Dua minggu yang padat mengisi hari-hari Troy. Kiran yang biasanya tidak sibuk adalah orang pertama yang terkena imbasnya. Dia harus mengatur ulang jadwal sang bos dan menghubungi beberapa orang untuk mengatur ulang jadwal karena terkena cuti. Sangat sibuk sampai rasanya untuk menikmati makan siang saja dia tidak bisa. Jangankan makan siang, mengambil napas pun rasanya dia kesulitan saking sibuknya.
"Makanlah." dilihatnya sang bos menaruh sebuah kotak makan di mejanya.
Ini benar-benar pemandangan yang langka. Seorang bos besar, seorang Troy Mikhaila Darren yang terkenal sombong dan angkuh membelikan makan siang untuk sekretarisnya?
Apa kepala beliau terbentur sesuatu? Pertanyaan itu terus bergema di telinganya. Karena apa yang dilakukan beliau adalah hal yang sangat langka. Jangankan membelikan makan siang para karyawannya, mengambil kopi untuk dirinya sendiri pun beliau akan menyuruh Kiran.
"Ini hari terakhir aku kerja sebelum cuti, dan aku mau pulang lebih awal untuk itu." ucap Troy sambil menuju ruangannya.
Mendengar ucapan bosnya, Kiran segera menelan ludah. Akhirnya dia tahu maksud dari makan siang yang sekarang sudah tergeletak manis dihadapannya.
Oh iya, nggak ada makan siang gratis. Bahkan untuk makan siang kali ini dia harus membayarnya dengan pulang lembur lagi dan mengatur ulang jadwal lagi. Ah rasanya kepala itu akan meledak! Benar-benar dua minggu yang penuh derita bagi Kiran.
Melajukan mobil dengan kencang, Troy tak sabar untuk segera sampai di rumah. Rumah yang beberapa bulan ini dia tinggali sendirian. Rumah yang meski sebentar telah memberinya kenangan yang hangat.
"Fe, aku cuma pengen kita barengan lagi menghabiskan waktu bersama menjadi keluarga yang bahagia." dengan tulusnya Troy berkata, memandang foto pernihakan mereka.
Setiap kali merindukan istrinya, Troy akan duduk di ruang tengah sembari memandang foto itu. Foto yang penuh kenangan tidak menyenangkan dulunya, kini menjadi foto paling favorit bagi Troy. Karena disana dia bisa melihat Fenita dengan senyumannya.
Satu lagi kebiasaannya saat merindukan Fenita. Troy akan dengan senang hati membersihkan rumah dan memandanginya berlama-lama. Seolah membayangkan bagaimana Fenita membereskan rumah dan melakukan hal yang sama setelah selesai membereskannya.
Semua persiapan penerbangan sudah selesai. Barang bawaannya sudah diringkas dalam satu koper besar, juga sebuah ransel untuk membawa barang-barang yang penting.
Pesawat akan berangkat pukul delapan malam dari Jakarta yang langsung menuju Sydney. Setelah transit 1jam lebih, pesawat akan langsung terbang ke Canberra. Total penerbangan akan memakan waktu 10 jam paling lama, atau bisa dibilang Troy mengambil penerbangan paling cepat agar dia bisa segera sampai di Canberra. Lebih cepat Lebih baik kan?
'Ma, aku pergi jam 8 malam ini, aku hubungi kalau udah sampai.'
Pesan itu terkirim ke ponsel mama Troy sesaat sebelum dia masuk ke pesawat. Kemanapun dia akan bepergian, dia akan berpamitan dan mengabari mamanya. Untuk kali ini, dia hanya berpamitan, sengaja tidak memberitahukan kemana tujuannya. Anggap saja ini kejutan.
Lalu Troy menikmati 10 jam penerbangannya, berharap bahwa 10 jam itu bagai kedipan mata agar dia bisa segera mendarat di Canberra. Tanah yang sama yang dipijak oleh perempuan pujaan hatinya. Senyum tak dapat dia sembunyikan selama penerbangan.
...
Fenita turun dari mobil yang mengantarkannya ke kampus. Sebenarnya dia tidak suka diantar ke kampus karena akan menarik perhatian orang-orang. Bukan, bukan mobilnya yang menarik perhatian, tapi orang yang berada di balik kemudi yang menarik perhatian orang-orang. Terlebih kaum hawa yang tak pernah bisa melepaskan tatapan mata mereka.
Menjadi tampan memang anugerah, tapi terkadang jadi sedikit menyebalkan karena tatapan orang-orang yang terkadang kelewat batas. Dan sedikit bersimpati kepada kakaknya, Fenita selalu saja menyuruh kakaknya mengenakan topi atau masker untuk menyembunyikan wajah tampannya itu.
Setelah berpisah dengan kakaknya, Fenita berjalan menuju kelasnya. Dia berusaha cuek dengan semua tatapan dan obrolan yang ditujukan kepada dirinya. Tau lebih tepatnya tentang laki-laki yang bersamanya?
"Freya my girl!!" suara itu menghentikan langkah Fenita. Jovita berlari ke arahnya dengan membawa kotak bekal kesayangannya.
"Pelan-pelan, Jo. Masih ada waktu sebelum kelas di mulai." Fenita memeluk gadis itu dengan riang.
Jovita adalah satu-satunya perempuan yang menjadi temannya sejak masuk kuliah. Dia berasal dari Perth dan jauh-jauh kuliah di Canberra demi bisa belajar mandiri. Mengingatkan Fenita akan dirinya sendiri yang hidup mandiri setelah lulus sekolah menengah. Yah bedanya adalah Fenita terpaksa hidup mandiri karena dia sudah tidak bisa ditanggung lagi oleh panti asuhan. Berbeda dengan Jovita yang memang memilih untuk belajar hidup mandiri.
"Hari ini aku masak pasta yang waktu itu kita beli. With prawn." ucapnya bersemangat sambil mengangkat bekal makannya.
"Nggak sabar mencobanya." mata Fenita dipenuhi binar semangat.
Jovita memang tidak terlahir dari keluarga kaya, tapi dia memiliki keluarga yang menyayanginya. Itu yang selalu diceritakan Jovita tentang keluarganya. Membuat Fenita iri setengah mati dengannya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang harus hidup berkecukupan tapi kesepian. Tapi itu membuat mereka tumbuh menjadi sahabat yang saling melengkapi.
Terkadang Jovita akan menginap di rumah Fenita saat kakaknya harus keluar kota karena urusan pekerjaan. Disaat itu, Jovita akan memperlihatkan keahlian memasaknya. Yang membuat Fenita sekali lagi dibuat iri.
Tepat pukul dua siang, kelas berakhir. Perut yang keroncongan membuat kedua sahabat itu segera meninggalkan kelas untuk menikmati pasta buatan Jovita. Taman di halaman depan kampus menjadi pilihan mereka. Di bawah pohon yang rindang dengan suasana yang tidak terlalu ramai.
"Gimana?" tanya Jovita antusias. Menunggu komentar Fenita yang sedang menyuap pastanya.
Beberapa kali Fenita menganggukkan kepalanya. Mulutnya yang penuh pasta membuat dia kesulitan bicara. Hanya dua jempolnya yang teracung yang mewakili dirinya menjawab pertanyaan Jovita.
Penuh semangat, Jovita bertepuk tangan. Lalu keduanya menikmati makan siang mereka sambil berbincang.
Karena sudah tidak ada kelas, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu sembari mengerjakan beberapa tugas. Saat itulah mata Fenita menangkap sosok yang familiar dimatanya. Antara yakin dan tidak yakin. Tapi segera ditepis oleh Fenita karena itu hal yang mustahil.
"Kenapa, Fe?" towelan Jovita menyadarkan Fenita.
"Nggak. Kaya liat orang yang kukenal. Tapi kayanya bukan."
"Siapa, Freya? Laki-laki tampan? Mantan pacar kamu?" rentetan pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman.
"Kalian lagi bahas apa?" suara laki-laki yang sangat dikenal Fenita menyela.
"Kak Fritz." Fenita menoleh ke arah datangnya suara.
Masih dengan pakaian kerjanya, Fritz Mayer menghampiri kedua gadis itu. Dia sengaja mengejutkan keduanya saat mereka tengah sibuk bercanda. Sebgaja menjemput adiknya setelah selesai meeting di luar kantor.
"Kami lagi ngerjain tugas, Kak. Kakak mau bantu?" tanya Jovita iseng.
Tanpa diduga, Fritz melayani keisengan Jovita. Dengan luwesnya dia duduk di diantara Jovita dan adiknya, membaca kertas yang berisikan tugas mereka. Ketiganya lalu sibuk berdiskusi tentang tugas yang mereka kerjakan. Tak menghiraukan waktu yang terus berjalan hingga tanpa mereka sadari, waktu sudah malam.
"Gimana kalau kita makan malam dulu?" Fritz membantu keduanya membereskan barang bawaan mereka.
"Mau makan apa?" tanya Fenita.
"Apa aja selain pasta. Karena tadi kita udah makan pasta." jawab Jovita sambil memamerkan kotak bekal makan siangnya.
"Wah wah wah, sepertinya ada yang berpesta tanpa mengundang nih." Fritz pura-pura cemberut.
Dengan gemasnya, Fenita memeluk kakak tersayangnya. "Maaf, tadi girls time, jadi yang ganteng dilarang bergabung."
Ketiganya lalu tertawa.
Pada akhirnya mereka memutuskan untuk mnikmati masakan China karena banyak pilihan untuk ketiganya.