Download App

Chapter 35: 35. Ditolak?

Tiga perkara yang apabila dilakukan dengan serius maka hukumnya menjadi serius, namun bila dilakukan dengan main-main maka hukumnya tetap serius, yaitu : nikah, talak dan rujuk. (HR. Tirmizy)

*****

Tepat pukul 14.30 waktu Osaka, Razi bersama rombongan yang dibawanya mendarat di Kansai Airport. Setelah merasakan kurang lebih 11 jam mengambang di udara dengan menggunakan maskapai dalam negeri yang harga tiketnya dua kali lipat dari harga tiket maskapai internasional.

Sehingga kali ini Razi harus rela merogoh lebih banyak simpanan di rekeningnya. Dan Razi benar-benar ikhlas menguras isi tabungannya itu, demi wanita yang selama hampir 1,5 tahun ini menempati posisi khusus di hatinya. Seperti kata pepatah, gunung saja akan didaki, laut mampu diseberangi, apalagi cuma merogoh isi dompet. Tidak ada apa-apanya.

Perjalanan mereka lanjutkan dengan menggunakan kereta cepat JR menuju Kyoto. Kurang dari sejam, Razi dan rombongan yang dibawanya tiba di stasiun Kyoto. Dan langsung disambut oleh seorang pria Jepang seumuran Razi bernama Ryu Tanaka. Ryu adalah salah seorang teman sekamarnya di asrama dulu. Dan pria asli Shinjuku itu merupakan seorang mu'alaf. Saat sekamar dulu, tanpa disengaja, Ryu memperhatikan cara Razi sholat ataupun mendengarkannya mengaji. Baginya lantunan ayat suci itu terdengar menyejukkan jiwanya. Dari situlah Ryu merasa penasaran untuk mencari tahu tentang ajaran Islam. Dan Ryu menjadikan Razi sebagai guru tempatnya belajar. Razi menjadi saksi saat Ryu dipandu untuk mengucapkan kalimat syahadat oleh seorang ulama besar di Kyoto.

"Ryu! Genki desu?" Razi langsung mendekap temannya yang kini menggunakan koko berwarna putih itu.

"Alhamdulillah baik. Saya sudah bisa bicara bahasa, Arsan," jawabnya dengan bahasa Indonesia yang terdengar agak aneh. Lafal pengucapan huruf 'R' nya tidak begitu jelas.

"Ya Allah, saya lupa. Berarti Ria itu guru yang hebat!" Razi mengacungkan jempol sambil tertawa. Ria adalah istri dari Ryu, seorang akhwat asal Indonesia yang dijodohkan dengannya lewat ta'aruf.

"Maaf kalau bicara saya masih terdengar kurang enak," ujarnya tersenyum ramah. Ryu pun menunduk memberi salam hormat pada orang-orang di belakang Razi. Dan mereka pun membalas salamnya dengan cara yang sama.

Ryu mempersilahkan rombongan Razi yang berjumlah delapan orang itu untuk menaiki mobil Hi-Ace yang sudah disewanya. Tentu saja atas permintaan Razi padanya beberapa hari yang lalu.

Malam ini rencananya mereka akan beristirahat dulu di sebuah hotel bintang empat yang telah di-booking oleh Razi. Sambil menikmati indahnya pemandangan kota Kyoto di malam hari dari atas lantai 9 gedung hotel itu. Sementara Razi, ia lebih memilih untuk berjalan-jalan di luar. Bernostalgia dengan Kyoto yang memberikan kenangan tersendiri baginya.

Razi mampir ke sebuah kedai yakiniku halal di Naritaya, salah satu tempat makan langganannya dulu. Kedai ini cukup ramai pengunjungnya, sebagian besarnya merupakan wisatawan muslim. Setelah mengantri beberapa saat, akhirnya ia pun masuk ke dalam kedai yang terlihat kental oleh sentuhan etnis dari Kyoto itu. Saat akan memilih meja, Razi tak sengaja berpapasan dengan putra dari pemilik kedai yang sedang sibuk mengantarkan hidangan ke meja para pengunjung. Keduanya pun saling sapa dan berbincang sedikit. Hingga akhirnya sudut matanya menangkap pemandangan itu. Sosok yang sangat dikenal oleh penglihatannya, sedang menempati meja paling ujung belakang. Sendirian.

Dan Razi pun terpaku di tempatnya berdiri. Matanya tak lekang memandang sosok yang sangat dirindukannya, wanita yang ingin dinikahinya untuk kali kedua. Maira Faizhura.

Ponsel tergenggam di kedua tangan wanita itu. Kedua bola matanya menatap gawai itu, sama sekali tidak menyadari kehadiran Razi yang berjarak sekitar 6 meter dari tempat duduknya. Dan Razi yang baru saja akan mundur untuk menghindar, tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar beberapa kali di saku celana. Sesaat ia mengedar pandangan, lalu beranjak untuk duduk di kursi terdekat dengan pintu. Sambil sesekali mengintip posisi Maira, ia merogoh saku celananya.

2 new notifications from Dear Wife

Razi berusaha menelan ludahnya yang saat ini terasa seperti gumpalan kapas. Lalu dilihatnya kembali Maira di ujung belakang. Posisinya masih sama seperti tadi, fokus ke benda di genggamannya. Bisa jadi wanita itu benar-benar tidak menyadari keberadaannya. Razi pun memberanikan diri membuka aplikasi chat itu.

Dear Wife : Assalamu'alaikum

Dear Wife : Lg dimana?

Me : Wa'alaikumussalam

Razi mengernyitkan dahinya. Tumben sekali Maira menanyakan keberadaannya. Di perbincangan mereka sebelum-sebelumnya, tidak pernah sekalipun Maira mengajukan tanya seperti ini. Seperti sebuah lagu yang menanyakan sedang di mana, dengan siapa, sedang berbuat apa. Wanita itu selalu berusaha untuk terlihat acuh.

Me : Di hatimu

Dear Wife : Ah masa?

Me : Kamu sdg apa?

Dear Wife : Nungguin kamu

Razi terkesiap. Lagi-lagi berusaha menelan ludahnya yang kini terasa seperti gumpalan karet gelang. Lirikannya kembali tertuju pada Maira. Wanita itu masih tetap memandang layar ponselnya sambil tersenyum.

Me : Maksudnya?

Dear Wife : Aku lg nungguin kamu disini

Me : Memangnya kamu lg dimana?

Dear Wife : Dihatimu 😋

Mau tak mau sebuah senyum terkembang di wajah Razi.

Me : Bisa aja

Dear Wife : Kesini dong!

Me : Wait for me tomorrow

Dear Wife : Ngapain nunggu besok kalo skrg aja bisa?

Hah?! Dia tahu aku di sini? Lagi-lagi Razi melirik ke arahnya. Maira masih senyum-senyum sendiri menatap ponselnya. Razi bingung, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Dear Wife : Kok diem?

Glek! Baru kali ini Razi mati kutu menghadapi pesan teks Maira. Biasanya ia yang selalu berhasil membuat Maira mati gaya.

Me : Gpp

Dear Wife : Mau nyamperin aku nggak?

Me : Maksudnya?

Dear Wife : Mau aku yg nyamperin kamu atau kamu yg nyamperin aku?

Razi meletakkan ponselnya di atas meja dengan tubuh merinding, menatap benda itu penuh rasa takut. Seolah-olah gawai itu sedang dirasuki oleh jin jahat.

"Jadi ... harus aku yang nyamperin, ya?"

Kedua matanya melotot. Suara itu? Suara itu datang dari belakang punggungnya. Pelan-pelan Razi memutar balik tubuhnya dengan penuh rasa takut, persis seperti dalam adegan di film horor. Seketika tubuhnya merinding. Bulu kuduknya berdiri. Sosok itu sedang berdiri di dekatnya, dan kini mereka berhadapan.

"Hai, ROBOCOP! Apa kabar?"

Jika kamu pernah menyaksikan salah satu adegan di film anime di mana salah satu karakternya sedang memandang sang lawan dengan seringai jahat di wajah disertai kilatan cahaya di kedua matanya, seperti itulah Maira terlihat sekarang. Menyeringai dengan tatapan  membunuh.

"M—m—May?"

Maira segera menempati kursi kosong di samping Razi, masih disertai seringai di wajahnya. Dan Razi pun hanya menatap terpana.

"Ka—kamu ...?"

"Kenapa? Kaget?" Maira menaik-turunkan kedua alisnya.

Benar-benar mati kutu! Wanita itu benar-benar membuatnya bungkam bukan hanya seribu tapi sejuta bahasa. Mungkin ini yang dimaksud pribahasa yang dipelajarinya saat SD. Menepuk air didulang, terpercik muka sendiri.

"May ... kok ... kamu—?

"Tau?" sambung Maira meneruskan kalimat Razi yang tergagap.

Razi mengangguk pelan dengan wajah ciut. Sementara Maira terkekeh penuh kemenangan.

"Gampang banget sih nebaknya kalo A'an itu kamu. Orang bodoh juga bisa tau!" ujarnya santai sambil mencomot edamame yang baru saja terhidang di hadapannya. Sebelum menghampiri pria itu, Maira telah berpesan kepada  pelayan kedai untuk membawakan pesanannya ke meja ini.

"Aku bingung mau ngomong apa," balas Razi dengan ekspresi datarnya lalu memalingkan wajah.

"Lho, kok jadi kamu yang sensi? Harusnya aku dong yang marah karena dikerjai sama kamu."

"Jadi ... kamu marah?" Matanya kembali menatap Maira. Berusaha menelisik ke dalam bola mata mantan istrinya itu. Dan tatapannya kini tergolong zina mata.

Maira justru memicingkan kedua matanya lalu pura-pura berpikir. Bibirnya diketuk-ketuk dengan satu jari. "Hmmm ... marah nggak ya?"

Razi menghela napas pelan setelah melihat aksi pura-pura itu. "Sejak kapan kamu tahu?"

"Hm?" Maira bergumam cuek.

"Sejak kapan kamu tahu?" ulang Razi sekali lagi. Kali ini terdengar lebih menuntut.

"Belum lama, kok. Menurut kamu, kenapa aku bisa tahu?" Tangan kanannya kembali mencomot edamame untuk kesekian kalinya.

Tidak perlu waktu lama bagi Razi untuk berpikir. Ia mendesah kasar sebelum menjawab sendiri pertanyaannya. "Ruri!"

"Anak pintar!" Secara spontan, Maira melayangkan tangannya untuk menepuk-nepuk kepala Razi layaknya perlakuan orangtua pada anaknya. Namun cepat-cepat ditarik kembali tangannya ketika sadar pria di sampingnya itu bukan lagi suaminya. Sedangkan Razi? Berusaha menahan senyumnya. Sentuhan pertama itu rizki. Sentuhan berikutnya baru terhitung dosa.

"Ehm, jadi ... sebenarnya aku curiga waktu Ruri menyalakan speaker-phone-nya. Karena selama ini kalo lagi telponan sama si ibu yang satu itu, nggak pernah sekalipun dia nyalain speaker. Walaupun sedang sibuk. Jadi, besoknya aku telpon Ruri lagi. Dan akhirnya dia ngaku, cerita semuanya, deh. Untungnya temanku yang satu itu nggak punya mental pengkhianat," paparnya sambil tersenyum kecil. Senyum yang dalam waktu seketika mampu melumpuhkan akal sehat Razi. Andai wanita itu masih halal untuknya, mungkin saat ini juga Razi akan menyeretnya masuk ke kamar hotel.

Razi kembali memalingkan wajahnya dari Maira yang sejak tadi sibuk mengunyah cemilan kedelai hijau itu. Perasaannya campur-aduk. Sedangkan Maira? Mampu menghadapi dirinya dengan penuh ketenangan. Padahal dulu, selalu sebaliknya. Razi yang selalu mampu bersikap tenang, sedangkan Maira? Selalu penuh amarah.

"Jadi, dalam rangka apa sebenarnya kamu kesini menemui aku?" tanyanya masih dengan sikap acuh tak acuh.

Ya buat nikahi kamulah! Razi hanya mampu berkata dalam hati.

"Jalan-jalan aja, nostalgia sama Kyoto."

"Oooh." Maira hanya bermanggut-manggut ria. "Jadi cuma buat nostalgia."

Razi malas menjawab pertanyaan Maira itu. Ia lebih penasaran pada satu hal. "Kamu ... kok bisa tau aku mau mampir ke kedai ini?

Maira terlihat berpikir sejenak. Lebih tepatnya pura-pura berpikir. "Hmmm ... kontak batin mungkin? Atau ini yang namanya berjodoh?" Maira melirik nakal.

"Ck ... kamu tuh! Aku serius nanya." Dan Razi pun hanya berujar tak peduli dalam hati, tidak penting ini kebetulan atau takdir. Yang jelas, bisa bertemu dengan wanita itu saja hatinya sudah melambung senang. Wajahnya mulai memerah. Jika saja indra pendengar Maira berfungsi layaknya paus yang bisa mendengar dalam frekuensi rendah, maka suara detak jantung Razi yang saat ini sedang berpacu hebat akan dapat terdengar olehnya.

Jika saja Maira dapat menyadari bahwa setiap godaan-godaan kecil yang dilayangkan olehnya mampu menggoda iman pria itu hanya dalam sekejap mata, mungkin Maira akan lebih menjaga sikap di depan sang mantan suami.

Tapi tidak, Maira sama sekali tidak menyadari efek kupu-kupu yang timbul akibat perbuatannya. Ia hanya tertawa lepas untuk menanggapi pernyataan Razi itu.

Untung saja sang pelayan kedai datang menghidangkan makanan yang sudah dipesan oleh Maira. Razi bisa mengalihkan pikirannya pada sajian yang juga menggugah iman itu. Saved by the food!

Sang pelayan kedai membantu menyalakan alat pemanggang yang tersedia di tengah meja. Setelah dirasa cukup panas, Razi langsung mengambil beberapa potongan daging mentah dengan sumpit untuk diletakkan di panggangan.

Selama memanggang daging pun, ia masih harus berkutat dengan godaan-godaan kecil yang diluncurkan oleh Maira. Terkadang wanita itu sengaja menggigit bibir bawahnya dengan cara yang mampu membangkitkan kelelakiannya. Atau mencondongkan badannya ke depan untuk menonjolkan kewanitaannya. Padahal wanita itu tengah mengenakan sweater turtle-neck yang cukup tebal hingga menutupi lehernya. Sesekali Razi meraup wajahnya yang penuh peluh. Entah serangan panas dari panggangan yang menerpanya, atau panas dari bagian tubuhnya yang lain.

Entah pikirannya yang memang sedang dikuasai oleh hawa nafsu, atau memang saat ini Maira berpenampilan lebih menggoda.

Razi menelan potongan-potongan daging panggang itu dengan lahapnya. Terlihat sangat lapar. Dan rasa lapar itu bukan berasal dari perutnya. Dalam hati berkali-kali ia melafalkan salah satu kalimat thayyibah untuk memohon ampunan pada Allah SWT atas pemikiran liar yang berputar dalam otaknya akibat bisikan-bisikan bala tentara setan.

"Makannya pelan-pelan, Mas. Jangan kayak orang kesetanan begitu!" tegur Maira karena melihat cara makan Razi, persis gelandangan yang tidak makan selama seminggu.

"Aku lapar!" sergahnya dengan nada berang. Bukan berang pada Maira. Melainkan pada dirinya sendiri. Mungkin benar kata Maira. Saat ini dirinya sedang dirasuki setan. Razi meneguk secangkir hojicha hangat dihadapannya hingga tetes terakhir. Lalu kembali memesan minuman kedua pada sang pelayan yang sedang mengantar pesanan di meja sebelah kiri. Ia butuh lebih banyak minuman untuk melegakan dahaga, bukan hanya di kerongkongan, namun juga dahaga lainnya.

"Aku ngeliatin kamu makan aja udah berasa kenyang." Maira yang baru melahap tiga potong daging langsung meletakkan sumpitnya. Bibirnya dimajukan hingga manyun.

Dan aku ngeliatin kamu bawaannya pingin nerkam! Razi berani bersumpah! Pose bibir itu justru terlihat menggoda di matanya. Ingin rasanya memukul kepalanya sendiri keras-keras karena membiarkan akal sehatnya melanglang buana.

"Ehm, aku ke toilet dulu." Razi bangkit dari duduknya. Berjalan cepat menuju toilet kedai itu. Ia hanya perlu membasuh wajahnya, menenangkan hati dan pikirannya, juga menenangkan sesuatu yang sejak tadi terasa mendesak, bersamaan dengan napasnya yang memburu cepat.

Selesai makan, Razi bersikeras untuk mengantarkan Maira pulang ke apartemennya. Meskipun Maira sudah menyatakan kalau ia sudah terbiasa menjelajahi kota itu sendirian di malam hari.

"Aku ... sudah dengar soal ... kamu dan Al," ujar Maira membuka pembicaraan. Karena sejak sepuluh menit yang lalu hanya hening tercipta di antara keduanya.

"Yah, namanya juga bukan jodoh." Razi menjawab enteng.

"Sama seperti kita ya," balas Maira sembari menunduk memperhatikan langkahnya sendiri.

Razi enggan mengomentari pernyataan yang satu itu, hanya mampu berkecamuk dalam hati saja.

Razi menghentikan langkahnya lalu menatap punggung Maira yang tetap melanjutkan langkahnya. "May ... kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu hamil?"

Dan Maira pun turut menghentikan langkahnya saat mendengar kalimat itu yang terasa bagai petir yang menggelegar di telinganya.

"May?" Razi berjalan beberapa langkah mendekatinya yang sedang mematung di tempat.

"May? Jawab aku."

Maira tetap menundukkan kepalanya. Matanya tak mampu beradu-pandang dengan pria yang saat ini berjarak dekat di hadapannya. Jika kalian mengira Maira akan mengisak tangis, kalian salah. Airmatanya sudah kering untuk menangisi semua hal menyedihkan dalam hidupnya.

"May?" Razi kembali menegurnya. Kali ini dengan suara lirih dan lembut.

Maira sama sekali tidak bereaksi. Tubuhnya terasa kaku. Bahkan sweater, jaket, syal dan sarung tangan yang ia kenakan tidak bisa ia salahkan karena tak mampu menahan terpaan hawa dingin yang menyebabkan tubuhnya kaku. Meskipun Maira tahu benar apa yang membuat tubuhnya kaku saat ini.

Entah mendapat dorongan dari mana, pria itu spontan memeluknya erat. Berkali-kali dikecupnya pucuk kepala Maira.

"Maaf, aku tidak ada waktu kamu butuh aku," ujarnya sedih. Razi tidak akan memaksa Maira untuk membicarakan perihal kegugurannya lebih lanjut. Jika Maira tidak ingin membahasnya, so let it be.

Sementara Maira yang masih terdiam kaku hanya mampu mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak percaya atas tindakan yang sedang dilakukan mantan suaminya itu. Dengan segenap tenaga, ia mendorong tubuh Razi menjauh hingga pria itu hampir terjungkal.

"Stop! Jangan sentuh-sentuh aku! Nanti kamu banyak dosa."

Padahal sejak awal mereka bertemu tadi pun dosa Razi sudah tumbuh dengan suburnya, bahkan berkembang-biak.

"Sudah terlanjur, nanggung!" selorohnya dengan wajah memerah.

"Apaan sih!" Maira melanjutkan kembali langkahnya. Tubuhnya sudah kembali normal.

Namun Razi segera menarik tangannya. Kembali mendekapnya erat. Maira berusaha memberontak, namun kalah tenaga. Pria itu bahkan tidak memberinya ruang untuk bernapas.

"Mas ... lepas, nyesek nih!" Lalu Razi sedikit melonggarkan pelukannya setelah Maira berhenti melawan.

"May, marry me please. For the second time," bisiknya tepat di telinga kiri Maira yang setengah tertutupi oleh kupluk.

Maira terkesiap. Dan Razi melepaskan pelukannya. Berusaha mengamati raut wajah Maira.

"Apa kamu bilang?" tanya Maira lagi mencoba memastikan.

Razi kembali meraih tangan Maira yang tertutup sarung tangan wool itu untuk digenggamnya. "Would you marry me, again?"

Spontan Maira menarik kedua tangannya lepas dari genggaman Razi. Ia menatap tak suka atas tindakan pria itu.

"Kamu pikir semudah itu? Kita kan udah cerai! Aku harus nikah sama orang lain dulu sebelum balikan sama kamu."

"Kata siapa?"

"Ya ... kata ... ya kan begitu aturannya fiqih pernikahan," jawab Maira sedikit sewot.

Sentilan Razi meluncur di dahi Maira. "Makanya kalau belajar sesuatu jangan setengah-setengah. Aku baru menjatuhkan talak satu sama kamu. Karena masa iddah kamu sudah lewat, kalau aku mau balik sama kamu harus lewat akad lagi dan mahar baru." *

Maira kembali mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha mempelajari penjelasan pria itu.

"Lewat akad baru? Berarti harus ada wali, saksi, dan penghulu kan? Memangnya kamu sudah ngomong sama ayah, bunda? Nggak yakin aku kalo mereka mau terima kamu lagi jadi mantu. Terus, kamu mau aku balik ke Indonesia dulu gitu? Terus kita nikah lagi, terus aku balik ke sini lagi gitu? Kamu udah pikirin semua itu?" kilah Maira dengan lugas.

Dan Razi membentangkan senyum setelah mendengar rentetan pertanyaan Maira. "Kamu tenang saja. Aku sudah urus semuanya. Ummi dan orangtua kamu ikut kesini kok. Mereka ada di hotel sekarang."

What?! Maira membelalakkan matanya tidak percaya. "Ka—kamu serius? Ngabisin duit berapa kamu bawa-bawa sekelurahan kesini?"

"Semua uangku habis untuk kamu juga aku rela. Uang bisa dicari, istri susah dicari. Apalagi yang modelnya kayak kamu, limited edition begini," canda Razi sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Iiih, dasar om-om genit!" Emangnya aku barang antik!" cibir Maira sebal.

"Jadi, gimana? Kita nikah besok?"

"Nggak, aku nggak mau!" seru Maira langsung sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hah? Maksud kamu?"

"Itu jawabanku. I wouldn't! I don't! I won't! Aku nggak mau!"

*****

* sumber : https://rumaysho.com/2456-risalah-talak-9-talak-dan-kembali-dengan-akad-baru.html

https://almanhaj.or.id/2184-cerai-apa-bukan-bagaimana-tata-cara-rujuk-yang-syari.html


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C35
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login