Download App

Chapter 3: Arvita Desi Mawarni Cahya- Jilid 2-

Ruang Kelas.

"Vit... Vit... Vita..! Arvita Desi Mawarni Cahya...!!!" Seorang siswi wanita, sedang berteriak dekat dengan telinga Arvita.

"Aduh ini cewe tidur apa mati sih?" Batin Mira, yang merupakan teman sebangkunya.

Mira kembali mencoba membangunkan Arvita yang terlelap di meja belajarnya. Siswa dan siswi lainnya, sibuk mengambil foto Arvita yang tertidur lelap dengan beberapa air liur yang menempel di wajahnya. Mira sendiri yang melihatnya, menjadi bergidik jijik.

"Aduh nyak... Vita gak mau pake baju itu! Ihhh.....engak mau pokoknya..!" Ucap Arvita dalam tidur dan masih saja mengigau tak jelas.

Para siswa dan siswi mulai menertawakannya. Mira sang ketua kelas, melotot kesal dan sudah kehabisan kesabarannya langsung saja menggebrak meja Arvitaa dengan kencang dan sengaja.

Arvita langsung menegakkan tubuhnya, matanya masih terlihat merah. Dan beberapa air liurnya yang kering meninggalkan noda kerak di pipi kanannya.

"Vita! Elo udah bangun? Ini udah jam bel masuk, dan sebentar lagi bu Rina masuk kelas. Lo gak mau kena hukuman lagikan, gara-gara ketiduran." Ujar Mira yang masih kesal.

"Hahh... Udah bel masuk?" Tanya Arvita tidak percaya, dan menyeka mukanya dengan sapu tangan kecil yang ia letakkan di saku bajunya.

"Aduh! Padahal gue cuman mau tidur lima belas menit. Eh... malah bablas... Ini beneran Mir, jam istirahat udah selesai?" Tanya Vita masih terlihat linglung. Dan Mira pun hanya mengangguk, dan kembali duduk di sebelah Vita.

"Tadi gue tanya lo mau titip apa? Lo bilang gak mau, katanya mau nyusul ke kantin. Gue tungguin elonya gak datang-datang. Tau-taunya malah tidur." Ucap Mira masih kesal.

"Kruyuk... kruyuk... kruyuk..."

Suara perut terdengar amat jelas, Arvita langsung saja memegangi perutnya dan menunjukkan ekspresi memelas.

"Gue lapar banget nih Mir, gak ada yang bisa dimakan?" Tanya Arvita menyeringai dengan lebar.

Mira pun mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Nih.. makan!" Sebuah permen dengan bungkus berwarna merah tersodor didepan wajahnya.

"Haa..? Permen..? Mana kenyang gue makan permen. Cuman satu lagi." Protes Vita kesal, "Ya udah kalau gak mau." Mira mencoba memasukkan kembali permennya, tapi Vita sudah lebih cepat mengambil permen tersebut.

"Eh.... jangan dong. Ya udah deh, gak apa-apa. Lumayan buat wangiin mulut." Ucap Vita dan membuka bungkus perment mentol tersebut, dengan cepat ia sudah memasukkannya ke dalam mulut.

SMA 01X Jakarta, sekolah negeri unggulan dengan murid-murid teladan. Suatu keberuntungan Arvita bisa masuk ke sekolah tersebut, sekolah dengan murid-muridnya yang terkenal teladan dan juga terkenal dengan berbagai prestasi yang diraih.

Arvita sendiri cukup menonjol dengan kepintarannya, sayangnya sikapnya yang brutal, emosian, dan sulit diatur membuat namanya juga menjadi terkenal. Tidak hanya dilingkungan sekolahnya, tapi sekolah lainnya pun juga mulai mengenal namanya.

Arvita lahir dan dibesarkan oleh orang tua keturunan Betawi asli. Ayahnya Ahmad Rojali, seorang jawara dan pemerhati budaya pencak silat.

Bahkan Rojali - panggilannya, mendirikan sebuah perguruan Satria Jawara Indonesia (SJI). Dan berkat ajaran dan didikan Rojali, Arvita sejak kecil sudah belajar ilmu bela diri pencak silat. Dan saat ini, Arvita seringkali membantu ayahnya untuk mengajar pencak silat di perguruan keluarganya sendiri.

Menurut Rojali, yang tidak memiliki keturunan anak laki-laki. Arvita merupakan penerus dari perguruannya, dan harus bisa menguasai semua tekhnik bela diri yang diturunkan secara turun menurun. Rojali membesarkan Vita dengan didikan yang keras.

Pantang menyerah dan membela yang lemah menjadi moto Rojali yang ia benamkan pada putrinya Arvita.

Ibunya – Rohimah, merupakan ibu rumah tangga pada umumnya. Bertentangan dengan suaminya, Rohimah ingin sekali Arvita besar menjadi anak gadis pada umumnya. Menjadi seorang gadis feminim dan bermimpi memiliki putri berperilaku layaknya seorang putri keraton.

***

Arvita sudah lelah menunggu jam pelajaran terakhir, perutnya sudah sangat sakit menahan lapar. Pikirannya sudah membayangkan untuk menghabiskan tiga mangkok bakso langganannya. Dan benar saja, usai pulang sekolah dia dan Mira sudah berada bakso kesukaan mereka.

"Pak Kumis... Bakso tiga ya..." Ucap Arvita lantang, Mira yang berada di sebelahnya hanya bisa menggeleng-geleng dengan bingung.

"Pak kumis, saya satu aja ya." Mira turut memesan.

"Siap... neng, ditunggu yah..." Jawab Pak kumis, dan mulai meracik bakso buatannya.

"Duh... perut gue udah lapar banget. Bisa mati gue, nahan kelaparan begini." Ucap Arvita yang sudah tidak sabar dengan makan siangnya.

"Ya ampun Vita, gue bingung deh. Nafsu makan lo itu gede banget ya, tapi badan lo segini-gini aja." Ucap Mira antara memuji atau menyindir Arvita, yang hanya mesam mesem tidak jelas.

"Mungkin karena hampir tiap sore, gue bantu babe ngajar silat kali ya..." Jawab Arvita jujur.

Pak kumis pun sudah datang dengan nampan besar berisikan empat mangkuk baso yang sudah mengepul dengan asapnya yang mulai menggugah nafsu makan mereka.

"Sebentar lagi ujian, lo jangan suka tidur di kelas Vit." Mira sudah mulai memberikan ceramahnya,

"Gue tau lo pintar. Walau gak juara satu ya..." Lanjut Mira seraya menyuapi sesendok sambal ke dalam mangkuknya.

"Iya... iya ketua kelas." Balas Arvita dengan sengaja menyebut titel ketua kelas pada temannya, Mira langsung saja menatap kesal.

"Gue bilang begini karena gue peduli, dan lo tau kan sebulan lagi kita udah ujian kenaikan kelas. Terus lo jangan suka berantem apalagi cari masalah." Mira masih saja melanjutkan ceramahnya, dan Arvita masih asik mengunyah baksonya dengan lahap.

"Mmm... enak beneran ini... padahal gak pake B loh." Jawab Vita dan terus mengunyah baksonya.

"Hah... maksud lo... B... Babi?" Tanya Mira bingung.

"Ini bakso enak beneran, gak pake BOHONG... " Jawab Arvita tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan beberapa kuah baso sedikit tercuat keluar dari mulutnya yang penuh.

"VITA!! Denger gak gue lagi ngomong apa TADI?!"

"Iya.. Mira... kalau soal kemarin. Kan lo tau sendiri masalahnya bukan sama gue, kalau si Iwan gak nyenggol gue sengaja sampe makan siang gue tumpah. Dan kalau saja dia mau minta maaf baik-baik, mungkin wajahnya gak bakal gue bikin bengep begitu." Jawab Vita ketus, tanpa merasa bersalah sama sekali.

Arvita menjadi mengingat kejadian seminggu lalu, Iwan anak cowo sok kegantengan dan manja menurutnya.

Dengan segala brand ternama yang melekat pada tubuhnya, berjalan dengan bergaya lente diruang kantin yang padat dengan banyak siswa yang menghabiskan jam istirahat.

Iwan dengan sengaja menyenggol Arvita yang baru saja membeli paket pecel ayam kesukaannya. Arvita yang sudah menduga Iwan dengan sengaja melakukannya, tentunya tidak bisa mendiamkannya begitu saja.

Jangankan minta maaf, Iwan bahkan dengan sengaja menginjak-injak makan siang Arvita yang berada diatas lantai dan berjalan melewatinya begitu saja, tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun.

Arvita Desi Mawarni Cahya, gadis SMA kelas dua yang berumur enambelas tahun tersebut. Memiliki masalah dengan bagaimana cara mengontrol emosi yang baik.

Tanpa berpikir panjang, atas resiko yang akan terjadi. Arvita sudah menarik kerah Iwan hingga salah satu kancing atas seragam pria tersebut terlepas.

Arvita tidak segan mengajaknya berkelahi, ia sangat percaya diri dengan berbagai gelar pendekar muda, dan banyaknya penghargaan yang ia raih dalam kejuaraan Silat tingkat RT, RW, kabupaten, kota hinga Nasional.

Arvita dengan mudah menumbangkan Iwan, dan sebagai kenang-kenangan darinya. Sebuah tanda mata ia berikan pada wajah Iwan.

Kejadian semacam ini, bukanlah kejadian untuk pertama kalinya, Arvita gadis dengan tinggi pas 170cm, berat badan 58kg sudah banyak membuat keributan.

Tidak hanya dengan siswa laki-laki. Bahkan dengan siswi wanita yang suka mengejek penampilannya, sering kali Arvita memberi pelajaran pada teman-teman yang ia tidak suka.

"Pantang Menyerah dan membela yang lemah." Benar-benar menjadi moto Arvita, untuk tidak melepaskan orang-orang yang menurutnya jahat.

Tapi yang semakin membuat namanya menjadi terkenal di sekolah SMA lainnya, aksi heroik-nya karena menolong teman satu sekolahnya.

Sore itu pulang sekolah, tanpa sengaja Arvita melihat siswa laki-laki yang sedang terhimpit disebuah gang buntu yang sempit. Lima orang pria sedang mengelilinginya, dan memaksanya untuk memberikan uang pada mereka.

Arvita yang langsung tahu harus berbuat apa, langsung saja menolong dan menghajar lima siswa pria tersebut.

Luka di kepala, dan sedikit sobekan di mulutnya menjadi kenangan yang tak akan pernah ia lupakan.

Arvita sudah tiba dirumahnya dengan selamat, merentangkan kedua tangannya dan melempar tubuhnya dengan keras di atas kasur.

"Hahhh... tidur bentar ah.. Abis itu baru kerjain tugas rumah." Gumam Vita, dan melirik kalender yang terpasang didinding kamarnya.

Sebuah angka lima belas dilingkari dengan spidol merah, dan tulisan kecil tertera dibawah angka tersebut.

"Hah?? Hari ini ujian tingkatan junior." Ucap Vita dan langsung menegakkan tubuhnya, ia pun menepuk dahinya dengan keras.

"Aduh... materinya belum disiapin lagi. Ahh.... " teriak Vita kesal, langsung saja berjalan ke arah meja belajarnya dan membuka laptopnya.

Mulai mencari-cari materi yang harusnya sudah ia siapkan jauh-jauh hari.

Sore itu Vita sudah lengkap dengan seragam pencak silatnya, baju dan celana hitam sudah ia kenakan dengan rapi. Dan dengan segera ia sudah menuju area pelatihan yang berada persis di sebelah rumahnya.

Arvita sudah melihat ayahnya besama tiga orang pria sedang berbincang ringan. Karena penggusuran untuk pembangunan jalan, Rojali terpaksa membangun area pelatihan pada lahan luas pekarangan rumahnya, yang ia manfaatkan sebagai tempat pelatihan khusus untuk perguruannya.

Tentunya karena ia ingin terus meneruskan apa yang sudah diwariskan leluhurnya secara turun menurun.

"Adek-adek semua, hari ini kita ujian praktek ya. Dan ingat, kalau ada pertanyaan yang adek-adek tidak mengerti. Tanyakan saja pada kakak ya." Ucap Arvita dengan senyum ramah pada anak-anak yang berusia dari enam hingga delapan tahun tersebut.

Setidaknya sore itu, ada sekitar dua puluh anak yang mengikuti ujian praktek. Untungnya pada anak kecil, Arvita memiliki kesabaran tinggi dalam menghadapinya.

"Pita.." Panggil Rojali, melihat Putrinya sudah memberikan salam terakhir pada muridnya usai ujian materi. Ruang aula tersebut pun seketika menjadi sepi.

"Ya beh? Kenapa?" Tanya Vita dan berjalan ke arah ayahnya.

"Babe denger kemarin lo dipanggil lagi ya? Berantem lagi?" Tanya Rojali.

"Mmm.. pasti enyak deh yang kasi tau..." Arvita mendelikkan matanya.

"Beh, tuh anak cowo emang mesti dikasi pelajaran. Mentang-mentang anak orang kaya, trus bisa semena-mena." Vita mencoba membuat pembelaan pada dirinya. Dan Rojali hanya bisa tersenyum, ia pun mulai melirik kanan dan kirinya. Khawatir istrinya mendengar percakapannya.

Rojali pun merangkul bahu putrinya, "Nahh gitu.. Bagus.. ini baru anak babeh.. Tapi pelan-pelan aja mukulnya. Jangan pakai jurus andalan ya." Ucap Rojali berbisik pelan.

"Ahh... babe... kirain babeh udah mau marah-marah." Arvita sudah bisa bernafas lega, karena tidak berdebat dengan ayahnya. Rojali semakin menyeringai.

"Tapi inget.. Lo kan udah mau naik kelas. Jangan buat ulah dulu ye... Babe pusing sama enyak lo. Tiap hari nyerocos mulu ceritain tingkah laku lo. Gak pegel tuh bibir." Ucap Roali, Vita pun tersenyum lebar.

"Beres.. pokoknya beh.." Jawab Arvita dengan meberikan jempol tangannya pada ayahnya.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login