Download App
97.53% Diego & Irene / Chapter 79: Chapter 76 : Making Cake

Chapter 79: Chapter 76 : Making Cake

AN : Sorry buat lama update 🙏🏻 Ina nya sakit gais, lambung Ina kumat lagi, asam lambungnya naik. Tiga hari Ina sakit, trus istirahat dua hari. Ina mules dua hari dua malam. Nyiksa bangetttt huhu😭😭😭

Dan sekarang, Alhamdulillah. Ina udh sehat. Jadinya aku bisa lanjut ngetik. Sayang banget klo Diren ini gak dilanjutin X_X

Oke, Selamat membaca!

•••

"Irene terlalu menarik untuk aku lenyapkan." bisiknya serak, menyeringai. "Dia ada urusan pribadi denganku. Dan urusan kita... belum selesai. Kau jangan apakan dia dulu, Glen." perintahnya di seberang sana.

"Baiklah. Aku pastikan Istriku tidak akan tahu tentang ini, Sir." ujar Glen.

Pria bermata hijau itu tertawa senang. "Aku yakin anak tirimu itu pasti tidak akan keberatan jika kau yang memintanya bukan?"

Sementara itu ditempat yang jauh disana, Glen, pria yang sosoknya sangat tertutup itu berdiri di hall depan rumah Intan sembari menghela napas.

"What are you doing here?" suara berat Lucas dari arah belakangnya membuat Glen terkejut. Glen langsung meletakkan ponselnya ke dalam saku celana, sementara detak jantungnya berubah cepat. Lucas dan Hans berjalan mendekatinya, mengamatinya lewat mata yang memicing.

"Kau berdiri disini sambil menelpon hampir lima belas menit. Bicara dengan siapa?" tanya Lucas, tanpa basa-basi.

"Huh?" Glen mengernyit.

"Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?" kali ini Hans yang bertanya, lelaki itu makin memicingkan matanya karena merasa gelagat Glen terlihat aneh. Glen terlihat sangat terkejut ketika mereka datang dan langsung menyembunyikan ponselnya.

"Tidak ada." Glen menjawab dengan tenang, tapi bulir keringat di dahinya menunjukkan sebaliknya.

Lucas memperhatikannya. Ekspresi wajahnya datar. Sosoknya yang selalu misterius membuat siapapun termasuk Glen tidak bisa menebak isi pikiran pria itu. Dan sekarang, bibir pria itu hanya terkatup rapat—enggan berbicara. Dia hanya melirik Hans sebentar, dan Hans melakukan yang sama. Sedetik kemudian keduanya mengangguk. Glen yang melihat itu jadi menebak, apa dia terlihat mencurigakan?

"Kau ikut kami. Tuan Diego menunggu." ujar Hans.

"Ada apa lagi?" tanya Glen, pria itu merubah wajahnya menjadi begitu antusias. "Apa kita punya misi baru?"

"Bukan itu," Lucas langsung menjawab, yang membuat Glen beralih menatapnya. "Misi terakhir belum selesai. Karena kau yang sibuk dengan urusanmu sendiri atau kau memang benar-benar serius dengan pekerjaanmu, membuat kau lupa misi kita itu?"

"Aku tidak lupa, Lucas." Glen menahan napas ketika mengucapkannya, dadanya naik turun menahan emosi. "Kita hanya menemukan pebidiknya, tapi dalangnya masih dalam pencarian. Tentu saja aku ingat."

"Bagus," Lucas merespon Glen dengan anggukan singkat, pria itu lalu pergi begitu saja setelah berkata, "Cepatlah. Jangan buat tuan marah."

Setelah itu Hans mengikutinya, disusul Glen dibelakang yang mulai mengaktifkan rekaman suara di ponselnya dengan sembunyi-sembunyi.

•••

"Tuan." sapa Lucas, Hans dan Glen bersamaan. Mereka menunduk memberi penghormatan kepada Diego, berdiri di hadapannya yang tengah duduk santai di atas sofa tepat di bawah lampu.

Diego menatap mereka serius. Namun, keseriusannya itu berbanding terbalik dengan posisi tubuhnya.

Melihat Diego yang begitu serius, Lucas langsung memberikan tatapan khawatirnya. "Kami akan secepatnya menangkap dia, Tuan." ucap Lucas.

Sebenarnya bukan itu yang mengganggu pikiran Diego.

"Aku hanya tidak mengerti satu hal, Lucas." Diego terlihat berpikir sebelum menatap Lucas dengan lekat.

Lucas mengerutkan keningnya tidak mengerti. Sementara Hans dan Glen hanya diam menunggu sampai mereka berbicara lagi.

"Ada apa, Tuan?" tanya Lucas.

Diego tidak menjawab. Dia malah berdiri, kemudian beranjak pergi menuju meja billiard dan mengambil stik panjang yang terletak di pinggir meja tersebut. Pria itu kemudian merenggangkan otot lehernya ke kiri dan ke kanan, langsung memposisikan tubuhnya hingga membungkuk dengan stik yang sudah dia arahkan ke perkumpulan bola yang berada di tengah.

"Sebenarnya, aku sedang mencari cara untuk membereskan mereka seperti ini," Diego memukul kumpulan bola itu, membuat semua bolanya memantul hingga masuk ke dalam lubang. "Aku tidak suka kekalahan. Aku juga tidak suka melakukan sesuatu berkali-kali. Jadi, satu tindakan saja... Akan kubuat mereka semua mati."

Suara rendah penuh ancaman Diego menusuk dada Glen. Glen bahkan hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar itu, tapi dia tidak mungkin menunjukkannya.

Sementara, Lucas dan Hans hanya menunduk takut. Mereka tidak berani melihat ke depan apalagi sampai menatap wajah Diego. Mereka yakin, wajah Diego sangat seram kali ini. Mereka tahu benar, kemarahan dan suara geraman Diego tadi jelas-jelas karena nyawa Irene hampir melayang karena tembakan tidak jadi dari pria sialan yang dihajar Diego saat itu. Well, meskipun tidak jadi tapi tetap saja, pria itu pasti sudah kehilangan akal dengan memancing sisi iblis Diego menggunakan Irene. Itu sama saja mencari kematian.

"Lucas," panggil Diego setelah meletakkan stiknya di atas meja. Lucas mengangkat kepala, menatap Diego penuh sopan, "Kau suruh Christian menyiapkan apa yang aku katakan padanya mulai sekarang. Aku ingin menemui Irene."

Menyiapkan apa? Kenapa Diego tidak mengatakan rencananya seperti biasa? Ini aneh. Batin Glen.

Glen berpikir dalam. Dia heran kenapa Diego yang biasanya akan merundingkan rencananya kepada dia, Lucas, dan Hans, menjadi tidak mengatakannya sama sekali?

"Baik, Tuan. Akan saya lakukan." ucap Lucas patuh.

"Glen, atur penerbanganku ke Tiongkok sekarang. Hans, kau ikuti Dylan." perintah Diego pada keduanya.

Hans mengangguk. Apa yang diperintahkan oleh Diego memang bukan hal baru lagi, akhir-akhir ini Diego memang sering mengawasi adik kandung lelakinya itu. Sebenarnya bukan apa-apa, hanya saja Diego tidak ingin Dylan berbuat ulah. Apalagi mereka sedang berada di Indonesia, dimana hukum di negara tersebut begitu ketat dan tidak sebebas di negara asal mereka.

Lalu Glen? Jangan tanyakan mengapa dia tengah tersenyum manis. Dia biasanya memang seperti itu, tersenyum ketika Diego memberikan perintahnya. Well, tugas yang dia dapat sering seperti ini—memandu kemanapun Diego Alvaro pergi. Ah, jadi... Maksud Diego mengumpulkan mereka hanya untuk ini? Memberikan tugas pada mereka dan bukan membicarakan tentang rencana-rencananya?

Oh, hell... Tidak apa. Itu bukan suatu masalah. Glen hanya perlu memberikan rekaman pembicaraan mereka yang ada di ponselnya pada pria bermata hijau itu.

Setelahnya, Diego bergegas pergi keluar ruangan. Mereka menundukkan kepalanya ketika Diego lewat di depan mereka—sebagai bentuk penghormatan.

•••

19:00 WIB.

Irene berjalan menuju dapur. Saat sampai, dia melihat Intan dan Angel ada disana. Keduanya tengah mengobrol, tapi langsung berhenti begitu melihat Irene masuk.

"Nak...." sapa Angel, wanita paruh baya itu turun dari kursinya, melangkah ke arah Irene, lalu berdiri di depannya. Tersenyum. Angel menggenggam tangan Irene. "Kau mau makan? Akan Mommy siapkan ya."

Irene menggeleng. "Tidak perlu, Mom. Aku ingin buat kue."

Angel mengerutkan alis. "Kue? Untuk siapa?"

Untuk Diego, jawab Irene dalam hati.

Tapi, bukannya mengucapkan itu, Irene malah berkata lain. "Untuk manusia paling menyebalkan di dunia ini, Mom. Kau juga pasti tahu." Irene malas untuk menjelaskan, dia hanya menatap Angel dengan tatapan polos.

Angel yang mendengar itu buru-buru mencernanya—menyebalkan? Ah, pasti dia! Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya itu.

Dan ketika Angel menebaknya, yang direspon Irene dengan anggukan, Angel langsung tertawa. Tawanya menular, Irene tertawa.

"Kau mau kami membantumu, nak?" ujar Intan, wanita itu masih duduk di kursinya—memeperhatikan mereka.

Irene mengalihkan matanya pada Intan, menggeleng. "Jangan, Bu. Aku ingin sendiri. Aku ingin orang menyebalkan itu mencicipi kue buatanku."

"Baiklah, kalau begitu ibu dan Angel akan keluar. Hati-hati ya.... berhenti sebentar kalau bandanmu lelah. Kau masih butuh istirahat." ucap Intan lagi.

"Pasti, Bu." Irene tersenyum.

Lalu, Intan pun turun dari kursinya, berjalan ke arah mereka dan meraih lengan Angel. Angel dan Intan saling pandang. Angel memberikan tatapan protesnya, tapi Intan langsung membalasnya dengan gelengan kecil. Dan akhirnya, dengan berat hati mereka sepakat untuk keluar.

Ketika baru mencapai bibir pintu dapur—hendak keluar, Angel dan Intan melihat ke arah Irene lagi. Jelas sekali ada sorot kekhawatiran besar dari tatapan mereka. Mereka sangat takut. Kandungan Irene lemah, meskipun tetap bertahan setelah tenggelam dan jatuh berkali-kali, mereka tetap merasa sangat khawatir membiarkan Irene melakukan aktifitasnya sendirian. Apalagi di dapur. Bahaya. Tapi.... melihat binar kesungguhan dan penuh semangat di mata Irene, mereka tidak tega untuk menolak keinginan memasak putri mereka.

Sementara disana, Irene langsung membuat kuenya.

•••

Diego yang sedang berjalan melewati dapur tiba-tiba berhenti karena tidak sengaja melihat Irene. Rahang Diego mengeras. Irene masak di dapur? Sendirian? Siapa yang menyuruh istrinya?!

"Diego, dia bersikukuh. Aku tidak tega menolaknya." amarah Diego hampir saja meledak kalau saja sentuhan di lengannya tidak menghentikannya. Orang itu adalah Angel, ibu mertuanya.

Seolah mengerti, Diego melihat Irene lagi. "Memangnya dia masak apa?" tanya Diego penasaran, matanya terus tertuju pada Irene. Tapi tetap saja, wajahnya terlihat tidak suka. Masih marah.

"Kue. Irene bilang kuenya untukmu," sekilas Angel tersenyum, senang sekaligus khawatir di saat yang bersamaan. Dia senang karena Irene tampaknya ingin membuat Diego merasa punya 'istri' dengan memanjakan lidah Diego. "Kau biarkan saja dia. Setidaknya itu akan membuatnya senang dan tidak bosan karena terus menerus berada di dalam kamar."

Mendengar itu, Diego mengalihkan matanya pada Angel. Dia terhenyak dengan kata-kata Angel. Setelah dia pikir, Angel ada benarnya. Irene ingin membuat kue untuk dirinya, memangnya kenapa tidak boleh? Setidaknya untuk kali ini. Dan setelah itu, Diego pastikan Irene tidak akan pernah memasuki dapur lagi. Irene mengandung dua bayi, kakinya bisa pegal. Diego tidak mau.

Jadi, di detik ini juga, Diego akan segera membuat peraturan baru, peraturan yang dia wajibkan untuk semua orang mematuhinya—termasuk Irene. Ini peraturannya :

IRENE TIDAK BOLEH MASUK KE DAPUR! SIAPAPUN YANG MEMBIARKAN IRENE AKAN DIHUKUM!

Diego kembali menatap Irene. Matanya memandanginya lekat. Setiap gerakan, benda-benda di sekitarnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi—semuanya, Diego memperhatikannya. Memastikan Irenenya sedang baik-baik saja.

Setengah jam kemudian...

"Emm... enak banget." Irene mencicipi krim vanilla bercampur keju buatannya. Sesuai resep, dan rasanya pas. Tidak terlalu manis, seperti yang dia inginkan. Irene mengambil sesendok krim lagi, kemudian memasukkannya ke dalam plastik segitiga—piping bag, yang sudah diletakkan spuit di ujungnya. Irene pun membentuk buttercream vanillanya dengan sangat lihai—perlahan dan rapi. Sentuhan terakhir, Irene menaburkan butiran-butiran candy di atas krim sebagai garnish cupcakenya.

"Cantik sekali."

Suara khas Diego membuat Irene menoleh. Lelaki itu kini tengah berjalan ke arahnya dengan tangan di masukkan ke dalam saku celana, sementara mata birunya memandanginya lekat.

"Aku jadi ragu, siapa yang kau bilang cantik. Kue ini atau aku, huh?" Irene balas menatap Diego, menyipitkan matanya melihat cara Diego memandanginya. Bibir Irene melengkung ke atas, tersenyum geli. Pujian tadi—melihat tatapan Diego yang tidak lepas darinya, sepertinya pujian lelaki itu bukan untuk kuenya, tapi untuk dirinya.

Irene mengangkat alis, memperhatikan Diego yang sudah ada di depannya, memegangi bahunya. "Tentu saja kue ini. Cantik sekali. Tapi anehnya, masih lebih cantik istriku." bisik Diego tepat di telinga Irene.

Irene tersipu. Pipinya merona. Dia buru-buru mengalihkan pandangan, takut Diego melihatnya. Namun, suara Diego yang kembali terdengar membuatnya menatap Diego.

"Kau namakan apa?" tanya Diego serak, terus mendekat.

"Kue ini?" tanya Irene balik, mengedipkan matanya lugu.

Melihat sikap Irene tadi membuat Diego tersenyum. Lucu. Diego lalu mencubit hidung Irene gemas. "Iya. Kue cantik ini. Kau harus memberinya nama."

Irene bergumam seraya berpikir.

"Red Velvet Cheescream Cupcake."

"Red Velvet?" ulang Diego. Lelaki itu menarik pinggang Irene, membawanya mendekat. Irene tersenyum, mengalungkan lengannya di leher Diego—memandangi mata biru Diego yang indah. "Apa karena warnanya merah?"

"Ya! Warna favoritku setelah warna ungu." jawab Irene. "Mau mencoba kuenya?" tawarnya, tersenyum senang.

Diego mengangguk. "Mau."

Irene langsung mengambil satu kuenya, kemudian menyuapi Diego dengan semangat. Diego menggigitnya besar-besar. Rasanya enak. Tanpa sadar, mulut Diego belepotan. Irene tertawa. Dia lantas meraih tisue dan membersihkan wajah Diego dari krim. Bersamaan dengan itu, Diego malah terdiam. Matanya memperhatikan Irene—bagaimana cara wanita itu mengusap bibirnya, merasakan kelembutan usapannya, menikmati sentuhannya, jernihnya mata coklatnya. Diego menyukai itu semua.

Dan ketika mereka sama-sama terdiam, kepala Diego bergerak maju—meraih ranumnya bibir Irene. Irene memejamkan mata ketika Diego mencium bibirnya, menekan bibirnya, lalu melumatnya dengan begitu lembut dan liar. Jemari Diego bergerak, menyentuh kulit Irene. Panas. Irene mengerang. Diego tidak hanya menyentuhnya sebatas itu—tangan Diego menyerang organ intim seksualnya yang sensitif.

"Mmpphh... Diego," Irene mendesah, menikmati perlakuan Diego kepadanya. Jemarinya yang lentik meremas pergelangan tangan Diego yang semakin kuat menyiksa tubuhnya. Irene ingin menjerit. Disela ciuman mereka, tangan suaminya masuk semakin dalam dan berakhir memainkan intinya. Menusuk-nusuknya dengan liar.

Disaat Irene kehabisan oksigen di paru-parunya, tiba-tiba dia merasakan tarikan kasar di lengannya.

"Dasar wanita rendahan!"

To be continued.

Anjirlah! siapa itu yg berani narik Irene sambil menghina pas ada Diego?

Beneran, itu orang nyari mati:v

Well, TEBAK! SIAPA YOOO?🤣

Next to Chapter 77 : Diego and Irene's Wedding Party.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C79
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login