Download App
12.5% JEJAK WAKTU

Chapter 12: BAB 11 MENGGENGGAM HATI

Aku yakin wajahku sudah benar-benar memerah. Untunglah cahaya kandelier yang kugantung tidak cukup untuk menunjukkan itu. Pasti dia akan meledekku habis-habisan jika tahu.

"Siapkan dirimu. Besok malam aku akan membawamu." ujarnya sambil berbisik lembut di telingaku.

Aku terbatuk karena malu dengan apa yang sudah kubayangkan. Akhirnya aku mengangguk kepadanya.

"Jadilah gadis yang baik malam ini. Mungkin ini malam terakhirmu menjadi Juffrow.. pikirkan pula tentang ayahmu. Mungkin dia tidak akan menerima ini. Siapkan seluruh mentalmu untuk menghadapi itu semua. Jangan pernah kita sesali apa yang sudah kita putuskan saat ini." katanya. "Kau... kau sudah membuatku mendobrak semua aturan yang melingkupiku." kata-katanya semakin lirih. Digenggamnya tanganku seakan tidak ingin lagi dilepasnya. "Aku berlutut beberapa hari kepada ibuku sebelum menyusulmu. Tanpa restunya aku tidak yakin bisa menemukanmu."

Sekali lagi dia menundukkan wajahnya untuk mengecup keningku.

"Margie, beristirahatlah, aku akan menjagamu hingga kamu tertidur. Siapkan dirimu untuk besok. Tunggu aku, yaa?" ujarnya sambil mengenggam tanganku.

Semalam masih terasa seperti mimpi bagiku. Tidak ada jejaknya. Aku bahkan tidak mengingat bagaimana dia bisa berada di kamarku di lantai dua. Aku keluar ke balkon. Aku merasa sangat tidak mudah memanjat hingga kamarku. Bagaimana dia datang dan pergi.

Aku melihat sekeliling kamarku. Koper-koperku terlalu besar. Pasti menyulitkan pelarianku. Lalu gaunku. Aku hanya punya gaun. Seandainya ada celana sport pasti lebih mudah.

Apa yang harus kupakai?

Aku membuka koper terkecil yang kumiliki. Kujejalkan dua gaun yang paling simpel dan berbahan ringan. Pakaian jaman dulu benar-benar jauh dari praktis. Dan diari kecil itu. Aku akan membawanya kemanapun. Karena diari itulah yang terakhir kusentuh sebelum aku terlempar ke jaman ini.

Aku menanti malam. Dhayu sudah kuminta untuk meletakkan koper diluar pagar. Dia menangis saat aku berpamitan kepadanya. Dia ketakutan. Tapi aku sudah menyampaikan kepadanya bahwa akan ada surat yang sudah saya tinggal untuk Papa, jadi dia tidak perlu khawatir. Aku yakinkan dia, bahwa dia akan baik-baik saja.

"Noni... aku ingin mengikuti noni... " tangisnya

"Kalo kondisiku sudah baik, aku akan menjemputmu. Tunggu saja."

Dia jatuh berlutut didepanku sambil menangis lebih keras.

Malam sudah menjelang. Jantungku semakin berdebar. Aku benar-benar tidak sabar menantikannya. Malam itu tidak dingin, tapi aku menggigil. Dhayu sudah berupaya untuk mengalihkan perhatian penjaga.

Tanpa suara Dhayu berlari ke kamarku.

"Noni, dia sudah dibawah. Aku sudah beritahu noni akan turun." bisiknya bersemangat.

Aku merasa malu dengan Dhayu karena aku tampak sangat bersemangat.

Seperti malam sebelumnya. Dia datang dalam kegelapan, mengenggam hatiku dengan hatinya, membuatku mampu melakukan segalanya. Kami menyusuri malam.

Seseorang telah menunggu kami diluar pagar. Sebuah kereta kuda yang mereka sebut dengan dokar telah menunggu.

Aku tidak tahu kemana aku akan dibawa. Kami terus bergerak entah berapa lama. Dan tidak pernah ada waktu yang terlalu lama saat bersama dia.

Kami turun di sebuah rumah bergaya Jawa. Rumah itu bukan rumah yang besar. Tidak kulihat seorangpun didalam rumah itu. Hanya saja ada kandelier yang menyala di teras rumah dan didalam rumah.

"Ayo.. " ajaknya sambil meraih tanganku.

Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke rumah itu. Kusir kuda itu membawakan koperku kedalam rumah.

Rumah itu cukup nyaman, walaupun langit-langitnya menurutku kurang tinggi.

"Rumah siapa ini?" tanyaku

"Rumah kita." jawabnya.

Aku merasa tersipu dengan jawabannya.

"Tunggu disini." katanya, sambil menarikku untuk duduk di ruang tamu rumah itu.

"Kau akan kemana?" tanyaku

"Aku akan menyusul seseorang." jawabnya sambil mengusap lembut puncak kepalaku.

Setelah cukup lama aku menunggu, akhirnya mereka kembali. Mereka datang bersama dua orang pria lain.

Mereka duduk di depanku.

"Apa kamu sudah siap?" tanya salah seorang pria itu kepada Aryo.

"Tunggu sebentar, aku akan bersuci." katanya.

Aku tidak terlalu memahami apa maksudnya. Setelah dia kembali, wajahnya terlihat basah, begitu juga dengan ujung rambutnya dan kedua tangannya. Ketika aku akan meraih tangannya agar duduk di dekatku dia menolaknya.

"Sebentar. Jangan dulu kau sentuh aku." katanya menolakku, "Tunggu."

Apa maksudnya? Aku merasa kecewa. Rasanya sakit hati, ketika dia tidak mau kusentuh. Ada apa? Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan? Rasanya aku ingin menangis.

"Noni, Raden Mas Aryo sudah bersuci, jika bersentuhan dengan anda, maka itu akan sia-sia. Anda tunggu sebentar. Jangan anda salah paham. Dia tidak menganggap anda buruk. Sungguh." jelas salah satu pria itu kepadaku. Mungkin dia melihat keraguan dan kekecewaan diwajahku.

"Baiklah, ayo kita mulai." kata Aryo sambil melirikku.

Aryo bersalaman dengan salah satu pria itu. Pria itu mengucapkan sesuatu semacam mantra yang tidak kumengerti. Dan Aryo mengikuti kata-kata yang dia ucapkan. Dia menyebut namaku dalam mantranya.

"Sah!" seru dua orang yang lain dan seorang pelayan.

"Alhamdulillah... " ucap Aryo.

Aku bisa melihat dia sangat lega, seakan bebannya telah terangkat.

"Kita sudah menikah sekarang." katanya kepadaku.

Aku masih belum paham. Jadi, mantra yang mereka ucapkan adalah janji pernikahan. Ternyata aku tidak perlu berbicara apapun dalam pernikahan bersama inlanders. Mereka sungguh aneh. Tapi apapun itu, aku senang melihat Aryo tampak begitu bahagia.

Setelah bercakap-cakap beberapa waktu dua orang pria itu pergi bersama pelayan dan kusir dokar.

Kita hanya berdua sekarang. Aryo memandangiku. Aku belum pernah segugup ini dipandang oleh pria. Dia menarik tanganku dan mengunciku dalam pelukannya.

"Aku sangat bahagia." katanya sambil mengecup keningku.

Aku tidak mengatakan apapun. Dia membawaku ke sebuah kamar tidur. Aku menelan ludahku.

Dia menoleh melihatku.

"Kau gugup?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Aku baik-baik saja." jawabku.

"Apakah kau ingin berganti pakaian?" tanyanya.

"Aku tidak membawa gaun tidurku." jawabku.

"Kalau begitu kau akan tidur dengan seperti ini?" tanyanya sambil mengambil tanganku. Tangannya begitu dingin. Apakah dia gugup? Dia memintaku untuk tidur. Dia tampak menggelikan.

"Apa kau tahu yang dilakukan di malam pertama?" tanyanya kemudian dengan suara lirih.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C12
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login