Download App

Chapter 2: 2# Lies and sadness

Aku melihat ke jendela pesawat. Aku masih tidak percaya dengan apa yang sedang aku jalani sekarang. Aku telah resmi menjadi seorang istri dan akan memulai kehidupan baru dengan suamiku di negara kelahirannya. Awan yang menggumpal berwarna putih itu seakan memberiku ucapan selamat. Aku tersenyum. Tangan suamiku tiba-tiba saja menggenggam tanganku. Aku pun menoleh ke samping menatap wajah suamiku yang tersenyum padaku. Aku...bahagia.

"Kamu memikirkan apa?" Tanya suamiku sambil mengelus punggung tanganku.

Seorang warga negara korea jika dia berbicara dengan bahasa indonesia, cara dia bicara masih menggunakan aksen korea tapi terdengar lucu di telingaku ketika bicara bahasa dengan penekanan tiap kata yang dia katakan. Jadi aku harus memasang telingaku baik-baik agar tidak salah mengerti.

"Aku tidak memikirkan apa-apa." Jawabku lalu menunjukkan senyuman andalanku yang manis. Karena senyuman inilah pria yang berada di sampingku saat ini menjadi milikku.

Dia menyandarkan kepalanya di pundakku dan tertidur. Dia terlihat sangat lelah begitu pun denganku. Pernikahan antar dua negara cukup menguras tenaga, pikiran juga saldo tabungan kami berdua. Karena berdasarkan atas nama cinta, lelah itu pun menjadi bahagia.

Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Suamiku tertidur pulas di pundakku sambil menggenggam tangan kiriku. Aku membuka galeri dan melihat beberapa foto dari ponselku. Foto saat pernikahan kami juga fotoku bersama ibuku. Yeah, aku harus meninggalkan keluargaku dan ikut bersama suamiku. Sedih, tentu aku sedih karena di sana nanti aku tidak akan menemukan makanan indonesia terutama rendang dan soto betawi kesukaanku. Mungkin ada yang menjual tapi aku yakin tidak akan seenak yang ada di indonesia. Aku punya pikiran buruk bahwa aku akan on the way kurus karena menyesuaikan makanan yang belum tentu cocok di lidahku.

Aku terus memperhatikan foto ibuku dan tidak ku sadari air mataku jatuh menetes ke layar ponselku. Sebenarnya aku sudah terbiasa jauh dari orang tua tapi entah kenapa hati ini terasa berat untuk meninggalkannya sendirian di indonesia. Kenapa di saat aku harus pergi, aku baru berbaikan dengan ibuku? Dari sekian lama hubunganku dengan ibuku tidak membaik karena masalah keluarga kami.

"Dan ayah sekarang anakmu sudah milik orang lain, aku harap ayah merestui kami berdua. Aku sangat merindukanmu, Yah."

*********

Hari libur seperti ini pasti kafe tempatku bekerja akan ramai dengan tamu yang datang. Ini bukan weekend hanya tanggal merah yang memperingati hari buruh. Jika ini bukan pemilihan presiden atau lebaran, kafe ini tidak akan tutup di tanggal merah. Bagaimana bos ku tidak makin kaya jika sistem kerjanya seperti ini?

Aku dan teman-temanku sibuk melayani tamu satu persatu sementara bos ku hanya memperhatikan kami dari kamera CCTV karena dia sibuk berlibur ke luar negri dengan keluarganya sambil menikmati uang dari keuntungan bisnisnya. Aku naik turun dari lantai tiga ke lantai dasar untuk memberikan menu yang dipesan. Untunglah di sini tidak ada live band karena jika ada, akan semakin berisik dan aku akan memilih untuk resign. Karena pekerjaan saja aku harus menyesuaikan diri walau terkadang sulit untuk menjadi pribadi yang berbeda.

Aku harus selalu tersenyum dan bersikap ramah pada tamu karena jika tidak mereka akan langsung mengirim email pada bos ku dan mengatakan bahwa karyawannya ada yang tidak ramah. Aku mengatakan ini karena aku pun pernah mengalaminya. Seorang yang memiliki kepribadian introvert sangat menguras tenaga berada di lingkungan yang bukan dunianya. Dan mereka yang berkepribadian extrovert tidak akan mengerti.

Di luar sudah menunjukkan sore hari dan sebentar lagi malam tiba tapi tamu terus berdatangan. Kedua kakiku terasa sakit karena terus berdiri. Aku pun melewatkan makan siangku. Hingga malam tiba dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan, satu persatu tamu mulai meninggalkan kafe. Aku dan teman-teman yang lain bersiap untuk pulang. Tubuhku terasa sangat lelah, aku ingin cepat sampai di kosan dan meluruskan kakiku yang pegal. Setelah semua lampu sudah dimatikan, aku yang bertanggung jawab untuk memegang kunci kafe dan aku pulang paling terakhir di antara teman-temanku.

Jalanan masih ramai dengan kendaraan. Aku berjalan menuju halte bus, tidak ada orang lain selain aku di sini. Saat aku akan order ojek online, aku melihat sebuah pesan masuk.

Aku pun membaca pesan itu, " Aileen besok ibu akan berkunjung, ibu sedang butuh uang."

Aku terdiam sesaat menatap jalanan di depanku. Aku merasa rasa lelah yang sedang aku rasakan semakin menjadi sangat lelah setelah membaca pesan dari ibuku. Rasanya aku ingin menangis dan teriak sekencang-kencangnya. Aku melihat kembali pesan itu dan menelpon ibuku. Tidak lama ku telepon Ibu pun menerima panggilanku.

"Ibu." Aku menarik nafas panjang lalu menatap langit. kedua mataku sudah berkaca-kaca,  "Apa ibu pernah menanyakan kabarku selain meminta uang padaku? Aku pun sedang kesusahan di sini...bisakah ibu memahamiku?! Aku tidak ingin bertemu ibu, jadi jangan coba untuk datang ke sini besok!"

Aku menutup teleponku, aku tidak membiarkan ibuku bicara saat ku telepon. Aku tidak dapat lagi menahan air mataku. Aku menangis sekeras mungkin tidak peduli dengan orang-orang yang melintas di depanku. Aku ingin beban di hatiku keluar bersama air mataku.

"Apa kamu mau es krim?"

Seorang lelaki yang sangat aku kenal suaranya berdiri di depanku dan menyodorkanku sebungkus es krim coklat. Aku mendongak tanpa mengusap air mataku. Dia...Zelo dan sekarang duduk di sampingku sambil tetap menyodorkanku es krim. Aku menahan ingusku untuk tidak keluar tetapi Zelo memberikanku sapu tangannya. Dengan air mataku yang sudah tidak lagi keluar, aku pun dengan sekuat tenaga mengeluarkan ingus dari hidungku menggunakan sapu tangannya.

"Tidak perlu kamu kembalikan lagi sapu tangan itu, sekarang menjadi milikmu." Kata Zelo saat aku selesai mengusap hidungku dan tanpa berkata aku pun memasukkan sapu tangan itu ke saku bajuku, "Kebiasaamu tidak pernah berubah." Lanjutnya yang menatapku dengan tatapan jijik.

Aku segera mengambil es krim dari tangannya lalu membuka bungkusnya dan melahap es krim coklat dengan taburan kacang mede ke mulutku. Zelo pun melakukan hal yang sama.

"Kenapa kamu bisa menemukanku di sini?" Tanyaku sambil menikmati es krim di tanganku. Sisa air mataku di pipi, ku usap dengan tangan kiriku.

"Aku kebetulan lewat sini setelah mengantarkan Lexy pulang dan melihatmu menangis seperti bayi tadi. Apa...ini ada hubungannya dengan Ibumu?"

Aku menoleh padanya, "Kenapa kamu selalu tahu penyebab aku menangis?"

Dia tertawa dan menjawab, "Karena aku sahabatmu. Tidak ada alasan lain selain kamu menangis karena Ibumu. Kalau aku berpikir kamu menangis karena putus cinta pun kenyataannya kamu sendiri." Karena aku tidak suka mendengar kalimat terakhirnya, aku pun menginjak kakinya dengan keras dan dia kesakitan, "Itulah gunanya sahabat, saat kamu menangis aku bawakan es krim. Karena anak kecil suka dengan es krim bukan?" Lanjutnya sambil mengelus kakinya. Dia kembali tertawa dan aku spontan mencubit lengannya. Keras.

Malam itu Zelo mengantarkanku pulang sampai di depan gerbang kosan. Dia melambaikan tangan sampai aku masuk kamar. Bagiku dia adalah pria baik yang semua wanita pasti menginginkan kekasih seperti dirinya. Walau terkadang membuatku kesal tapi dia selalu ada untukku.

*********

Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu dari luar kamarku. Aku melihat jam dan masih terlalu pagi untuk aku bangun. Aku mencoba untuk bangkit dan turun dari tempat tidurku. Aku membuka pintu kamar dan kedua mataku langsung terbuka sempurna saat melihat Ibuku berdiri di depan pintu sambil membawakan sesuatu. Aku membiarkan pintu terbuka dan Ibuku masuk lalu meletakkan barang bawaannya di atas meja. Aku duduk di sisi tempat tidur sambil memperhatikan Ibuku yang membuka bawaannya. Dia mengeluarkan beberapa jenis makanan yang aku tahu itu adalah masakan Ibuku.

"Aku sudah mengatakan bahwa Ibu tidak perlu datang ke sini." Kataku dengan nada kesal.

"Apakah tidak boleh seorang Ibu mengunjungi anaknya yang sudah bertahun-tahun tidak pulang?"

"Aku tidak punya rumah untuk pulang."

"Ibu sangat merindukanmu, Aileen." Katanya sambil menatapku.

Aku terdiam. Aku tidak lagi berkata dan segera pergi ke kamar mandi. Dua puluh menit aku di kamar mandi dan keluar melihat Ibuku sedang menyiapkan sarapan untukku. Aku memakai pakaian kerjaku tanpa memperdulikan ibuku.

"Kamu pasti selalu melewatkan sarapanmu, Ibu ingin makan bersamamu kali ini saja."

"Aku tidak lapar."

"Makanlah sedikit saja."

Tiba-tiba aku kembali kesal, "Jika Ibu hanya menginginkan uang dariku, aku tidak dapat memberikannya. Kenapa Ibu tidak minta saja pada selingkuhan Ibu yang kaya itu?! Apa Ibu sudah menyadari kesalahan Ibu selama ini?! Harusnya Ibu tahu apa penyebab aku bertahun-tahun tidak pulang! Aku sangat kecewa pada Ibu! Semua masalah dan meninggalnya Ayah, semua itu karena kesalahan Ibu! Jadi aku mohon pergilah. Jangan membuatku seperti anak durhaka di depan Ibu. Melihat Ibu di sini hanya mengingatkanku pada luka Ayah yang telah aku lupakan!"

Aku mengambil tas lalu pergi. Aku berjalan meninggalkan kamarku sambil melihat jam tanganku. Hari ini perasaanku tidak dapat aku jelaskan. Kesal, emosi dan kecewa, semua muncul di saat aku lelah untuk menangis lagi. Ini terlalu awal untuk aku pergi bekerja karena masih jam enam pagi. Aku berdiri di depan gerbang kosan, mengatur diriku dan tidak membiarkan air mataku untuk jatuh kembali. Aku bersembunyi di belakang mobil yang terparkir saat melihat Ibuku keluar dari kamar kosanku.

Ibu keluar gerbang dan berjalan dengan lambat. Aku tahu dia pun merasa sedih atas perkataanku tadi. Tapi jika aku tidak mengatakan yang sebenarnya, Ibu tidak akan tahu perasaanku yang selama ini aku tutupi. Aku pun perlahan mengikuti Ibu dari belakang hingga Ibu tiba di halte untuk menunggu bus. Aku kembali bersembunyi dibelakang pohon dekat halte dan memperhatikan Ibu yang tertunduk dengan wajah sedihnya. Tidak lama mobil bus datang dan Ibu pun naik. Ibu duduk di dekat kaca, dia tidak melihatku saat bus sudah meninggalkan halte.

********

Saat itu aku baru selesai makan bersama dengan teman-temanku karena merayakan hari kelulusanku. Pikiranku sudah membayangkan akan melanjutkan ke perguruan tinggi dengan bidang yang aku inginkan. Ayah pun sudah berjanji padaku untuk melanjutkan pendidikanku sesuai keinginanku dan aku sudah merencakan universitas yang akan aku tuju nanti. Aku berlari untuk pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.

Nilaiku cukup memuaskan dan aku yakin dapat berkuliah di universitas ternama. Tapi harapan itu sirna saat langkahku terhenti di depan gerbang rumah dan melihat Ayah juga Ibu sedang bertengkar. Sebuah mobil terparkir di depan rumah lalu seorang pria turun dari dalam mobil itu. Pria itu berkemeja rapih seperti seorang pekerja kantoran. Pria itu melihat ku sesaat tanpa ekspresi lalu melewatiku dan menghampiri kedua orang tuaku.

Aku melihat Ibuku yang akan pergi hendak membawa koper dan Ayahku mencegahnya. Ayah menarik koper itu tetapi Ibu melawan dan pria itu mendorong Ayahku. Aku memahami situasi ini. Selama ini dengan kesibukan Ayah yang bekerja dari pagi hingga malam hari dan kesibukanku sebagai anak semata wayang yang terus belajar hingga larut malam dan baru pulang kerumah karena mengejar impianku membuat Ibuku menjadi kesepian. Ibu mencari penghibur hatinya di luar dan membuat masalah muncul dengan cara dia berselingkuh. Ibu pergi meninggalkan rumah dan hanya melihatku seakan-akan aku bukanlah anaknya. Tatapannya seperti akan menemukan dunia barunya dengan pria yang entah datang dari mana dan tiba-tiba muncul menghancurkan keluarga kami.

Beberapa hari setelah Ibu meninggalkan rumah. Ayah terus mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Sesekali aku mendengar tangisan Ayah dari balik pintu kamarnya yang terkunci dan itu membuat hati ku sakit sebagai seorang anak. Seorang pria menangis saat di tinggal oleh cintanya, aku yakin itu ketulusan hati seorang pria. Aku tidak pernah melihat Ayah sedih seperti itu. Aku memahami cinta Ayah untuk Ibu sangatlah tulus dan ketulusan itu hancur begitu saja dengan pengkhianatan yang Ibu lakukan. Seolah Ibu tidak menghargai keringat Ayah selama ini menghidupi keluarga. Aku pun sangat marah!

Kesedihan Ayah terus berlanjut hampir sebulan dan akhirnya Ayah memilih untuk pergi. Aku menemukan Ayah gantung diri di kamarnya. Dia bunuh diri dalam kekecewaannya. Saat itu aku kehilangan peganganku. Ayah memilih untuk meninggalkanku dan aku sendirian. Hingga di hari pemakaman Ayah pun, Ibu tidak menampakkan dirinya. Aku sangat sedih dan hanya Zelo yang berada di sampingku.

"Ze, kenapa hidup tiba-tiba begitu menyakitkan?"

*******

Aku turun dari bus lalu berjalan menuju kafe. Aku duduk di depan pintu kafe dan berpikir sejenak. Hari ini aku tidak semangat untuk bekerja. Mood ku berantakan. Kepalaku sangat sakit, aku tidak dapat fokus. Aku mengeluarkan kunci dari dalam tasku dan membuka pintu kafe. Aku menyalakan semua lampu lalu duduk di kursi tamu sambil menahan sakit di kepalaku. Tiba-tiba saja tubuhku sangat lemas, aku tidak punya energi. Aku meletakkan kepalaku di atas meja dan memejamkan kedua mataku.

Aku merasa seseorang menepuk pundakku pelan sambil memanggil namaku. Aku membuka kedua mataku perlahan dan mengangkat kepalaku. Aku semakin merasa sekelilingku berputar, aku berusaha untuk menyeimbangkan diri dan berdiri tetapi tubuhku tidak dapat menahannya hingga akhirnya aku terjatuh dan semuanya gelap. Samar-samar aku mendengar temanku berteriak memanggil namaku tapi kedua mataku tidak mampu untuk membuka.

"Aileen."

Seseorang memanggilku saat aku sedikit membuka mataku dan berusaha untuk sadar. Aku melihat ke sekeliling dan Lexy sudah ada di sebelahku. Aku sadar bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Kepalaku masih sedikit sakit, aku berusaha untuk duduk tetapi Lexy mencegahku. Dan tiba-tiba Zelo muncul di depanku dengan keringat yang terlihat di keningnya. Dia mengatur nafas sambil melihatku.

"Apa kamu berlari untuk datang ke sini?" Tanyaku yang melihat Zelo dengan wajah cemas.

"Bodoh! Aku sangat khawatir sampai membatalkan meeting ku saat Lexy memberi tahu kamu di rumah sakit." Jawab Zelo lalu melangkah ke sampingku dan duduk.

"Aku hanya pingsan, tidak terjadi sesuatu yang serius. Kenapa kamu begitu khawatir?"

"Hey Alien! Selama aku tahu kamu, kamu tidak pernah di rawat di rumah sakit. Kamu jarang sekali sakit dan tiba-tiba aku mendengar kamu berada di rumah sakit tentu saja aku khawatir."

Aku pun melirik pada Lexy. Lexy terlihat salah tingkah dan memperbaiki duduknya.

"Maaf, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa tadi saat teman kerjamu menelponku dan mengabarkan kamu pingsan." Kata Lexy lalu menunjukkan senyumnya yang dipaksakan karena aku masih melirik padanya.

"Lalu apa kata Dokter?" Tanya Zelo pada Lexy.

"Dokter mengatakan dia hanya kelelahan saja. Setelah diberi vitamin dia akan membaik."

Aku melihat tanganku yang sudah terpasang infus dengan kantong infus berwarna kuning. Ini adalah kali pertama aku di infus karena seperti kata Zelo, aku tidak pernah sakit hingga dirawat di rumah sakit.

"Aku sudah katakan padamu jangan terlalu keras bekerja." Kata Zelo sambil menjitak kepalaku.

"Kalau aku tidak bekerja, gajiku akan dipotong!" Kataku sambil menjitak balik kepala Zelo.

Zelo menatapku. Tajam, "Kalau begitu pindah kerja saja ke perusahaanku."

Mendengar perkataan Zelo seperti itu tentu saja aku tertawa, "Apa kau sedang bercanda? Semua karyawan di perusahaanmu, mereka semua memiliki gelar sarjana."

"Um...bagaimana kalau kamu menjadi asisten pribadiku saja?"

Aku segera menarik tangan Zelo dan melingkarkan tanganku ke lehernya, "Apa kamu mau mati? Apa katamu? Asisten pribadi?"

"Ah! Leherku sakit, Alien!"

Lexy hanya tertawa melihat aku bertingkah seperti itu pada kekasihnya. Dia bukan tipe pencemburu jika aku dekat dengan Zelo. Dia sudah tahu sifatku yang tidak mungkin merebut kekasihnya dan melihat hal itu seperti candaan saja pada seorang sahabat.

********

Aku di antar pulang oleh Zelo hingga ke kosan. Aku membuka pintu kamar dan Zelo ikut masuk. Aku melihat ada sebuah pesan yang ditulis oleh Ibuku pada kertas memo dan menempelkannya di pintu kulkas.

Ibu meletakan makanannya di dalam kulkas, jangan lupa habiskan. Tidak perlu khawatir Ibu tidak akan meminta uang lagi padamu. Ibu selalu menunggu kamu pulang.

Aku segera membuang kertas itu ke dalam tempat sampah tapi Zelo mengambilnya kembali. Aku pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaianku tanpa menutup pintu.

"Apa ini sebabnya hingga kamu pingsan hari ini?" Tanya Zelo saat aku keluar dari kamar mandi dan sudah mengganti pakaianku.

Aku segera mengambil kertas itu dan kembali membuangnya ke tempat sampah. Aku berjalan menuju tempat tidurku dan duduk di sisi tempat tidur, sementara Zelo membuka kulkas dan melihat beberapa kotak makanan yang tersusun di sana.

"Apa kamu akan terus bersikap seperti ini pada Ibumu?" Tanya Zelo sambil berjalan mendekatiku.

"Aku...rindu Ayahku."

Zelo berdiri di depanku dan dia memelukku. Aku...kembali menangis.

"Maafkan aku, harusnya aku tidak bertanya seperti itu padamu. Aku mengerti persaanmu."

"Tidak, kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan, Ze. Karena orang tuamu baik-baik saja. Kehidupanmu pun jauh lebih baik dibandingkan aku." Kataku yang masih menangis di pelukan Zelo.

"Baiklah, maafkan aku. Berhentilah menangis...aku tidak suka melihatmu sedih seperti ini."

Perasaan hancur sebagai seorang anak yang memiliki keluarga tidak harmonis, tidak akan dimengerti oleh mereka yang memiliki keluarga bahagia. Aku memendam perasaan sedihku cukup lama. Aku menyimpannya dengan sangat baik dihatiku walau terkadang aku lelah dengan kehidupanku. Jika tidak ada Zelo dan Lexy, aku mungkin akan menyusul Ayahku.

Aku selalu berprasangka baik pada Tuhan, mereka yang datang dikehidupanku adalah untuk menguatkanku. Agar aku tidak melakukan hal bodoh seperti Ayahku. Agar aku dapat membuka mataku bahwa hidup harus terus berlanjut. Walau pun beban selalu ada di pundakku. Walau pun aku masih menyimpan kekecewaan pada Ibuku. Walau pun semuanya belum membaik. Dan aku yakin banyak orang di luar sana yang memiliki kehidupan yang lebih berat tapi mereka masih menatap dunia dengan senyuman.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login