Download App
72.72% Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride) / Chapter 40: Silhouette bagian satu

Chapter 40: Silhouette bagian satu

Charles berdiri dalam keheningan malam Chevailer. Pria yang telah melayani istana selama lebih dari sedekade itu menghela nafas, langkah tuanya mundur dari balkon kamarnya yang sunyi dan masuk dalam. Menutup pintu bergaya perancisnya dengan pelan, ajudan raja itu berjalan menuju ke lemari pakainya. Dengan perlahan membuka pintunya dan menarik laci kecil yang tersembunyi dibalik tumpukan baju.

Tangannya yang sudah agak keriput mengambil isi laci itu dan membawanya ke ranjang. Menatanya dengan hati-hati sembari menatap kumpulan foto dalam sebuah album yang masih utuh kendati mulai termakan usia. Pria itu kemudian membuka halaman pertama, mengamati gambaran yang terpajang di halaman pertama dan menatapnya dengan rindu yang tak tergambarkan.

"Sudah lama aku tidak mengunjungimu," ia berbisik; membuka halaman lain dan menatap fotonya bersama orang-orang yang pernah ia kenal dengan sangat dekat. "Aku khawatir malam ini, Richard mencari sesuatu yang kita sembunyikan dan aku pikir dia sudah mengetahui ada yang salah. Aku rasa aku tidak bisa lagi menepati janji untuk menutupi rahasia itu."

Charles menghela nafas, "Aku menjaga apa yang bisa aku jaga. Tapi aku gagal untuk kali ini. Ternyata tanganku tidak bisa melindungi semuanya seperti yang aku pikirkan."

Halaman lain terbuka dengan perlahan, menunjukkan foto seorang wanita yang memakai terusan merah tengah memeluk perempuan berusia remaja yang bersurai gelap yang tertawa riang. Dengan background rumah bercat biru dan pohon maple besar di sisinya.

Charles tersenyum, mengenang ingatan yang hanya bisa ia jangkau, "Tapi aku melindungi putrimu Eliana," ia berbisik. "Ayahmu ini berhasil melindungi putrimu."

...

Chevailer, 2006

"Anda akan dapat masalah."

Richard menoleh ke samping, menatap pemuda bersurai pirang di sisinya yang melamun seraya menyandarkan dagu pada tongkat bilyard.

"Siapa?" Putra Mahkota itu bertanya sambil mengambil posisi untuk menyodok bola. "Aku?"

"Ya, Anda."

"Bukankah kau yang akan dapat masalah Louis?" Richard tertawa kecil. "Tidak akan ada seorang pun yang memarahi aku, tapi kau akan dapat masalah dengan Charles dan ayahmu."

"Saya tahu, karena itu saya menyesal ikut dengan anda."

"Ayolah Louis," Richard membungkuk. "Membolos sekolah bukanlah kejahatan besar, toh kita hanya pergi ke bilyard. Lagipula kau akan tetap dapat rangking sekalipun kau tidak masuk seminggu. Otakmu itu selalu bisa diandalkan."

"Syukurnya" Louis mengguman. "Lagipula anda lebih baik membolos begini daripada keluar dengan Andrew, saya benar-benar tidak menyukainya."

"Kenapa?" Richard meyodok bola dan berdiri tegak untuk melihat bola putihnya menabrak bola lain hingga kocar-kacir, tersenyum saat tiga poin masuk ke lubang. "Apa karena dia merebut Madison darimu, Louis?"

Louis mendengus, "Saya tidak peduli dengan gadis itu. Saya hanya berkencan dengannya karena dia terus mengatakan bahwa kami sudah tidur bersama setelah pesta musim semi kemarin. Jika tidak saya terima dia mungkin akan membual bahwa dia hamil juga."

"Bukankah itu bagus untuk kemajuan asmaramu?" Richard tertawa. "Kau selalu menolak semua gadis yang menyatakan cinta padamu."

"Tidak semua."

"Ah," Richard mengangguk. "Kau menerima si Madison dan siapa yang ketua murid kemarin? Sisca? Misca? Kau tahu yang aku bicarakan, gadis Rusia itu."

"Sirka," Louis menjawab kalem. "Gadis Polandia."

"Sama saja," bahu Richard naik dengan acuh. "Berbatasan dengan Rusia," ia mengendik ke meja bilyard. "Giliranmu."

"Rusia berbatasan dengan Belarusia, Latvia dan Estonia. Polandia masih berjarak ribuan kilo meter dan melewati setidaknya lebih dari dua belas kota untuk mencapai Rusia."

Richard mendengus. "Main saja Louis."

Louis mengangguk kalem, membungkuk dengan posisi siap di atas meja bilyard sebelum menyodok bola dengan santai.

"Oh, ayolah Louis," Richard mendegus kala melihat bola Louis bergerak secara acak dan sama sekali tidak menciptakan poin. "Kau tahu kemampuanmu lebih dari ini, jangan mencoba kalah hanya karena aku Pangeran. Kau harus mengalahkan aku, jangan menahan diri."

"Terakhir kali kita bermain catur anda juga berkata seperti itu," pemuda bersurai pirang berujar sambil menggosok unjung stik bilyardnya. "Tapi saat saya menang, anda kemudian menyingkirkan semua set catur yang ada ke gudang dan menolak bermain lagi hingga sekarang."

"Itu karena aku memang sudah bosan," Richard menggerutu tidak terima. "Tidak ada hubungannya dengan menang atau kalah."

"Anda juga bersikap seperti itu pada permainan bowling dan kano yang lalu," Louis mendongak. "Jadi anda bosan dengan dua permainan itu juga Mulia?"

Putra Mahkota itu mendecak, melirik tajam Louis yang hanya memasang wajah lugu. "Tidak ada hubungan, main saja."

Louis tersenyum sedikit, bersiap untuk membungkuk dan bermain ketika tiba-tiba suara decitan mobil yang keras terdengar. Pemuda itu mendongak dan menatap Richard, sebelum bersama-sama berlari ke jendela dan melongok ke luar. Menatap halaman depan, dari lantai dua gedung; tempat mereka bermain bilyard.

"Sial," Richard mengumpat.

"Kita harus pergi sekarang," Louis matanya mengikuti sosok beberapa pria yang memakai setelan hitam dengan logo pin kerajaan di dada, mereka keluar dari mobil yang diparkir asal di depan gedung; sebelum mulai masuk bersama-sama ke dalam. "Saya yakin anda tidak ingin ditangkap."

"Jelas sekali," Richard menggerutu.

Kedua pemuda itu lantas meraih tas yang mereka taruh di sofa dan berderap keluar. Berlari menyusuri lorong yang sebagian pintunya terbuka karena pelanggan lain penasaran akan keributan di luar.

"Apa kau punya rencana cadangan?"

Louis melirik Pangerannnya, "Satu pintu darurat; tapi saya yakin mereka sudah memblokirnya, dua pintu belakang; yang saya yakin juga sudah mereka jaga."

Putra Makhota itu melirik, "Jadi?"

"Yang Mulia anda tidak keberatan untuk berenang, kan?"

...

Pangeran bersurai kelam itu menggerjab tidak percaya kala mengetahui jalan keluar yang digadang-gadang Louis sebagai opsi ketiga.

"Kita meloncat dari lantai dua gedung ini menuju ke kolam di bawahnya."

"Kau serius?" ia menatap ke tepi balkon berpagar usang dan memperkirakan jarak kolam dalam benaknya.

"Ya," pemuda bersurai pirang itu mengangguk. "Jalan keluar terbaik, apa Anda takut? Saya punya waktu paling lama tujuh menit untuk memikirkan jalan keluar lain jika Anda menolak yang ini."

"Aku tidak takut," Richard mendecak. "Tapi setelahnya kita hanya akan menarik semakin banyak perhatian."

"Kolam ini berada di sisi barat gedung yang jarang menarik perhatian, airnya dangkal, jaraknya juga hanya sekitar tujuh meter lagipula kolam ini tidak dipergunakan lagi dan anda lihat," Louis menunjuk pagar di tepi kolam. "Kita bisa langsung kabur lewat sana."

"Dalam keadaan basah kuyup," Richard berujar kalem.

"Ada dampak dari segala hal yang kita lakukan di dunia ini Yang Mulia," Louis memakai tasnya di punggung dan naik ke pagar balkon. "Ayo, saya akan menangkap Anda di bawah," dan pria itu meloncat.

Richard hanya menatap tidak percaya pada pengawal pribadinya itu, menggerang kesal kala mendengar suara tabrakan tubuh dengan air dan mendecak saat sosok Louis muncul di permukaan sembari melambaikan tangan.

"Ayo Yang Mulia," pemuda itu berucap keras. "Saya perkirakan Anda hanya punya lima menit dari sekarang sebelum mereka mendobrak pintu di belakang Anda."

Pangeran Muda itu menggerutu, melempar tasnya ke kolam lebih dahulu sebelum memanjat pagar balkon.

"Aku harap lain kali kau punya opsi yang lebih menarik dari ini," Richard berujar jengkel sebelum meloncat ke bawah dan menabrakkan dirinya ke permukaan air.

Riuh buih dan jeguran air bergelora di telinganya, pemuda bersurai kelam itu menyentuhkan kakinya di ubin kolam dan menjejak keras-keras; merasakan tangan yang ikut membantunya naik ke permukaan seraya menyeretnya.

"Anda baik?" Louis bertannya saat kepala Pangeran itu muncul di permukaan.

Richard menggelengkan kepala untuk menghilangkan denging, membuka mata dan menaikkan alis. "Bukan waktunya untuk pertanyaan itu. Ayo."

Louis mengangguk, seraya menyeret kedua tas mereka. Pemuda itu mengikuti Ricahard berenang ke tepi kolam, keduanya naik ke tepi dan memanjat pagar untuk keluar.

"Apa ide selanjutnya?" Richard bertannya saat mereka menyusuri gang di belakang gedung bilyard, sesekali kepalanya miring ke kanan; mencoba mengeluarkan air yang masuk ke sana.

"Pergi jauh dari sini," Louis menjawab; membuka tasnya dan menghela nafas berat saat melihat semua bukunya basah kuyup. "Charles akan menyuruh para pengawal menyisir daerah ini, jadi kita harus bergegas."

"Aku pikir itu akan jadi prioritas kedua," Pangeran itu mengguman. "Kita perlu mengeringkan diri dan menjadi normal, aku pikir kita bisa mencari baju."

"Kita akan kembali ke istana nanti malam, tidak perlu mencari baju," Louis berucap. "Kita tidak sedang melarikan diri."

"Ya, tapi kita buron," Richard melirik pemuda di sisinya. "Ayo, aku dengar ada gudang baju di blok ini."

"Memang," Louis menjajari langkah Pangerannya. "Tepat di selatan pasar ada gudang baju, saya pikir anda tidak memperhatikannya."

"Karena gudang baju bukan tempat mencari hiburan, jadi aku tidak memperhatikannya."

Richard berhenti saat mereka keluar dari gang, melongok keluar dan melihat jalanan yang sepi. Setelah mengangguk pada pemuda di sisinya, ia keluar dan berjalan tanpa suara di sepanjang trotoar.

"Apa anda ingin pulang nanti saat makan malam?"

"Tengah malam," jawab Richard acuh. "Jika perlu tidak perlu pulang."

"Silahkan," Louis menyahut kalem. "Tapi saya akan tetap pulang, tidur di jalan tidak menyenangkan."

Richard melirik pemuda di sisinya dan mendecak. Menyebrangi pertigaan sepi yang lampu merahnya berkedip memberi penerangan menjelang matahari terbenam.

"Menurutmu siapa yang melaporkan kita di gedung bilyard?" Richard bertannya.

"Entahlah, mungkin pengawal yang disuruh mengikuti anda. Atau seseorang di sekolah, karena anda membolos lagi minggu ini."

"Membolos adalah seni abstrak dalam kehidupan," Putra Mahkota itu menghela nafas dalam. "Bentuk keindahan murni."

Louis hanya mengangguk-angguk mengiyakan, "Murni. Benar sekali," ia menujuk gedung dengan dua pohon maple besar di depannya. "Itu gudang pakaiannya."

"Itu?" Richard menyipitkan mata, menatap gedung besar berbentuk kotak yang memiliki rollingdoor raksasa dengan truk-truk di depannya. "Rupanya seperti pabrik."

"Memang itu masih bagian dari pabrik daur ulang," Louis mengiyakan. "Ayo kit—"

"Paman mau kemana?"

Suara kecil yang tiba-tiba muncul di sisi mereka itu membuat keduanya terkejut, dengan cepat menoleh dan menemukan dua anak perempuan yang bergandengan tangan menatap mereka.

"Apa yang—"

"Paman mau pergi ke gudang?" anak yang paling besar bertannya.

"Ya," Louis menjawab cepat. "Kami mau kesana."

Anak itu menggeleng, "Gudangnya tutup hari ini. Mereka sudah mengirim bajunya ke tempat daur ulang dan pabrik lain. Baju baru akan datang besok sore, sekarang kosong."

"Kosong?"

"Ya," si gadis mengangguk. "Kosong."

"Sial," Richard mengumpat pelan.

"Apa kau tahu dimana kami bisa menemukan baju kering?" Louis bertannya seraya mengambil posisi jongkok. "Kami membutuhkannya."

Anak kecil itu menelengkan kepala, "Paman bisa mengambil di rumah bibi-bibi itu."

"Bibi? Bibi siapa?"

"Itu," si anak mengangguk. "Bibi-bibi yang berjualan di pasar menjemur bajunya di halaman luar bersama-sama, paman bisa mengambil satu."

"Hei," Richard mendengus. "Itu namanya mencuri."

"Tapi mereka meletakkan bajunya diluar rumah," si anak memperotes. "Mencuri itu mengambil sesuatu yang disimpan di dalam."

"Tetap mencuri," sahut Pangeran muda itu jengkel. "Jangan membenarkan hal yang salah."

"Yang Mulia." Louis memotong kala menatap Pangerannya yang mulai mendebat. "Dia hanya anak kecil, dia masih belum mengerti."

Richard mendecak seraya melengos.

"Yang Mulia? Apa dia Pangeran?" si anak yang paling besar bertannya lagi.

"Ya," Louis menjawab dengan senyum hangat. "Dia Pangeran."

Si anak melirik penuh penilaian, memandang baju Richard yang basah kuyup, rambutnya yang lepek dan badannya yang agak gemertar terkena dingin. "Tidak terlihat seperti pangeran, dia mirip paman pengemis di dekat penjual ikan yang selalu memakai baju basah."

"Hei!" Richard melotot begitu mendengar ucapannya. "Aku ini Pangeran, anak jelek. Kau bahkan sama sekali tidak terlihat bagus, beraninya berkomentar tentang orang lain."

"Karena aku memang bukan putri," si anak balas melotot. "Makannya aku jelek. Lagipula Pangeran harusnya memakai baju cantik dan naik kuda, kenapa kau jalan kaki?!"

"Siapa juga yang mau naik kuda di tengah jalan?!" Putra Mahkota itu berujar tidak terima. "Kita tidak tinggal di hutan atau jaman penyihir. Yang ada malah ditabrak mobil, dasar tukang menghayal."

Louis menahan saat anak yang paling besar sudah akan meringsek menuju Richard, ia mencengkeram bahunya lembut dan memberi senyum menenangkan.

"Abaikan dia," Louis berucap, "Dia memang bukan orang baik."

"Paman berkelakuan buruk," si anak melempar pandangan sengit.

"Kau memanggilku Paman?!" Richard menghela nafas tidak percaya. "Aku baru enam belas tahun!"

"Yang Mulia," Louis memberi Putra Mahkota itu peringatan lewat sudut mata. Beralih menatap si anak kecil lagi dan tersenyum. "Kalau begitu apa kau tahu dimana kami bisa mendapat baju kering? Selain dari bibi-bibi?"

Si anak mencebik, memandang kedua pemuda di depannya. "Aku menyimpan beberapa baju seukuran paman, aku bisa memberikannya jika paman mau."

"Kau menyimpan pakaian?"

"Di rumah," si anak mengiyakan. "Jika paman mau paman bisa mengambilnya dirumahku."

Louis bangkit dan melirik Richard yang masih bersedekap dengan raut jengkel. "Ya, kami mau."

"Kalau begitu ayo," si anak yang paling besar mengendikkan kepala sebelum berjalan bersama anak yang digandengnya.

"Kita bisa mempercayainya?" Richard berbisik saat mereka berjalan di mengikuti gadis itu.

"Ya, saya rasa lebih aman mengikuti gadis ini daripada berkeliaran dengan basah kuyup. Sejujurnya anda memang akan terlihat seperti pengemis jika begitu."

Richard berhenti berjalan seraya mendengus tidak percaya begitu mendengar ucapan pengawal pribadinya itu.

"Brengsek."

...


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C40
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login