Download App

Chapter 21: BEGITU TERASA PERIH

Hari ini, hari ke dua Marvin berada di rumah sakit. Dengan terpaksa dokter satriyo mengijinkan Marvin pulang karena Marvin sudah tidak betah di rumah sakit.

Bukan hanya karena makanannya saja yang Marvin tidak suka, tapi dengan adanya sebagian perawat yang sedikit centil padanya. Bikin Marvin semakin tidak betah dan membuatnya semakin pusing kepala.

"Aku senang hari ini bisa pulang, jadi aku bisa di rawat oleh Nadine seorang dalam waktu 24 jam." ucap Marvin tersenyum sambil matanya melirik Nadine yang lagi membenahi baju kotor Marvin ke dalam tas besar.

"Aku tidak bisa Marv, kalau harus merawatmu 24 jam. Kan kita tidak serumah? aku baru bisa ke rumahmu setelah pulang dari kampus, itupun kalau paman mengijinkan. Benar tidak paman?" jelas Nadine pada Marvin,dan beralih pada pamannya yang lagi duduk di kursi sofa.

"Paman, ijinkan Nadine tinggal bersamaku." mohon Marvin,

Ardham menggelengkan kepalanya, dengan tatapannya yang mulai rumit. Ardham tidak bisa membiarkan Nadine tinggal di rumah Marvin karena pasti dia tidak akan bisa menjaga Nadine dengan penuh, apalagi keadaannya semakin tidak bisa di prediksi.

"Lihat, paman tidak mengijinkan Marv, jadi maaf ya...kalau aku tidak bisa merawatmu penuh." Nadine menatap Marvin dengan sedih.

"Kalau begitu biar aku yang tinggal bersama kamu Nad, sampai aku sembuh saja." pinta Marvin.

"Kalau kamu sudah minta pulang , itu pertanda kamu sudah sembuh Marv." sahut Ardham sedikit kesal, bikin emosinya jadi naik.

"Paman kan tahu sendiri apa kata dokter, hati, lambung dan ginjalku harus pulih seratus persen paman, untuk itu harus ada yang bisa menjaga pola makanku..merawatku." bantah Marvin tak mau kalah.

"Kan ada Mommy kamu, yang bisa menjagamu." Skak mat dari Ardham.

"Ayolah paman, please..aku kan sudah punya Nadine paman, sebentar lagi juga kita akan tunangan. Aku janji kalau aku di ijinkan tinggal sikapku akan lebih sopan pada paman." rayu Marvin.

Ardham melengos.

"Ini anak benar-benar bikin darahku jadi naik, baiklah..hanya sampai kamu sembuh dan itu tak lebih dari dua hari." ucap Ardham dengan tegas.

"Bukannya untuk pemulihan biasanya di butuhkan waktu seminggu ya paman?" tawar Marvin.

"Ya! atau tidak sama sekali!" tatap ardham dengan tajam.

Marvin diam dengan hati mulai menciut, sungguh paman yang benar-benar dingin dan arrogant. Nadine yang sudah selesai mengemas barang-barang Marvin melangkahkan kakinya dan duduk di dekat Ardham.

"Paman apa kita bisa pulang sekarang? barang marvin sudah siap semuanya." Tanya Nadine menatap Ardham.

Ardham menganggukkan kepalanya menatap Nadine. kemudian beralih menatap Marvin.

"Marv, kamu bisa jalan sendiri kan? atau mau paman gendong?" tanya Ardham berniat menggoda Marvin.

"Aku kan masih sedikit lemas paman, harus ada yang memapahku paman. Nad, kamu yang memapahku ya?" biar paman yang bawa barangnya." ucap Marvin pada Nadine. Tangan Ardham mengepal erat. Dengan hati kesal, terpaksa Ardham membawa tas besar dan satu tas yang kecil.

Ardham berjalan di belakang, memgikuti Marvin yang di papah Nadine. Pemandangan yang sangat menyedihkan bagi Ardham. Marvin sudah terang-terangan ingin menyiksa hatinya.

Sampai di parkiran Nadine yang hendak duduk di depan menemani Ardham di cegah oleh Marvin.

"Nad, kamu duduk di sini saja bersamaku, aku mengantuk ingin tidur di pangkuanmu." rajuk Marvin sambil terkekeh, sangat senang sekali melihat wajah Ardham yang merah padam menahan kesal dan cemburu.

Tanpa berkomentar Nadinepun melangkah masuk duduk di belakang di samping Marvin. Marvin menatap Nadine dengan lembut.

"Nad, bolehkan aku tidur di pangkuanmu? aku merasa sedikit pusing dan mual."

"Kenapa tidak boleh? tidurlah..sini kemarikan kepalamu dan tidur di sini." jawab Nadine sambil menepuk kedua pahanya agar kepala Marv bisa berbaring.

Dari kaca spion depan Ardham melihat pemandangan itu dengan hati yang sangat sakit.

Tangannya terkepal di stir mobil, ingin sekali Ardham menabrakkan mobilnya agar tidak lagi melihat pemandangan yang sangat menyakitkan itu.

Dengan kecepatan tinggi Ardham melajukan mobilnya ke arah rumahnya.

Sepanjang perjalanan Ardham tak berkata apa-apa selain diam dengan sesekali matanya mengarah ke kaca spion untuk melihat apa yang di lakukan Marvin dan Nadine.

Sesampai di rumah tanpa membantu Marvin, Ardham keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan sedikit keras. Rasa kesal dan cemburunya sudak tak bisa di tahannya lagi. Marvin yang sudah terlihat jelas ingin memanasinya di tambah lagi sikap Nadine yang sama sekali tidak menolak.

"Aaaaakkkkhhhhhhhh." teriak Ardham di ruang kerjanya yang telah di set kedap suara.

"Aku tidak bisa seperti ini terus, aku tidak akan kuat melihat semua itu, Nadineeeee." rintih Ardham memanggil nama Nadine.

"Apakah kamu sudah tidak mencintai paman lagi? apakah kamu benar-benar telah berpaling dari paman?" tanya Ardham sambil menatap foto Nadine yang di keluarkan Ardham dari dalam laci yang terkunci.

"Drrrrrtttttt...drrrttttttt"

Abay his calling.

Sambil mengusap sisa airmata di pelupuk matanya, Ardham menerima panggilan dari Abay. sambil memasukkan kembali foto nadine ke dalam laci.

"Ya Bay." ucap Ardham dengan suara serak.

"Aku barusan sampai Dham, kapan kita bertemu dan mengundang Bella?"

"Semakin cepat semakin baik, aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang perih ini." ucap Ardham tanpa sadar.

"Maksudmu apa Dham? siapa yang sakit?siapa yang perih?" tanya Abay di sana tak mengerti.

"Sorry Bay, aku barusan lihat film sedih..jadi ikut terbawa." Ardham beralasan yang tidak masuk akal.

"Hahh! sejak kapan kamu ada punya waktu untuk lihat film? Ahh sudahlah..sekarang kapan kita bisa bertemu?"

"Malam ini jam delapan, tepat makan malam, sekalian kamu makan di rumahku...nanti biar aku yang mengundang Bella, jangan lupa bawa semua bukti yang ada."

"Oke siap Dham."

Ardham menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Hampir saja sikapnya bisa membuat dirimya malu di hadapan Abay.

Dengan mata terpejam Ardham mencoba menenangkan hatinya yang sedari pagi sudah membuatnya jantungnya tak karuan. Pintu Ardham terketuk dari luar.

Namun Ardham membiarkannya, pastilah Anna yang sudah pulang, yang biasanya masuk begitu saja tanpa dia suruh.

Ardham tetap memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan sejenak kesedihannya dengan mencoba tidur.

"Paman." suara Nadine memanggil

"DEG" 

Jantung Ardham yang sudah mulai tenang kembali perpacu dengan cepat, hingga dadanya terasa sesak dan berdebar-debar.

Mata Ardham masih terpejam, tidak ada keberanian di hatinya untuk menghadapi Nadine sekarang. Rasa rindunya yang begitu besar membuat Ardham takut dengan keinginannya yang ingin memeluk erat tubuh Nadine.

"Sepertinya paman tidur, padahal sedari pagi belum ada makan." gumam Nadine sambil meletakkan secangkir kopi kesukaan Ardham dan sepiring nasi di atas meja makan.

Di lihatnya wajah Ardham yang begitu tenang tidur dengan kepala bersandar. Hawa di ruangan terlalu dingin karena AC nya menyala keras, Nadine mengambil jas Ardham yang tergeletak di atas meja, kemudian di selimutkan di badan Ardham.

Nadine pun melangkah menjauh untuk segera keluar, karena di lihatnya pamannya masih tertidur pulas dan Nadine tak tega untuk membangunkannya.

Tangan Nadine meraih knop pintu dan berhenti seketika saat suara Ardham memanggilnya.

"Nadine, jangan pergi." Ardham berdiri dan berlari memeluk Nadine dari belakang. Kepala Ardham bersandar di punggung Nadine. Jantung Nadine serasa berhenti, dengan sikap Ardham yang tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat.

Nadine berbalik, menghadap ke tubuh Ardham. Ardham masih memeluknya erat.

"Paman, ada apa? apa paman merasa kesepian karena Bi An belum pulang?" tanya Nadine

"Ya, paman sangat kesepian, hati paman sangat terluka, terasa sakit di sini." ucap Ardham merintih dalam ceruk leher Nadine.

Hati Nadine sakit...ini sudah kesekian kali, Ardham menyakiti hatinya. Namun Nadine mencoba sadar akan kenyataannya, Ardham tidak ada salah jika terluka karena Bi an sering tidak ada di rumah, dan pasti Ardham sangat merindukan Bi An.

Nadine membelai rambut Ardham.

"Sabar ya paman, sebentar lagi juga Bi An akan pulang...dan kalau paman rindu, kenapa paman tidak menelpon Bi An saja?" ucap Nadine dengan sejuta rasa sakit menghujam hatinya. Ardham tak menghiraukan perkataan Nadine, di peluknya tubuh Nadine semakin erat. hingga Nadine kesulitan untuk bernafas.

"Paman, ayo duduk di sana. Apa paman tidak merasa lapar? Nadine sudah menyiapkan makanan dan kopi buat paman." ucap Nadine sambil menunjuk ke arah meja Ardham.

"Paman tidak lapar Nad." lemas suara Ardham. tidak ada keinginan untuk makan.

"Mau Nadine suapin paman?" tawar Nadine, mengingat dari kecil sampai di usia remaja Ardham sering menyuapinya.

Ardham menatap Nadine tak percaya, Nadine mau menyuapinya?"


CREATORS' THOUGHTS
NicksCart NicksCart

Met malam kk,

happy reading,..

Babang Ardham lagi cemburu berat dan kangen berat.

tapi apa daya nasi sudah jadi bubur,

kebohongan Ardham soal hubangannya dengan anna menjadi bumerang bagi Ardham

Karena Nadine tidak mungkin lagi bisa menjadi miliknya lagi, karena di mata karin Ardham telah menikah,..

Bagaiamana kelanjutannya,..

apakah Ardham akan jujur,....

tunggu di chapter selanjutnya y kk

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C21
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login