Download App

Chapter 6: Bertemu

Stella mengepak baju-baju untuk dimasukkan ke dalam kopernya. Dia memutuskan untuk kabur dari tempat ini dan pergi ke kota kelahirannya, Los Angeles. Itulah satu-satunya tempat tujuan Stella. Lagi pula, hanya kota itu yang Stella tahu. Tidak mungkin dia pergi ke Seattle, kota kakaknya tinggal. Bisa saja, nanti Christian curiga dan membombardir dia dengan pertanyaan demi pertanyaan dan juga perempuan itu tidak ingin tersesat dan menyusahkan kakaknya.

Los Angeles adalah kota besar. Dia tidak yakin kalau Alex bisa menemukannya. Mungkin pria itu tak kan mencarinya dan justru melepaskannya pergi, karena Stella yakin bahwa Alex hanya merasa bosan dengan istrinya dan menganggap Stella sebagai pelampiasan. Dia mengerti hal itu.

Banyak orang, menjadikan orang lain sebagai pelampiasan di kala mereka kesepian. Jika sudah mendapatkan yang baru, mereka akan mencampakkan yang lain.

Hari ini Stella tidak pergi ke kantor. Kalau pun dia mengirim surat pengunduran diri, Alex akan mengetahui niatnya untuk kabur. Justru lebih bodoh lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Perempuan itu harus cepat pergi, sebelum Alex pulang dari kantornya. Ke Los Angeles, Stella akan berangkat dengan mengendarai bus. Memakan waktu lama, tetapi itu tidak masalah. Ia harus berhemat untuk biaya hidupnya saat sampai di sana nanti. Stella berjalan menuju halte bus, ditemani dengan dinginnya udara pagi, membuat perempuan itu menggigil kedinginan. Stella mengeratkan jaket tebal yang ia pakai agar tubuhnya lebih hangat.

Sesampainya di halte, Stella melihat tempat itu masih sepi. Mungkin, karena masih pagi. Perempuan itu menunggu bus yang menuju Los Angeles sembari memainkan ponselnya.

Tak berselang lama, Stella merasakan ada orang yang duduk di sampingnya. Dia menoleh dan melihat orang ini adalah seorang laki-laki dan memakai pakaian serba hitam, tak lupa dengan topinya juga. Agak mencurigakan, tapi Stella mengabaikannya.

Lima belas menit berlalu, bus tak kunjung datang dan pria di sampingnya juga tak kunjung pergi. Stella merasa tidak nyaman, karena dia merasa bahwa selama lima belas menit itu juga, pria ini selalu melirik Stella terus-menerus. Apa lagi, halte masihlah sepi.

Stella merasakan adanya pergerakan dari pria itu dan melirik ke arahnya. Ia melihat, pria berpakaian hitam ini mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan mengetik sesuatu di sana, lalu beranjak pergi.

Entah ke mana pria itu pergi, Stella tidak peduli. Dia bernapas lega akan hal itu. Stella sempat berpikir bahwa laki-laki tadi adalah penjahat yang ingin mengambil uang atau barang-barangnya, namun dugaannya salah.

Perempuan itu kembali melanjutkan bermain town ship di ponselnya dan menunggu bus yang lama sekali datang.

Suara deru kendaraan pun terdengar melewati gendang telinga Stella. Perempuan itu senang, karena dia yakin bahwa suara itu pastilah suara bus yang ia tunggu-tunggu. Dia mengalihkan matanya dari ponsel untuk melihat bus yang datang.

Namun, Stella dibuat kaget dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya pucat pasi. Matanya terbelalak tak percaya. Tubuhnya membeku bagai es patung. Dia ingin melarikan diri dari tempat itu, tapi naas Dewi Fortuna tak berpihak kepadanya. Kaki seakan dilem di tempat, mencegah Stella untuk melarikan diri.

Apa yang dilihat Stella bukanlah bus yang ia harapkan, tapi mobil lamborghini yang perempuan itu hafal siapa pemiliknya.

'Oh, tidak. Tamatlah riwayatku'

Mobil itu berhenti tepat di depan Stella dan beberapa detik kemudian pria yang sangat Stella keluar, berjalan cepat menuju ke arah Stella. Setiap langkahnya seirama dengan jantung Stella yang berdetak cepat.

Kini, pria itu berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi membuat Stella sangat terintimidasi. Pria itu terdiam dengan rahang mengeras serta matanya yang merah dengan hawa-hawa kematian di sekitarnya semakin membuat Stella takut. Dia tidak berani melihat pria di depannya dan memilih menunduk.

"Sedang apa kau di sini?" Suara rendahnya terdengar sangat menakutkan di telinga Stella.

Matanya yang tajam bergeser ke arah koper di samping Stella dan ia kembali menatap perempuan itu dengan sorot penuh kemarahan.

Stella takut. Ingin rasanya dia meminjam jubah gaib milik Harry Potter dan menghilang. Tentu saja itu tidak mungkin. Dan lagi, bagaimana Alex tahu kalau Stella ada di sini? Bukankah seharusnya pria itu ada di kantornya?

Deg.

'Apakah Alex mengetahui aku ada di sini dari...pria berpakaian serba hitam tadi?'

Bukannya apa, pria tadi sangat mencurigakan dan bisa jadi kalau dia adalah suruhan Alex dan diutus oleh pria itu untuk selalu mengikuti Stella, kalau-kalau perempuan itu kabur. Dan itu terbukti sekarang.

'Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir ke sana, sih?!'

"Untuk apa koper itu?" Pria itu kembali bertanya.

Dengan gugup Stella menjawab. "Ah, I-itu untuk..." Dia bingung harus memberi alasan apa.

"Kau ingin pergi? Ke mana?" tanya Alex. Suaranya yang rendah menahan amukan yang akan meledak kapan saja.

"T-tidak. A-aku tidak p-pergi ke mana pun," elak Stella. Stella panik dan bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa selain menyangkal pertanyaan Alex.

Sekarang, dia menyesali jawabannya.

Bak bom yang ditekan tombolnya, kemarahan Alex yang sedari tadi ditahan pun meledak. "Kau pikir aku bodoh?!"

Stella yang mendapat letupan amarah Alex langsung tersentak. Dia terkejut bukan main. Tubuhnya bergetar takut.

"Masuk ke mobil sekarang!!" perintah Alex.

Stella tak bergeming. Dia sadar, setelah masuk ke mobil itu, peluang untuknya bebas akan benar-benar sirna. Dan tindakan itu membuat Alex semakin marah serta jengkel. Ditariknya kuat tangan Stella dan mendorongnya masuk ke dalam mobil depan. Sementara Alex, mengambil koper Stella dan melemparkannya ke dalam bagasi.

Di dalam mobil, Stella menunduk takut. Jari tangannya memilin ujung jaket hingga kusut. Dia tidak tahu apa yang akan Alex perbuat padanya setelah ini. Saat pria masuk dan menyalakan mesin mobilnya, udara di sekitar mereka seperti membeku. Mungkin angin pun enggan lewat di antara mereka.

Dikuasai oleh amarah membuat pria itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Alex geram dengan Stella. Perempuan itu ingin mencoba kabur darinya? Tidak. Stella tidak boleh meninggalkannya. Stella miliknya. Dia tidak boleh pergi meninggalkan sisinya.

Mobil Alex berhenti, pertanda mereka sudah sampai. Dia membuka pintu mobil, menarik tangan Stella dan menyeretnya ke apartmen serta masuk ke kamar mereka.

Alex menghempaskan tubuh Stella ke atas ranjang hingga kepalanya terasa pusing, lalu langsung menindih tubuh Stella dan menahan kedua tangannya kiri kanan.

Mata tajam Alex menatap perempuan di bawahnya dengan marah. Sementara yang ditatap hanya memalingkan wajahnya tak berani beradu pandang dengan pria di atasnya ini.

"Kenapa?"

"Katakan padaku kenapa kau ingin kabur dariku, Stella?!" bentak Alex yang membuat Stella tersentak takut. Dia diam, tak tahu harus menjawab apa.

"Jawab aku! Apa kau bisu?!" maki Alex. Tapi, hanya keheningan yang menjadi jawaban atas pertanyaan Alex. Pria itu geram, lalu menundukkan kepalanya dan mencium Stella kasar.

"Ale...mhm!" Teriakan Stella terpotong oleh ciuman intens dari Alex. Pria itu melampiaskan kemarahannya dengan mencium Stella. Menggigit bibirnya hingga meninggalkan bau anyir dan perih sekaligus yang membuat Stella mengeluh sakit.

"Sa...kit."

Namun, Alex seakan tuli dan hanya mencium Stella lebih intens lagi hingga ia merasa tidak ada lagi oksigen yang dapat dia hirup. Stella memejamkan mata dan terisak pelan di sela-sela ciuman mereka berdua.

Tak berselang lama Alex menjauhkan kepalanya membebaskan bibir perempuan itu. Melihat Stella menangis pelan dan berkata dengan suara serak tapi tajam, "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Stella sibuk mengatur oksigen dan menjernihkan pikirannya. Mendengar perkataan Alex, dia masih diam untuk beberapa saat, lalu menjawab pertanyaan Alex tadi dengan terbata-bata, "A-Aku ingin b-bebas."

Seketika, mendengar jawaban Stella wajah Alex menjadi datar. Seolah-olah, kemarahan tadi hanyalah halusinasi.

Beranjak dari tubuh Stella, pria itu berdiri sembari menatap Stella dengan mata tajam dan sorot penuh ejekan.

"Bebas, huh?" ujar Alex dengan senyum remeh.

Melihat senyum itu, Stella mendapat firasat buruk bahwa peluang untuknya bebas dari Alex sungguh tidak ada.

"Akan aku tunjukkan, apa itu kebebasan."

Alex kembali menarik kasar tangan Stella dan membawanya keluar apartmen. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan berkendara membelah jalanan yang mulai ramai karena hari sudah mulai siang.

Saat Alex berada di kantornya, tiba-tiba dia mendapat pesan dari suruhannya yang ia perintahkan untuk selalu menjaga dan mengikuti Stella di mana pun perempuan itu berada. Pesan dari orang suruhannya adalah bahwa kekasihnya berada di halte bus dan sepertinya hendak kabur darinya. Alex marah di saat itu juga. Jika Stella benar-benar ingin pergi darinya, Alex pastikan perempuan itu tidak akan bisa merasakan hangatnya sinar matahari lagi.

"A-Alex, kau mau membawaku ke mana?" tanya Stella panik.

Alex hanya diam. Tak menghiraukan pertanyaan Stella. Matanya fokus pada jalan dan mulutnya tertutup rapat. Stella bagai makhluk tak kasatmata baginya.

Alex masih dikuasai oleh amarahnya walau berbanding terbalik dengan wajah tampannya yang datar saat ini. Susah membedakan, apakah dia sedang marah atau tidak.

Stella hanya bisa menunduk dan gelisah dalam diam. Dia bertanya-tanya ke mana dia akan dibawa pergi. Ketika matanya beralih untuk mengamati keadaan di luar kaca mobil, Stella terkejut. Apa yang dilihatnya membuat dia semakin panik. Jalan yang amat sepi. Kanan kiri jalan hanya ada batang-batang pohon pohon besar yang terlihat seolah-olah hendak menenggelamkan Stella dalam rimbunnya dedaunan mereka. Perempuan itu yakin bahwa dia sekarang tidak lagi berada di kota di mana dia tinggal.

Sungguh, Stella tidak tahu di mana dia berada sekarang.

"Alex, jawab aku!!" seru Stella.

Namun, lagi-lagi hanya kebisuan dari Alex yang Stella dapat. Matanya mulai panas, siap menangis karena ketakutan yang amat sangat.

Saat mobil memasuki hutan lebat, ketakutan Stella semakin menjadi. Hari sudah siang, tapi karena rimbunnya pohon-pohon seakan mengisolasi cahaya sekecil apa pun untuk masuk ke hutan. Dia menoleh ke arah Alex yang sedari tadi tiada ada niat untuk menjawab pertanyaan Stella. Justru pria itu terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang semakin tinggi. Ekspresinya begitu serius dengan sorot mata yang tajam.

Pria yang sedari diam saja, akhirnya bersuara. "Tenang saja, Baby. Aku hanya membawamu ke tempat di mana kau tidak akan pernah merasakan hangatnya cahaya matahari."

Astaga! Kalimat yang dikatakan Alex membuat Stella tambah khawatir dan takut.

'Kakak, selamatkan aku!'

Ban mobil berdecit nyaring, pertanda mereka sudah berhenti. Dengan hati yang was-was, Stella mengamati di mana kini dia berada. Di depannya ada pagar besi besar yang mengelilingi sebuah rumah bergaya klasik yang megah. Pagar besi itu sangat indah dengan cat berwarna hitam dengan hiasan di sekelilingnya. Akan tetapi, entah mengapa di mata Stella itu sangat menyeramkan. Rasanya seolah dia tak akan membiarkan siapa pun yang telah masuk, dapat keluar kembali.

Stella terpaku dengan rumah bergaya klasik itu. Dia masih tidak percaya kalau hutan yang terlihat seram ini akan memiliki bangunan megah di dalamnya.

"Keluar!" suruh Alex setelah membuka pintu mobil di sebelahku. Dengan sedikit linglung, Stella beranjak keluar dari mobil.

"Di mana ini?"

Alex diam dan malah langsung menyeret tangan Stella mendekati pagar. Tarikan Alex berhenti saat mereka tiba di dalam rumah. Kini bukan pohon-pohon lagi yang perempuan itu lihat, melainkan interior di rumah itu yang membuat Stella terpana. Begitu mewah dan indah.

Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan seragam pelayan datang menghampiri Alex. "Tuan, sudah lama Anda tidak berkunjung," ujar pelayan itu sambil menundukkan kepalanya.

"Hm. Siapkan kamarku dan perlengkapan untuk perempuan ini," ucap Alex sambil menatap Stella.

Pria paruh baya yang sepertinya adalah seorang kepala pelayan itu melirik Stella sebentar. "Baik, Tuan."

Setelah kepergian kepala pelayan, tiba-tiba Alex berbalik ke arah Stella dan mencengkeram kuat bahunya hingga membuat perempuan itu meringis kesakitan. Mata Stella bertemu dengan mata Alex yang menatapnya tajam.

"Mulai sekarang kau tinggal di sini." Bak disambar petir, pernyataan Alex membuat Stella shock. Otaknya nge-blank.

"Hah?" Stella masih memastikan pernyataan Alex. Entah-entah kuping perempuan itu yang bermasalah atau otak Alex lah yang bermasalah.

"Mulai. Sekarang. Kau. Tinggal. Di. Sini," Alex mengulang kalimat yang ia ucapkan tadi dengan penekanan di setiap perkataannya seolah memperjelas bahwa Stella harus, wajib, kudu, fardhu tinggal di mansion pria itu.

"Kau gila!" seru Stella sambil menyentak cengkeraman Alex dari bahunya.

"Beraninya kau menyebutku gi-"

"Aku tidak peduli!"

"Di sini ada istrimu dan ibumu, Alex! Berpikirlah dengan otak gilamu!" Stella berusaha menahan emosinya.

"AKU TIDAK AKAN PERNAH TINGGAL DI TEMPAT INI!" teriak Stella, lalu berbalik untuk pergi keluar dari mansion Alex. Tapi, sebelum itu terjadi tangannya sudah ditahan oleh Alex dan ditarik hingga tubuh Stella berada di pelukan erat Alex.

"Mau ke mana?" tanya Alex geram.

"Pergi dari sini."

"Jangan harap." Suara Alex sangat dingin seperti kulkas sepuluh pintu. Stella memberanikan untuk melihat wajah Alex dan yang terlihat adalah....wajah datar tapi tampan dengan mata yang diselimuti amarah yang pria itu tahan.

"Lepaskan aku!" Stella berusaha melonggarkan pelukan Alex, tapi pria di depannya ini tak bergeming sama sekali.

Alex menundukkan kepalanya agar wajah dia dan Stella saling berhadapan. "Kau akan selamanya tinggal di mansion ini denganku dan seharusnya kau senang dengan itu."

GILA.

Tak kehabisan akal, Stella menginjak kaki Alex hingga membuat Alex meringis kesakitan dan itulah kesempatan perempuan itu untuk kabur.

Stella yakin bahwa otak Alex sudah lari ke ginjal atau jangan-jangan dia tidak mempunyai otak. Mana ada perempuan asing tinggal satu rumah dengan pria yang sudah menikah. Lebih parahnya ada ibu Alex di sini.

Cukup sudah. Stella tidak ingin seperti perempuan-perempuan yang ada di sinetron Indonesia itu, kalau tidak nanti ada gosip dengan judul "Selingkuhan Suamiku Tinggal Serumah denganku dan Ibu Mertuaku". Stella bergidik ngeri saat membayangkannya.

Dan sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadanya hari ini. Tiba-tiba Stella merasa tubuhnya terasa melayang yang nyatanya adalah bahwa dia sedang dibopong oleh Alex, berjalan menuju kamar Stella...lebih tepatnya kamar mereka kedua.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Stella sambil memukul keras punggung Alex. "Turunkan aku!"

Alih-alih menurunkan Stella, Alex melemparkan tubuh Stella ke kasur hingga kepalanya terantuk dan membuat perempuan itu mengerutkan keningnya karena pusing.

"Mulai sekarang kau tinggal di sini. Aku tidak meminta pendapatmu, entah kau ingin tinggal atau tidak karena pada akhirnya kau hanya bisa tinggal di sisiku, Stella," ujar Alex dengan senyum remeh.

"Aku juga tidak butuh pendapatmu," gumamnya.

"Dan..." Alex mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Stella. Perempuan itu refleks memundurkan wajahnya agar memberi jarak di antara mereka berdua, tapi Alex terus mendekat hingga menyisakan jarak hanya 2 cm.

"Bukankah kau ingin kebebasan? Inilah kebebasan yang kau inginkan, Sayang."

"Dan jangan bermimpi kau bisa pergi dari sini," lanjutnya dengan sudut bibirnya tertarik ke atas.

Stella bergeming. Menahan amarah di hatinya. Menatap tajam ke arah Alex.

"Mulai sekarang ini adalah kamarmu. Aku akan menyuruh pelayan untuk merapikan barang – barangmu dan kau segera bersihkan tubuhmu." Apapun kalimat yang terucap dari mulut Alex adalah sebuah perintah dan Stella sangat membenci itu.

"Setelah kau mandi, temui aku," ujar Alex dingin dan melangkah keluar kamar tanpa mempedulikan protesan yang mungkin akan disuarakan Stella. Perempuan itu membalas dengan dengusan kesal dan kemudian berdiri untuk ke kamar mandi. Dia sebenarnya juga tidak tahan dengan tubuhnya yang berkeringat.

Tersedia berbagai macam aroma terapi tubuh di kamar mandi yang memang sangat dibutuhkan Stella saat ini, setidaknya untuk sedikit menenangkan pikirannya yang kacau. Terlalu asyik berendam, si mungil tidak menyadari bahwa waktu telah menunjukkan untuk makan malam.

Tok…Tok…Tok

Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Stella yang mendengar itu sedikit terperanjat karena terkejut. Diiringi suara berderit menandakan pintu kamar mandi telah dibuka oleh seseorang. Stella tentunya tahu siapa orang tersebut. Menyesal karena lupa untuk mengunci pintunya.

Derap langkah kaki itu mendekat ke arah Stella. Mendengus kesal di dalam batinnya, ia mencoba mengabaikan kehadiran Alex dengan memejamkan matanya. Sedikit risih karena sedari tadi terasa jika laki-laki ini menatapnya intens.

Bibirnya terasa ditekan oleh sesuatu yang lembut dan lembab, membuat Stella membuka matanya cepat dan melihat wajah tampan Alex yang sangat dekat. Satu kecupan telah dicuri. Stella memasang wajah kesal, berbanding terbalik dengan pipinya yang bersemu merah. "Menyebalkan. Pergilah dari hadapanku!" Pria itu menjauhkan wajahnya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Cepat selesaikan mandimu, kita turun ke bawah bersama."

"Hm, tunggulah di luar," pinta Stella dengan nada sedikit kesal. Alex keluar dari kamar mandi dengan tersenyum tipis. Di mata Alex, Stella terlihat imut jika sedang kesal.

Mereka berdua turun sembari berjalan beriringan menuju ruang makan yang telah tersedia banyak hidangan lezat di atas meja. Tangan Alex menggenggam tangan mungil Stella yang terasa begitu pas dalam genggamannya. Ia menuntun perempuan itu lembut, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Seakan-akan menunjukkan bahwa ia dalam keadaan bahagia.

Langkah Stella terhenti ketika dia melihat sosok perempuan yang cantik dan anggun serta perempuan paruh baya yang keanggunannya tidak lekang oleh waktu. Melihat hal ini, Stella tidak dapat menyembunyikan perasaan malu dan bersalah di dalam hatinya. Jika bukan paksaan dari pria brengsek ini, perempuan itu tidak akan bertemu istri dan ibu Alex dan berlagak seperti simpanannya.

Alex sempat bingung ketika perempuan yang ia genggam tangannya berhenti berjalan secara tiba- tiba dan dia paham ketika melihat ke arah mata Stella melihat. Pria itu hanya menatap diam sembari menarik lembut Stella untuk berjalan disampingnya dan menuntunnya hingga meja makan.

Sarah, istri sah Alex menoleh ke arah mereka berdua. Ketika bola mata Stella beradu dengan Sarah, perempuan itu tidak bisa menahan rasa bersalah yang menyeruak ke permukaan hatinya, terlebih lagi ketika arah mata Sarah menuju ke tangannya yang sedang digenggam erat oleh suami perempuan itu. Seketika itu juga, Stella buru-buru melepaskan genggaman tangan itu. Tak enak hati.

Alex yang merasa tangannya dihempas oleh Stella hanya mengernyitkan dahinya kesal. Pria setinggi tiang itu kembali menarik paksa tangan Stella dan menautkan jemari mereka. Mengenggam sangat erat tangannya hingga membuat si mungil meringis kecil karena terasa sakit. Katika ibu Alex menyadari kehadiran puteranya, ia bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran Stella yang tepat di samping Alex.

"Mom. Perkenalkan dia Stella Swan."


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login