Download App
66.66% Antariksa

Chapter 2: Antariksa

Manusia itu beneran mahkluk unik, setiap karakternya beda-beda dan paling benci jika sudah disamakan.

- Bintang Auriga

°

Hari terakhir MOS emang paling beda. Selain kegiatannya yang semakin banyak. Mental kita-kita pun ikutan diuji. Bentakan, nyinyiran, tampang sangar sama pelototan pun kayaknya udah gak aneh lagi buat kita. Terutama di Lawang Langit tempat kita kemah. Kelakuan para senior itu semakin menjadi-jadi.

" Jalannya merangkak, bukan ngesot kayak setan Rumah Sakit gitu! Balik lagi sana!"

Gue cuma cengengesan dengan ucapan super nyebelin itu. Wajah kakak kelas bernama Rana itu sudah memerah menahan kesal.

Gue melewatinya dengan tampang polos, padahal, aslinya gue mati-matian menahan tawa. Dua kali gue kerjain tuh senior, emangnya cuma mereka doang, Bumi juga bisa kali. Gue pun tersenyum sinis melihat yang lain sedang dibentak-bentak.

Gue menarik napas lelah.

Ini nih, yang gak gue suka dari negeri tercinta sealam raya. Salah satunya penataran di tingkat senior sama junior. Harusnya mereka memberi image yang benerlah, yang bida membangun kita para junior biar makin semangat mencari ilmu, bukannya malah memupuk dendam kayak gini!

Boro-boro ingin belajar, masuk sekolahnya pun kayaknya udah males banget. Apalagi kalau entarnya ketemu sama senior, makin mekar aja, siap di panen ini dendam.

Sekali kali, bikin sistem MOS yang keren, kek! Yang lebih manusiawi biar ada manfaatnya gitu. Inovatif dikitlah, dari dulu gak ada perubahan, padahal perubahan itu baguskan? Dari pada tarik urat mulu, seneng kagak dibenci iya!

Gue ketawa kencang melihat spesies Homo Sapiens yang masih tersisa dipenuhi lumpur. Aruni Jingga-gadis itu cemberut dengan kaki yang di hentak-hentak kesal. 

" Jangan bikin gue tambah kesel, gue lelepin juga sekalian!" Gue melongo mendengar omelan Jingga.

" Lo nyebur dimana sih? Siang-siang gini maen lumpur, ngenang masa kecil, hah?"

Jingga semakin menekuk wajahnya. Saat ini emang jam istirahat, kita kebetulan ketemu di belakang tenda. Biasanya yang lain udah pada ngerusuh kalo kumpul.

" Gara-gara senior ngeselin itu gue kayak gini. Masa cuma gara-gara ponselnya gak sengaja gue injek hukumannya malah disuruh guling-guling di lumpur. Ngeselin bangetkan!" Seru Jingga kesal, tangannya merobek-robek kertas penuh dendam. Gak tau kertas apa. Contekan mungkin.

Gue yang di depannya menggeleng tak mengerti. Ko bisa-bisanya gue kenal mahkluk yang kepinterannya cuma dipake hanya segaris gini.

" Wajarlah lo di hukum, orang lo nginjeknya sama tas-tasnya, bego!"

Gue menatap gadis itu lelah. Jingga mengerjap kaget. Semburat merah bermunculan di sela-sela pipinya yang terhalangi lumpur.

" Lo tau?"

" Semuanya Jingga, lo kalo apa-apa bisa gak dipikir dulu," ucap gue.

" Ya habisnya gue kesel, dari mulai apel tuh cewek kayaknya senewen banget kalo liat gue," adunya.

Emang sih, dari tadi gue perhatiin cuma Jingga sama Binar doang yang diperlakuin lebih spesial dari yang lain, terutama oleh para senior cewek.

Kondisi Binar malah lebih mengenaskan lagi. Cewek tomboy itu makin jadi sasaran empuk karena dia gak mau kotor sendiri makanya tuh senior diseretnya juga main lumpur.  Bintang dan Aksara yang baru datang malah tergelak melihat tikus ke cebur got.

Tanpa perasaan Binar malah menimpuk gue dengan botol bekasnya.

" Lo apa deh! Kenapa jadi gue yang kena?" Seru gue tak terima.

" Gara-gara elo gue berantakan gini. Kalo saja lo tadi gak ngusilin gue jadinya gak bakalan seberantakan ini," teriaknya kesal. Kali ini, dia malah nyubit gue tanpa perasaan.

" Adowhh, Bii sakitt!! woy udah dong, anjir." Binar tak memperdulikan ringisan gue malah semakin menambah putarannya membuat gue refleks menghempas tangannya.

Gila! Cubitannya bener-bener nyakitin. Trio Astronomi itu malah bahagia dengan tawanya.

"Dendam gue sama lo!" Binar berlalu dengan raut kesalnya. Menyisakan gue yang bengong sekaligus sakit.

" Itu Setan kenapa lagi sih?" Bintang dan Aksara mengangkat bahu tak tahu.

" Binar dikerjain sama fans sialan lo, kakak senior yang waktu hukum lo pas awal masuk." Gue mengeryit bingung.

" Yang mana sih?"

" Yang waktu Bumi di hukum sama Bintang berdua bukan? Ceweknya ketua Osis, ya, kan?" Tebak Aksara.

" Ah iya, cewek sinetron itu. Ternyata dia beneran suka sama lo, ya. Padahal lo, kan buluk, " tambah Bintang ikutan mengejek.

Sialan!

" Terus hubungannya sama gue apaan?" Gue masih gak ngerti letak sambungannya dari mana.

" Bego, Bumi bego!!!"

Lah, malah dikatain bego. Sarap lo semua!

✳✳✳

Malam Api Unggun, yang awalnya gue kira bakal menyenangkan malah sebaliknya. Gue menatap tak suka orang-orang yang sengaja menarik gue dari tenda. Mereka menyeret gue persis kambing yang akan dikurbanin.

Eh, gue emang lagi dikorbanin sama manusia manusia peradaban zaman milenial generasi micin.

Kesel lagi tuh kan!

Dua senior cowok ditambah satu senior cewek tiba-tiba datang ke tenda pas kita lagi main gitar. Gue yang saat itu lagi asik-asiknya malah disuruh berhenti dan dipaksa buat dijadiin perwakilan gugus di kreasi seni entar malam.

Padahal, yang sebenernya jago gitar, kan si Bintang yang suaranya bagus Aksara sama Anta. Lah ini urusannya kenapa jadi gue, woy!

Gue inget, kesepakatan awal gak gini. Gue kan udah bilang gak mau ikutan lomba apapun, terus ini gue kenapa malah diseret-seret gini? Pantas apaan lagi sih, ah! Mending kalo menang. Kalo malu-maluin gimana coba? Kadang temen setega itu ya. Hilih, hooman! Mana hadiahnya gak ada bibit pohon lagi. Males, ah!

Aneh ya kenapa? Ya, karena emang hobi gue beda. Kebiasaan gue dari semenjak SMP ngumpulin bibit pohon yang biasanya gue tanam pas lagi muncak. Makanya jadwal gue dari senin sampe sabtu itu keliling buat nyari bibit. Baru, Minggunya gue bisa pergi, nikmatin Maha Karya Tuhan yang gak mampu manusia manapun buat. Iya, itu Senja. Sesuatu yang gak mampu gue utarain bagaimana istimewanya di hidup gue.

Balik lagi ke yang tadi. Gue bukan ketua gugusnya, tapi mereka malah  denger omongan gue ketimbang Fano yang jelas ketua gugusnya. Padahal harusnya yang jadi perwakilan buat kegiatan ya dia. Gugus lain juga gitu.

Rese anjir!

Hampir saja gue ngamuk, dari awal masuk gue gak mau jadi pusat perhatian. Tapi senior rese itu malah bikin gue justru diperhatiin banyak orang.

"De, kayaknya kamu cocok jadi pemimpin unggun. Coba, baca ini, terus hapalin entar Kakak coba tes."

Ingin banget gue tarik itu bulu mata. Gue kesini, kan cuma buat perwakilan kreasi seni doang bukan malah jadi pemimpin unggun. Yang bener aja!

" Bumi.." Sapaan lembut itu membuat gue refleks menoleh. Gadis dengan rambut sebahu, bermata bulat itu menatap gue sendu.

Gue tiba-tiba aja kaku. Dia ?

" Apa kabar? Seneng bisa ketemu lagi.." Raut wajahnya berubah riang. Membuat gue lagi-lagi menatap tak mengerti. Semudah itu!

" Jauh lebih baik." Balas gue datar. Raut wajah gadis itu sedikit tersentak. Mungkin dia kaget gue yang biasanya tengil ini bisa berubah. Bahkan gue menatap dia dengan pandangan tak suka.

" Gue duluan."

Gak lagi, gue peduli dengan teriakannya. Cukup dulu aja gue bego karena teriakan itu. Kenapa gue lupa kalo dia sekolah disini juga.

Bego!!

Arsyita Biru- Nama yang unik. Tapi cukup bikin gue ngerti, gak semuanya cewek baik-baik akan tetap baik. Jahat juga perlu buat bertahan hidup.

Urusan gue sama dia itu gak sesimpel yang dipikirin. Karena kenyataannya, gue gak semudah itu menerimanya.

Dia itu, Biru dalam Cakrawala. Perempuan yang berhasil bikin hati gue berantakan. Cinta pertama gue pas lagi bocah-bocahnya. Semuanya berantakan ketika orang tuanya di penjara gara-gara kasus suap. Dia yang waktu itu sendiri dipaksa bertahan dengan kerasnya bekerja.

Penampilan dia berubah. Dewasa belum waktunya, dan gandengannya tak lain adalah abang gue sendiri. Anaknya om gue yang waktu itu udah kerja. Pertautan usia yang terlampau jauh membuat gue gak paham akan jalan pikiran mereka.

Gue yang waktu itu polos banget, berhasil dibegoi. Cinta pertama gue kandas secepat itu. Gara-gara apa? Uang!!! Ha ha kadang gue benci benda itu, begonya gue masih butuh juga.

Udah ah, gak mau gue bahas dia. Bakalan lama. Soalnya itu kisah cinta monyetnya bocah. Bocah kan sulit dipahami kayak cewek.

Nah, gue disini sekarang. Berdiri di depan hampir tiga ratusan anak yang memakai baju persis kayak gue.  Rasanya masih kesal dan makin kesal ketika Bintang dan Aksara yang so iya nyemangatin padahal gue tau mereka kagi ngejekin gue secara tidak langsung. Bukannya keren tapi kesannya jadi norak, mereka teriak persis cewek yang baris empat deret di belakang gue. Harusnya yang berdiri disini Kak Lano, kan? Ketua Osis, pacarnya si cewek sinetron kenapa jadinya malah gue? Aneh! Tapi gak aneh kalo buat cowok modelan Lano. Inget sama kasus gue sama ceweknya kan? Nah itu.

"Dendaman banget tuh orang! " Dumel gue pelan.

Upacara Unggun berjalan lancar. Panas dingin gue mimpinnya. Tempat yang tadinya gelap gulita sekarang mulai terang akibat api yang dibawa para Senior. Dada gue agak sesak, saat pertama api menyala diikuti dengan suara lantang seseorang kemudian terdengar saling bersahutan. Mata gue menatap lekat sumber cahaya itu. Satu kehormatan bagi gue bisa berdiri disini, menjadi sosok yang setidaknya masih bisa berguna. Gue gak bisa rasain gimana hidup tanpa cahaya, kayak orang-orang zaman purba dulu. Yang hidup di gua-gua, tentunya dengan tingkat keamanan yang rendah. Apalagi tidak ada kenyamanan yang benar-benar nyaman jika tidur saja hanya beralaskan tanah. Gue tahu meskipun zaman udah secanggih ini, masih ada sebagian manusia yang berada di titik tak tersentuh itu, menikmatinya tanpa protes.

Gue sering berkawan dengan gelap. Terlepas dari hobi gue yang turun naik gunung pastinya. Anak-anak asuh Bunda yang pastinya adik-adik gue juga, tak jarang membawa gue lari dari gang sempit ke gang lainnya. Becek-becekan, berdesakan dengan pemukiman penduduk yang kumuh. Tak jarang gue merasa kecil ketika tawa lebar mereka menggema di dalam petak-petak kardus bekas. Padahal lantai rumah yang beralaskan tanah dengan  tiang penopang yang miring apa masih sempat bisa melakukan hal konyol itu?

Gue yang waktu itu sangsi, menggeleng keras. Menganggapnya konyol, padahal seiring berjalannya waktu, tertawa adalah obat yang paling manjur dari kondisi hati yang berantakan. Gue kayak menemukan dua perbedaan yang saling berdampingan. Mereka yang kita sangka gelap, adalah orang yang paling hebat dalam dunianya. Karena ketika gue berada disana, gue jadi mahkluk yang paling menyedihkan.

Gelap.

Sahabat terbaik manusia ketika mengeluh akan pahitnya hidup.

Gelap.

Tempat teristimewa bagi sebagian orang dalam memenuhi kebutuhannya.

Gelap

Tempat harapan dan mimpi bergerak. Menyebar diantara aurora menuju langit.

Tanpa gelap kita tidak akan pernah tahu kalau terang yang kejam itu beneran ada.

Malam memiliki arti tersendiri bagi gue. Selain bisa menikmati indahnya bintang Orion, gue juga bisa rasain kalau Cakrawala, lagi liatin gue di atas sana. Seolah kita bisa terhubung, jiwa gue dan dia saling memeluk diantara angin malam. 

Selepas upacara selesai, kami tidak diperkenankan kembali ke tenda. Kami berkumpul melilingi Unggun, tentunya dengan teriakan menyebalkan yang membuat kuping gue panas. Ini lagi, tangan siapa sih? Gak sopan banget colek-colek.

Hampir gue berteriak marah kalo Bintang dan Aksara gak narik tangan gue. Jingga udah berdiri dengan selembar tisu dan mengelap kening gue yang berkeringat parah. Dan Binar membungkuk dengan sebotol air mineral.

" Udah terkenal aja benda tata surya kita," celetukkan Binar membuat mereka terkekeh. Gadis itu membuka botol air dan menyerahkannya pada gue.

" Thanks"

Binar mengangguk.

" Tadi tuh keren banget tau. Suara lo emang bisa berubah-ubah gitu ya?" Tanya Jingga.

" Namanya juga cowok. Suara begituan mah gampang kali," balas Aksara sombong.

" Ngomong doang digedein! Giliran maju udah kayak tikus ke cebur, lo," ejek Bintang.

Gue hanya menggeleng. Jingga malah udah melotot merasa terganggu dengan ocehan tidak bermutu itu.

" Hilih, hobi ngerusuh aja apa yang musti dipamerin?" Celetuk Binar.

" Jangan salah dong, Bi. Kita ngerusuh gak pernah direncanain, itu refleks aja. Karena ketika gue lakuin itu hati gue malah berteriak kegirangan." Jingga menoyor Aksara. Cowok itu malah balik terkekeh.

" Tapi bener, loh. Selama ini gue cuma mau ngelakuin apa yang gue mau. Masa hidup kita, kan gak ada yang tahu. Rugi aja gitu kalau dibikin flat,  kalau bisa harusnya kita bikin kenangan yang banyak," tambah gue. Bintang mengacungkan jempolnya.

" Madep, bro! Gue juga gitu, bersikap kayak orang idiot cuma bikin lo pada ketawa, bahagia gue sesimpel itu loh!"

"Wooooo... "

" Bintang kecil, bersuara, woooo.."

Pengen banget gue sumpel itu mulut. Tapi gue gak bisa kalau gak tertawa. Sumpah, Bintang itu tempat ternyaman pelampiasan mood.

Gue gak nyangka bakalan ketemu mereka. Gaul sama mereka itu banyak kejutan. Dari gue yang kaku-kaku ganteng, sekarang malah ikut malu-maluin dengan tampang tengil.

Aneh, kalo Jingga sama Binar harus beneran jadi teman dekat gue. Kepribadian kita sama sekali gak cocok. Jingga tipe cewek manja, yang apa-apa langsung dimasukin ke hati. Pas awal-awal kita kewalahan dengan sikap sensitif yang muncul gak mandang tempat. Nah kalau Binar, kebalikkannya. Dewasa, namun cuek. Irit ngomong tapi aslinya baik.

" Gak mau, pokonya kita musti temenan. Gue sama Binar sering dikata aneh. Dan gue sakit hati. Tapi ketika lo bertiga ngejek kita gue malah berasa tersanjung." Jingga lagi-lagi merengek.

" Anjir, keturunan Homo sapiens mah emang beda ya, otaknya jungkir balik," celetuk Bintang.

" Gak usah sok pinter deh, mulut gue kadang suka sakit kalo liat lo galau. Ingin maki-maki," balas Binar kejam. Bintang langsung cemberut. Gue sama yang lain hanya ketawa. Ya, itu Binar ngomongnya bener tapi kadang nyakitin.

" Yaudahlah, selagi kita nyaman ya tinggal dijalani. Kalau urusan cocok atau engganya karakter kita, itu balik lagi ke kitanya. Gak perlu di debatin apalagi ujungnya musuhan. Jauh-jauh deh. Gue cuma mau masa SMA gue ini indah, udah gitu aja."

Kadang gue lupa kalau Aksara sesimpel itu. Dibalik ide jailnya, pikirannya berkembang dewasa.

" Beda itu bagus sebetulnya. Unik aja gitu. Menurut buku yang pernah gue baca, manusia itu mahkluk paling unik. Setiap karakternya beda-beda dan paling benci jika udah disamakan." tambah Bintang.

Gue tersenyum lebar.

" Kalian bener, kita gak perlu memaksakan diri untuk bisa diterima. Cukup jadi diri lo, karena persahabatan bukan soal persamaan tapi perbedaan. Kompak bukan dengan karakter yang sama,kan? Kita cuma butuh tujuan. Itu aja."

" Kalau waras gini, gue ngerasa lagi dikelilingi mahkluk astronomi ya," celetukkan Binar lagi-lagi merusak suasana. Bikin geregetan jadinya.

" Ya ampun, Bi! Suasana barusan itu langka tau. Jarang-jarang mereka ngomongnya pada waras," omel Jingga. Binar hanya terkekeh.

Anjir ya mereka.

Gue beranjak, menoyor kedua gadis itu lantas memeluk keduanya.

" Selamat datang di Antariksa gue,"

Bukannya marah Bintang dan Aksara malah ikut-ikutan. Hidup gue sebenarnya simpel. Siapa yang mau nerima gue tanpa latar belakang. Orang itu udah jadi bagian dari hidup gue. Karena uang bukan segalanya. Makanya gue mudah bergaul dengan orang yang gak pernah ribetin orang tua lo kerja apa? Perusahaan gede mana? Jabatannya apa?

Persetanlah dengan semua itu!

Nama gue emang Bumi, tapi sangat berlebihan kalo mereka menganggap gue rumah mereka. Karakter gue beda banget sama definisi bumi yang sesungguhnya. Gue bukan sosok pelindung. Apalagi mampu melindungi mereka tatkala badai datang. Gue juga gak mampu merangkul mereka dari peliknya pancaroba. Tapi mereka sama batunya. Yah, yah terserah kalian,lah!

Jangan demo gue kalo karakter gue diluar ekspetasi kalian.

Benar kata Bintang, manusia itu beda. Mereka selalu ingin bersama namun menolak jika disamakan. Persis seperti diri gue yang tak ingin disamakan dengan Aksara maupun Bintang, sehebat apapun keduanya, gue lebih bersyukur dengan apa yang gue punya. Meski harus berulang kehilangan, habis gitu gue bisa apa?

"Malah disini. Tuh dipanggil, kreasi seni udah mau dimulai."

" Bentar lagi, Bintangnya sayang kalau dilewatin," balas gue kembali bersidekap.

" Udah mulai mengakui nih?" Gadis itu menaikkan satu alisnya membuat gue mengernyit.

" Apa?" Tanya gue tak paham.

" Ternyata lo ngefans juga sama Bintang." Gadis itu menyemburkan tawanya, membuat gue tiba-tiba kesal.

" Ck, Bintang dalam artian nyata ya! Si Bintang mana ada dalam Cakrawala."

" Ko, Cakrawala? Bintangkan di Antariksa?"

Gue tersenyum penuh arti.

" Antariksa itu kita padahal." Jelas gue membuat gadis itu semakin mengeryit tak paham.

" Sialan! Gak usah bawa-bawa gue ke dalam pola pikir lo dong. Ketauan banget gue begonya," gadis itu menekuk wajahnya bete. Dan gue pun lagi-lagi ketawa.

Binar kalo kesel, ko gemesin ya? Eh.

To be continued .....


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login