Download App

Chapter 3: Dasar Cowok Bodoh

Kembali ke hari kemarin ketika Kirania dipergoki masturbasi. Itu terjadi pada sore hari di ruang ekskul gambar milik Kirania.

Ra-Rafan!? Tu-tunggu ... dari kapan kamu di sini?" tanya gadis itu dengan panik.

"Hmn ...?" dengungnya melihat ke arah lain sambil berpikir. "Dari tadi?"

Wajah laki-laki terlihat sedikit bingung. Tapi, pada dasarnya dia terlihat tenang, tidak sedikit pun dia gemetar atau pun gugup.

"A-a-apa kamu lihat aku barusan!?"

Berbeda dengan si perempuan yang jantungnya terpacu setengah mati. Harga dirinya dipertaruhkan dari seluruh kebenaran pertanyaan tersebut.

"Lihat apa? Kamu yang barusan gesek-gesek di meja?"

"Hh!?"

Gadis itu kembali terkejut, kejadian ini membuat kepalanya kosong tak berfungsi. Badannya perlahan mulai turun dan jatuh ke posisi duduk, seluruh ruas tubuh yang lemas akibat masturbasi pun bertambah lemas ketika mendengar perkataan itu.

Ba-bagaimana ini ... ada laki-laki yang melihatku? Dan dia ketua OSIS ... apa aku bakal diusir? Apa aku bakal dilaporin ke guru? Ah~ ... gimana ini ... aku malu ... aku malu sampai mau mati ....

Isi batin gadis itu sambil menyembunyikan wajah dengan kedua tangannya.

"Enggak, aku gak lihat, kok," jawab laki-laki itu.

"Huh!?" reaksinya sambil mangap menekuk alis sambil menahan wajah lemasnya, dengan cepat dia menegakkan kepalanya menghadap dan melihat Rafan. "Bohong!? Bohong banget, terus dari mana kamu tahu itu?"

"Enggak, aku gak bohong. Aku gak lihat bagian pentingnya. Di sini gelap, jadi aku gak lihat benda di balik rok kamu."

"..."

Gadis itu kembali tunduk kebingungan, kepalanya yang tegak menghadap Rafan pun kembali lemas dan menghadap turun secara perlahan menatap lantai.

Bagian penting? Bagian penting itu ... apa? Aduh .... Tapi, dia sendiri bilang tahu kalau barusan aku beneran masturbasi ..., fakta itu saja sudah memalukan.

"Hmn ...."

Rafan yang melihat Kirania duduk membeku pun berpikir kalau dia tidak dibutuhkan lagi di tempat itu. Mengikuti pikirannya, laki-laki mulai mengeluarkan kunci dari saku, memasukkan ke lubang pintu dan membukanya untuk keluar dari sana.

*Ngiiik

Suara decitan pintu cukup keras terbentuk. Bersamaan dengan tindakan Rafan, cahaya dan udara dari luar pun mulai masuk.

"Ngh!?" respons Kirania yang memicingkan mata tersiram cahaya. "Ah!? Tunggu!" lanjutnya teriak pada Rafan yang berjalan tanpa dosa.

"Ada apa lagi?" jawab Rafan yang kembali berbalik sembilan puluh derajat.

"Kya!?"

Namun, bukannya bicara dan menjelaskan maksud panggilannya barusan, Kirania malah menutup wajah dan berbalik menghindari tatapan ke arah Rafan.

"Huh? Kenapa kamu malah tutupin mata gitu? Alergi matahari?" tanya Rafan yang bingung menghadapi sikap Kirania.

"Ka-kamu berdiri Rafan!"

"Aku memang lagi berdiri dari tadi."

"Bukan itu ... maksudnya kamu yang ada di bawah!"

"Huh?" Rafan masih bingung dengan ucapan Kirania. Dia mulai mencerna maksudnya dan mengikuti perintah untuk melihat ke arah bawah. "Oh ... ini. Tenang saja, ini bukan berarti aku berdiri gara-gara kamu, cuman sekadar peristiwa alamiah."

Laki-laki tersebut langsung paham dengan keadaan yang dialami sang gadis. Kirania yang menghindari tatapannya adalah sikap perlindungan karena melihat tonjolan besar di celana Rafan, atau lebih tepatnya laki-laki itu sedang ereksi.

"Pe-peristiwa alamiah? Maksudnya gimana?" ucap Kirania yang mulai membuka tangan di wajahnya, walaupun dia masih menghindari tatapan ke arah Rafan.

"Kamu pernah dengar 'kan Istilah morning wood?"

"Ah."

Kirania mulai tenang, dia tahu dan mengerti tentang istilah tersebut. Untuk seorang gadis seumurannya, hal tersebut sudah pernah dipelajari di sekolah. Sebuah peristiwa di mana laki-laki mengalami ereksi rutin di pagi hari setelah bangun tidur.

"Hn?" Raut wajah gadis itu mendadak berubah, muka rileksnya tersentak oleh pikirannya sendiri. "Tapi, 'kan sekarang sudah sore?" lanjutnya tanya dengan wajah polos.

"Morning wood cuman istilah, aslinya semua laki-laki bisa ereksi waktu tidur siang."

"O-oh ...." Kirania kembali menenangkan tubuhnya, dia mencoba berbalik untuk kembali menghadap Rafan di percakapan ini, "Jadi, kamu barusan tidur di sini—. Hnk!?"

Namun, dia kembali dikejutkan karena penampakan Rafan. Gadis itu sedikit kembali memekik singkat dan kembali menutup mata dengan tangannya.

"Dari tadi kamu kenapa, sih?" tanya Rafan yang terganggu.

"Ka-kamu yang kenapa, Rafan!? Kenapa kamu malah masukin tangan ke celana kamu sekarang!?"

"..."

Laki-laki itu tidak menunjukkan kegelisahan sedikit pun, dengan santainya dia memasukkan tangan ke celana di depan Kirania barusan. Wajahnya yang dipenuhi keseriusan ketika melakukan hal tersebut membuat Kirania semakin takut.

"Ah!? Tunggu, apa kamu mau melakukannya di sini? Eh!? Tunggu, jangan, jangan, please, setidaknya biarin aku keluar dulu."

"Apa maksudnya, memangnya aku mau ngapain?"

"Ya-ya-ya-ya-ya maksudnya ... kamu mau ... itu 'kan ... gosok-gosokin punya kamu pakai tangan," kata Kirania terbata-bata dengan volume suara yang terus mengecil.

"Huh? Enggaklah, orang bodoh mana yang melakukannya di sini."

Ukh ....

Jawaban Rafan begitu tegas membantah hal tersebut. Penolakannya berisi sebuah penghinaan 'tak langsung yang dengan tajam menusuk hati Kirania.

Orang bodoh ... orang bodoh, yah .... Tapi, dia memang ada benarnya.

"Kalau gitu yang tadi itu kamu lagi apa?" lanjut tanya gadis itu.

Kirania masih bicara dengan menekuk pandangan ke samping, rasa traumanya melihat Rafan membuat hal tersebut tidak terhindarkan.

"Aku cuman mau benerin posisi saja. Tadi, gak enak soalnya."

"..."

Kirania tidak tahu dengan pasti tubuh pria itu seperti apa. Tapi, dia sedikit mengerti tentang posisi tidak nyaman tersebut. Celana Rafan waktu itu menekuk dengan tajam, terlihat begitu sempit dan sesak. Mungkin sama rasanya ketika dia mengenakan baju sempit sehingga menekuk dadanya dengan kencang.

Ah ... kenapa aku mulai berpikiran seperti ini.

Gadis itu mulai malu dengan isi pikirannya yang cukup liar membayangi bagian tubuh di balik tonjol dan kerutan celana Rafan.

Enggak, enggak ..., aku gak salah, 'kan. Rafan yang salah menunjukkannya padaku barusan. Kelakukan orang itu dari tadi aneh banget.

"Dari tadi kamu kenapa? Aneh banget," ucap Rafan pada Kirania, tepat ketika dia berpikir kalau Rafan itu aneh.

"Yang aneh itu kamu! Kenapa kamu santai-santai kayak gini!?"

"Aku korban di sini, kamu datang dan gangguin waktu tidur aku, terus sekarang kamu malah marah-marah."

"Iya ... habis ... habis ...."

Kirania mulai merendah tidak membantah keras, layaknya gadis kecil yang terpukul oleh perkataan kasar laki-laki.

Aku juga bingung, aku harus bagaimana ... apa aku salah kalau bentak dia kayak gini? Tapi, badan aku gak berhenti gemetar. Apa yang dia pikirkan tentang aku? Apa yang akan terjadi setelah ini?

"..."

Rafan melihat Kirania yang kembali membeku dalam posisi terduduk. Dia tidak melihat pergerakan maupun respons besar terhadap kata-katanya terakhir. Di matanya sekarang, ini adalah waktu yang pas untuk dia pergi, ketika gadis itu sudah meredam emosinya.

"Kalau gak ada apa-apa lagi, aku pergi sekarang," ucap Rafan pamit pada Kirania.

Kirania melamun untuk sementara, dan Rafan tidak beranjak pergi di lamunan gadis itu. Sampai pada akhirnya gerakan kecil muncul lalu dilanjut dengan bicara, "Kamu gak akan bilang siapa-siapa?"

Gadis itu melihat wajah Rafan, dengan mata membesar memandang melas memohon pada Rafan.

"Enggak ..., gak ada untungnya juga aku kasih tahu ke orang lain," ucapnya sambil berjalan pergi meninggalkan Kirania.

"..."

Suasana beranjak sepi, suara langkah kaki Rafan membuat semuanya mendingin.

Dug, dug ... dug, dug ....

Tapi, sampai saat ini hati Kirania masih tidak bisa tenang. Kekacauan dan pikiran tentang masa depannya nanti menghantui terus menerus. Di setiap detiknya, gadis itu bisa merasakan keringat dingin mengucur.

Barusan Rafan memang berkata tidak akan mengatakannya pada siapa pun.

Tapi, apa dia benar-benar tidak akan mengatakannya?

Pada dasarnya hal yang gadis itu lakukan adalah sesuatu yang tabu. Jika dia ketua OSIS teladan, bisa saja dia memberi tahukan kejadian ini pada guru BP hingga Kirania mendapat konseling khusus.

Namun, bukan hal itu saja yang membuat hatinya masih 'tak bisa tenang.

Dasar cowok bodoh ... sampai akhir kamu masih terus 'berdiri'. Setidaknya katakan janji itu waktu kamu sudah gak 'berdiri'.

Rafan masih dalam keadaan ereksi di pandangan terakhir gadis tersebut.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login