Download App

Chapter 2: 2. TUJUH BELAS

Riuh, menyambut acara tujuh belasan di kampung. Anwar, memanjat pohon pinang, berlomba bersama pemuda-pemuda lainnya demi mendapatkan hadiah yang menggantung dipuncak pinang. Rika bersorak-sorak menyemangati abangnya, anak tertua di keluarga mereka --Rika dan Yuni--.

Sementara Yuni tampak tak konsentrasi dengan perlombaan tersebut, hatinya yang sedari tadi berdebar-debar karena kembali bertemu dengan Lukman, lelaki yang pernah selalu terpikir enam tahun lalu. Kini, kembali hadir, sempat bertatap muka, saling pandang. Sebelum tangannya ditarik Rika, menjauh, menembus keramaian warga yang memenuhi lapangan kosong disebelah masjid, diseberang jalan rumah mereka.

"Yun..." Ami menepuk pundak Yuni. Gadis itu terkejut dari edaran matanya yang menelusuri segala arah, mencari sosok tampan yang ia temukan tadi.

"Cari siapa?" Ami ikut mengedarkan pandangannya.

Yuni menggeleng kecil, "Baru datang Nimi?"

Nimi yang berarti Uni Ami, panggilan yang disematkan untuk Ami dari orang-orang yang berusia dibawah dirinya.

Ami memang baru kelihatan batang hidungnya di acara tersebut, sejak tadi dia menunggu Ari. "Iya, Uda Ari baru datang. Yun, sini deh." Ami menarik tangan Yuni menjauh dari keramaian, beranjak ke rumahnya. Sudah ada yang menanti di sana, Ari dan Lukman.

Debaran di hati Yuni semakin kencang, kala bersitatap dengan lelaki yang sejak tadi dicarinya. Wajahnya sontak saja tertunduk, malu rupanya. Pipi gadis itu seketika merona, kala Ami mengenalkan dirinya secara resmi pada Lukman.

"Bang Luk, ini yang sering kamu tanyakan itu, hehehe."

Lukman hanya tersenyum simpul, matanya terus saja menatap Yuni yang kemudian salah tingkah.

"Lukman," ucapnya sambil menyodorkan tangan.

"Yuni," sambut gadis itu sambil tersenyum manis.

Lama tangan mereka berjabat, saling menatap.

Kemana saja? Lama sekali tidak pernah kelihatan. Dia semakin tampan. Bisik hati Yuni sambil terus memandang Lukman.

Yuni, aku benar-benar tidak bisa melupakanmu. Kamu sudah besar sekarang, cantik sekali. Aku benar-benar rindu senyum manis itu. Lukman serasa ingin berteriak sekencang-kencangnya, akhirnya bisa kembali bertemu dengan gadis yang sejak dulu ditaksirnya.

"Hmmm..."

Yuni dan Lukman tersadar oleh aksi mendehem dari Ari dan Ami. Keduanya lalu salah tingkah.

"Udah lama banget ya nggak jumpa, sampe segitunya," Ami menarik tangan Yuni duduk di teras. Ari dan Lukman lalu mengikut.

"Iya," jawab Lukman singkat, masih saja tak lepas matanya menikmati keindahan wajah dan senyum gadis yang selalu dirindukannya itu.

Yuni nampak masih menunduk, perasaan hatinya benar-benar tidak bisa dikendalikan. Berhadapan dengan Lukman seperti ini, begitu dekat membuatnya tak tahu hendak berbuat apa. Bagai tersandera dalam ruang kedap yang diciptakan sorot mata teduh itu. Dia seakan kehabisan oksigen, sesak dadanya oleh perasaan baru yang merongrong hatinya.

"Hei, kenapa?" Lukman mengagetkan gadis yang sedang berusaha dengan susah payah mengontrol gejolak hatinya.

Yuni mengangkat wajah, tidak menyangka kini hanya dia dan Lukman saja yang berada di teras rumah Ami tersebut.

Nimi kemana? bisik hatinya yang terbaca dari gurat bingung dari wajahnya.

Lukman nampak tersenyum, "Ami dan Ari ke sana," dia menunjuk ke arah lapangan tempat sedang diadakannya berbagai perlombaan tujuh belasan, seakan mengerti oleh kebingungan yang tercipta dari wajah gadisnya.

Yuni mengangguk pelan. Ami dan Ari seakan memberi kesempatan pada mereka berdua untuk mengobrol agar saling mengenal satu sama lain.

"Yuni, apa kabar? udah gede ya sekarang, tambah cantik," Lukman mengulum senyum, pelan dia berucap di dua kata terakhir.

Yuni tersipu malu, pujian yang diucapkan pemuda dihadapannya terdengar tulus, bukan sebentuk gombalan yang biasa didengar dari preman-preman sekitar kampung yang kerap mengganggunya.

"Baik, Bang Lukman apa kabar?" tanya Yuni malu-malu.

Lukman menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum, tapi sedikit saja. Pemuda ini memang terlihat kalem, tampak seperti pemuda baik-baik, tidak terlalu banyak bicara. Dan yang pasti sekali, bukan tipe-tipe lelaki playboy, yang suka tebar pesona pada banyak gadis.

"Udah kelas berapa sekarang?" tanya pemuda itu lagi.

"Kelas tiga SMA..." Yuni menunduk sebentar, seperti ada yang terpikir olehnya, "Kemana aja selama ini, Bang?" sebenarnya tak ingin menanyakan, tapi sudah terlanjur keluar kalimat bernada tanya tersebut.

Mendengar pertanyaan barusan, Lukman menyunggingkan lagi sedikit senyumnya, "Merantau," jawabnya pendek, rasa di hati entahlah apa yang ingin dikata. Yuni, ternyata selama ini juga menyadari ketidak beradaannya di kampung.

Beberapa saat dalam hening, Lukman mencoba lagi untuk membuka suara, "SMA dimana, Yun?"

"SMA satu, Bang."

"Wah, bentar lagi udah mau tamat sekolah aja, kapan UNnya, Yun?"

"Bulan April tahun depan."

"Udah belajar banyak belum?"

"Udah, sering pulang sore akhir-akhir ini, periapan UN udah dari sekarang"

"Kapan-kapan boleh Abang jemput nggak, Yun?"

Pertanyaan terakhir menyisakan degup jantung yang kian berontak saja, tidak pernah terpikir tawaran seperti ini, dan tidak pula berani untuk mengiyakan. Lagi pula, Yuni masih ingat wanti-wanti Anwar padanya dulu, untuk mejaga jarak dari Lukman.

Seketika Yuni terkesiap, "Abang, maaf. Yuni pergi dulu." Yuni langsung berdiri dan berlari masuk ke dalam rumah.

Lukman tampak kebingungan dan menelan kecewa, tidak sempat mendengar jawaban dari Yuni dan tidak sempat pula menahan untuk sekedar mendengar alasan, kenapa tiba-tiba pergi?

🥀🥀🥀

"Yun, kok tadi ninggalin Lukman gitu aja?" Ami bertanya saat mereka duduk-duduk di teras rumah Yuni malamnya.

Yuni menggeleng, "Nggak kenapa-kenapa, Nimi."

"Kamu yakin?"

Yuni terdiam sesaat, dia menoleh ke belakang, melihat-lihat kalau ada anggota keluarganya yang mungkin saja bisa mendengar percakapan mereka. "Kita ke rumah Nimi aja," ajak Yuni kemudian.

Mereka berjalan, beranjak dari tempat semula, dari rumah Yuni.

"Kenapa Yun?" Ami penasaran, tidak sabar hendak mendapat jawab, saat baru saja duduk.

"Aku takut tadi ketauan Bang Anwar." Yuni setengah berbisik.

Ami tampak bingung, apa hubungan dengan Anwar?

"Aku takut." Ucap Yuni lagi.

"Takut kenapa?" tak disangka, Lukman muncul tiba-tiba.

Darah Yuni tersirap, dia langsung saja mengambil ancang-ancang menghindar dan pulang, tapi Lukman menahan lengannya.

Adegan seperti ini tambah membuat Yuni kelabakan, tatapannya berganti-gantian mengarah ke rumah dan pada Lukman. Dia benar-benar tampak sangat takut, jika ada salah satu anggota keluarga yang melihat.

"Tolong, beri Abang penjelasan dulu."

"Nimi, tolong..." Wajah Yuni berkeringat dingin.

Ami terlihat ikutan cemas, dia lalu membantu menengahi. Mencoba membujuk Lukman agar melepaskan lengan Yuni, lalu membiarkan gadis itu pulang ke rumahnya.

"Tapi, Abang butuh tahu dulu, kenapa Yuni bersikap begitu?" Lukman protes, sementara Yuni langsung berlari pulang.

"Abang kenapa kesini sih?"

"Tadi kebetulan lewat, nggak bisa nggak lihat dia." Lukman menunduk lesu. Entah kenapa? rasa dihatinya semakin membuncah saja, teringat Yuni selalu. Kemudian ada dorongan kuat untuk sekedar lewat rumah ini, sukur-sukur gadis itu terlihat.

"Abang kayak udah gila aja, Mi. Dari dulu, udah nggak bisa lagi Abang nahan perasaan ini," Seakan begitu menderita menahan rasa di hatinya, Lukman bahkan tak bisa menunggu sehari saja untuk tidak melihat Yuni, walau hanya dari kejauhan.

Ami yang memang telah lama tahu, bahwa, dari sejak pertemuan pertama enam tahun lalu, sampai detik ini, Lukman belum bisa move on dari rasanya pada gadis yang bersebelahan rumah dengan Ami tersebut.

Kasihan, Ami meminta Lukman untuk pulang dulu, sementara dirinya menyusul Yuni kesebelah. Lalu berjanji, akan menyampaikan hasilnya, lewat SMS.

"Minta nomor HP Yuni sekali, tolong Mi," Ucap Lukman sebelum berlalu pergi.

🥀🥀🥀


CREATORS' THOUGHTS
Nada_Green Nada_Green

Jangan lupa selipkan masukkan ya...

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login