Download App

Chapter 2: The Unexpected Mission

"Apa? Jadi kau menolak mentah-mentah klien kita ini?" Seth langsung terlompat kaget dari tempatnya berdiri. Kumisnya yang mulai memutih itu seolah ikut terangkat ke udara, melambai-lambai di tiup angin pendingin ruangan yang dipasang terlalu kencang.

Aku membuang napas. "Ya, lagipula, jika kau sudah bicara dengan wanita itu secara langsung, mengapa masih minta dia untuk menemuiku?"

Selagi duduk kembali, Seth menjawab, "Itu kulakukan karena pada akhirnya kaulah yang akan menangani kasus ini."

"Itu yang menjadi pertanyaanku selanjutnya," jawabku bersungut-sungut. "Mengapa kau serahkan kasus ini kepadaku? Kau tahu 'kan aku sudah hendak pensiun? Berdasarkan kontrak, 3 bulan lagi aku akan berhenti bekerja di perusahaan ini."

"Yang menjadi masalah adalah...," Seth membenarkan kacamatanya yang merosot dari batang hidungnya yang tebal, "klien kita ini punya uang."

Spontan, suara tawaku yang terdengar sarkastik menguar. "Tepat seperti dugaanku."

"Maksudku, ini serius, Erisha. Klien kita ini kaya dengan uang," ujar Seth. Kini wajahnya berubah serius. Mau tak mau, aku pun memasang telinga.

"Memang berapa yang dia tawarkan?" tanyaku.

Seth menarik napas, lantas menjawab, "Empat belas miliar... dolar."

Kedua bola mataku seolah ingin meloncat dari tempatnya. Tanpa sadar, mulutku terbuka lebar. Aku hanya sanggup menatap Seth dengan sorot mata tak percaya.

"Kau... bercanda?" hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Seth menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. "Karena itulah aku tidak bisa menolaknya, Erisha," keluh Seth. "Dengan uang sebanyak itu, kita bisa mengembangkan penemuan-penemuan kita yang lain, bukan hanya mesin waktu kita saja."

"Tetapi... empat belas miliar dolar itu... berkali-kali lipat dari biaya jasa reguler kita," kataku. "Kau yakin ini tidak mencurigakan?"

Seth terdiam, tampaknya ia sedang berpikir.

"Maksudku, untuk apa wanita itu berniat untuk mencegah kematian seorang idol dan rela membayar dengan jumlah uang yang sefantastis itu?" Dahiku berkerut-kerut. "Lagipula, klien kita ini malah masih menyimpan rahasia, kau tahu. Dia tidak menyertakan berkas-berkas kuisioner dengan lengkap. Padahal, itu wajib dalam tahap penyeleksian."

"Itu karena akulah yang memintanya untuk merahasiakan alasannya," jawab Seth.

Aku kembali dibuat tidak mengerti. "Maaf...?" ujarku, separuh tak percaya. "Kau bilang kau yang memintanya untuk merahasiakan alasannya?"

Seth mengangguk. "Itu benar."

Lagi-lagi, aku tertawa sarkastik. "Maaf, Seth, aku tahu kau atasanku. Namun, akulah yang akan menerima konsekuensi dari setiap misi yang aku jalankan. Aku harus tahu mengenai seluk-beluk klien dan orang yang ingin kucegah kematiannya. Lalu, bagaimana bisa aku...?"

"Erisha Kaeler," Seth memanggil namaku. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Jika sudah begini, aku yakin dia hendak mengatakan sesuatu yang sangat serius. "Dengarkan aku."

"Aku selalu mendengarkan," balasku geram.

"Kau tahu... Obxinoz?" tanya Seth, tampak hati-hati.

Obxinoz, itu adalah narkoba yang selalu menjadi tren di seluruh penjuru dunia. Eksistensi obat terlarang itu sama sekali tidak lekang meski penemuan pertamanya sudah lebih dari 30 tahun yang lalu. Aku tahu jelas apa yang Seth maksud.

"Ya, aku tahu," jawabku singkat.

"Kematian idol ini berkaitan erat dengan Obxinoz," terang Seth.

Aku mengangkat alis. "Oh? Dia mati karena overdosis obat itu?"

Seth menggeleng. "Ini jauh lebih kompleks daripada itu," jawab Seth.

"Lalu?" Aku mengangkat bahu. "Dia penemu pertama obat ini?" Aku terbahak. Candaan yang lucu.

Seth menghela napas, lantas menjawab, "Lebih tepatnya, ayahnyalah penemu pertama obat ini."

Untuk kesekian kalinya, aku tercenung mendengar perkataan Seth. "Penemu pertama, kau bilang?" tanyaku. Aku masih berharap apa yang aku dengar itu salah.

"Ya, itu benar. Kau tidak salah dengar," jawab Seth. "Setelah kematian putra semata wayang mereka, ayah idol itu... siapa namanya?"

"Aku tidak ingat. Namun, persetan dengan namanya. Lanjutkan ceritamu," ujarku tak sabaran.

"Baik. Jadi, karena kematian anaknya, ayah dari idol ini... kau tahu, depresi? Dia yang notabene adalah ahli kimia yang baik di bidangnya, akhirnya membuat sebuah obat yang bisa membuat orang melupakan memori jangka pendeknya...."

"Kurasa bukan itu fungsi Obxinoz?" selaku. "Obat itu lebih dari sekadar menghilangkan memori jangka pendek. Jika dikonsumsi secara berlebihan, Obxinozbisa membuat kita bahkan lupa dengan identitas diri kita sendiri."

"Mengapa kau tahu banyak hal?" tanya Seth tiba-tiba. "Kau pengguna, ya?"

Aku tersenyum masam. "Jangan asal bicara," ujarku. "Lanjutkan ceritamu."

"Obat ini sudah menelan banyak korban jiwa di seluruh dunia. Bahkan, orang yang telah memakai obat ini tidak bisa sembuh secara total. Otak mereka rusak secara permanen," jelas Seth. "Banyak orang yang kini jadi gila hanya karena Obxinoz."

Aku mengangkat alis. "Kau hanya menjabarkan fakta yang sudah semua orang tahu, Seth," komentarku. "Lebih baik, langsung beritahu aku apa tujuanmu memintaku mengambil kasus ini."

Seth tampak terganggu dengan ucapanku yang tanpa basa-basi. Ia pun menjawab, "Bukannya sudah jelas?"

Aku membuang napas. "Baik, jadi... kau ingin aku mencegah kematian idol ini karena jika dia tidak mati, ayahnya tidak akan depresi dan pada akhirnya tidak akan menciptakan obat yang bisa mengancam nyawa seluruh manusia di muka bumi?"

"Tepat sekali."

Aku terkekeh. "Lalu, mengapa aku harus mau menangani kasus ini?"

"Karena jika Obxinoztidak pernah ada, orang tuamu tidak akan mati," jawab Seth.

Aku langsung terdiam.

Sial. Hatiku terasa terpilin mendengar ucapan Seth. Akan tetapi, apa yang barusan dikatakan olehnya itu memang benar adanya. Aku hanya tak menyangka jika perusahaan benar-benar melakukan background check yang sedemikian ketatnya hingga mereka tahu tentang perkara ini. Kata-kata Seth telah dengan mutlak membuatku jadi susah bernapas.

Melihat perubahan ekspresiku, Seth menghela napas berat. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Erisha. Namun, aku memilihmu karena aku yakin kaulah death preventer* terbaik di gedung ini. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menyaut-pautkan orang tuamu ke dalam kasus ini."

Mendengar hal itu, aku bungkam. Gejolak amarah dalam diriku tiba-tiba saja menyeruak. Membuatku nyaris tanpa sadar mengepalkan kedua tangan di atas pangkuanku.

"Jadi, apa keputusanmu, Erisha?" tanya Seth sejurus kemudian.

"Kau benar-benar keparat, Seth, kau tahu itu," desisku.

"Ya atau tidak?" desaknya.

"Bagaimana jika tidak?"

Seth mengangkat bahu cuek. "Yah, aku bisa memberikan kasus ini ke preventer lain. Jika mereka gagal, maka kau tahu apa yang akan terjadi."

"Bagaimana jika aku bilang ya, tetapi aku tetap gagal?"

Seth tersenyum tipis. "Setidaknya kau sudah mencoba dengan usahamu sendiri untuk mencegah kematian kedua orang tuamu."

Keparat. Apa yang dia katakan itu benar. Dari segala hal yang aku inginkan di dunia ini, aku hanya ingin orang tuaku kembali hidup.

"Jadi? Ya atau tidak?" tanya Seth untuk kesekian kali.

Tak menjawab, aku malah bangkit dari tempat dudukku dan menuju ke arah pintu. Sebelum keluar dari ruangan itu, aku menatap ke arah Seth lurus-lurus. Aku tak pernah menyangka aku akan mengatakan ini, tetapi aku tetap membuka mulut, "Segera kirimkan surat kontrak misi ini ke ruanganku."

Senyum sepuluh senti Seth pun terbit.

*

Glosarium

Death preventer: Orang-orang yang bertugas untuk mencegah kematian para tokoh di masa lalu.


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login