah, tapi Robby melihat hal lain. Dia melihat ada air mata.
Don-nya ini menangis, memukuli Roy berarti sama sekali bukanlah keinginannya tapi dia memaksakan diri untuk alasan yang Robby tidak mengetahuinya.
"Bubarin orang orang," pinta Dassa sambil berdiri, kemudian berjalan pergi.
Lama Robby tertegung memandangi punggung Dassa, dari cahaya temaram ia bisa melihat jika tangan yang masih ditetesi darah milik sepupunya itu gemetaran.
Roy terbatuk sambil merintih, dia tak bisa bangun. Tapi dia coba merogoh ponsel dalam saku celananya. Pandangan matanya buram, tertutup darah segar yang perlahan mulai mengering. Robby naik ke atas ring di saat para penonton itu berduyun-duyun keluar dari gudang dengan wajah kecewa.
Robby mengambil ponsel Roy, "Lo mau telpon siapa?!" Tanya Robby.
Roy hanya terbatuk, enggan mengatakannya. Robby merasa kasian juga pada Roy sampai ia menggenggamkan lagi ponsel itu lalu pergi. Roy mengusap matanya dan mencari nama seseorang di daftar kontak di ponselnya.
Tuuutt... Tuuutt...
"Roy! Kamu di mana?! Papa mama aku nunggu kamu tau gak sih! Dan sekarang mereka udah berangkat ke Bali! Kamu tuh janji mau makan malam tapi...
"Mutia..." Suara berat Roy berhasil memghentikan ocehan Mutia.
"Roy? Roy! Kamu kenapa?!"
"Aku... Aku ada di gudang mobil gak jauh dari Hotel Fave, a-aku... Tolong ke sini Mut, aku butuh bantuan kamu,"
"Kamu kenapa?! Roy jawab aku!"
Tut tut tut...
Telepon itu terputus. Mutia langsung mengenakan jaket dan keluar dari kamarnya. Wajahnya panik. Malam hampir larut, Mutia harus berjalan keluar komplek rumahnya untuk bisa menemukan taksi. Tapi jalanan sudah sepi. Dari jauh Mutia melihat seseorang pengendara Vespa mengenakan masker menutupi wajahnya mendekat. Tak ada pilihan lain, Mutia menyetop pengendara Vespa itu.
"Mas... Mas... Saya bayar berapa pun yang mas mau tapi tolong antarkan saya ke gudang mobil gak jauh dari Hotel Fave, pacar saya di sana mas dan keadaannya gawat!" Cerita Mutia sambil mengatupkan kedua tangan memohon di depan pengendara Vespa itu.
Pengendara Vespa itu mengangguk, dengan perasaan lega Mutia naik ke atas Vespa. Mutia tanpa sadar berpegangan erat pada pinggang si pengendara Vespa sementara isi kepalanya menerka-nerka apa yang terjadi pada Roy.
Sampai di gudang mobil, Vespa itu terhenti. Mutia turun lalu merogoh isi kantong celananya, dan menggenggamkan uang pada si pengendara Vespa namun pergelangan tangan berisi lembar uang itu dia genggamkan lagi pada Mutia.
"Terima kasih yah, semoga Tuhan membalas kebaikan kamu. Siapa pun kamu." Kata Mutia lalu berlari pergi masuk ke dalam gudang sambil memanggil manggil nama Roy.
Pengendara Vespa hitam itu melepas penutup wajahnya, pandangannya lekat memandang punggung Mutia sampai ia hilang dari balik pintu.
Mutia tidak melihat siapapun di dalam gudang. Hanya mobil mobil lawas sudah tidak berbentuk di pinggir pinggir aula sedang ada ring di tengah-tengah gudang berlantaikan tanah merah itu. Ada cahaya lampu temaram menyorot ke tengah ring.
"Roy..." Panggil Mutia sambil menoleh takut ke segala arah.
"Uhukk.." suara batuk itu membuat Mutia memandang ke arah ring dan memberanikan diri mendekat. Saat melihat Roy tergeletak Mutia langsung naik ke atas ring, "Astaga Roy! Astaga darah... Roy! Kamu kenapa?! Roy siapa yang lakuin ini ke kamu!"
Jantung Mutia rasanya ingin berhenti saat melihat apa yang terjadi pada Roy. Wajahnya dihiasi cipratan darahnya sendiri. Mutia memangku kepala Roy dan melepas jaketnya kaosnya, takut takut dia mengusap wajah Roy dengan jaket miliknya.
"Aku harus telepon papa kamu."
"Jangan... Tolong..." Pinta Roy hampir tak bisa menggerakkan bibirnya.
"Kita ke rumah sakit!" Mutia menghubungi ambulans.
"Kamu bertanding di sini? Dan kalah? Iya kan?! Kamu ikut ikutan Ring Hitam?!" Tanya Mutia setelah menelepon. Roy menggeleng pelan.
Deg!
"Dassa! Sepupu kamu itu yang ngelakuin ini?!" Tanya Mutia dan Roy tak bergeming. "Besok aku akan cari di kampus!" Tegas Mutia, tak menghiraukan genggaman tangan Roy yang hinggap di lengannya.
Dari celah pintu gudang yang terbuka, pengendara Vespa itu masih setia memperhatikan Mutia. Dia bahkan sejak tadi mencuri dengar obrolan Mutia dan Roy. Senyum sinisnya tersimpul. "Ternyata kalian sama aja," gumam Dassa sebelum berbalik lalu berjalan pergi.