Langkah kedua pemuda itu berhenti kala si gadis kecil berbalik, matanya yang hangat menatap keduanya penuh selidik sementara dagunya mengerut berpikir.
"Apa ada masalah?" Louis bertanya.
"Rumahku," anak itu berhenti sesaat, "Agak spesial. Jika paman tahu tentang rumah ini, aku mau paman berjanji untuk merahasiakannya dan tidak berkata pada siapapun."
"Kenapa?"
"Rahasiakan saja," anak itu menghentakkan kaki. "Paman tidak akan mengerti, pokoknya rahasiakan."
"Oke," Louis menyanggupi. "Kami rahasiakan."
Gadis kecil itu mengangguk mantap, membawa mereka memasuki sebuah gang kecil dan berbelok ke kanan. Anak yang lebih kecil melepas pegangan tangannya dari si gadis dan berlari, melewati pagar yang terbuka di bagian bawahnya dan masuk ke balik tumpukan papan tinggi yang ditutupi tirai.
"Kemana dia—"
"Rumah," si gadis memotong. "Ini rumah kami."
Kedua pemuda itu saling berpandangan.
"Ini," Louis bertanya hati-hati. "Rumahmu?"
"Iya," si gadis menjawab tenang. "Paman mau masuk? Paman bisa memilih bajunya sendiri jika mau."
Pengawal itu menatap Richard penuh tanya, yang mana langsung direspon Putra Mahkota itu dengan deheman. "Aku mau memilih sendiri," Pangeran itu berujar sambil masuk ke tempat yang gadis itu sebut rumah.
Jalannya agak sempit saat ia masuk, tapi bagian dalamnya nyatanya cukup lebar; walau sesungguhnya tempat itu tidak masuk ke dalam kategori rumah, karena tempat itu hanya sebuah gang gelap.
Richard bisa melihat bahwa dibalik tumpukan papan gadis itu telah membuat sebuah ruangan kecil, ada meja kayu pendek di tangah yang dilapisi karpet persia usang dan berlubang. Di pojok gang, kotak-kotak kayu dibentuk menjadi tempat tidur; dengan karpet usang yang lebih tebal dan bantal-bantal bekas yang sudah kempis. Rak kecil yang kakinya patah ada di sisi ranjang itu, menyimpan tumpukan baju dan sebuah piring berisi roti dan keju. Pangeran itu kemudian mendongak, melihat keatas; dimana atap-atap gedung tinggi yang saling berhimpitan menutup daerah ini seperti genting.
Anak perempuan yang paling kecil tengah berdiri di samping untaian panjang tali yang bersambung dari balik papan ke celah rak, menunjuk jemuran berisi pakaian yang ditumpuk di sana.
"Ini," si anak yang paling kecil berkata. "Baju paman."
Pangeran Muda itu mendekat, melihat jajaran baju itu dan mendadak merasakan perasaan iba dan sedih yang membumbung memenuhi dadanya.
"Apa paman sudah menemukan bajunya?" si anak yang lebih besar masuk bersama Louis dan bertanya. Ia mendekat ke arah Richard dan mengendik bangga pada jemurannya. "Ini pakaian yang kami pakai saat musim dingin, tapi jika paman memang butuh ambil saja. Kami akan mengambil yang baru begitu gudang dibuka."
"Kemana orang tua kalian?" Richard bertanya cepat.
"Tidak tahu," si anak menjawab acuh.
"Apa kalian memang ditinggalkan sendiri oleh orang tua kalian?" Richard bertanya lagi.
"Kami memang tidak punya," si anak yang paling besar menjawab, ia menggoyangkan rambut hitamnya yang kusut dan merengut. "Aku hanya punya adikku, tidak orang tua."
"Kenapa tidak tinggal di panti asuhan?" Pangeran muda itu masih bertanya.
"Penuh," si anak kembali menjawab. "Terlalu banyak anak nakal,adikku menangis saat diganggu."
Richard sudah akan bertanya kembali, saat denting bel gereja berbunyi dari kejauhan.
"Apa paman sudah selesai?" gadis bersurai hitam bertanya. "Kami harus pergi ke bibi Em, atau kami tidak dapat makan malam."
"Bibi Em?"
"Pemilik restauran di depan lampu merah," si gadis menjawab dengan wajah merengut. "Saat bel berbunyi dia akan tutup, biasanya dia membungkus semua makanan yang masih tersisa dan membaginya. Jadi kami harus segera kesana, sebelum semua makanan itu diambil orang lain."
Richard mendongak, menatap Louis yang hanya terdiam menatapnya sebelum menarik acak dua hoodie dan melempar salah satunya ke Louis.
"Kami memilih ini," Putra Mahkota itu berujar cepat. "Ayo pergi, aku akan membelikanmu makan malam."
"Aku?" si anak bertanya. "Kami bisa mendapatkanya di bibi Em."
"Ini ucapan terimakasih karena kau memberi aku baju," Richard menyahut. "Ikut saja."
Gadis itu mendongak menatap Louis, sehingga pengawal Pangeran itu menunduk dengan senyum hangat. "Kita ikut saja ya?"
"Paman bukan orang jahat?" si gadis bertanya dengan lugu.
"Bukan," Louis tertawa. "Ayo, Pangeran itu," ia mengendikkan dagu ke Richard yang telah menyusuri separuh gang, "akan membelikanmu banyak makanan."
"Aku tidak percaya dia seorang Pangeran," si gadis mengguman sesaat, menggerakkan badannya maju mundur dengan ragu. "Apa aku bisa membawa sebagian makanannya pulang kemudian? "
"Tentu saja," Louis mengiyakan. "Ayo," ia mengulurkan tangan yang langsung gadis itu gapai dengan cepat. Ia kemudian mengandeng adiknya di sisi yang lain dan bersama-sama menyusul Richard yang sudah menghilang di belokan.
...
Sweater pinjamannya bekerja dengan baik untuk menjauhkan mereka dari kesan gembel. Walau pada akhirnya Richard menghubungi Charles untuk membantunya memesan restauran secara privasi dan secara otomatis pria itu tentu akan membawa baju yang lebih pantas untuk Richard dan Louis-tentu saja-.
Setelah memastikan bahwa penampilannya lebih baik dengan kemeja putih dan jeans yang dibawakan Charles, pemuda itu melirik Louis yang masih terpekur menatap tasnya dari bayangan kaca toilet tempatnya berdiri.
"Ada apa?"
Louis menoleh, ekspresinya muram. "Buku saya, catatan saya, kertas ulangan saya. Ujian saya ..."
"Turut berduka cita," sahut Richard sembari mengancingkan kancing dilengan. "Aku akan pastikan mereka dikebumikan dengan layak," Pangeran itu menepuk bahu Louis simpati dan berjalan keluar toilet. "Sekarang ayo kita makan."
Pengawal Pangeran itu menghela nafas berat, berjalan dengan bahu turun mengikuti Richard. Mereka menuju ke bagian restauran yang terdiri atas bilik-bilik ruang makan, bagian pemesanan privat yang memang ditawarkan pihak restauran. Setelah melemparkan tasnya yang basah ke samping pintu, Louis mengangguk pada pengawal kerajaan yang berjaga di samping-samping pintu dan masuk menyusul Richard.
Charles disana. Tengah membantu anak-anak gadis itu membuka cangkang lobster super besar dan menaruh dagingnya di piring mereka.
"Yang Mulia," ia bangkit dari kursinya dan membungkuk kala melihat Richard.
"Duduk saja," sahut Pangeran itu seraya mengambil tempat di depan si gadis yang paling besar.
Louis tersenyum tanpa dosa saat ajudan Raja itu menatapnya dengan alis terangkat dan berucap 'ayahmu' tanpa suara. Pengawal Richard itu memilih duduk di sisi Pangerannya dan menatap kedua gadis di depannya yang asik makan.
"Enak?" ia bertannya.
Si gadis yang paling besar mengangguk, menyuapi adiknya dengan daging kemerahan losbster. "Enak sekali, kata paman ini namanya Lobster, aku pernah melihatnya," ia menelan cepat, "bibi penjual ikan punya ini. Tapi tidak sebesar ini."
"Ini memang teman ikan," Louis menyahut. "Mereka tinggal bersama di laut."
Kali ini si gadis yang kecil yang bicara, "Kenapa kita makan teman ikan? Ikan pasti mencarinya, kan?"
"Karena losbternya sudah berhenti berteman dengan ikan," Richard menjawab sambil mengambil udang besar di nampan dan memakannya. "Jadi masa bodoh lobster itu dimakan, lagipula itu salahnya sendiri karena mau dijaring. Lobster memang tidak punya otak."
"Abaikan paman ini ya," Louis berujar cepat saat kedua gadis itu bertatapan dengan tanda tanya. "Itu tidak benar, ikan juga ditangkap bersama dengan lobster. Tidak ada teman yang meninggalkan temannya."
Si gadis yang paling besar melirik Richard tajam, "Paman ternyata memang berkelakuan buruk."
Pangeran itu menaikkan alis, "Aku harap kau ingat siapa yang membayar makanmu nanti anak kecil."
"Aku bukan anak kecil!" si gadis memekik. "Aku sudah dua belas tahun."
"Dan aku seratus dua puluh tahun," sahut Richard. "Kau bahkan masih belum bisa menghapus ludahmu sendiri dengan benar."
"Untuk apa aku menghapus ludah?" gadis kecil itu menyahut jengkel. "Itu kotor."
"Astaga—"
"Yang Mulia," Louis memotong cepat. "Dia hanya anak-anak."
"Jangan mencegah aku Louis," Richard menyipitkan mata. "Gadis keras kepala ini tidak berhak mendapat pengalahan."
"Aku tidak keras kepala," si gadis mendesis kesal.
"Bicara pada tembok," pangeran itu mendengus ke dinding di balik si gadis. "Sikapmu yang seperti itu bahkan lebih dari sekedar keras kepala, tumbuh dewasa dengan watak menjengkelkan itu akan membuatmu sulit dapat jodoh. Aku pastikan itu," Richard menggeleng skeptis. "Aku merasa kasihan dengan imajinasi anak-anak yang bermimpi menikah dengan Pangeran jika itu kau, gadis keras kepala."
"Siapa juga yang mau menikah dengan Pangeran?" si gadis bersedekap angkuh. "Aku akan menikah dengan Raja, jadi aku bisa membuat orang jahat seperti paman pergi."
Richard mendengus, "Ya Tuhan. Kau benar-benar gadis kecil dengan mulut berbisa."
Si gadis itu hanya menggoyangkan surainya dan melirik, sebelum kembali menekuni daging lobsternya yang sudah penuh di piring—hasil dari Charles selagi ia dan Richard berkelahi—tangannya yang kecil kembali membantu adiknya untuk makan dan sesekali menyelipkan anak rambutnya yang berujung abu-abu kebelakang telinga.
Charles sendiri mengambil lap bersih di meja dan membersihkan tangannya, ia menatap Putra Mahkotanya yang memakan abalonnya dengan muka jengkel dan Louis yang melahap bagiannya dengan wajah menahan tawa-dengan alasan yang ia juga ketahui.
"Yang Mulia," Charles memulai. "Ayah anda ingin anda pulang sekarang, ada sesuatu yang hendak beliau bicarakan."
"Apa?" sahut Richard dingin.
"Saya kurang mengetahuinya, tapi Beliau meminta Anda bergegas."
Pangeran Muda itu mendengus, "Seolah-olah ia butuh saja," ia mengguman sinis. Tapi tetap bangkit dan membersihkan tangan. Menatap kedua gadis itu dengan pandangan tak terjelaskan sebelum mendecak. "Tetap disini Charles, temani kedua anak itu makan. Aku akan kembali dengan Louis."
Charles menunduk, "Sesuai kemauan Anda."
"Paman mau pergi?" si gadis yang paling besar mendongak.
"Ya," jawab Richard. "Aku tidak tahan harus makan dengan gadis kepala batu sepertimu."
Si gadis mencebik, "Ya sudah. Pergi sana."
Alis Pangeran itu naik sebelah bebarengan dengan dengusan. "Bawa dia," ia memberi gesture pada kedua anak itu. "Ke panti asuhan, atau ke tempat lain, mereka akan lebih baik di sana daripada di jalanan."
"Tentu saja."
Pangeran itu kemudian berbalik, sudah berjalan menuju pintu sebelum berbalik lantaran suara kecil di belakangnya.
"Terimakasih," si gadis menunduk pura-pura sibuk kala Richard berbalik, tapi Pangeran itu bisa melihat jika telinga dan pipi gadis itu memerah malu. "Aku akan membalasnya suatu hari nanti."
Richard mendenguskan tawa, memberi senyum tipis sesaat sebelum berbalik keluar dan menghilang dibalik pintu. Meninggalkan si gadis yang mendongak menatap kepergiannya. Anak itu kemudian menghela nafas kala pintu tertutup, kembali menekuni lobsternya dalam hening dan membuat Charles mengulum senyum.
"Apa dia tampan?"
Si gadis mendongak, "Siapa?"
"Paman itu."
"Sedikit," si gadis menyahut singkat.
Charles tertawa, "Akan lebih baik jika kau jujur," ajudan itu mulai mengupas lobster lain.
"Paman itu kelihatannya tipe yang mudah besar kepala."
Charles tersenyum, "Sedikit," ia berbisik dengan kedipan yang langsung disahut si gadis dengan tawa. "Tapi ngomong-ngomong jika boleh paman tahu, siapa namamu?"
"Aku?" ia bertanya saat tawanya usai.
"Ya. Kau."
"Redd," si gadis menjawab. "Redd Mansen."
....