Download App

Chapter 2: Chapter 1

Sebuah mobil van putih melintas di jalan hutan yang tak beraspal. Tanahnya dipenuhi lubang, kadang bongkahan batu, kadang akar pohon liar. Lebarnya tak seberapa, sehingga bila ada dua mobil yang saling berpapasan, maka salah satunya harus menepi dulu. Di kedua sisinya pepohonan tumbuh subur sebab jarang terjamah tangan-tangan manusia. Kanopinya sangat lebat, nyaris menghalangi cahaya matahari.

Misell termangu memperhatikan pemandangan di luar jendela. Mahasiswi tingkat dua tersebut cukup terkesan pada rimbunnya area hijau, setelah muak dengan bangunan beton perkotaan.

"Lex, aku buka jendela, ya? Kayaknya udara di luar adem, deh," ucapnya pada Alex, saudara kembarnya yang duduk di belakang kemudi. Pemuda itu tengah fokus mengendalikan mobil yang terus terguncang akibat jalanan tidak rata.

"Boleh," jawabnya seraya mematikan AC.

"Yaaah, panas dong!" protes Sandra, pacar Alex. Gadis itu memiliki rambut yang diwarnai pirang dan dicepol ke atas.

"Adem, kok. Nih, cobain," gumam Alex lalu menurunkan kaca jendela Sandra melalui tombol di pintu supir. Gadis itu awalnya hendak protes lagi, tapi silirnya udara pegunungan segera membuatnya terdiam. Suara burung-burung yang bersahaja ikut memperbaiki moodnya. "Kalau nggak pakai AC, mesinnya juga jadi lebih kuat," lanjut Alex sebagai argumen penutup.

Sempat hening beberapa saat, sampai Sandra bicara lagi.

"Pegel nih, Sayang," gadis itu menggeliat. Ia berinisiatif menidurkan kursi joknya, lalu rebahan sambil meletakkan kedua kaki jenjangnya di atas dashboard. Sontak kedua mata Alex melirik, sebab gadis itu hanya mengenakan hot pants berbahan jeans. "Bobi, masih jauh nggak?!"

Tak ada jawaban.

"Bob?!" Sandra meninggikan suaranya.

Pemuda yang nyaris tertidur di samping Misell langsung terjaga.

"Ya?" tanyanya sambil mengucek mata. Ia adalah pemuda berkulit agak coklat dengan rambut bergelombang.

"Masih jauh nggak, kampungmu?"

Pemuda itu melihat jam tangan, lalu berpikir, "Hmm, sekitar dua jam lagi… seharusnya."

"Ya ampun, dua jam? Aku mesti duduk dua jam lagi? Tepos, tepos dah nih pantat!"

"Santai dong, nggak usah lebay," ujar Alex. Ekspresinya agak risih. "Lagian kan kamu sendiri yang mau ikutan."

Sandra tampak terkejut karena bukannya dibela oleh pacarnya, ia malah disalahkan.

"Tapi kan," ucapnya, "aku kira kita mau pergi ke puncak atau ke mana gitu, yang pemandangannya indah. Bukannya ke hutan antah berantah."

"Maaf ya kampungku ada di hutan antah berantah," ucap Bobi sedikit ngambek.

"Guys, gak usah debat guys," Misell segera turun tangan. "Kapan lagi sih, kita bisa jalan-jalan bareng gini? Lagian nih ya, aku pernah nonton di TV soal Komunitas Anak Hutan. Katanya tempat tinggal mereka masih murni dari dunia luar. Nggak semua orang bisa masuk ke sana. Iya, kan, Kak Mei?"

"Betul," ucap seorang gadis yang duduk sendiri di bangku paling belakang. Ia memiliki rambut pendek dan kacamata bulat lebar. "Aku beruntung ketemu kalian di terminal, padahal tadinya bingung karena nggak ada angkutan umum yang berani ngantar ke sana."

"Kita juga nggak bisa ke sana kalau bukan karena Bobi."

"Bobi anggota Anak Hutan?"

"Iya," jawab pemuda itu, "tapi sekarang lagi kuliah ke Jakarta."

Mei mengangguk-angguk, "Unik juga ya."

"Memang pelan-pelan kami mulau membuka diri, Kak," tambah Bobi.

"Ngomong-ngomong, kalau Kak Mei ke sini mau liburan atau apa, Kak?" tanya Misell untuk memperpanjang obrolan, agar Sandra tak kebagian mengoceh.

"Aku… untuk penelitian S2."

"Oh… S2 berat ya, penelitiannya harus terjun langsung begini."

Mei memperbaiki posisi kacamatanya, "Berat nggak berat, sih. Memang kewajiban, tapi aku juga suka."

"Hebat, Kak Mei wanita perkasa!" Misell mengacungkan jempol, sehingga Mei agak tersipu.

"Kalau kalian sendiri?" tanya Mei.

"Kami mau liburan, pengen lihat kampung halamannya Bobi."

Bobi menganggukkan kepala dengan sopan.

"Walau Anak Hutan cenderung tertutup dari dunia luar, tapi kami selalu menjamu orang-orang yang kami anggap sebagai sahabat."

"Aku terharu, Njing," kata Alex tiba-tiba.

"Ya, kamu kan sahabatku."

"Kalau aku gimana, dong. Aku kan bukan sahabatmu?" celetuk Sandra.

"Pacar Alex, saudari Alex, semua boleh ikut," jawab Bobi agak kaku.

"Kalau aku?" tanya Mei.

Bobi mengangkat bahu, "Makin ramai makin asyik, kan, Kak?"

"Yo'iii!" sahut Alex bersemangat.

Kendaraan mereka terus melaju menempuh jalur yang tidak bersahabat. Sandra melamun memperhatikan jalam sambil memeluk tas ransel merahnya. Misell beberapa kali mengecek HP karena kebiasaan, dan berkali-kali sadar bahwa ia tidak mendapat sinyal. Bobi kembali terlelap, dan Mei membaca buku catatannya.

Tiba-tiba Alex berseru, "Eh, ada orang! Kenapa tuh?"

Pemuda itu menunjuk sebuah mobil sedan merah yang terparkir di tepi jalan. Kap mesinnya terbuka, dan seorang pria sedang menunduk memperhatikan mesin. Pria itu rupanya mendengar suara mobil Alex, lalu menoleh. Sontak pria itu melambai-lambaikan kedua tangannya. Ia berteriak, "Tolong!"

"Kayaknya mobilnya mogok," kata Misell.

"Iya kayaknya."

Alex pun melambatkan laju mobilnya.

"Eh, ngapain berhenti?" protes Sandra.

"Kan dia minta tolong," jawab Alex.

"Ya biarin, nunggu mobil lain lewat."

"Di hutan gini kapan lagi ada mobil lewat, kasian kan…" Alex teguh pada pendiriannya. Ia menghentikan mobilnya di samping pria tersebut. "Kita tanyain dulu aja." Ia menurunkan kaca jendela hingga terbuka utuh. "Kenapa, Bang?"

Pria itu tampak senang sekali, seperti orang yang akhirnya melihat manusia setelah tersesat di hutan berhari-hari. "Maaf ya Mas, ganggu perjalanannya. Mobil saya mogok, Mas, nggak bisa distarter."

Alex mengerutkan dahi. "Waduh."

"Ngerti mobil nggak, Mas? Bisa bantu lihatin, nggak, ya? Saya mau telpon bengkel tapi nggak dapet sinyal."

Alex melihat ke arah Sandra, meminta restu gadis tersebut. Sandra pun mengangguk sebab sudah kepalang tanggung.

"Coba ya saya lihat dulu."

Alex turun dari mobilnya. Sebenarnya ia sendiri tidak terlalu paham mesin, jadi ia cuma melihat-lihat sekilas, kemudian mencoba starter. Hasilnya nihil.

"Akinya bermasalah, kali ya?" tanya Alex pada dirinya sendiri, tetapi didengar oleh si pria asing.

"Jangan-jangan…" Pria asing itu tampak gelisah. "Mampus deh, mana jauh dari kota…" Ia mulai menggigiti kuku jempolnya, lalu mendapat sebuah ide. "Anu, Mas, bisa minta bantu dorong? Siapa tahu nyala?"

"Hmm," Alex berpikir sejenak. Sandra sudah merajuk, dan akan lebih baik kalau masalah ini cepat selesai. "Boleh."

Pemuda itu segera membangunkan Bobi. Ia menceritakan situasi yang mereka hadapi, lalu memperkenalkan si pria asing yang bernama Fajar. Alex meminta Misell untuk mencoba starter, sementara para laki-laki yang mendorong. Mei ikut menawarkan tenaga, sedangkan Sandra memilih duduk manis saja di dalam van.

"Maaf ya, ngerepotin," ucap Fajar sebelum saat mereka mengambil posisi.

"Gapapa Bang, santai aja." Alex bersiap, lalu memberi aba-aba. "Satu! Dua! Dorong!"

Keempat orang itu mengerahkan segenap tenaganya. Mobil itu pun bergerak. Hanya saja medan yang berat membuat mereka kesulitan.

"Coba distarter!" seru Alex.

Misell memutar kunci. Tapi tidak ada reaksi. "Gak nyala, Lex!"

Setelah beberapa kali mencoba, mereka akhirnya menyerah.

"Ah, sial." Fajar menendang ban mobilnya sendiri, tampak frustasi.

Alex bisa merasakan kebingungan pris tersebut. Ia sendiri pasti panik kalau terjebak di dalam hutan sendirian. Apalagi kalau harus bermalam di sini tanpa makanan dan pakaian hangat.

"Sebenarnya kami bisa aja ngasih tumpangan ke kota," ucapnya ragu. "Tapi kami sendiri lagi jalan ke arah kampung Anak Hutan. Kecuali… yang lain setuju buat balik ke kota dulu…"

Kedua mata Sandra langsung memelototi Alex, seolah berkata, 'Pantatku tepos cuma buat balik lagi setelah hampir sampai tujuan?!'

Mei juga terlihat kecewa sebab ia ingin cepat-cepat sampai.

"Anu, seingatku di kampung ada motor yang biasa dipakai ke kota tiap ada keperluan penting," kata Bobi seraya mengacungkan tangan. "Mungkin nanti Abang bisa pinjam."

"Eh, beneran Mas?" Kedua mata Fajar berbinar. "Nggak ngerepotin?"

"Yah… tapi saya tanyain dulu ke Tetua."

"Boleh, boleh." Fajar tidak lagi berbasa-basi. Keadaannya memang sangat terdesak.

"Tapi, emang tadinya Abang mau ke mana?" tanya Bobi.

Fajar terdiam. "Ke…" Ia melempar pandangan ke arah mobilnya. "Jalan-jalan aja, sih. Hobi saya emang aneh. Kalau sedang suntuk, saya suka keliling-keliling gak jelas." Ia membuat senyum yang dipaksakan.

Bobi sedikit mengernyit, mempelajari sosok Fajar lamat-lamat. Janggut pria itu sedikit tak terawat, tapi penampilannya bersih. Mungkin ia cuma malas bercukur.

"Sayangnya orang-orang kampungku jarang ketemu orang asing. Nanti Abang bilang saja kalau Abang teman kami."

"Baik, terima kasih!"

Mereka pun segera masuk ke dalam mobil. Sandra yang mendapati Fajar ikut naik pun segera berceloteh, "Lama-lama mobil ini jadi kayak angkot ya, semua orang boleh numpang."

"Hush, jangan gitu!" desis Alex.

Fajar mendengarkan, tapi tak berkata apa-apa. Ia duduk di samping Mei dengan canggung.

"Nggak apa-apa, aku juga nebeng, kok," kata Mei.

Fajar nyengir meringis.

Alex kembali menancap gas.

"Uh, lagi liburan, Mba?" tanya Fajar pada Mei.

Gadis itu menggeleng. "Nggak, aku lagi nyari data penelitian. Mereka yang liburan."

"Oh… kalau kalian dari mana?"

"Dari Jakarta, Bang," jawab Misell.

"Jauh juga ya. Tumben anak kota liburannya ke tempat gini."

"Anak kota?" timpal Sandra. Ia agak tersinggung mendapat sebutan ganjil tersebut.

"Ah, maaf, maksudku, di Jakarta kan banyak mall. Banyak tempat rekreasi."

"Kita mau cari sensasi yang beda, Bang," jawab Alex daripada Sandra semakin marah.

"Orang tua kalian ngga khawatir? Kalian pergi ke hutan belantara gini?"

"Justru itu kami nggak bilang-bilang, hehehe." Misell terkikik nakal. "Mamah pasti ngelarang kalau kita kasih tahu."

Fajar mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau aku sih, mau dimakan harimau juga ngga ada yang nyari," celetuk Mei tiba-tiba. Mungkin maksudnya ingin bercanda, tapi malah terdengar suram. Tak ada yang menanggapi.

"Tancap gas ah, biar cepat nyampe. Siap-siap, guys!" seru Alex.

"Eh! Alex! Jangan main-main!"

Terlambat. Seruan Misell tak dipedulikan. Alex memacu kendaraannya meski jalanannya tidak bagus. Alhasil mobil mereka melaju dengan melompat-lompat.

"Awas, shock breakernya rusak!" Fajar berpegangan pada kursi di depannya.

"Aman, kok, aman!"

Fajar oleng, lalu ia menimpa Mei. Gadis itu refleks mendorong Fajar. Karena guncangan, kepalanya jadi terbentur kaca.

"Aduh—"

Tiba-tiba terdengar suara letusan. Misell menjerit. Laju kendaraan menjadi aneh. Alex segera menepi.

"Yang? Kenapa Yang?" Kepanikan tergambar jelas di wajah Sandra.

"Hmm…" Alex tak mau cepat mengambil keputusan. Setelah berhenti, ia segera turun. Benar saja dugaannya, ban mobil mereka kempes.

Yang lainnya ikut turun.

"Tuh, kan, Alex!" ujar Misell sebal. "Dibilang jangan main-main!"

Alex tak membela diri. Ia merasa bersalah.

Fajar mengusap-usap kepalanya. Ia menatap Mei. "Anu, maaf, ya."

Gadis itu cuma mendengus sambil menggumamkan sesuatu. Padahal Fajar berharap gadis itu juga minta maaf karena mendorongnya terlalu keras.

Kemudian pria itu jongkok memperhatikan roda depan.

"Kayaknya bukan salah Alex," ucapnya. Ia meraba-raba permukaan ban, lalu mencabut sesuatu dari sana. "Lihat nih."

Semuanya segera berkumpul, dan mereka terbelalak. Di tangan Fajar ada sebuah paku yang cukup panjang.

"Kok bisa ya, ada paku di hutan?" Sandra bersedekap dengan sebal.

"Nggak sengaja jatuh, kali…" komentar Bobi sembari takjub menghitung panjangnya paku tersebut.

"Tapi kalau nggak sengaja…" Fajar melihat ban depan satunya. Ia berjongkok di sana, lalu menarik satu lagi benda hitam kecil. "Yang ini juga kena tusuk, lho. Ada yang nyebar paku."

Misell menelan ludah.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login