Download App

Chapter 2: Penantian hati

Suasana dingin dan tenang pagi hari membuatku terbuai dalam pelukan hangat selimut tempat tidurku.

Jam waker berdering nyaring di samping tempat tidurku.

Ingin hati ini berkata lima menit lagi, tapi ada yang perlu aku lakukan, jadi aku mengurungkan niatku untuk menunda bangun tidur.

Wajah cantik seorang gadis terukir dalam ingatanku, membuatku lebih semangat untuk menyambut hari. Hati ini ingin segera bertemu, suara hati memanggil dengan lembut penuh kerinduan.

Mandi, sembahyang, mengenakan seragam yang sesuai, sarapan. Sebuah aktivitas yang sudah sangat biasa aku lalui. Tidak lupa aku mencium tangan ibuku dan bapakku lalu berpamitan.

Kuraih sepeda ontel milikku di samping rumah dengan senyum berseri. Kabut tipis dan udara pagi hari yang menyegarkan mengisi hidungku dengan lembut.

"Hari ini mari kita berjuang bersama, kawan"

Aku menyambut sepeda itu seperti kawan akrab, tidak masalah. Meskipun begitu, dia adalah satu-satunya sepeda kebanggaan keluargaku.

Aku kayuh pelan pedal sepedaku dan menyusuri jalanan desa yang masih berupa tanah berbatu. Getaran lembut dapat aku rasakan dari sadel dan gemerincing badan sepeda yang gemetar.

Bagiku, itu bukanlah perasaan yang mengganggu, aku sudah sangat akrab dengan perasaan ini.

Hidup di desa yang cukup jauh dari sekolahku, aku tidak pernah kehilangan semangat untuk menuntut ilmu. Bahkan dengan sepeda lawas dan tas punggung yang sudah lusuh, itu bukanlah sebuah halangan.

Kulihat sisi kanan dan kiri badan jalan, beberapa orang telah dengan semangat pergi ke sawah berlumpur yang sudah siap ditanami bibit padi.

"Mari pak!" teriakku menyapa orang-orang itu dengan sopan.

Mereka tersenyum dan melambaikan tangan padaku.

"Satria, hati-hati di jalan"

Aku pun mengangguk lembut dan kembali meneruskan kayuhan sepedaku.

Tidak hanya sekali aku menyapa orang-orang yang pergi ke sawah, aku terus menyapa setiap orang yang aku temui selama perjalanan.

Sesekali aku akan diminta berhenti dan diberikan sebagian bekal mereka untuk perjalanan. Aku ingin menolak, tapi aku pada akhirnya luluh pada paksaan lembut itu.

Aku tidak tahu harus mengucapkan apa lagi selain rasa syukur dan terima kasih kepada mereka, tidak lupa aku mengingat tuhan yang juga telah memberiku kesehatan hari ini.

Biasanya sepulang sekolah aku akan membantu bapak di sawahnya atau menjadi buruh petani di sawah orang. Semua orang sangat ramah padaku seperti keluarganya sendiri, dan pada akhirnya aku mendapatkan upah dari kerja keras itu untuk membantu biaya sekolah yang harus dipenuhi.

Hembusan angin lembut berdesir di telingaku ketika sepedaku melaju dengan pelan. Pagi hari adalah waktu yang selalu menyenangkan untuk disyukuri, suasana dan orang yang ramah, selalu membangun perasaan lembut dalam hatiku.

Lima belas menit berlalu, jalanan telah berubah menjadi jalan aspal hitam. Tidak ada lagi guncangan lembut, hanya sebuah suasana jalanan sunyi dan rumah yang telah gelap.

Pedagang sayur telah dikerumuni ibu ibu yang hendak membeli bahan masakan. Dering bel sepedaku menyapa.

"Mari pak, bu"

"Mari mari"

Kulihat bapak pedang sayur itu cukup kesulitan menangani penawaran rendah yang terus menghujaninya. Tapi apapun itu, aku bersyukur bapak itu diberikan kelancaran rezeki.

Semua mahluk hidup pasti membutuhkan rezeki untuk tetap hidup. Rezeki berupa kesehatan, harta, kebaikan sesama, dan makanan. Bahkan aku sangat kagum dengan semut.

Yap, hewan kecil yang pekerja keras dan gotong royong.

Tidak terasa lima belas menit berikutnya berlalu, sinar mentari menghiasi langit biru dalam cahaya jingga yang lembut. Dari kejauhan, kulihat pak satpam membuka gerbang sekolahku begitu pagi.

Aku mendekat dan turun dari sepeda.

"Pagi Pak"

Beliau adalah Pak Supriadi, satpam sekolahku yang telah berumur 34 tahun. Masih terlihat cukup muda dan belum menikah.

Karena aku selalu datang paling pagi, aku menjadi sangat akrab dengan beliau karena selalu menyapa.

"Wohoho, hari ini juga saya yang menang"

Entah karena terbiasa atau apa, kami berdua menjadi berlomba siapa yang paling pagi datang ke sekolah. Total kemenanganku adalah satu kali dari tujuh puluh delapan pertandingan.

Yap, kami telah memulai lomba ini lebih dari dua bulan lalu. Tapi aku bahkan tidak masalah walaupun kalah sebanyak itu, karena setiap kali berbicara dengan Pak Supriadi selalu terasa menyenangkan.

Terkadang aku akan mendengar kisah lucu darinya atau pengalaman konyol miliknya. Meskipun beberapa cerita diulang, aku tidak pernah bisa berhenti tertawa mendengarnya.

"Pak, ini tadi saya dapat bekal dari tetangga"

Aku mengeluarkan kotak bekal dari tasku, isinya adalah tempe, tahu, perkedel, dan beberapa cabai hijau. Ini terlihat seperti susunan gorengan yang dijual di tepi jalan, tapi ini sudah cukup nikmat untukku.

Karena jumlahnya cukup banyak, aku membaginya dengan Pak Supriadi.

Rasa gurih dan tekstur renyah menari dalam mulutku. Sesekali aku akan menggigit cabai hijau, setelah tekstur renyah kulitnya adalah rasa pedas yang menyebar dengan cepat.

Memakan gorengan bersama dengan cabai memang terasa sangat nikmat. Pak Supriadi juga terlihat cukup menikmatinya, kami menghabiskan setengah dari jumlah gorengan yang diberikan. Aku masih butuh separuh lagi untuk istirahat makan siang nanti.

Seiring dengan berjalannya waktu, terdengar suara motor yang menggerang, tampaknya beberapa siswa mulai berdatangan.

Setelah menyelesaikan sesi makan pagi bersama Pak Supriadi, aku bergegas memarkir sepeda di tempat parkir belakang sekolah lalu menuju ruang kelasku.

Tentu saja ruangannya masih kosong, hanya diisi oleh 30 bangku yang berjejer rapi memenuhi ruangan. Sebuah bangku diletakkan di ujung ruangan sebagai tempat guru dan sebuah papan tulis hitam yang bisa dilihat dari penjuru ruangan.

Aku meletakkan tas di sebuah bangku di samping jendela, ini adalah posisi kesukaanku. Dari sini aku bisa melihat warna langit yang berubah dan angin lembut yang berhembus.

Waktu berjalan pelan, satu per satu meja telah diisi. Mataku hanya tertuju pada pintu masuk kelas, menunggu seseorang dengan sabar.

Sekali lagi aku mendengar langkah kaki dari balik pintu, sebuah ritme yang sangat aku kenal.

Bayangannya mendekat, uluran tangan terlihat dari pintu yang terbuka.

"Yo, wassap geng"

Itu hanyalah teman dekatku, Adi. Dia segera mendekati tempatku dan mengambil tempat duduk di sampingku. Nah, itu memang tempat miliknya.

Tapi bukan dia yang sedang aku tunggu.

Sekali lagi seseorang datang, kali ini sebuah tangan menyentuh pintu dengan lembut. Tidak diragukan lagi itu adalah tangan seorang gadis.

Kulit yang putih bersih, rambut hitam yang terurai, langkah kaki yang pelan, dan tubuh yang lebar.

Tunggu, dia bukan orang yang aku tunggu!

Dia adalah Via, teman sekelasku yang gendut dan terkenal hobi makan. Mungkin kebiasaan itulah yang membuatnya terlihat seperti itu.

Padahal menurutku dia cukup cantik, jika saja dia sedikit lebih kurus, aku mungkin akan jatuh cinta padanya.

Nah, tapi itu akan menjadi cerita yang lain.

Sekarang orang yang aku tunggu sejak tadi telah tiba.

Garis pandanganku menatap lurus gadis itu. Wajah berseri, rambut hitam yang mengalir lembut sebahu, senyum tipis yang menawan, dan mata yang terlihat cerah.

Itu Arin, seorang gadis yang aku sukai. Tidak, mungkin lebih tepat jika dia disukai oleh hampir semua laki-laki di sekolahku.

Jantungku berdegub cepat, aku tidak bisa menahan senyuman di wajahku. Rasa lelah di kakiku perlahan sirna setelah melihatnya.

Kurasa aku jatuh dalam cintanya terlalu dalam.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login