Download App

Chapter 2: Since The Day We Were Born

Drrrtttt...

Drrtttt...

Drrrtt...

Suara getar dari handphone Hannah membuat Ia kembali terjaga dari tidurnya, Ia pun bangkit dengan terkejut, buku yang tanpa sengaja tergeletak di atas tubuhnya ikut jatuh ke lantai, spontan Hannah langsung mngulurkan tangan membungkukkan tubuh menggapai letak bukunya yang barusan terjatuh, Ia begitu menyayangi koleksi buku-bukunya seperti anak-anaknya sendiri, padahal Ia belum pernah merasakan bagaimana memiliki seorang anak. Seketika itu juga Hannah melihat sepasang sepatu vans old skool telah menginjak-injak karpet bernuansa modern classic favoritnya yang menjadi alas sofa di mana Hannah duduk untuk membaca.

"No, big NO! Minggir kau!" Teriak Hannah yang akhirnya terjungkal dan langsung mendorong sosok di hadapannya. Nyawanya kini telah terkumpul kembali.

"Hey, hey, hey! Can you calm down your self?" Ucap sosok itu yang akhirnya pasrah di dorong hingga sepatunya tidak lagi menyentuh karpet yang barusan diinjaknya tanpa meninggalkan noda sedikitpun.

"Kau! Lagi-lagi masuk sembarangan ke apartementku, bagaimana bisa kau selalu begini, sih?! Kau benar-benar tidak tahu privasi Evans!" Ucap Hannah masih setengah meninggikan suara.

"Besok aku akan mengganti passwordnya lagi!" tambah Hannah.

"Kau yang benar-benar tidak tahu diri, bagaimana bisa ada seseorang yang ditelpon ratusan kali tapi tidak juga diangkat, lihat ponselmu, sudah berapa kali aku berusaha menghubungimu selama berjam-jam tadi! Bukankah kau berjanji akan pulang bersamaku setelah masa orientasi selesai??" Cerocos laki-laki di depannya bak Jonathan yang memarahi Hannah ketika Ia kecil dulu. Hannah ingat sekali ekspresi ayahnya yang bercampur antara marah dan khawatir kepada putri kecil kesayangannya yang tengah bermain lilin dan juga api, yang akhirnya melukai tangannya sendiri. Memori masa kecil yang seharusnya mudah dilupakan namun Hannah terus mengingatnya untuk mengenang mendiang ayahnya. Memori langka dan singkat yang bagi Hannah sangat berarti dan mustahil untuk terulang kembali.

"Benarkan? Aku berjanji seperti itu ya? Maafkan aku, aku benar-benar kelelahan tadi, jadi aku langsung pulang, hehe" Hannah berterus terang, Ia meringis merasa bersalah dan menggaruk kepalanya yang tak gatal, saat ini Hannah kembali lagi duduk dengan santai di sofanya sambil memperhatikan laki-laki di hadapannya.

"Bisakah lain kali kau lebih hati-hati? Aku telah menghubungimu berkali-kali, juga mengirimimu pesan lewat Circle, namun tidak ada yang kau baca satu pun. Dan juga, kau, bukankah seharusnya kau harus berganti pakaian sebelum terlelap di sini? Tidak, urutannya adalah kau harus makan siang terlebih dahulu. Kau tidak melakukan keseluruhannya, kan?!" Ucap Evans lagi dengan nada yang lebih melemah namun masih terdengar menyimpan sebal dengan semua hal yang tak dilakukan sahabatnya, Ia duduk di samping Hannah sambil memijit pelipisnya.

"Baiklah, maafkan aku Evans, kau tau, kau begitu cerewet melebihi ibuku, bagaimana bisa laki-laki yang teman-teman wanita di kampusku susah payah curi pandang karena kau seperti es ternyata memiliki kepribadian ganda sebrisik ini? Bagaimana jika fansmu tahu sifat aslimu ini, hm?" Ucap Hannah mengatai sahabatnya santai. Bagaimanpun, Evans telah mengganggu tidur siangnya, bukan, Hannah bahkan tidak tahu jam berapa sekarang.

"Kau!" Ucap Evans tertahan.

"Sudahlah, kau sudah makan?" Lanjutnya pasrah, Ia tidak pernah menang melawan teman kecil yang akhirnya kembali dari Jerman setelah terpisah cukup lama darinya, menurutnya gadis di hadapannya telah tumbuh menjadi wanita yang cukup menarik, jangan berpikir macam-macam, hubungan mereka hanya sahabat, sahabat sejak kecil, sejak taman kanak-kanak, mungkin? Tidak, mereka bersahabat sejak masih dalam kandungan. Luar biasa bukan? Haha. Mereka dilahirkan di rumah sakit yang sama dan tumbuh dalam lingkungan kompleks yang sama.

"Dan, kau membawa makanan?" Jawab Hannah dengan mata berbinar, Ia benar-benar bersyukur setidaknya memiliki satu-satunya seseorang dari kehidupan lamanya yang selalu ada di sisinya hingga kini.

Evans bangkit dari duduknya dan menuju ke meja dapur, Ia segera mengeluarkan sekotak pizza yang sudah dibawanya sejak tadi, hingga membuat pizza itu dingin lalu memasukkannya ke dalam pemanas.

"Tunggu di sini, aku akan mandi terlebih dahulu!" Teriak Hannah berlari menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.

Evans hanya bisa membuang nafas pasrah dan melanjutkan apa yang sedang Ia kerjakan dengan sabar.

.

.

.

.

.

"Jadi?"

"Apwanua (apanya) yang jadi?" Jawab Hannah asal dengan mulutnya yang penuh.

"Kau benar-benar serius di Sastra? Bagaimana hari pertamamu? Apakah semuanya terasa menyenangkan? Kau... sungguhan baik-baik saja di sana kan?" Cerocos Evans bertubi-tubi. Hannah hanya memutar kedua bola matanya jengah mendengar pertanyaan yang sama berulang kali dari Evans dan mendengus, lalu menelan sisa pizza yang sedari tadi Ia kunyah.

"Apakah aku terlihat buruk dan seperti begitu kelelahannya di hari pertama?" Tanya Hannah yang dijawab dengan anggukkan kepala Evans.

"Aku baik-baik saja, tenanglah." Lanjutnya sambil kemudian melahap kembali potongan pizza di atas loyang.

"Kau tahu dengan pasti, aku cukup jenius walaupun tidak pernah belajar sastra, dan memiliki pengetahuan di dunia perkuliahan lebih dulu sebelum kau. Bukan apa-apa, kau bisa bertanya padaku apapun jika merasa kesulitan, atau aku bisa membantumu mengerjakan tugas jika kau kelelahan" ucap Evans dengan wajah serius, sorot mata sahabatnya tidak pernah berubah sejak kali pertama Hannah menginjakkan kaki kembali ke New York, selalu hangat di mata Hannah.

"Bagaimana bisa, aku baru tahu kalau kau adalah senior yang lumayan terkenal di kalangan para wanita di kampus? Padahal baru hari pertama, namun saat kau melewati kami, aku langsung mendengar para wanita berbisik membicarakan orang di depanku ini, bahkan Sofie dan Anne. Padahal kita benar-benar beda jurusan, yah.. walaupun fakultas kita bersebelahan. Hey, apa yang mereka lihat dari pria kaku sepertimu?" Balas Hannah yang begitu menyimpang dari pertanyaan Evans, Ia mencondongkan tubuhnya ke Evans yang masih tetap duduk dengan tegap di seberang meja bar sambil memakan potongan pizzanya dengan rapi dan terlihat elegan.

Evans jengah melihat Hannah yang memperhatikan Evans dengan lekat seperti itu, Ia menoyor kepala Hannah yang bila tidak melakukannya, mungkin Ia bisa tersungkur karena menghindar.

"Ah! Bahkan kau sangat kasar! Biar saja, akan kubeberkan kelakuanmu padaku!" Ancam Hannah yang dibalas dengan tatapan tajam dan dingin ciri khas Evans.

"Bagaimana kabar Tom? Apakah akhirnya dia menyelesaikan level bertemu big boss?" Ucap Evans setelah acara diam-diaman mereka yang tengah menikmati sepotong pizza kesukaan bersama. Walau perhatian dan hangat, Evans sebenarnya cukup dingin dan pendiam jika dengan orang lain, Ia pelit sekali berbicara kepada sipapun dan hanya sesekali begitu cerewet kepadanya. Saat Hannah melakukan suatu kesalahan, laki-laki itu takkan melewatkan momen menceramahi Hannah yang baginya masih anak-anak, padahal Hannah bukanlah orang yang ceroboh dan tidak bisa menjaga diri, nyatanya Ia cukup sukses menjalani setiap pekerjaan paruh waktu yang Ia lakukan baru-baru ini, jug amasuk Universitas yang ternama walaupun dengan jurusan yang baru. Hannah tahu betul kalau laki-laki di hadapannya kerap kali mengutarakan bahwa Hannah kadang mengganggu bila Ia berbicara terus menerus, makanya Hannah tahu kapan harus berhenti dan diam, namun Evans juga tak tahan apabila Hannah tiba-tiba hening dalam waktu yang cukup lama, Evans terbiasa mendengar celoteh dan tawa wanita yang sebenarnya hidupnya berat dan menyedihkan itu.

"Bukankah Tom juga bermain Circle akhir-akhir ini? Kau pasti terus-terusan memanasinya supaya bisa selevel dalam game yang dulu juga kau mainkan. Seharusnya kau tidak mempengaruhi anak kecil dan membuatnya menjadi sangat berambisi pada game yang tidak ada habisnya itu" Ucap Hannah berkomentar. Kini Ia telah selesai memenuhi perutnya dengan makanan lezat yang Evans bawa barusan. Pizzanya hanya tersisa setengah bagian, dan Hannah meninggalkan kursinya untuk mengambil air minum. "Cerita apa lagi yang kau dengar dari Tom tentang gamenya? Sudah sampai level berapa?" timpal Hannah.

Bukannya menjawab pertanyaan, Hannah malah balik bertanya, Evans yang tak terima karena tidak ada satupun pertanyaannya yang dijawab oleh Hannah, menarik lengan Hannah yang sedang menuang air ke dalam gelas. "Kau benar-benar tidak pernah mendengarkanku." Ucap Evans, padahal tenaganya tidak terlalu kuat, namun Hannah yang sedang lengah dengan refleks melepaskan genggamannya pada gelas bening yang ia pegang.

Praaaaakkkkk....

Kini posisi Hannah tertahan oleh tangan Evans dengan kuat, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Evans, nafas mereka saling beradu, pipi Hannah kini sudah semerah kepiting rebus, untuk kali pertama Ia berada sedekat ini dengan seorang pria, dan itu Evans! Sahabat kecil yang tak pernah terhitung sebagai seorang pria bagi Hannah, kalau dipikir-pikir Hannah memang tidak memiliki ketertarikan semacam itu hingga saat ini kepada siapapun, bukan karena Ia tak menyukai laki-laki, hanya saja baginya belum ada seseorang yang membuat hati Hannah cukup berdebar, Ia menghabiskan waktu dan pikirannya untuk terus belajar dan bekerja setelah kesembuhannya, juga mengurus Larissa sebelum Ia menikah lagi. Bukankah itu membuatnya semakin canggung? Kecanggungan itu tidak dirasakan hanya dari satu pihak. Tanpa disadarinya, detak jantung Evans berdetak dua kali lebih cepat, Ia begitu khawatir dengan posisi Hannah sekarang, cepat-cepat Evans berusaha lebih kuat lagi menahan lengan Hannah namun malah terlepas.

"Arh!" Teriak Hannah kecil, sebagian kecil pecahan kaca dari gelas tadi mengenai telapak tangan kanan Hannah yang Ia jadikan tumpuan, tangannya mengeluarkan sedikit darah.

"Oh tidak!" Teriak Evans dan cepat-cepat mengangkat Hannah meninggalkan tempat itu, Ia mencuci tangan Hannah di aliran air keran, dan membawa Hannah kembali duduk ke sofa.

"Di mana obat-obatannya?" Tanya Evans sambil sibuk menggeledah lemari dapur, belum sempat Hannah menjawab, Evans sudah menemukan kotak putih kecil itu di tangannya, dengan sigap Ia menyambar dan membalut tangan Hannah setelah membersihkan lukanya.

"Ayo ke dokter setelah ini" ucapnya,

"Hey, tidak perlu berlebihan, ini hanya luka kecil, aku akan baik-baik saja", balas Hannah dengan lembut, Ia benar-benar mengetahui bagaimana Evans akan bersikap bila sesuatu terjadi pada dirinya sejak mereka kecil dulu, dia akan jadi orang yang sangat khawatir walau kadang sedikit berlebihan. Maka dari itu, Hannah berbicara selembut dan setenang mungkin untuk meyakinkan dan menenangkan Evans.

"Maafkan aku, ini salahku" balas Evans

"Sebenarnya, kita sama-sama salah. Aku yang tidak siaga, makanya aku bisa dengan mudah terjatuh hanya karena kekuatanmu yang tidak seberapa itu" kekeh Hannah mencoba mencairkan suasana dan menghilangkan rasa bersalah Evans.

"Kau benar-benar menyebalkan bahkan saat kau sedang terluka" balas Evans dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak, yang jelas, Ia pasti sedang kesal dengan dirinya sendiri, dan menghadapi tingkah dan setiap kata-kata candaan dari Hannah mampu membuatnya lupa akan hal itu. Hannah bersyukur, Evans tidak lagi merasa bersalah karenanya.

"Kau melihatku saat itu, mengapa tidak menghampiriku?" Tanya Evans teringat dengan ucapan Hannah mengenai kedua teman Hannah yang membicarakan dirinya di kampus hari ini.

"Di mana? Oh, Aku? Tidak, aku hanya tidak ingin terlihat sok akrab dengan Kakak tingkat dari jurusan lain" jawab Hannah. Bagaimana bisa Hannah berkata kalau Ia sok akrab dengan Evans? Bahkan mereka ada di ruangan yang sama saat ini tanpa dan selalu bersama dalam keadaan apapun. Evans tidak menimpali perkataan Hannah Ia hanya diam dan sibuk berkutat pada luka Hannah begitu saja dan membuat keadaan menjadi hening.

"Hey.. Evans, bagaimana bisa kau bilang tidak pernah punya pacar selama kita berpisah bertahun-tahun? Bahkan selama kita bicara di telepon, kau tidak membahas satu wanita pun. Kurasa, siapapun, akan terpesona dengan sikap perhatianmu yang seperti ini, kau hanya perlu menunjukkannya ke seseorang yang kau sukai, masa... tidak ada satupun? Kau kan punya cukup banyak wanita yang meny..." belum selesai Hannah bicara, Evans buru-buru memotong ucapannya.

"Sebenarnya, aku sengaja menjatuhkanmu tadi" ucap Evans ditengah-tengah kesibukannya menyelesaikan balutan luka di tangan Hannah dengan tanpa perubahan ekspresi yang berarti di wajahnya.

"Apa?"

"Soalnya kau berat, tanganku tidak kuat" cerca Evans lagi, Hannah tahu laki-laki di hadapannya sedang balik menjahili, namun bagaimana bisa orang yang sedang bercanda sama sekali tidak ikut tertawa? Evans dengan wajahnya yang polos masih saja memasang tampang yang sangat datar. Hannah benar-benar kesal setengah mati pada bakat sahabatnya yang satu ini.

To be continue...


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login