Download App

Chapter 40: Ini balasanku!

Part belum di revisi.
Typo bertebaran.
***
Wajah Lexsi berubah gelap. Ini adalah pestanya,  tempatnya bersinar. Tapi kali ini Ellina mengambil alih segalanya. Kakaknya bahkan berulang kali memperjelas bahwa dia hanyalah anak luar dan bukan anggota keluarga Rexton. Jadi bagaimana dia yag merupakan orang luar bisa mengatur keluarga Rexton? Menanggapi itu, Lexsi benar-benar marah. Dia merasa ingin mencekik Ellina hingga mati.
"Mari kembali ke tujuan pesta," ajak Aldric mengingatkan semuanya.
Para tamu mulai menyebar dan menikmati hidangan yang ada. Ini sudah satu jam lamanya dari waktu pertunangan yang seharusnya. Azzura dan Raven mulai gelisah karena anaknya tak kunjung datang. Berkali-kali mereka menghubungi Kenzie,  namun ternyata tak ada jawaban.
Ellina sama sekali tak beranjak dari samping Aldric, membawa kerinduan mendalam hingga Aldric membawa Ellina untuk memperkenalkan kepada beberapa teman kolega bisnisnya. Ellina cakap, anggun, cerdas, dan bersikap sangat hangat,  membuatnya disukai dengan mudah. Sementara Vania dan Lexsi menatap Ellina penuh benci. Mereka tak bisa terima saat Ellina di akui sebagai anak kandung keluarga Rexton dan Lexsi hanya anak luar.
Aldric dengan penuh perhatian membimbing Ellina untuk berdiri di sampingnya. Dengan penuh senyum,  Ellina menyapa beberapa tamu hingga waktu dapat menyisakan mereka berdua dari keramaian. Ellina menatap ayahnya sebentar, kilatan dingin muncul bersamaan.
"Ayah,"
"Hmp," menoleh,  Aldric menatap Ellina yang terlihat ragu.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" melihat Aldric mengangguk, Ellina kembali melanjutkan. "Aku ingin tahu tentang Ibu,"
Wajah Aldric menegang sesaat. Dia menoleh terkejut pada pertanyaan putrinya.  Ini adalah pertama kalinya sejak putrinya tinggal bersamanya, menanyakan tentang ibunya yang biasa tak pernah gadis itu tanyakan.

"Oh, apakah kau sudah ingat ibumu?"

Kening Ellina menaut. Kata 'sudah ingat' itu membawa pengertian lain untuknya. "Maksud ayah?"
"Kau tak pernah menanyakan ibumu sejak kecil. Jadi aku bertanya, apakah kau ingat wajah ibumu?"
Ellina menggeleng pelan. Ia berpikir keras. "Seperti apa wajah ibu?"
"Ibumu telah meninggal," jawab Aldric memutus pertanyaan Ellina. "Dalam sebuah kecelakaan mobil. Dan hanya kau yang selamat."
Hening sesaat. Ellina sudah tahu jika ibunya meninggal, tapi ia tak tahu bahwa dirinya pernah mengalami kecelakaan mobil. "Kapan itu terjadi?"
"Saat umurmu enam tahun."
"Kemana ayah saat itu?"
Aldric kini terdiam. Dia tak bisa menjawab. Hanya desahan pelan yang membuat putrinya kian memiliki banyak pertanyaan.
"Apakah ayah bersama kami saat kecelakaan itu?"
Aldric menggeleng. Dia merasa tak harus menjelaskan ini, karena selama ini dia telah menyimpannya sangat rapi. Tapi entah kenapa, saat sorot sedih Ellina melintas di matanya, dia jadi goyah.
"Tidak, kita tak tinggal bersama sejak kau kecil. Ibumu pergi membawamu dengan pria lain. Dan saat kecelakaan itu terjadi, kalian tengah bersama. Kau merengek meminta sebuah barbie, lalu kalian bertiga keluar dan akhirnya kecelakaan."
Ellina membeku. Informasi yang di sampaikan ayahnya begitu jelas. Tapi entah kenapa, dia tak merasa itu benar.
"Ayah bohong," ucapnya santai. "Ibu tak mungkin seperti itu," dia sangat yakin, bahwa ibunya tak akan melajukan itu semua. Terlebih jelas bahwa maksud ayahnya adalah semua itu terjadi karena dirinya.
Senyum kecut terbentuk di bibir Aldric. "Kau mengalami koma selama dua bulan sejak kecelakaan itu. Beberapa syaratmu bahkan memiliki sedikit masalah hingga kau tak bisa bicara dalam waktu tertentu. Saat keadaanmu kian membaik, dan kau bisa kembali bicara, kau kehilangan sebagian ingatanmu. Sejak itu, kau tak pernah menanyakan tentang ibumu hingga hari ini."
Itu luar biasa! Saat Ellina merasa bisa berbicara panjang dengan ayahnya. Dalam suasana yang baik dan tanpa emosi. Tapi entah kenapa kejelasan itu mengguncang dirinya.
"Apakah ingatanmu telah kembali? Apakah kau ingat, siapa pria yang bersama kalian?"
Ellina menoleh,  melihat rasa muak di mata ayahnya. Dia mundur sedikit, saat menyadari, bahwa mungkin saja, ayahnya sangat terluka dengan perbuatan ibunya namun juga sangat kehilangan karena kepergian ibunya. Lalu dia,  dia mengingatkan itu semua.
"Kau cantik seperti ibumu."
Ellina berkedip. Ucapan pelan ayahnya menyiratkan rasa rindu yang dalam namun tertutupi kebancian.
"Kalian sangat mirip. Matamu, bibirmu, ketenanganmu. Kau begitu mirip dengannya."
Dan itulah alasan kenapa ayah membenciku! Tersenyum tipis, Ellina hanya bisa menunduk.  "Jadi karena itu?"
Aldric mengambil sebuah gelas dan meminumnya sedikit. Dia menoleh menatap anaknya. "Kenapa?"
"Karena itulah ayah membenciku!"
Aldric diam. Mereka hanya saling berpandangan. Ada rasa yang merenggut hatinya kuat. Meremas lukanya hingga rasa sesak di dadanya.
"Karena itu ayah tak peduli, jika bahkan aku mati. Atau, mungkin kematianku akan jauh lebih baik untukmu, ayah?"
Aldric tak menjawab. Dia merasa putrinya mengatakan sesuatu tepat di ulu hatinya. Dan dia tak menghindarinya. Tak menjawab ataupun mengelak. Membuat gadis cantik itu tertawa tipis.
"Kini aku tahu, kenapa aku tak bisa menyandang nama keluarga Rexton. Dan kenapa di matamu, aku tak pantas memiliki nama keluarga Ibuku. Tapi ayah, bisakah kau memberiku alamat keluarga ibuku? Aku merasa perlu menemuinya,"
"Keluarga ibumu tak berada di negara ini. Mereka berada di kota Y."
Ellina tertawa miris. Benar, tak mungkin ayah akan memberitahu semua hal dengan mudah. "Oh, benarkah?"
"Kita harus bergabung dengan Ibumu. Ini pesta pertunangan adikmu juga. Jangan membuat masalah dan tetaplah patuh,"
Ellina tak menjawab. Dia hanya melihat punggung ayahnya yang mulai menjauh. Tatapannya dingin, dengan tangan mengepal erat. Ayah  benar-benar tak peduli padaku. Aku hanyalah anak yang menyebabkan dia kehilangan orang yang dicintainya.
"Kau baik-baik saja?" Alvian menghampiri Ellina dengan membawakan sebuah minuman rendah alkohol. "Kau terlihat seakan menghisap udara di sekitarmu lalu menukarnya dengan hawa dingin."
Ellina menerima gelas dari Alvian dan meminumnya. Wajahnya terlihat lebih baik dari saat dia berhadapan dengan ayahnya. "Kau benar dalam satu hal,"
Alvian menaikkan satu alisnya tak mengerti. Matanya menatap wajah cantik Ellina yang tengah tersenyum dingin.
"Aku kehilangan ingatan kecilku,"
"Sudah kuduga," jawab Alvian. "Aku tak terkejut pada kenyataan itu."
Ellina menatap sekitarnya, dan menemukan tatapan Ariela lalu tatapan benci Lexsi. Mereka sangat jauh, tapi entah kenapa, dia merasa seakan Ariella ingin mengatakan sesuatu dan Lexsi seakan ingin membunuhnya.
"Aku akan ke toilet dulu,"
Alvian mengangguk. Dia membiarkan Ellina pergi lalu melambaikan tangan pada beberapa kenalannya. Lykaios menangkap sosok Ellina yang menjauh. Dia tahu,  bahwa mungkin saja keadaan memburuk karena beberapa alasan. Jadi dia selalu menatap lorong di mana Ellina menghilang. Lalu, dia juga bisa melihat dengan jelas, Lexsi menyusul Ellina dengan cepat. Senyum tipis tercipta, dia merasa bahwa akan ada tontonan yang menarik lagi kali ini.
Di dalam toilet,  Ellina membasuh tangannya setelah membenarkan tata letak rambutnya. Matanya gelapnya terlihat dingin,  sangat dingin bahkan terlebih saat mengingat ucapan ayahnya. Dia merasa semua tak semudah itu, ibunya juga tak akan serendah itu. Lalu kenapa hubungan antara ibu dan ayahnya hancur? Di saat seperti ini,  dia benar-benar merasa membutuhkan ingatannya. Karena tak bisa melangkah sedikitpun untuk menggali informasi lebih lanjut.
"Oh, kau benar-benar sesuatu malam ini,"
Ellina menyipit. Dia menatap bayangan dalam cermin di depannya. Senyum licik dan tatapan penuh kebencian. Membuat Ellina tertawa di dalam hati. Dia membalikkan badan, melihat Lexsi dengan senyum sinis.
"Ada masalah denganku?"
Lexsi mengepalkan tangannya. Melangkah maju dengan mengayunkan tangannya. Mencoba menampar pipi Ellina namun tangannya berhenti di udara. Matanya panas, namun tak teralihkan dari manik mata Ellina.
"Jangan menyentuhku! Bukankah sudah aku katakan, aku anak keluarga Rexton! Dan kau hanya anak luar," menghempaskan tangan Lexsi, Ellina melangkah menjauhi Lexsi.
Lexsi mengatupkan gerahamnya, dia mengepalkan tangannya erat. Menatap penuh benci dengan amarah memuncak. Dia selama ini selalu di hargai, tapi malam ini, semua seakan menganggapnya sebelah mata. Lalu,  dia sangat membenci saat seseorang mengingatkan tempatnya. Karena selama ini, dia selalu di kenal sebagai anak keluarga Rexton.
Mengejar Ellina,  langkahnya memburu. Dia dengan cepat menyusul Ellina. "Berhenti! Keluar dari rumahku!"
Ellina berhenti, membalikkan badannya patuh. "Rumahmu?" dia tertawa kecil. Menggelengkan kepalanya pelan. Menunjuk Lexsi tepat di wajahnya. "Bukankah kita orang asing? Lalu kenapa rumah keluargaku bisa menjadi milik orang asing sepertimu!"
"Kau!"
Belum sempat tangan Lexsi terangkat dan menyentuh pipi Ellina, tangan Ellina sudah menyentuh pipinya sendiri dengan keras. Bunyi tamparan itu cukup jelas. Membuat Lexsi membelalakkan matanya kaget.
Ini tak benar. Kenapa dia menampar dirinya sendiri?
Tak hanya sampai disitu,  Ellina bahkan membenturkan tubuhnya ke dinding dengan keras hingga tersungkur jatuh di lantai,  tepat di bawah kaki Lexsi. Membuat Lexsi mundur selangkah dengan tatapan tak dapat mengerti. Tapi instingnya jelas, dia dengan segera membantu Ellina.
"Ka,  apa yang kau lakukan? Orang akan salah paham jika melihat ini semua."
Tanpa ragu,  Lexsi menyentuh tangan Ellina. Menariknya agar Ellina berdiri, namun Ellina tak juga beranjak. Bahkan kini tubuhnya berjongkok, mencoba membantu Ellina karena berpikir kaki Ellina terkilir. Namun hal selanjutnya membuatnya lebih terkejut,  tanpa ampun,  Ellina menggigit tangannya sendiri dengan kuat.
"Ahhhgg," teriak Lexsi kuat hingga membuat keributan. Dia mendorong tubuh Ellina kuat hingga Ellina tersungkur di lantai,  dengan isi dompet berserakan.
Ellina tersungkur,  tersenyum tipis dengan menatap tangannya yang terluka dan mengeluarkan darah. Ketukan langkah kaki terdengar ramai. Dengan itu,  Ellina langsung merobohkan tubuhnya dengan air mata mengalir di pipinya.
"Ellina," seru Lykaios langsung menuju Ellina.
Kerumunan memadat,  beberapa media dan wartawan terkejut. Mereka semua belum bisa melihat detail kejadian yang terjadi. Namun mereka jelas melihat seorang gadis tersungkur dengan dompet berserakan di depannya. Satu tangannya terluka dan lututnya juga mengeluarkan darah. Tatapan selanjutnya tertuju pada gadis lain yang masih baik-baik saja. Hingga akhirnya mereja menyadari, bahwa semua menjadi berita yang akan mengejutkan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lykaios khawatir. Dia beralih menatap Lexsi yang masih terkejut. "Kau pikir apa yang kau lakukan!" teriaknya kalap.
Ellina menuruti Lykaios. Berpegang pada tangan Lykaios dan mencoba untuk berdiri. Matanya menatap Lexsi penuh luka.
"Lexsi kau keterlaluan! Kau tak harus menamparku dan menggigit tanganku. Aku akan memberikannya padamu jika kau memintanya!"
Mata Lexsi melebar. Kini dia sadar satu hal. "Bohong! Kau berbohong!"
Kerumunan mundur selangkah saat melihat Ellina tertatih meraih kartu hitam lalu melemparkannya di kaki Lexsi. Tatapannya penuh luka. Dengan pelan dia berujar.
"Aku selalu mengalah padamu dari kecil, menganggapmu sebagai adikku. Aku memberikan semua hal yang kau inginkan, tapi aku tak bisa memberikan posisiku sebagai anak keluarga Rexton padamu. Lalu kau marah dan menamparku. Saat aku tak memberikan kartuku, kau berusaha merebutnya dan mengigit tanganku. Aku kecewa padamu,"
Decakan kaget terdengar. Mereka semua menutup mulut tak percaya. Sedangkan Lexsi mulai menangis karena merasa tatapan semua orang menghakiminya. Vania dan Aldric juga datang, bersama Raven dan Azzura. Kini semua mata menatapnya tajam, seakan menuntut  sebuah alasan.
"Aku tidak,  ibu, ayah, aku tidak melakukannya. Kakak bohong," ujar Lexsi bergetar. Dia berharap ibunya melakukan sesuatu untuknya.
Ellina tersenyum tipis. Menatap Aldric dan Vania. "Bu, kau juga bisa melakukan hal yang biasa Lexsi lakukan. Aku akan mengatakan pada semua orang,  bahwa aku jatuh terpeleset dan kakiku terluka. Lalu, aku menggigit tanganku sendiri,"
Kejujuran Ellina menyulut api. Tatapan sedih semua orang tertuju padanya. Mereka semua dapat melihat dengan jelas bahwa Vania juga memperlakukan Ellina dengan tidak adil.
"Dia benar," tunjuk Lexsi. "Yang kakak katakan benar. Aku tak melakukan apapun,"
Kejujuran Lexsi lebih buruk. Hal ini membuat citranya turun. Wajah Aldric menggelap, saat mencoba mencerna skema yang terjadi. Dia melangkah dan menampar pipi Lexsi keras.
"Kali ini kau benar-benar keterlaluan!"

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C40
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login