Download App

Chapter 31: Tentang Rahasia

"Menurutmu mungkinkah Redd masih hidup?"

Charles tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya mematung saat ia mendengar kalimat sederhana yang diucapkan oleh Rajanya, mata tuanya bergerak sedikit sementara Richard sendiri masih duduk dengan tenang, ia sibuk menatap layar dan kalau tidak diperhatikan sungguh-sungguh orang mungkin akan berpikir bahwa Raja Muda itu sedang bercanda. Tapi Charles tahu itu adalah penuntutan sebuah kepastian.

"Apa maksud anda Yang Mulia?"

"Hn. Aku melihat seseorang yang mirip Redd-"

"Saat Anda kabur kemarin?" Charles memotong, tapi ia tidak peduli. Ia kepalang kesal, demi Tuhan. Ia seperti habis lari maraton saat keluar dari pertemuannya dengan Kepala Pengawal dan menemukan Raja itu hilang. Awalnya ia juga tidak sadar, tapi dasar posisinya yang juga cukup menyeramkan akhirnya membuat pengawal yang membantu Richard buka suara.

"Hm, ya. Bisa dibilang begitu," apa itu rasa malu dalam suara Richard?

"Lalu? Anda menemukan seseorang yang mirip Ratu? Itu sebabnya Anda pulang dengan keadaan seperti kehilangan nyawa?"

Richard menghela nafas, dan memijat pangkal hidung lelah. "Aku melihatnya Charles, demi Tuhan. Mata itu, aku mengenalnya setengah mati-"

"Yang Mulia Ratu sudah dimakamkan jika Anda lupa."

"Aku tahu," suara Raja itu putus asa. "Aku hanya tahu bahwa itu dia. Aku merasakannya, tatapan itu milik Redd."

Charles menunggu dalam kesabaran yang Richard tahu adalah cover luar dari kemuakan yang ditahan. Charles tidak percaya padanya.

"Dia bernama Renee," Richard menyerah. "Dia memiliki suami bernama Howie."

"Ya, saya mendengarkan."

Raja itu menaikkan alis, "Sudah. Itu saja. Lalu mereka pergi," matanya menerawang. "Dia memakai cadar dan sedang hamil."

"Dan Yang Mulia Ratu meninggal dalam keadaan tidak hamil."

Richard mendengus, sebelum bangkit dan menghadap ke jendela. Memandang sesuatu yang begitu jauh, dan tak tergapai. "Dulu aku selalu berharap bahwa setelah kecelakaan yang menewaskan ibu, akan ada seseorang yang berkata padaku bahwa itu hanyalah kebohongan. Sebuah drama,bahwa ibu masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat. Aku selalu berdoa setiap malam, bahkan walau kematiannya hanya membuatku marah. Aku selalu berharap untuk itu," Hening. "Karena aku harap aku bisa mengatakan sesuatu padanya. Atau aku harap dia akan menjelaskan sesuatu, konyol. Tapi aku pikir jika itu terjadi,jika ia ternyata hanya bersembunyi dan kemudian muncul untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku, setelahnya tidak masalah jika ia benar-benar mati, setidaknya dia tidak mati dengan keadaan yang tidak membunuhku. Tapi kemudian aku mendapati bahwa ia tak pernah disembunyikan, itu bukan kebohongan dan dia benar-benar mati."

Raja Muda itu berbalik dan menatap Charles.

"Itu yang aku bawa hingga kini Charles, saat Redd mati aku tidak mencoba berharap. Aku mematikan dia, di dalam diriku. Karena aku tidak mau mengkhayalkan apapun lagi, aku tidak mau memikirkan apapun soal kemungkinan ini itu. Tapi aku melihatnya Charles, semalam. Bahkan walau aku tidak melihat seluruh wajahnya, aku tahu itu dia. Entah bagaimana sisi dalam diriku berkata itu dia, dan itu membuatku berharap. Bahwa Redd belum meninggal, dia ada di suatu tempat. Mati untuk sebuah alasan yang tidak aku tahu."

"Dan lalu? Apa karena pertemuan itu anda sekarang berfikir bahwa Yang Mulia Ratu masih hidup?"

"Entahlah," Richard mengguman. "Itu sebabnya aku bertannya padamu, apa menurutmu Redd mungkin masih hidup?"

Charles diam sebentar, "Jika Yang Mulia Ratu masih hidup. Apa yang akan Anda lakukan? Anda akan mencarinya?"

"Entahlah," Richard menimang-nimang. "Tapi aku pikir tidak, jika ia memang masih hidup bukankah dia pasti punya alasan untuk itu? Ia pasti punya alasan kenapa dia bersembunyi, dan saat alasan itu habis aku tahu ia akan pulang. Aku adalah rumahnya, dia akan kembali. Karena itu aku tak akan mencarinya, dia akan datang padaku."

Ajudan Raja itu tersenyum kecil, binar matanya sendu dan berembun. "Ya, jika Yang Mulia Ratu masih hidup beliau akan pulang. Sungguh dia akan pulang, saya meyakini itu dengan seluruh hidup saya. Beliau akan kembali."

...

Justin terbangun dalam keremangan, ia mengutuk pada suhu dingin yang menyerap ke pori-porinya dan membuat kakinya ngilu. Matanya mengamati ruangan kecil itu, sebuah dejavu datang dan ia tersentak. Tubuhnya duduk dan mengamati, ia menyipit dan bersandar kala ia menangkap sosok anak lelaki di ujung ruangan; meringkuk dan menangis lirih. Tidak lama pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan sosok pria muda yang langsung berjongkok di depan anak itu.

"Ayah?"

"Ayahmu sudah mati."

"Tidak! Kau bohong! Dia baik-baik saja, pergi!! Biarkan aku kembali pada Paman Charles! Aku mau bertemu ayahkuuu!"

"Apa kau bodoh?" pria itu berucap dingin. "Kenapa kau memohon perlindungan dari orang-orang yang sudah membunuh ayah dan ibumu? Apa kau tidak punya otak?"

Hening.

"Kau harusnya membunuh orang-orang itu, bukan mengemis perlindungan di kaki mereka. Mereka yang membunuh orang tuamu Justin? Apa kau terlalu naif untuk memahaminya?"

"Tidak ada yang membunuh ayah dan ibu! Itu adalah kecelakaan!"

"Bah!" pria itu mendengus. "Kecelakaan? Apa otak kecilmu terlalu bodoh? Bagian mana yang kau sebut kecelakaan? Ibumu mati, ayahmu juga."

"PERGI! AKU MAU MENEMUI PAMAN CHARLES!!!"

"DIAMMM!!"

Pria itu mendelik, "Kau mencari orang yang membuat skenario pembunuhan ini? Kau mengharap bantuannya? Jangan bodoh."

"Aku mengharap bantuan pada orang yang baik."

"Anak ini," si pria mendengus sebelum mencengkeram rahang Justin. "Masih kecil, tapi bicaramu sungguh lancang. Kenapa terus membantah? Istana dan seluruh isinya adalah kejahatan Justin, itu yang membuat orang tuamu mati."

"Tidak, kau bohong. Istana yang membahagiakan ayahku. Raja dan Ratu yang menyelamatkan ayahku. Aku tahu itu."

"Bangsat."

Justin mengumpati mimpinya sementara tangannya sibuk mencari ponselnya yang terus berbunyi, decakan keras meluncur dari mulutnya saat dering ponsel yang makin keras membuat kepalanya pusing. Begitu ponsel ajudan muda itu ditemukan ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mendekatkannya ke telinga dan menggeram sebagai sapaan.

"Hai, Justin? Kau bangun tidur?"

"Lesbian brengsek," Justin menggeram marah. "Aku tidak tahu pukul berapa di Chevailer sana, tapi disini jika kau belum tahu masih dini hari."

"Aku tahu," suara di sana menyahut kalem. "Disini masih jam setengah tujuh, berarti di sana masih setengah dua."

"Sudahlah, ada apa kau menghubungiku jam segini? Aku harap itu penting, atau aku akan membunuhmu."

"Sebenarnya," helaan nafas. "Mereka bertemu."

Mata Justin terbuka lebar, kebingungan. "Maaf?"

"Bertemu."

"Bisa kau jabarkan apa artinya? Aku bukan google yang akan memahami maksudmu hanya dengan satu keyword."

"Hei brengsek," suara di ponsel menyahut. "Mereka bertemu, dan kau tahu seluruh rencanamu bisa kacau."

"Sebentar," Justin bangkit dan mengerutkan kening. "Yang kau maksud mereka ini ..."

"Iya. Mereka."

"Bajingan" Justin mengumpat lagi. "Bagaimana bisa? Apa kau sudah kehilangan otakmu?"

"Itu tidak sengaja."

"Kau membawanya keluar?" nada Justin naik karena kesal. "Iya kan?"

"Justin aku pikir membawanya keluar sesekali bukanlah hal bu-"

"Itu hal yang sangat buruk," Justin memotong. "Pastikan apapun yang terjadi ini tidak diketahui siapapun, jangan menghancurkan apa yang sudah kita bangun. Masih ada dua matahari di langit, dan sebelum satu pergi kita tidak bisa menatap keatas."

...


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C31
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login