Download App

Chapter 15: episode 15

Setelah matahari mulai muncul di permukaan. Aku masih menunggu Ara keluar dari kamar, begitu juga dengan Lela.

Putri masih membujuk Ara di dalam supaya ia berubah pikiran untuk tetap tinggal di Pondok ini. Namun, tetap saja Ara masih terdiam suram.

Beberapa menit kemudian, ara keluar dari kamar. Sudah hampir setengah jam Aku menunggunya, kaki pun sampai kesemutan dan kram.

"Jadi bagaimana?"

Aku membisik Putri yang sedang berusaha menutup pintu dan Ara masih sibuk dengan tas gendongnya. Putri terdiam sembari mengisyaratkan bahwa usahanya gagal.

Ia menggelengkan kepalanya dengan wajah tanpa berekspresi itu, aku pun menghelakan nafas sungkan. Rasanya akan sangat sepi jika Ara meninggalkan Pondok ini.

"Ayo, udah semua barangnya?" Tanya seorang pria tua menghampiri kami berlima di depan kamar.

"Sudah Ayah." Sahut Ara.

Diakah Ayah Ara? Dalam hatiku bergumam seketika. Wajah Ayah Ara terlihat mirip sekali dengan Ara, hanya bedanya Ara cantik dan Ayahnya menawan. Ia pun tersenyum padaku, Putri, Willy, dan Lela.

Dengan senyuman pahit kami yang akan melepaskan Ara pergi pulang kerumahnya, kami hanya terdiam sembari melihat Ara masuk ke dalam mobilnya.

Begitu Ara masuk dan Ayahnya ke dalam mobil. Kami langsung turun anak tangga yang hanya empat anak tangga itu sembari menatap mobilnya yang melaju keluar gerbang Pondok Darussalam.

"Bagaimana ini? Apakah kalian akan tetap merahasiakan tentangnya?" Tanyaku membuyarkan mereka yang sedang menatap mobil Ara.

Willy dan Putri saling menatap satu sama lain dan berbalik arah menatap Lela. Rasanya begitu aneh, suasana mendadak canggung. Mereka saling bersautan lewat tatapan matanya.

Lela tiba saja menggangguk ke Willy dan ia pun menatapku lamat-lamat. Berhubung waktu masih pagi kelas pun masih sepi.

Sekejap Putri menarikku menaiki empat anak tangga dan masuk ke kamar. Sepertinya amarah yang ia rasakan mulai timbul di ujung kepalanya.

Lela yang senantiasa anaknya terlalu pendiam kini ia di hadapanku sembari memeluk buku bacaannya. Entah apa yang ku pikirkan selalu menjadikannya negatif.

"Mer, aku sudah menduga bahwa Ara akan tetap pergi. Itu sebabnya Aku pingsan kemarin." Kata Lela sembari duduk kasur di hadapanku.

Masih tidak paham apa yang di sampaikan Lela, aku masih tidak mengerti maksud dari tiap katanya itu. Beda dari Putri dan Willy. Mereka memahami maksud dari Lela.

"Maksudnya itu apa? Kamu ngomong apa La!" Tanyaku teriak sembari menggenggam kasur yang telah ku duduki itu dengan keras.

Akhirnya Willy langsung meraih pundakku sambil menepukku dengan tenang, sehingga Aku merasa sedikit tenang. Rasa penasaranku kian semakin meninggi.

Willy duduk di sebelahku dan Putri pun mulai duduk di kasur tempat tidur Lela. Mereka masih bingung untuk menjelaskan dan memulainya dari mana.

Terlebih lagi, aku masih menunggu jawaban Lela yang membuatku berpikir keras untuk itu. Lela mengatur nafasnya seketika dan sekejap memejamkan mata lentiknya itu.

"Kamu pernah denger kan bahwa ada seorang santri yang hampir di lecehkan?" Kata Willy membuka obrolannya yang hampir hening.

Aku menggangguk dengan cepat tanpa mengeluarkan kata sepatah pun.

"Dia sebenarnya adalah, .." Jawabnya lagi mengandat.

"Siapa?" Tanyaku semakin penasaran.

"Sudahlah, lebih baik kita sholat aja dulu. kita belum sholat dhuha kan?" Ajak Putri memotong penjelasan dari Willy.

Semakin menunda semakin besar pula penasaranku tentang masa lalu yang menerpa Ara begitu juga Lela.

Aku berusaha untuk mengerti tetapi jika mereka begitu terus Aku pun sama sekali tidak akan paham tentangnya. Putri membuyarkan semua yang Aku ingin tahu, ia menahannya.

"Kenapa sih? Apakah Aku terlihat asing buat kalian yah" Kataku suram sembari menunduk.

"Enggak Mer, kau tak seperti itu. Kamu sahabatku. Yah kita sahabatkan" Ujar Lela langsung memberikkan kode pada Willy dan Putri.

Tidak semua orang mudah percaya dengan orang yang baru saja kenal. Aku juga mengerti soal itu. Mereka berat menjelaskannya karena Aku juga baru beberapa minggu mengenal mereka, wajar saja mereka terlalu was-was denganku.

***

Setelah selesai sholat dhuha berjamaah, Kami pun menuju kelas untuk belajar. Teringat Ara yang selalu aktif di pelajaran Bahasa Indonesia, tapi sekarang dia tidaklah lagi bersama kami.

Sedih, rasa penasaran semakin meninggi itulah yang ku rasakan sekarang. Tapi Aku juga tidak berani memaksa mereka untuk bercerita. Itu adalah hak mereka.

Pelajaran pun mulai berlangsung, kali ini banyak sekali jadwal yang sangat padat. Selesai pelajaran Bahasa Indonesia akan berlanjutan dengan Olahraga di lapangan.

Olahraga adalah pelajaran yang membuatku kesal, selalu merasakan kepanasan di bawah sinar matahari, lelah begitu juga dengan Bab kali ini yang akan di bahas adalah Basket.

Walaupun Aku termasuk bagus dalam bidang itu, tapi Aku sangat malas. Hanya demi nilai yang bagus dan meraih peringat tertinggi begitu juga demi membahagiakan Abi dan Umi. Aku rela.

1 Jam Setengah kemudian. Bel ganti pelajaran di mulai, dimana Aku harus berganti pakaian dan beralih ke kaos olahraga. Awal pakai sih iya masih wangi molto, tapi setelah itu akan bau matahari yang menyengat. Menyebalkan bukan.

Kadang suka kesal juga dengan beberapa santri di kelasku, mereka kadang menggunakan wewangian yang berbaur alkohol. Sedangkan Aku tidak menyukainya sama sekali.

Semprot bagian kanan kiri, semprot bagian belakang, hijab dan celana trening. Bahkan bisa di bilang sebotol bisa habis dalam seminggu. Padahal pelajaran yang mereka hadapi itu bukan di kelas, melainkan di lapangan.

Sebelum memulai ganti baju pun mereka terlebih lagi dandan dahulu, membenarkan hijab yang tidak sesuai mereka inginkan dan ada beberapa santri juga memakai bedak dan lipstik yang permanen.

Mereka menggunakan itu hanya ingin terlihat segar namun menurutku mereka akan terlihat seperti terasi bakar setelah selesai olahraga.

Badan yang tadinya wangi semerbak sampai orang lewat pun terbawa arus wanginya itu, nantinya akan hilang dengan bau ketiak mereka dan bau matahari karna kepanasan terjemur di lapangan selama belajar.

Ironis sekali menurutku. Padahal di kawasan Pondok disini ialah tidak diperbolehkan berdandan berlebihan. Menggunakan wewangian dan memakai lipstik.

Tetapi dengan kepandaian mereka, mereka menggunakan itu hanya sekali memakainya yaitu di setiap Olahraga.

Entah apa yang ada di pikirannya. Sampai bisa-bisanya menggunakan barang yang tidak di perbolehkan itu tetap di langgar.

Untungnya temanku yang empat itu tidak pernah menggunakan wewangian apalagi lipstik. Mereka hanya menggunakan bedak tabur, itupun bedak bayi sama sepertiku.

Padahal yang Aku tahu adalah wewangian itu di larang karena akan mengundang syahwat para Ikhwan. Dan bisa juga menimbulkan fitnah, sejak saat itu, aku mengerti.

Akhirnya Aku sampai sekarang tidak pernah lagi menggunakan make-up atau wewangian yang mengandung alkohol. Aku hanya takut jika itu akan menimbulkan fitnah yang sangat tidak Allah sukai.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C15
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login