Download App
Illusion & Magic Illusion & Magic original

Illusion & Magic

Author: Karacia_Greynote

© WebNovel

Chapter 1: Chapter 00: Alicia, Under Stars Night

Dunia ini memiliki sistem yang berputar--—Aku mempercayai kalimat itu sebagai sebuah perkataan bijak.

kehidupan ini penuh dengan kebanggaan dan penyesalan, keberuntungan dan kemalangan, kesuksesan dan kegagalan, harapan dan keputusasaan.

Di antara semua itu, dari milyar—Ah, bukan, dari triliun atau lebih bentuk kehidupan yang pernah ada, satu makhluk memegang peranan yang begitu penting—Atau mungkin, peran terpenting yang pernah ada di dunia—Mengisinya dalam serpihan-serpihan kecil aliran kehidupan yang membuatnya berputar sesuai dengan kecepatan yang telah ditetapkan, dalam kemajuan dan kemunduran, kehidupan dan kematian.

Satu makhluk itu—Manusia, memegang dominasi kekuasaan tertinggi dari makhuk lain dalam sistem dunia yang mereka ciptakan.

"Mereka"-—Manusia selalu dibagi dalam dua kelompok yang besar: mereka yang mengambil sesuatu dari orang lain dan mereka yang selalu diambil oleh orang lain. Mereka yang merampas dan mereka yang selalu dirampas. Mereka yang merebut dan direbut. Mereka yang memeras dan diperas. Mereka yang menjarah dan mereka yang dijarah. Mereka yang senantiasa merenggut hak orang lain dan mereka yang haknya selalu direnggut oleh orang lain. Mereka yang menyakiti dan disakiti. Jika ada dari mereka orang yang mengusai, akan ada juga mereka yang dikuasai oleh orang lain. Orang yang senantiasa mengendalikan dan mereka yang dikendalikan. Mereka yang mengorbankan juga mereka yang dikorbankan untuk tujuan orang lain. Juga mereka yang memperalat dan mereka yang diperalat.----

~**~

—Alicia Bluesky POV -

Malam ini begitu dingin. Meski aku pikir begitu ini tidak sebegitu dingin sampai kamu akan mati dengan darah membeku jika kamu terus berdiri di sini dalam satu, dua, tiga jam atau satu hari penuh. Sekali lagi angin berhembus mengurai rambut pirangku yang mulai sedikit berantakan, seolah menyiratkan untuk menambah sensasi dingin yang tetap menembus kulitku seolah melucuti fakta bahwa aku membawa pakaian dan jaket yang sebenarnya cukup hangat.

Aku tidak tahu sudah berapa menit sejak aku berdiri di sini bersamanya, tapi jika aku melihat sedikit ke bawah dari telapak tanganku, di sekitar pergelangan tanganku akan terlihat jam tangan hitam kecil yang sedikit redup, waktu dari dua buah jarum jam putih itu akan menunjukkan pukul 11 malam lebih sedikit.

Di tengah dinginnya kegelapan dengan sedikit cahaya lampu luar ruangan, wajah dari pria itu terlihat melalui cahaya bintang yang bersinar terang meskipun satu atau dua awan menghalanginya.

Akan terdapat sedikit cahaya jika kamu hanya melihatnya dari jumlah tiang lampu yang berdiri menyinari taman seluas 3.227 km2 ini. Tempat tersebut, atau bisa kubilang taman luas ini dikelilingi dengan banyak partikel-partikel udara sejuk yang akan membuatmu merasakan kenyamanan dalam berbagai hal.

[Night Sky Viewing Area], sebuah area khusus yang ditujukan untuk mengamati taburan bintang yang menghiasi kegelapan pada langit malam. Taman yang terletak 20 km dari tempat tinggalku sendiri ini menampilkan pemandangan penuh bintang yang akan tetap melekat pada ingatanmu untuk sisa hidupmu tidak peduli seberapa lamapun itu. Dan akan tanpa sadar menghiasi mimpi dalam tidurmu untuk beberapa hari ke depannya.

Milky Way, atau disebut juga bima sakti—Galaksi spiral yang memiliki 200-400 milyar bintang dengan diameter 100.000 tahun cahaya dengan ketebalan mencapai 1.000 tahun cahaya. Pita kabut atau aura cemerlang ini adalah kumpulan jutaan bintang dan juga sevolume debu dan gas yang terletak pada bidang galaksi.

Dengan berbekalkan keinginan untuk menikmati pemandangan astronomis pada musim panas itu, pada tanggal 13 Agustus 2022, klub astronomi kami merencanakan keberangkatannya untuk dua hari ke depan; ditambah dua orang lain yang tidak berhubungan langsung dengan klub Astronomi—Ah, bukan, dengan kata yang lebih spesifik adalah 'teman masa kecil' dari ketua klub kami, mengisi dua kursi kosong dalam perjalanan astronomis ini seperti biasa.

Diikuti oleh seluruh anggota klub astronomi tanpa terkecuali... Meski aku bilang begitu, sebenarnya hanya ada tiga anggota dalam sebuah klub sekolah yang kecil itu.

Memegang kedudukan tertinggi, ketua klub kami, Aria Horizon yang setiap harinya hanya akan duduk di dalam ruangan klub di atas kursi favoritnya, yang mengarah secara diagonal pada halaman sekolah dengan hanya membaca buku-buku astronomi lama.

Menempati posisi wakil ketua, aku, Alicia Bluesky, yang seringkali duduk berseberangan secara horizontal dari Aria untuk sekedar membaca majalah atau buku-buku lama, yang sebenarnya adalah kedok untuk menunggu waktu yang tepat untuk mengintip wajah pria di depanku itu.

Dan anggota terakhir, teman sekelasku, Hugo Astin yang juga adalah teman masa kecilku. Pada saat–saat yang tenang Hugo akan membawa topik untuk dibicarakan bersama kami; pembicaraan yang penuh dengan tragedi yang menyedihkan, komedi, dan hal-hal yang membuat kami berdebat akan suatu hal.

Dengan anggota terakhir yang disebutkan, klub yang memiliki tiga anggota itu selalu penuh dengan obrolan ringan dan kegembiraan kecil kami.

Dua orang lainnya adalah teman masa kecil Aria. Hakuharu Hajime, pria berambut coklat yang juga menjabat sebagai ketua klub memanah ini seringkali berkunjung ke dalam ruangan klub astronomi bersama adik perempuannya.

Hakuharu Kyoka, gadis cantik yang juga adalah adik kembar dari Hakuharu Hajime, yang sebenarnya adalah ketua dari klub berkebun yang bekerja di halaman sekolah. Tempat dimana Kyoka berkebun, halaman sekolah tempat bermacam-macam sayuran hidup berkat tangannya yang selalu terkotori tanah itu dapat dilihat dari ruangan klub dengan jarak 20 m-30 m jika kamu membuka sebuah jendela yang sedikit usang yang menghubungkan kedua tempat tersebut.

Dengan begitu, ketua klub kami, Aria Horizon sesekali mengambil pandang ke arah halaman hanya untuk diketahui oleh Kyoka, yang juga akan melambaikan tangannya dengan bersemangat. Dan meskipun hanya dengan melihat senyuman dari Aria, suasana yang sepi dalam ruangan di waktu kami hanya berdua selalu bersemu dengan pikiran-pikiran yang sebenarnya juga menenangkanku.

15 Agustus 2022. Pada pukul 20.30, kami tiba di taman yang sepi ini. Dengan cepat, kami melaksanakan kegiatan yang seolah adalah hal yang paling wajar di dunia, dengan menempati [Night Sky Viewing Area] di sebelah barat area taman—Dan sesegera mungkin mempersiapkan teleskop klub kami dengan bangga.

~**~

Dulu sekali, di saat aku masih dalam masa SMP-ku, Alicia Bluesky dikenal sebagai seorang gadis yang dingin dan tidak suka bersosialisasi. Setiap harinya, entah itu di sekolah atau di rumah, aku hanya akan berbicara seperlunya dengan ekspresi yang bisa dibilang adalah 'dingin'. Ditambah tatapan mataku yang tajam membuatku menjadi siswi yang sulit untuk didekati. Meski begitu sebuah title "Penyendiri" tidak pernah sekalipun melekat padaku.

Hugo Astin, seorang pemuda yang memiliki rambut pirang yang sama sepertiku, yang juga adalah teman masa kecilku semenjak TK selalu menemaniku, mengobrol denganku dan mengajakku dalam menjalani berbagai kegiatan bersama. Dan tentu saja, aku selalu menikmati waktu-waktu yang kuhabiskan bersamanya. Dia adalah teman—Tidak, sahabatku. Sahabat terbaik yang pernah kudapat—Atau sebenarnya adalah satu-satunya sahabat yang pernah kumiliki dalam hidupku.

Waktupun berlalu. Saat itu adalah ketika aku memasuki jenjang SMA. Pada tahun pertamaku, tanggal 10 bulan Agustus tahun 2021. Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit, dimana bel sekolah akan berbunyi sebentar lagi pada 15 menit dari waktu sekarang.

Aku berada di lorong sepatu dimana saat aku hendak mengganti sepatu outdoorku dengan indoor, dari dalam loker sebuah persegi panjang 10cm x 15cm berwarna putih kemerahan disertai sebuah stempel berbentuk hati sebagai perekat kutemukan di dalam sana.

Tanpa pikir panjang aku mengambilnya, melihat bagian depan dan belakang objek itu, membaliknya satu, dua kali, sebelum kusadari sebuah wangi dari bunga tertentu tercium dari amplop itu. Beberapa orang melihatku tetapi aku hanya mengacuhkan mereka dan meremas amplop itu kemudian melemparnya menuju tempat sampah paling dekat.

Keesokan harinya, di tempat dan waktu yang sama aku menemukan amplop kemerahan yang tampak dengan tampilan yang sama seperti kemarin. 'Barangkali orang ini punya sesuatu hal yang penting untuk diberi tahukan sampai mengirim surat untuk kedua kalinya', dengan pemikiran seperti itu, aku mengambil dan memasukannya ke dalam sakuku.

Langit tampak agak mendung pagi ini, kamu akan berpikir untuk sebaiknya membawa payung untuk jaga-jaga, beberapa orang akan menyiratkannya dengan sebuah 'firasat buruk' atau semacamnya, tapi aku sama sekali tidak peduli dengan hal itu.

Aku membaca suratnya di kelas, amplop dengan perekat hati itu mempunyai isi yang sebenarnya cukup untuk kamu bilang sebagai sesuatu yang sederhana "Temui aku di ruang olahraga jam 8 malam". Firasat, insting, atau intuisiku berbisik menyiratkan sesuatu yang agak berbahaya. Meski begitu jauh di dalam pikiranku, ada juga pemikiran seperti "Apa sebegitu pentingnya sampai harus dibicarakan pada tempat dan waktu yang menyusahkan?" atau "Mungkin ada alasan khusus yang mendasari hal itu".

Waktupun berlalu, matahari terbenam dan siang hari digantikan dengan malam. Pada jam 8, 11 Agustus tahun 2021, aku menghadiri tempat pertemuan yang dijanjikan.

Itu tidak seperti aku datang kesini dengan benar-benar sendirian. Kupikir akan berbahaya jika seorang gadis SMA keluar rumah sendirian di malam hari, jadi aku mengajak Hugo untuk sekedar berjaga–jaga di luar, dan tentu saja hanya aku yang akan masuk.

Malam itu sebenarnya tidak terlalu dingin, meski begitu aku tetap memakai sepotong jaket yang menyelimuti leherku ke bawah hingga mencapai pinggangku, menutupinya sebagai lapisan paling atas dari susunan pakaian yang diikuti dengan pakaian rumahan biasa. Menyelesaikan persiapan dan menghela nafas panjang satu kali, aku memasuki ruang olahraga yang sepi, meninggalkan Hugo di luar ruangan.

Satu, dua langkah. Ruangan itu tetap sepi—Atau bisa kubilang dengan kalimat yang lebih spesifik sebagai tidak ada orang sama sekali. Tiga, empat, lima langkah ke depan. Sebuah suara dari benda yang jatuh terdengar samar-samar dari gudang. Aku berjalan lebih pelan dari biasanya menuju tempat tersebut, melihat sekitar 90 derajat ke kanan dan ke kiriku. Hampir saja aku akan membuka kenop pintu yang memantulkan cahaya lampu ruangan, sebelum terdengar suatu bunyi dari sisi lain, 180 derajat dari pandanganku.

Aku tidak sempat berbalik, namun sesaat seseorang dari belakang membekapku dengan kecepatan yang tidak mampu kuhindari. Dengan reflek secepat-cepatnya, kuteriakkan sebuah nama sekeras mungkin. Namun mulutku yang dengan cepat tertutupi membuat hanya satu suku kata yang berhasil keluar "Hug—" mengikutinya adalah suara teriakan keras yang nadanya sendiri akan kubilang sebagai sesuatu yang sangat tidak jelas. Menyadari permintaan tolong yang samar, Hugo Astin memasuki ruangan dengan cepat. Kepanikan, kemarahan, kebencian dan kutukan terpancarkan dari laki-laki itu.

"ALICE!!"

Teriakan Hugo terpantulkan sebagai gema pada sisi-sisi atap dan dinding pada gedung yang terlihat luas. Kecepatan larinya bertambah seiringan dengan derap langkah kakinya yang semakin keras, mencapai pada hampir tempatku berdiri tanpa butuh waktu yang lama.

Spontan, entah itu aku atau si pembekap membalikkan mata kami pada Hugo. Detik demi detik berlalu, satu, dua langkah berlalu, bunyi kerasnya hantaman tulang terdengar dari pipi sebelah kanan si pembekap, yang bertabrakan dengan kepalan tangan Hugo, membuatnya melepaskanku dengan paksa.

"ALICE!!"

Hugo menangkapku—Atau, lebih tepatnya memelukku, suatu getaran terasa merambat dari tubuhnya. Bergetar, tubuh Hugo membuat getaran yang cukup kuat pada tingkatan yang dapat kurasakan melalui tubuhku sendiri. Pada saat itu, aku menyadari sesuatu yang agak mengejutkan—Tidak, bukan, sangat mengejutkanku.

Sekitar dua meter di belakang Hugo, seseorang berdiri—Membawa kayu yang diayunkan vertikal menunjuk atap, membentuk kuda–kuda yang dengan siap meluncurkan sebuah bentuk kekuatan dan hantaman kapan saja.

"HUGO!!"

Ada tiga orang yang sebelumnya ada di dalam ruangan, ditambah seseorang yang membawa kayu, jumlahnya naik mencapai angka 4 dengan seorang perempuan dan tiga laki-laki. Dan tentunya orang yang dengan cepat meneriakkan nama itu adalah, tidak lain, aku.

Hugo melihat ke belakang, ia kembali memelukku, lebih kuat dari sebelumnya. "Tidak, Hugo, menghindar!!". Hugo memelukku lebih erat, melindungiku dari hantaman kayu yang sebenarnya dapat dia hindari tepat waktu jika Hugo bergerak dengan segenap kekuatannya.

"Kenapa?--—Kenapa, hugo?" kayu itu menghantam pundak Hugo dengan bunyi yang sangat keras. "Kenapa?" aku menangis. Menangis dalam kesedihan dan kemarahanku. Memegangi tubuh Hugo yang bisa kehilangan kesadarannya kapan saja.

"Alice... lari...! jangan pedulikan aku... lari, ALICE...!"

"Tidak, Hugo... aku tidak bisa... aku tidak mungkin...kamu..."

Aku menangis. Aliran air hangat menuruni wajahku. Mengalir melalui pipiku. Jatuh. Menetes. Membasahi baju seorang pria di depanku. Teman masa kecilku, Hugo Astin, kehilangan kesadarannya.

Aku membaringkan tubuhnya perlahan dan sehalus mungkin. Kemudian berdiri. Membelakangi dua bajingan itu dan menunduk.

"Tidak bisa dimaafkan...!"

Seseorang yang tadinya membekapku berdiri, memegangi pipiya yang terdapat warna kebiruan pucat, tempat pukulan Hugo bertempatkan sebelumnya, ia membuka mulutnya dan melihat Hugo.

"Aa, a~aah... kita bisa membunuhnya nanti—Yah, orang ini."

"Sebelum itu, Eiji, mari kita nikmati makanannya sekarang."

"Yah, tapi aku akan mengambil yang pertama oke? Aku mendapat satu pukulan di sini."

"Hey, hey, aku yang membereskan orang itu untukmu."

"Nah, Kazu, kemarin kauyang mengambil giliran pertamanya, kan? Berikan padaku kali ini."

"Hmm... nah, terserah, kauboleh mengambilnya, lakukan sesukamu, bung."

Mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang hanya melewati telingaku begitu saja. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak akan menahan diri kali ini.

Kali ini, meski, meskipun aku tahu akan berakhir seperti apakah diriku nanti. Meskipun aku tahu akan seperti apakah diriku mungkin akan terlihat nanti. Dan meski, meskipun aku tahu tragedi dan bad ending seperti apakah yang akan menimpaku dalam beberapa detik, menit, atau hitungan jam itu nanti.

Aku bersumpah akan membuat mereka merasakan akibat dari semua yang telah mereka lakukan—Karena telah menipuku. Karena telah menjebakku. Dan yang paling tidak bisa kumaafkan, karena telah melakukan hal yang tidak seharusnya mereka perbuat pada teman masa kecilku, Hugo Astin yang terbaring lemah di depanku.

"Kenapa...?"

Mereka melihatku, menatapku tidak sopan dan tersenyum dengan menjijikkan.

"Hm? Tidak ada apa-apa. Ini tidak seperti kami punya dendam pribadi padamu atau semacamnya.... kautahu? Kecuali orang yang terbaring di sana, Kautidak pernah

menanggapi semua pria yang berusaha mendekatimu, jadi kami sebagai kakak kelas ingin memberimu sedikit pelajaran spesial yang akan membuatmu mengetahui seperti apa rasanya merasa dekat dengan seorang laki-laki-—Yah."

"Jangan khawatir, Alice, kami tidak akan menyakitimu jika kaumengikuti apa yang kami katakan, oke?"

"... Aah~ sebenarnya kamu sangat cantik jika kamu lebih memperhatikan dirimu sendiri, kamu tahu?"

Bajingan itu menyentuh sedikit ujung daguku. Aku menggertakkan gigiku dan melihatnya dengan mata yang lebih—Jauh lebih tajam dari biasanya. Brengsek. Menjijikkan. Bajingan. Hanya kebencian dan kemarahanlah yang muncul dari dalam diriku. Meskipun aku akan mencari pada sesuatu jauh dari lubuk hatiku, pada sebuah tempat yang jauh di dalam sana, pada setiap sisi dan sudut, detail dan rinci. Meski begitu, aku yakin tidak akan pernah menemukan hal lain selain dari kedua hal tersebut.

Aku memberanikan diriku. Dalam sebuah ruangan olahraga yang dipenuhi dengan kebusukan dan kekeliruan ini, pada detik dan saat itu aku membualatkan tekadku. Secepat yang kubisa, kumundurkan tubuhku. Melompat sedikit ke depan dengan tangan kanan yang terulur sepanjang yang kubisa, mengepalkan tanganku pada titik yang sangat keras dan menyakitkan, hingga pukulanku mencapainya.—

Pipi bajingan yang sudah membiru terkena hantaman yang kuat, sekuat kuatnya pada batas yang dapat kuberikan. Bajingan yang satu lagi begerak karena reflek, mencoba menangkapku tapi aku berhasil melompat mundur sebelum itu.

"Tolong, siapa pun, jika pertolongan itu datang, dan keajaiban memang ada, kumohon, kumohon... tolong, selamatkan kami..."

Aku terus berharap. Menggerakkan tubuhku. Melihat pada celah yang sempit, menendang bagian yang terapit di antara kedua kaki bajingan itu. 'CTAK!!' meskipun aku yakin tenagaku tidak akan cukup untuk menghancurkannya, rasa sakit yang bajingan itu derita akan jadi sesuatu yang tidak dia lupakan untuk beberapa hari ke depan.

"AAARRRGHH!!"

Bajingan satu lagi berteriak ke arahku. Suara yang keras itu bergema melalui dinding. Kali ini, dia berhasil manangkap pergelangan tangan kananku.

"Tolong... siapa pun tidak masalah. Kumohon datanglah... selamatkan kami..."

Dengan sedikit harapan, aku memohon dalam lubuk hatiku pada seseorang yang mungkin tidak pernah ada. Tangan bajingan yang terasa kasar itu memegang pergelangan tangan kananku dengan kekuatan yang jauh berada di atasku. Tidak bisa dilepas. Tidak bisa dilepas tidak peduli sekeras apa pun aku berusaha. Tidak peduli sebanyak apa pun tenaga yang kukeluarkan. Dan tidak peduli sebanyak apa pun aku mencoba. Bajingan satu lagi menampakkan kemarahan pada matanya. Setelah rasa sakit yang sudah agak mereda, dia meneriakiku,

"Pegangi dia! Akan kuikat dia dengan tiang!"

Bajingan yang memegangiku mulai menyeretku menuju bagian dalam ruangan dimana sebuah tiang basket berdiri. Sedikit, 10m dari sini. Aku menggerakkan tubuhku sekuat tenaga, meronta-ronta dan meneriakkan sebuah kata permohonan, "Lepaskan! Lepaskan aku!" mereka hanya tersenyum. Hanya ada satu kata untuk menjelaskan senyuman seperti apakah itu—"Menjijikkan"

"Hahahahahaha! Tenang saja, Alice. Kami akan membuatmu senyaman mungkin sebentar lagi!"

Sekali lagi aku meronta sebisaku. Orang yang menyeretku menunjukkan reaksi ketidaksabaran.

"Sebaiknya kaudiam, atau.... arrrghh!!"

Bajingan itu memukul punggung leherku dengan telapak tangan yang dibentuknya menjadi datar. Suatu adegan yang mirip dalam film laga tersebut membuat kesadaranku perlahan menghilang. Perlahan. Perlahan. Pandanganku mulai kabur. 'Maaf.. Hugo...' hanya sebuah kalimat pendek itu menjadi sesuatu yang sangat ingin kukatakan, pada seseorang yang terbaring lemah di sebelah sana, Hugo Astin, setelah mengorbankan dirinya untuk melindungiku. Dan untuk terakhir kalinya, aku akan memohon pada sesuatu yang disebut sebagai [keajaiban]. Menutup mataku dan mengatakannya dengan penuh harapan di dalam hatiku, 'seseorang... tolong aku...?'

"Ha~ah... aku heran kenapa diluar sini ribut sekali... hey, kalian merusak cahaya bintangku, tahu."

Aku melihat bayangan seseorang di depan pintu. Akal, nalar, otak, kugunakan seluruh kesadaranku yang tersisa untuk memproses sebuah arti dari tindakan, situasi dan sebuah kejadian yang baru saja terjadi. Namun setelah satu, dua, tiga detik, sebelum mendapatkan jawaban apa pun, aku menutup kedua mataku.

***

Gelap. Ya, kegelapan-—Hanya satu kata itulah yang dapat mewujudkan perasaanku ke dalam sebuah kata. Aku tahu apa yang akan kalian pikirkan—'Tidak mungkin aku sudah mati' iya kan? Kukira juga begitu. Tapi semakin banyak dan dalam aku memikirkannya, hanya suatu kegelapan itulah yang akhirnya kudapatkan. Atau mungkin yang kulihat sebenarnya hanya kelopak mataku— aku tidak tahu

Hugo Astin-—Nama itu untuk sejenak terlahir di dalam otakku. Hugo, orang itulah yang telah melindungiku dengan segenap tubuhnya, dan tanpa ragu membahayakan dirinya. Aku ingin melihatnya—Tapi aku tidak merasakan sensasi sebuah kelopak mata yang dapat kubuka. Jika aku menggunakan tanganku, mungkin aku akan bisa membukanya dengan paksa—Tapi aku tidak merasakan sensasi sebuah tangan yang dapat kugerakkan. Jika aku membuka mulutku,

mungkin aku bisa meminta seseorang untuk membangunkanku—Tapi aku tidak memiliki cukup tenaga bahkan untuk mengucapkan kata-kata.

Menjengkelkan, yah? Bagiku yang tidak bisa menolong satu-satunya sahabatku... orang macam apa aku ini?

Cahaya-—Seberkas cahaya yang redup itu perlahan membasahi pandanganku.

Sebuah bintang, kenapa tiba-tiba aku memikirkan kata itu, ya? Cahaya yang bersinar redup itu mengingatkanku pada sesuatu yang disebut sebagai 'bintang'.

Sejak dulu, tidak pernah sekalipun kumemiliki ketertarikan khusus pada benda langit yang satu itu. Kenapa? Kenapa kali ini aku memikirkannya?— waktu itu, sebelum kesadaranku menghilang, apakah seseorang menyebutkan kata itu, bintang—Apa benar begitu? Mungkin saja itu hanya bagian dari ingatanku yang mulai kabur, atau sesuatu semacam itu.

Aku tidak tahu apa pun yang terjadi setelah itu. Aku tidak tahu apa saja yang sebenarnya telah terjadi kepada diriku, Hugo, dan seseorang yang datang memasuki ruangan pada waktu itu.

Aku ingin tahu semuanya. Aku ingin mengerti semuanya dan menjadi lega. Pada saat aku memikirkan hal yang tidak berguna, sebuah bintang—Ah, bukan, cahaya—Mulai mengisi bagian-bagian dari pandanganku. Akhirnya aku merasakan sensasi kelopak mata, tangan dan mulut yang sebelumnya tidak dapat kugerakkan. Melalui semua hal yang akhirnya kudapatkan kembali, aku membuka mataku. ~~~~

"Oh, kausudah bangun? Sebenarnya, aku hampir saja akan memanggil seseorang untuk menggantikanku."

Lagi. Suara orang itu terdengar sekali lagi. Aku mengalihkan pandanganku 90 derajat kanan—pada sumber suara itu.

"Woaahhh~!!"

Wajah pria itu hanya sejauh 1,5cm dariku. Dengan reflek yang sangat cepat kutarik tubuhku ke belakang satu, dua meter menjauhi pria itu, menempatkan diriku pada ujung sebuah kasur yang sedikit keras—tidak, tunggu... ujung, sebuah, apa? Tidak tidak tidak. Aku menggelengkan kepalaku empat, lima kali sebelum pikiran-pikiran buruk itu dengan cepat melintasi otakku. Kenapa? Kenapa ada kasur? Apakah-barusan-laki-laki-di depanku itu... melakukan... arrrrghhh!!

"Hey, ada apa, tidak enak badan? Wajahmu merah tuh."

Pria itu mendekatkan mukanya padaku, meneliti wajahku seolah itu adalah hal yang paling wajar di dunia. Dan, dengan rasa malu yang lebih banyak merasuki diriku, mewarnai seluruh kepalaku menjadikannya bersemu dalam warna kemerahan padam--

'Kruuuukkk~' Sesuatu yang memalukan dan tidak dapat kupercayai terjadi, bunyi nyaring tersebut terdengar dari perutku. Warna merah pekat yang seperti tomat menguap dari leherku menuju atas, berhenti di ujung ubun-ubunku. Dipenuhi dengan perasaan yang memalukan—Aku menamparnya— pria itu terlempar beberapa meter di depanku.

Aku tahu bahwa apa yang baru saja kulakukan adalah tindakan yang buruk dan sangat tidak beralasan, namun sebelum aku sempat meminta maaf, dia tertawa.

"Ahahahahaha~ seharusnya kaubilang saja. Aku punya mie instan di sebelah sana."

'Aku ingin pulang' 'aku ingin pulang dan segera tidur'. Tetapi pernyataan itu hanya mengingatkanku pada sesuatu yang harusnya menjadi prioritas.

"Hugo...! Orang berambut pirang yang bersamaku tadi! Dimana dia?! Hey!!"

Aku menanyakannya dengan suara yang keras, sebelum dia menunjuk pada sebuah sofa yang kelihatan lebih empuk dibanding kasur yang saat ini kutempati, sebuah tempat di sebelah timur. Aku mengikuti arah yang ditunjuknya dengan mataku, 45 derajat di kiri.

Terbaring di tempat itu, Hugo Astin, teman masa kecilku, tertidur dengan lelap. Menyadari bahwa semuanya baik-baik saja, aku merasakan sebuah perasaan lega yang menyelimutiku. Mungkin... dia, orang itu tidak seburuk seperti apa yang aku pikirkan.

"Ada hal yang ingin kupastikan."

"Hm?"

Aku merasakan keraguan untuk menanyakannya. Tetapi ada hal yang ingin, dan seharusnya kupastikan. Aku menatap mata pria itu, yang terduduk dalam posisi kaki kiri terulur ke depan dan kaki kanan sebagai sandaran untuk tangan yang hanya 10cm dari wajahnya yang seolah akan tertawa kapan saja, bersandarkan pada sebuah sisi dari lemari tua.

"Sa-saat aku pingsan tadi... apa-"

Suaraku terpotong-potong, seolah tenggorokanku sedang dalam keadaan yang akan kamu bilang sebagai sesuatu yang tidak begitu baik. Tetapi dengan mengumpulkan keberanian sekali lagi, aku melanjutkannya.

"A-apakah kamu melakukan sesuatu yang lain?"

"Sesuatu... sesuatu seperti apa yang kamu maksud?

"I-itu... seperti... melakukan sesuatu pada tubuhku."

Suaraku merendah pada bagian-bagian akhir. Aku tidak yakin apakah itu masih dalam batas yang dapat dia dengar atau tidak. Tetapi pria berkacamata yang belum memperkenalkan dirinya itu terlihat sedikit bingung.

"Hn-hn"

Dia menahan tawanya untuk dua detik, kemudian melepaskannya dengan keras.

"Ahahahahaha~!"

"Ja—Jangan menertawakanku!"

Pada suatu waktu yang menjengkelkan seperti ini, warna kemerahan padam akan kembali bersemu menghiasi mukaku. Hu~uuuh! Menyebalkan, ya, ini menyebalkan! Orang ini sungguh saaaangat menyebalkaaan!

"Hahahah... iya, maaf maaf, aku tidak bisa mengikuti suasananya... Jadi melakukan, apa? Kenapa kamu tidak mencoba mengeceknya sendiri?"

Aku menggetarkan tubuhku "Ku-bi-lang...." tubuhku bergetar dalam kejengkelan yang barangkali sudah dalam tingkatan yang paling tinggi yang pernah kurasakan seumur hidupku.

"JANGAN MELEDEKKUUUU~!!!"

Aku mencoba melempar barang-barang yang ada di dekatku, namun hanya terdapat dua bantal di atas kasur. Meskipun ada beberapa benda lain yang dapat kulempar, mereka adalah gelas kaca dan vas bunga yang tidak terlintas pemikiran untuk melempar mereka.

"Haha iya iya, tidak akan kuulangi lagi. Yang kulakukan cuma menghajar dua orang brengsek itu dan membawamu dan temanmu ke ruangan klub ini. Sungguh, cuma itu. Jika kamu masih mau menanyakan hal yang lain mungkin itu adalah memasak mie instan, menyeduh teh hijau atau mengamati bintang?"

Kali ini, aku tidak tau apakah firasatku dapat kupercayai atau tidak, tetapi senyuman yang sederhana itu memberiku ketenangan. 'Orang ini tidak berbohong' dan, 'orang ini tidak berbahaya, dia orang yang baik', aku mempercayai pemikiran itu.

"Begitu. Aku percaya kata-katamu, dan meskipun ini agak sedikit terlambat, aku ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu, maaf karna memperlakukanmu dengan tidak sopan."

"Tidak, kautidak perlu berterima kasih begitu. Dari awal aku hanya ingin menghajar mereka karena mengganggu pengamatan bintangku, itu saja."

Aku tahu ada berbagai jenis dan sifat manusia di dunia ini, dan di antaranya adalah 'kerendah hatian', atau begitulah aku menilainya.

"Tapi tidak bisa begitu. Meskipun kamu tidak mempunyai alasan apa pun untuk membantu, kamu bahkan sampai membawa kami ke tempat yang senyaman ini. Aku tidak akan bisa tidur tanpa berterima kasih."

Kutundukkan kepalaku tanpa peduli pada harga diri apa pun. Meskipun aku tahu, hal itu tidak cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihku. Pria yang ada di depanku ini tidak salah lagi adalah seseorang yang baik. Aku tidak suka dengan seseorang yang jahat ataupun kriminal, dan masih banyak lagi mereka yang baik hati di dunia ini.

Namun, seseorang barangkali akan berkata "Kenapa? Kenapa kamu melakukan itu meskipun kamu tidak mengenal mereka dan tidak akan mendapatkan apa pun dan kamu tetap akan melakukannya? Apakah kamu mempunyai sebuah alasan khusus yang mendasari hal itu?" aku sendiri tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut.

Itu mungkin dikarenakan aku, Alicia Bluesky adalah seseorang yang dingin dan tidak peduli dengan orang lain. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak beralasan seperti itu pada orang lain, apalagi jika orang itu adalah seseorang yang sama sekali tidak kukenal, tentu saja Hugo Astin dan keluargaku adalah pengecualian. Namun, lelaki itu mampu memberiku sebuah jawaban yang kucari selama ini.

"Alasan, huh? Aku tidak membutuhkan hal yang serumit itu untuk melakukan sesuatu. Aku tidak punya alasan apa pun untuk menolongmu dan juga temanmu. Tapi memangnya kita harus punya alasan untuk menolong orang lain? apa salahnya kalau kita menolong orang lain tanpa alasan? Apa sesuatu seperti 'tubuhku bergerak sendiri' tidak cukup untuk menutupi alasanmu?"

Pria itu melihatku seolah aku adalah orang terbodoh di dunia. Meski begitu matanya yang memandangku tidak memberikan tekanan sedikitpun. Ya, aku, Alicia Bluesky adalah orang terbodoh di dunia, yang tidak dapat menyadari hal yang sesederhana itu. Kukuku~ orang ini membuatku ingin mengina diriku sendiri. Meski begitu aku menanyakan sesuatu yang sudah sangat terlambat

"Boleh... apa boleh aku tahu namamu...?"

Dia, menggerakkan badannya yang seolah telah menyatu dengan alam perlahan. Melihatku dengan senyuman yang agak sombong, dan berkata:

"Kelas sebelas, ketua klub astronomi, Aria Horizon."

Aku terdiam sebentar, tertawa kecil, dan berdiri mengikutinya.

"Kelas sepuluh, tidak mengikuti klub, Alicia Bluesky."

Menyelesaikan sebuah perkenalan yang angkuh, kami tertawa bersama

Berkat itu Hugo terbangun dari tidurnya. Setelah melalui malam yang panjang, aku, Alicia Bluesky dan teman masa kecilku, Hugo Astin, telah resmi menempati tempat kedua dan ketiga klub astronomi.

~**~

23:00, 15 Agustus 2022.

Aku membawa Aria menuju suatu tempat yang agak jauh dari tiga orang yang lain.

Sebenarnya, ada alasan kenapa aku harus melakukan ini pada hari ini.

Bulan Mei tahun 2022, ketua klub astronomi kami, Aria Horizon, akan meninggalkan jabatannya untukku. Tahun ini adalah tahun ketiganya di SMA, dan tahun keduaku yang satu tingkat di bawahnya. Sebelum Aria mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian dan sebelum aku menjadi lebih sulit berbicara lagi dengannya, aku bermaksud untuk melakukan ini. Aku akan mengatakannya.

Meskipun aku pikir begitu, Aria adalah orang yang sangat berpotensi di sekolah, dalam hal akademik lebih tepatnya. Dia adalah orang yang tidak menyukai sebuah kata yang sangat penting bagi seorang pelajar: 'belajar', meski begitu nama Aria Horizon seringkali tercatat dalam 3 peringkat teratas untuk ujian-ujian yang ia ikuti. Dan aku juga pernah dengar soal dia yang sering tidur saat kelas sedang berlangsung, dan tidak jarang juga aku menemukannya sedang membolos di atap sekolah. Karena itu aku tidak terlalu khawatir soal ujiannya.

Tetapi aku tetap tidak boleh menjadi egois. Aku tidak boleh membebani ujiannya dengan pikiran-pikiran yang tidak penting. Dan karena itu, aku mengatakannya saat ini....

"Aku menyukaimu."

Angin berhembus sekali lagi. Memandang laki-laki yang tetap tenang seolah suhu dingin ini tidak sedikitpun mempengaruhinya. Meskipun aku tahu jawaban seperti apa yang akan dikatakannya. Meskipun aku tahu ekspresi seperti apa yang akan dia tunjukan. Dan meski, meskipun aku tahu aku tidak akan pernah bisa meletakkan tanganku pada sebuah tempat yang sangat kuinginkan itu. Karena--

---Satu tahun yang lalu, semenjak aku bertemu dengannya pada malam di hari itu, aku selalu mengikutinya... dan entah sejak kapan, tanpa kusadari, perasaan ini tumbuh. Tapi dalam masa satu tahun itu juga, aku menyadari bahwa 'dia menyukai orang lain'.

"Hakuharu Kyoka", teman masa kecil Aria yang juga adalah ketua dari klub berkebun sekolah. Dia adalah orang yang selalu ceria, bersemangat, antusias dan tentu saja baik hati. Aku juga menyukai gadis itu, dalam arti yang berbeda dengan Aria. Tatapannya, tindakannya, juga perlakuannya saat menyangkut Kyoka sama sekali berbeda dengan orang lain, sama sekali berbeda denganku. 'Dia menyukai Kyoka.' Dengan pemikiran itu, aku mengatakannya. Aku mengatakannya sekali lagi.

"Aria, aku menyukaimu."

Dalam waktu yang tenang dengan sedikit angin dingin, kegelapan malam dan cahaya bintang yang menemani kami pada saat ini, dia tersenyum, menggelengkan kepalanya perlahan dua, tiga kali, membuka bibir tipisnya dan berkata:

"Maaf, ada seseorang yang kusukai."

Aku tahu itu. Aku harus kuat, aku tidak boleh egois. Senyuman lemah Aria memberiku kekuatan, matanya yang hangat membuatku merasa tenang. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatiku, pada sebuah tempat yang sangat jauh di dalam sana, sesuatu, sesuatu itu memberiku perasaan yang lain— 'rasa sakit', rasa cintaku pada Aria memberiku perasaan sakit, menguap dalam bentuk cairan hangat yang membasahi mataku, mengalir melalui pipiku, mengubahnya dalam bentuk tetesan yang disebut dengan air mata. Aku menangis...

Kemudian tersenyum. Tersenyum yang lebar. Pada waktu ini aku harus tersenyum. membuat senyuman selebar yang kubisa, dan melihatnya sekali lagi.

Angin berhembus melewati rambutku. Awan yang menutupi langit menghilang. Bintang dan bulan menyinari kami dengan bangga. Dan dalam momen yang tak tertahankan, aku mengatakan sesuatu yang sudah pasti padanya.

"Ya... aku tahu..."

~**~

—Aria Horizon POV -

Di dunia ini manusia selalu dibagi menjadi dua: mereka yang meninggalkan orang lain dan mereka yang selalu ditinggalkan oleh orang lain—Pernyataan seperti itulah yang selama ini kupikirkan.

Pada suatu waktu, langit malam yang luas itu akan membuatmu berpikir tentang galaksi luas yang tersembunyi di belakangnya.

11 Agustus 2022.

Bulan purnama yang bersinar putih keperakan itu bahkan tidak akan cukup untuk membuatmu merasa tenang di saat seorang juniormu yang sangat manis menembakmu di bawah langit dengan taburan bintang yang indah.

Alicia Bluesky, aku bertemu dengannya satu tahun yang lalu, dan sejak saat itu, dia terus mengikutiku. Waktu yang berlalu dalam satu tahun itu mengubah hampir segala hal tentangnya. Dia mulai lebih terbuka dan bersosialisasi dengan orang lain, memperhatikan tatanan rambutnya dan mulai menggunakan shampo yang berbau wangi. Dan tanpa kusadari, sebuah fanclub Alice dibentuk. Beberapa orang yang mengakui dirinya sebagai fanclub Alice bertambah mencapai hampir tiga digit angka.

Dan gadis yang disebutkan itu membawaku dan mengatakan kalimat yang pendek padaku.

—Aku menyukaimu.

Sebenarnya aku adalah orang yang cukup hebat sampai sanggup menjaga ketenanganku hingga saat ini. Jika tubuh manusia bisa menunjukkan sebuah komposisi yang digunakan untuk membuatnya, mungkin akan tertulis 100% gula dan 1.000 % madu pada tubuh Alice. Dan jika ditanyai tentang bagaimana penampilan luarnya, 2 dari 10 orang akan menjawab dengan 'imut', tiga orang menjawab 'sangat imut', empat orang mengatakan 'saaangaaat imuuuut' dan sisa satu lagi akan dengan tenang menjawab 'maaf, dok, aku diabetes.'

Dengan sebuah tangisan dan juga air mata, orang yang terlibat memandangku. Aku berusaha menenangkannya, mempertahankan senyumanku, mengelus kepalanya dan melihatnya dengan hangat.

"Mau pulang sekarang?"

kukatakan kalimat yang pendek itu. Alice menundukkan kepalanya dengan risak tangisan tanpa melihatku, dan akupun tahu itu bukanlah tanda persetujuan. Seketika, tubuhku bergetar dengan kuat, atau lebih tepatnya, sesuatu membuatku seperti itu—Alice mengayunkan tubuh bagian atasnya ke depan, kepalanya menabrak dadaku, berkata:

"Tolong biarkan seperti ini dulu sebentar. "

Aku menyadarinya. Aku juga tidak akan membiarkan anggota yang lain melihat kami seperti ini, jadi akupun mencoba membuatnya merasa lebih tenang. Kemudian aku melingkarkan tangan kananku pada lehernya dan mengelusnya dengan tangan kiriku. Setelah itu menghadap ke atas, pada lautan bintang di langit sana.

"Lihatlah ke langit, Alice. Masa depan itu terbentang sebanyak lautan bintang di atas sana."

Tiba-tiba aku mengatakan kalimat yang bersifat astronom pada Alice. Dan gadis itu, Alice mengikuti arah yang kulihat, ia membuka mulutnya.

"Apa seseorang yang Aria suka itu... Kyoka?"

---Apa? Sesuatu seketika menancap di dadaku. Apa yang gadis ini katakan? Apa-seseorang-yang-kusukai-itu-kyo-Kyoka?! Aku sedikit menunjukkan reaksi terkejut. Tapi aku tetap harus menjawabnya dengan benar.

"He-ehm... begini, itu... iya...Kyoka, dia orangnya."

Aku telah berusaha menenangkan diriku, namun hanya mampu mengatakan kalimat penjelas yang ambigu seperti itu. Alice tertawa kecil.

"Jadi begitu ya... begitu... tapi kudengar ada rumor tentang Kyoka menyukai seseorang di klubnya, apa kamu tahu sesuatu tentang rumor itu, Aria?"

Ya, sebenarnya aku cukup tahu soal rumor itu, bahkan, pernah juga pada suatu waktu aku mencoba menanyakannya kepada Kyoka. "Eh, kenapa kamu menanyakan hal seperti itu?" pertanyaanku malah membuatnya merasa tidak nyaman, karena itu aku tidak pernah menanyainya lebih jauh lagi. Dan untuk menjawab pertanyaan Alice aku menyiapkan sebuah makna tersirat pada kalimat yang jauh lebih ambigu lagi, memandang ke arah langit yang berbintang.

"Aku tidak tahu apa pun tentang masa depan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku, Kyoka, Alice ataupun yang lainnya. Tapi jika masa depan yang ideal itu memang ada, mungkin saja itu adalah saat dimana aku hidup bahagia bersamanya, apa aku salah?"

Alice memandangku dengan bingung, memproses data dari kata-kata yang kuucapkan, dan kemudian, mengambil maksud tersirat dari apa yang kumaksud. Tapi kata-kata yang Alice katakan selanjutnya bahkan jauh lebih tidak terduga lagi, dia tertawa kecil.

"Jadi begitu... artinya jika masa depan yang ideal itu memang ada, mungkin saja itu adalah sebuah tempat dimana Aria dan aku hidup bersama, dalam sebuah rumah yang sederhana di suatu desa kecil di sebuah tempat... hidup bersama dengan Aria... dan mempunyai anak...-—Hey, kamu mau punya berapa anak?"

"Huh?"

Aku menundukkan kepalaku dalam rangka menambah fokus dan konsentrasi untuk segera memproses semua kalimat itu. Melihatnya yang tengah tersenyum, aku tidak tau sejak kapan air mata itu tersapu. Dalam senyuman yang menyegarkan, dia melanjutkan,

"Aku ingin mempunyai dua orang anak, anak pertama adalah seorang laki-laki yang baik seperti Aria, yang akan melindungi adiknya setiap saat, dan anak kedua adalah seorang gadis yang cantik yang akan selalu mengikuti kakaknya setiap waktu—Hehem~ dan mungkin suatu saat, ketika mereka berdua sudah tumbuh besar, mungkin, anak-anak kita akan mengingatkan kita pada suatu waktu ketika kita hanya berdua seperti ini. Mereka akan memanggilku dengan mama~ , dan Aria dengan papa~. Tidak perlu dalam tempat yang mewah juga tidak apa-apa. Masa depan yang kuimpikan adalah tempat dimana aku membentuk sebuah keluarga yang bahagia denganmu, Aria."

Gadis ini mengatakan sesuatu yang sangat melebihi ekspektasiku. Aku tidak tahu apa 'sebuah tempat' itu memang benar-benar ada atau tidak, tapi seseorang yang mengatakan soal kemungkinan di masa depan itu tidak lain adalah aku, dan seseorang yang membuat kemungkinan-kemungkinan seenaknya sendiri pertama kali jugalah aku. Tetapi apa yang dia katakan dan apa yang sebenarnya ingin kubahas adalah sesuatu yang benar-benar berbeda. Meskipun begitu aku tidak bisa menyangkalnya seenakku saja. Aku tidak bisa hanya tertawa dan mengatakan 'heeh~ begitu ya?' ataupun memujinya dengan kalimat 'itu mimpi yang indah'.

Aku menundukkan kepalaku ke bawah, menatap gadis itu yang masih tetap dalam pelukanku. Alice memandang ke atas, melihat pada mataku yang juga tengah melihatnya. Rambut pirang dan pupil kecoklatan itu mengingatkanku pada sesuatu yang akan kamu sebut sebagai 'Benua Eropa', dan sebenarnya, memang di tempat itulah gadis ini lahir.

Alicia Bluesky, bersama dengan seorang temannya yang berasal dari benua yang sama, Hugo Astin, pindah ke sini pada musim dingin lima setengah tahun yang lalu, pada tahun 2017 di pertengahan bulan Februari di kala mereka berdua masih dalam tahun pertama SMP mereka.

Pada saat itu, Alice melepaskan pelukannya. Mengikutinya dua setengah detik kemudian aku melihat gadis itu selama dua, tiga detik dengan ekspresi yang menyiratkan sebuah tanda tanya. Dia membuka mulutnya, bibir tipis itu mulai mengeluarkan kata-kata:

"Terima kasih... Aria... mau pulang sekarang?"

Sekali lagi gadis itu tersenyum, lebih lebar, matanya yang tertutup menyiratkan sebuah keimutan. Rambut pirang yang terlihat lembut itu melambai beberapa kali dihembuskan oleh angin. Aku menjawabnya.

"Iya..."

Dan begitulah bagaimana kenangan yang tak tertahankan itu berakhir.

~**~

Kami kembali ke tempat yang sebelumnya, dimana anggota ketiga klub astronomi, Hugo Astin, juga dua teman masa kecilku, Hakuharu Hajime dan adiknya, Hakuharu Kyoka tengah melaksanakan kegiatan pengamatan bintang dengan seksama.

"Hajime, siapkan mobilnya. Hugo, kemasi barang-barang. Kita pulang."

"Haha, akhirnya kalian kembali juga."

Hugo mengamati kami sebentar sebelum membuat sebuah tawaan.

"Hoho~ selamat datang. Telat 10 menit lagi akan kutinggalkan kauberduaan dengan pacar barumu."

Hajime melirik kami, menarik sebuah garis pada bibirnya dan membuat sebuah senyuman mengejek. Dua orang di antara kami bereaksi pada perkataan itu. Kyoka yang tengah menempelkan sebelah matanya pada teropong seketika melirik kami, dan Alice yang sedikit membentak Hajime mengecatkan warna kemerahan padam pada wajahnya.

"Siapa yang!!—pa, pacar... itu.. aku—"

Suaranya semakin menurun pada bagian akhir.

"Sebaiknya kautidak mengatakan itu kepada seseorang yang mempunyai hampir ratusan fanclub ini. Atau kauakan mendapati sepatu indoormu menghilang untuk beberapa hari ke depan." kataku.

Merespon perintahku, Hajime dan Hugo bergerak. Hajime menghampiriku dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

"Hey hey, kupikir akhirnya kaudapat seorang pacar."

Pernyataan yang sangat jelas itu membuatku sedikit geram. Aku memukul pundaknya dalam suatu tingkatan tenaga yang bahkan tidak dapat disebut sebagai sebuah pukulan. Aku berbisik juga.

"Apa yang kaubicarakan? Orang yang bahkan jaaaauh lebih manis dibanding gula bermerk terkenal ini mana mau dengan orang sepertiku."

"Itulah yang ingin kukatakan, apa itu 'orang sepertiku'? harusnya kaudapat lebih memahami daya tarikmu."

Di tengah malam yang panjang, kami pulang menaiki sebuah mobil yang juga diset jumlah bangkunya menjadi lima. Ada banyak alasan kenapa kegiatan klub astronomi ini selalu mengundang dua orang yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan klub astronomi. Hakuharu Hajime adalah seorang ketua dari klub memanah, dan Hakuharu Kyoka juga ketua dari klub berkebun.

Ada beberapa alasan di balik penyertaan mereka berdua, salah satunya karena dari sekian banyak orang yang kukenal, Hajime adalah salah satu dari sedikitnya yang memiliki SIM untuk mengemudikan sebuah mobil, karenanya supir resmi kami itu menduduki bangku pengemudinya dengan bangga.

Duduk di kursi sebelahnya adalah adik perempuan Hajime, orang yang selalu menunjukkan antusiasme dan keingintahuan itu tidak lain lagi adalah Kyoka. Mengikutinya di kursi belakang, Alice mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan dirinya dalam pembicaraannya dengan Kyoka.

Duduk di sebelah Alice, diriku sendiri yang terkadang memandangi dua gadis yang sedang mengobrol tersebut dari samping dan belakang mereka. Dan di sampingku yang baru saja mengeluarkan ponselnya, Hugo mengetikkan sesuatu di dalamnya.

—Kriiiiing

Ponselku berbunyi, getaran pelan dari kantungku menandakan sebuah pesan. Aku mengambilnya, membuka, dan melihatnya "hey, jadi kaumenolaknya? Alice." nama dari pengirim pesan yang seolah tahu segalanya itu tidak lain adalah Hugo Astin, tercatat di sebelah sana.

Aku meliriknya selama satu, dua detik, sebelum reaksi yang sama dari ponselku terjadi untuk kedua kalinya. "Hahaha, aku tahu apa yang kaupikirkan, sebenarnya aku sudah tahu tentang itu dari pihak terkait yang satunya." Begitu... jadi begitu. Jadi begitulah. Aku paham. Menggerakkan jari-jariku secepat yang kubisa, aku mengetikkan sesuatu untuknya "aku merasa tidak enak karena menolak perasaan yang setulus itu. Tidak salah lagi dia adalah gadis yang baik."

Ponselku berbunyi sekali lagi, kali ini aku mengaturnya dalam perintah 'getar saja', lalu membuka pesan yang berisi:

"Sebenarnya aku menyukainya."

--Seketika, kupalingkan mataku pada seorang pria di sebelahku. Aku terkejut dan ada hal yang ingin kukatakan padanya, tapi ponselku telah mematerialisasikan sebuah getaran pelan, dalam pesan berikutnya dia berkata, "itu sudah lama sekali. Tidak salah jika kubilang itu alasanku untuk pindah kesini; mengikutinya."

Pesan berikutnya datang , "Maaf, seharusnya aku tidak membicarakan ini."

Kami berhenti di lampu merah, menunggu hitung mundur untuk segera menjadi hijau. Aku memikirkan sesuatu untuk membalasnya. Sekitar 12 detik yang terlewati, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Namun sebelum sempat mengubah sesuatu yang sangat ingin kukatakan ke dalam susunan huruf dan kata-kata, sesuatu yang janggal dan tidak mengenakkan terlihat.

-—Sebuah truk beroda enam mendekati mobil kami dengan kecepatan yang melebihi batas 70km/jam. Segera--—Dengan kecepatan yang nyaris melampaui mataku.--

Suara tabrakan logam keras telah menjadi skenario terburuk yang tidak mungkin dapat kami hindari.

TRAAAKKKKKK!!!!

Truk yang menghantam mobil kami memberikan dampak yang tidak sedikit. Aku tidak punya waktu untuk memastikan apakah dua orang di kursi depan berada dalam kondisi yang baik-baik saja. Tapi beruntungnya aku sempat memeluk dua orang di sampingku, menghindarkan mereka dari naskah terburuk yang disebut dengan 'kematian'. Tapi tubuhku sendiri sudah terlalu sulit untuk menolak sesuatu yang tidak melawan takdir kehidupan itu.

Dengan kata lain, aku dalam keadaan yang dapat kamu bilang sebagai sesuatu yang benar-benar sangat buruk. Dan sebentar lagi, entah itu dalam hitungan menit atau detik, entah itu hanya 20 detik atau 10 detik—Aku akan mati. Aku akan meninggalkan juniorku yang sedang kupeluk. Aku akan meninggalkan dunia ini pada usia ke 18-ku sebagai Aria Horizon. 'aah~ mati seperti ini tidak buruk juga.' Tiba-tiba aku memikirkan itu.

"ARIA!!!"

Aku mendengar suara Alice memanggilku. 'Ada apa, Alice? Kamu tidak terluka, kan? Hahaha.' Sangat ingin rasanya aku tertawa seperti itu, tapi aku tidak yakin apakah sisa tengaku masih cukup untuk melakukannya. Melihatnya yang mengkhawatirkanku itu entah kenapa aku tersenyum.

"ARIA!!!"

Sekali lagi, suara itu memanggilku. Isak tangisan turut terdengar dari gadis itu. 'Kenapa, juniorku? Apakah kamu baik—Baik saja? kenapa kamu menangis? jangan khawatirkan aku, syukurlah jika kamu baik-baik saja'

"HEY!! ARIA!!"

Kali ini adalah juniorku yang satunya, Hugo memanggil namaku dengan air mata yang turun membasahi matanya. Hugo menangis. Dia menangisi kepergianku.

Tapi, aku akan benar-benar mengucapkannya kali ini, kata-kata yang belum sempat kusampaikan kepada Hugo sebelumnya. Sesuatu yang sangat ingin kukatakan kepada Hugo pada waktu itu. Aku menatapnya dengan senyuman lemah.

"Hugo, dengarkan aku."

Ekspresinya diwarnai dengan sesuatu yang disebut sebagai perasaan cemas dan penuh kekhawatiran. Hugo melihatku dengan mata sedih.

"Apa... apa... Aria...?"

Sebisa mungkin, aku tetap mempertahankan senyumanku yang seolah akan pudar kapan saja itu, juga dengan mempertahankan kelopak mataku yang terlihat akan kehilangan kesadarannya kapan saja. Dan diriku sendiri, yang akan segera kehilangan 'cahaya bintang'-nya pada suatu waktu yang tak tertahankan ini. Membentuk susunan kata yang akan menjadi kalimat terakhirku untuk Hugo.

"... Tolong, Hugo... ... jaga Alice untukku."

Hitung mundur berakhir. Tanggal 15 Agustus 2022, Aria Horizon mati meninggalkan dunia ini.

—Chapter 00 : Prolog End –


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login