Download App

Chapter 7: 05 : Glowing-shimmering-splendid

Keberadaan foto ini membuat Cakra terhenyak tentu saja. Dia sampai beberapa kali mendongak, melihat ke arah pria yang sedang berbaring di sana sebelum menatap lagi wajah bocah di dalam foto itu. Ini memang Wijaya. Dia berada dalam rengkuhan seorang lelaki yang tampak 10 tahun lebih tua, dengan dua orang tuanya sedang membuat love menggunakan tangan. Mereka tidak berada di Indonesia, jelas. Pakaian yang digunakan suratkan musim dingin. Lalu di belakang keluarga ini ... Menara eiffel?

Tapi foto ini ... foto berapa tahun yang lalu?

Cakra sedikit ingin tahu jujur saja. Namun rasa kepo ini luntur begitu dia tak sengaja melirik foto di pigura kedua—kolase fotonya.

Detik itu juga fokus Cakra teralih.

Ia terdiam, mukanya tak terbaca. Lurus dia tatap dirinya sendiri di dalam pigura itu. Ada 5 gambar dia dan semua bertambang jutek, jengah, illfeel. Benaknya melayang ke kala itu. Diam dia mengingat, hingga telinganya menangkap suara batuk Jay, membuat Cakra sadar dengan tujuannya.

Maka, matanya bergerak lagi, mencari obat demam yang dimaksud. 'Ah,' Cakra bergumam pelan dalam hati saat menemukan sebungkus obat penurun demam berwarna pink dan ungu. Meraihnya dari dalam laci yang isinya juga rapi (wow), kemudian ia melangkahkan kakinya kembali ke arah Wijaya. Namun sebelum dua langkah terambil, dia terdiam sejenak. Manik coklat melirik ke sana, ke bingkai coklat yang mengotaki fotonya.

Cakra ingat betul. Foto-foto itu adalah foto saat Wijaya memaksanya untuk kencan di awal hubungan ini. Satu di antaranya, yang tengah, adalah saat ia melakukan kencan pertama dengan si ketua EM universitas depan ini. Kencan pertama yang jujur saja... hancur. Astaga, bahkan kejadian itu tidak cocok disebut dengan kencan! Lebih terlihat seperti Cakra sedang dipermalukan! Yang lainnya juga ... semua ...

Namun kemarin, hujan-hujanan kemarin ... membuat matanya terbuka. Ia salah. Ia akui pandangannya akan Wijaya, kesan pertamanya ... semua salah. Jay tidak pernah secara sengaja, mempermalukannya.

... Cakra jadi sedikit merasa bersalah sekarang. 5 kali kencan dalam kencan itu, meski sejenak, dia melihat raut muka Wijaya sedikit terluka atas sikapnya. Meski berikutnya dia menyeringai mengesalkan dan ... sekejap membuat Cakra menganggap apa yang dia lihat hanya ilusi mata.

Menarik napas, Cakra kembali bergerak. "Ini obatnya, langsung minum sekarang saja, ya?" lelaki berkulit lebih cokelat itu memberikan obat pada Wijaya, sekalian mengisikan air minum yang sudah kosong.

Yang disuruh, kembali mengangguk. Menerima obat dari kekasihnya, mulai membuka bungkus plastik itu. Lalu setelah Cakra memberikan air minum, sang Wijaya menelan obat tersebut. Fyuuh ... bernapas lega kemudian. Setidaknya ia bisa mendapatkan efek placebo dari ini.

"Wijaya aku antar kerumah ya? Istirahatlah di rumah ..." Cakra kembali duduk disebelah lelaki itu, menaruh gelas Wijaya di meja terdekat. Dia tak sampai hati jujur saja melihat Wijaya begini. Namun si korban demam malah menggeleng dan menjawab di tengah senyum lelahnya, "nggak usah. Disini saja ... lagian di rumah sepi."

Jawaban yang kontan membuat Cakra menautkan kedua alisnya. Berikutnya dia memandang Wijaya penuh makna. Juta kelebat rasa bercongkol dan Jay bisa mendapati simpati mendominasi. Sedih. Wijaya hampir saja mengatakan jika 'tak usah pedulikan dia, dia tak akan mati hanya dengan begini' pada Cakra, tapi urung karena tiba-tiba si pemuda berambut arang itu menawarkan sesuatu, "kalau begitu kita kekosanku saja ya?"

Heh?

Kalau sedang sehat ... Wijaya akan langsung jingkrak-jingkrak. Diizinkan nginep di kosan yang selama ini dia ... cuma nunggu di luar saja bro! Bagaimana tidak bahagia?! Namun sedihnya ia tak ada energi untuk itu sekarang.

Seulas senyum merekah di bibir Wijaya. Lemah, dari posisinya dia menggeleng. Lalu sembari mengerang, perlahan dia menidurkan tubuhnya, kini menyamping. Setelah menyamankan posisi seulas senyum kecil tersungging lalu lirih dia membalas, "nggak usah, Cak." Mata hitam tak fokus itu berusaha memandang Cakra, tapi buram, dan berujung akhirnya terpejam. "Aku di sini aja ..." Wijaya sedikit mendorong tubuhnya untuk menempel sandaran sofa, mencari kenyamanan, "nggak ingin ... merepotkan," lanjutnya pelan sebelum akhirnya diam dan menikmati posisi barunya.

Cakra yang melihat hal ini menghela napas. Wijaya benar-benar mengingatkannya pada adiknya. Dan ini yang menjadikan Cakra mengulurkan tangannya, mengelus puncak kepala kawan berstatus pacarnya ini, "ojok mbanggel, Wi. (Jangan bantah, Wi.) Kamu itu sakit," katanya kemudian setelah menghela napas panjang.

Wijaya terkekeh. Dia menikmati usapan ini dan membuatnya jadi ingin makin menggoda Cakra. Memanfaatkan kesempatan dalam kesakitan. Karenanya meski dengan lemah, dia mengetuk pipinya yang terpapar langsung udara dan bergumam, "sun dulu, beb."

Membuat perempatan imajiner mencuat seketika dari kepala Cakra. Kekesalan sesaat meletup. Dan—

Ctaak!

—sebuah sentilan mendarat di dahi Wijaya dengan mulus. Membuat suara mengaduh pelan. Tidak sakit, sih. Kaget iya. "Jangan bicara yang aneh-aneh, Wi." Kemudian Cakra beranjak, mengambil jaket milik Wijaya.

Si kekasih menyerah mendapatkan ciuman, lelaki itu berusaha duduk dalam kondisinya yang payah. Sedangkan Cakra, dengan sigap memakaikan jaket merah itu. Seperti seorang kakak yang mau mengantarkan adiknya kedokter.

"Keburu hujan nanti, Wi," Cakra berujar kembali. Dan Wijaya hanya mengangguk. Menyerah, menurut saja dengan ucapan kekasih rasa temannya.

Kemudian Wijaya berdiri. Berjalan pelan dengan Cakra disisinya. Lelaki dengan tangan lebih kurus itu memenmgang lengan Wijaya, takut-takut terjadi sesuatu.

"Naik mobilku saja ya?" Si manik hitam kelam melirik Cakra. "Motormu dimana?"

Cakra menatap Wijaya, mengerjap pelan. "Iya, pakai mobil kamu saja. Aku nanti bilang ke Imam. Soalnya motorku lagi dipinjam Imam, jadi dia ngga usah jemput aku."

Anggukan pelan diberikan oleh Wijaya. Baiklah ... mereka mulai melangkah perlahan menuju lahan parkir, bersisian, bertautan.

Setibanya di depan mobil Audi berwarna Gray Pearl di sana, Jay terdiam sejenak, membuat Cakra ikut berhenti. Cakra melihat Wijaya, lelaki itu sedang memijit pelipis. Matanya memejam dan tampak jelas sedang menahan sakit. Dan ini membuat, jujur, Cakra panik. "Wi, nggak apa-apa, kan?" tanya Cakra khawatir, mengeratkan cengkraman tangannya.

Pertanyaan yang tak masuk di gendang telinga Wijaya jujur saja, karena dia lebih kepada merasai pening di kepalanya dan berusaha menjaga keseimbangan. Telinganya menuli. Indranya yang lain mati. Semua terfokuskan untuk menahan nyeri. Baru setelah dia merasa lebih baik, Wijaya menoleh ke arah Cakra sambil menarik ke luar remote mobil dan menekan tombol di sana. Saat lampu sein menyala tandakan kunci terbuka, Jay mengendik ke arah kursi penumpang, lalu berkata dengan lemah, "masuklah."

Dan tentunya sebagai yang tertua di situ, pun memiliki jiwa kekakakan yang luar biasa, Cakra menolak. Dia cepat menarik lengan Wijaya yang telah selangkah di depan dan berseru, "aku yang nyetir!" sambil merebut remote di tangan Wijaya dan buru-buru ke sisi pengemudi, mendahului sang empunya Audi.

Wijaya terhenyak melihat ini, sebelum dia terkekeh dan tersenyum kecil. Ia sedang tak ingin berdebat, karenanya dia menurut dan masuk ke dalam kursi penumpang dan memasang seatbelt-nya. Dan dia menunggu mobilnya melesat.

........ hm?

Keheningan pekat dan tak segera bergeraknya sedan supercar ini membuat Jay menoleh ke samping. "Kenapa Cak?" tanya Jay terheran-heran melihat Cakra yang bungkuk-bungkuk dan meraba-raba steernya dengan wajah kebingungan.

"Anu ... bolongan gae kuci ne nandi, Wi? (lubang untuk kuncinya dimana, Wi?)" tanya Cakra kemudian sambil terus mencari.

Pertanyaan yang langsung membuat mata Wijaya berkedip cepat. Gimana-gimana?

"Gimana sih mobilmu ini, Wi? Kuncinya lho dimasukin keman—eh tunggu, kok remote ini nggak ada kuncinya sih Wi? Pencetan (tombol) buat bikin kuncinya naik ke atas mana?" Cakra yang tak kunjung menemukan lubang untuk memasukkan kontak, memutuskan menegakkan tubuh. Dia kemudian bermaksud menunjukkan sisi besi bergerigi pada Wijaya (kalau-kalau si kaya ini tak paham kunci yang dia maksud) hanya untuk kembali bingung dengan tak adanya besi yang dia maksud di kotak kecil yang dia bawa.

Wijaya hanya bisa mengerjapkan matanya melihat ini.

Heh?

Tak hanya itu, mungkin karena udara mulai panas, Wijaya melihat Cakra melupakan kunci sejenak, menoleh ke arah jendela dan mencari sesuatu di sana. Dia memandangi lekat tombol-tombol di situ, satu-satu, dengan seksama. Sebelum akhirnya menyerah, berbalik ke arah Wijaya dan sambil tersemyum elok dia bertanya, "Wi, jendelanya ngga bisa dibuka? Puterannya mana?"

Seketika, bukannya menjawab, Wijaya malag menoleh ke sisi lain dengan mulut terbekap, "pfffffttt!" dan menahan tawa. Namun tak kuasa. Dan berujung ... Wijaya terkakak. Dia tetawa sejadi-jadinya, bahkan sampai kepalanya membentur kaca.

Dan Cakra? Dia masih dengan tampang lempengnya. "Genah e Wi! (seriusan, Wi!)" sergah lelaki itu kemudian, yang membuat Wijaya melepaskan seatbelt, dan mencondongkan badannya ke arah Cakra, meraup bibir tipis di sana. Dia melakukan ini selagi tangannya bergerak ke arah stir dan menekan tombol start di sana.

Sesaat mereka saling memandang, dia bisa melihat Cakra tercekat atas apa yang dia lakukan. Namun tahu diri jika dia kurang fit, Wijaya menarik tubuhnya menjauh. Namun tentu, sebelum dia melakukan itu, tangannya menekan setting kemudi yang berada di stir hingga Cakra tinggal memakainya. Bahkan sebelum dia menghempaskan pantatnya kembali ke atas kursi, dia atur AC di sana dan tak lupa pula dia menyalakan musik untuk menemani perjalanan mereka.

"Selanjutnya bisa sendiri kan,"-senyum melengkung di wajah Wijaya, tatapan penuh kasih terpancar-"beibi?"

Cakra tersenyum. Menahan sebal, bukan kesengsem. Hendak minimal menggetok kepala si sakit ini sebelum dirinya menahan diri, mengingat bahwa temannya ini masih demam. Kemudian tangan Cakra dengan handal dan perlahan, memegang setir. Mengendalikan mobil yang bergerak maju. Masih sebal juga karena Wijaya selalu seenaknya nyosor tentu saja.

Mobil mewah itu kemudian mundur, putar arah. Keluar dari tempat parkir, kemudian menjejakkan bannya di aspal jalan. Pergi menuju kos-kosan Cakra. Dalam perjalanan, si manik cokelat itu berdebar. Deg-degan. Hanya karena menyetir sebuah mobil mewah.

Hei! Biasanya ia hanya menyetir mobil-mobil biasa seperti pick up atau futura ya! Yang tentu saja hal ini membuat Cakra was-was dengan pikiran negatif segudang. 'Kalau nanti lecet gimana?' atau, 'Aduh, aduh. Jangan lewat becekan, nanti kotor,' semacam itu.

Sedangkan yang punya?

Asik-asik saja tuh. Duduk dengan santai, menatapi pacarnya yang terlihat sekali sedang grogi. Ekspresi Cakra yang begini ini sungguh ew, membuat Wijaya tergelitik untuk menggoda. Namun naas, dia tak kuasa. Batuk dan pusing yang dideritanya membuat pikiran nakal itu sirna. Berganti dengan perasaan lelah karena badannya terasa sakit semua. "Pelan-pelan aja nyetirnya, Cak," ia tersenyum, menatap Cakra yang masih saja gugup.

Tidak ada lima belas menit perjalanan, mobil seharga rumah di komplek atas ke atas (karena standart menengah ke atas tidak mencukupi) sudah berada di lapangan dekat kos-kosan Cakra. Dan si supir, menghela napas leeegaaaa sekali. Hanya karena mobil super mahal ini masih sehat walafiat, dan glowing-shimmering-splendid tentu saja.

"Sebentar, Wi, aku bantu kamu turun," adalah kata Cakra kemudian sebelum turun dari mobil dan memutar. Wijaya yang melihat hal ini, hanya bisa tersenyum seiring jantungnya berdetak kencang.

Jadi begini ... rasanya diperhatikan?

***

Wijaya menatap lelaki didekatnya, yang sedang membuka lemari untuk mengambil selimut. Terbatuk kembali, ia merasakan tubuhnya semakin drop saja. Kondisi yang ... membuat Wijaya berkali harus mengeluarkan suara batuk yang keras, dan merasakan nyeri di paru-paru. Untungnya, ia sudah berbaring diatas kasur Cakra yang ... yah, bisa di tiduri lah. Jadi at least, dia bisa merasakan tidur yang benar-benar tidur.

... sudah berapa lama dari terakhir dia menyentuh Kasur, huh?

"Kamu tidur dulu ya? Nanti agak malam aku bangunin buat makan, terus minum obat." Cakra menatap manik Wijaya dengan lembut, merentangkan selimut tersebut di tubuh Wijaya.

Si pasien hanya mengangguk, mengiyakan. "Kamu baik banget sih Cak,"

"Kamu kayak adik-adikku kalau sakit soalnya," Cakra tertawa, merespons. "bawel, rewel pula."

Mendengar pernyataan Cakra, membuat Wijaya gatal ingin membalas, "Ciee, kakak-adek Zone. Kasihannya diriku," sembari memejamkan matanya, bergumul dibalik selimut.

Yang sedang disindir, menarik sebelah alis. Tidak paham apa maksud temannya ini. "Hm? Kamu ngelindur to Wi?" tanyanya sambil menatap Wijaya bingung. Namun tak lama, memutuskan untuk duduk dibawah Kasur. "Udah, ngga usah aneh-aneh. Cepat tidur saja," katanya sambil meregangkan badan sebelum bangkit berdiri, mulai menyiapkan lainnya. Dan memang, Wijaya tak membalas.

Keheningan menyelimuti kamar kos Cakra dalam beberapa waktu. Tidak sepenuhnya hening, batuk Wijaya masih terdengar. Tak hanya itu, suara air diperas pun menyapa keheningan beberapa menit sekali. Cakra di sana ... dengan telaten sedang memeras sapu tangan yang telah direndam air es di dalam baskom dan mengganti sapu tangan lainnya di dahi Wijaya.

Kegiatan ini terus berlangsung. Agaknya sampai tiba-tiba Wijaya bergumam, "Cak..." tatkala Cakra menaruh sapu tangan basah dan dingin itu pada dahinya yang panas.

"Hm? Ada apa, Wi? Kaget ya?" balas sang helaian hitam itu tanpa menghentikan apa yang tengah dia lakukan.

Wijaya bisa melihat ini di balik matanya yang kabur. Dia bisa melihat betapa Cakra merawatnya dengan sungguh-sungguh. Lebih, ketulusan, keikhlasan Cakra ... dia merasakannya. Dan jujur, ini membuat Wijaya gelisah. Mengulum bibir, akhirnya dia berkata, "jangan terlalu baik, nanti aku nyaman ...," dengan suara yang sangat lirih, sebelum ia dengan cepat pindah ke alam mimpinya lagi.

Respon Cakra? Ia hanya menghela napas. Berpikir bahwa Wijaya hanya sedang ngelindur karena ia demam.

"Kamu itu temenku," katanya lirih, menyingkirkan poni depan Wijaya. Dengan manik yang menatap lamat pada wajah Wijaya. Menyadari bahwa garis wajah Wijaya sungguh tegas. Dan sekarang wajah itu pucat sekali, membuat Cakra tanpa sadar mengusap tangannya pada puncak kepala Wijaya. "Cepat sembuh, Wi."

[]


CREATORS' THOUGHTS
Deelnefire Deelnefire

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login