Download App

Chapter 9: Bab 8

Ruri menekan nomor kombinasi apartemennya dan mendorong pintu itu. Dia masuk dan mendapati dua pasang sepatu pria berserakan di lantai. Sambil menggelengkan kepala, dia merapikan sepatu-sepatu itu baru dia melangkah.

Dari lorong itu dia dapat melihat Daiki dan Hideo sedang duduk di sofa depan televisi bersama kue pengantin yang tinggal separuh. Ruri dapat menduga bahwa hampir dari separuh kue itu lenyap ke dalam perut Hideo. Daiki tidak pernah mau makan kue pengantin yang gagal berdiri di altar.

"Hai." Ruri menyapa kedua pria itu sambil menenteng kantong berisi kotak sushi. "Apa kalian sudah makan?"

Hideo menoleh sambil menghapus krim kue yang ada di sudut bibirnya. Dia tertawa seraya menunjuk Daiki yang tampak mencoret-coret angka di kertas.

"Dia yang kelaparan." Hideo tertawa dan melongok apa yang sedang Daiki lakukan. "Dan untuk menenangkan cacing-cacing dalam perutnya yang berteriak-teriak, dia memilih menyelesaikan teka teki matematika."

Ruri membungkuk dan melihat betapa seriusnya Daiki mengotak-atik angka di depannya. Dia menggoyangkan kantong berisi sushi di depan hidung pria itu sambil tertawa. "Daiki..apa kau mencium bau apa ini?"

Karena bau sushi yang mengundang air liurnya membuat Daiki melempar kertas dan pensil ke meja. Dia melotot pada Ruri. "Sedikit lagi aku berhasil memecahkan angkanya."

Ruri menegakkan punggungnya. "Angka-angka itu tidak akan membuatmu kenyang." Dia berjalan menuju pantry dengan bungkusan sushi di tangan.

Hideo tertawa dan mengganti channel televisi. Daiki berdiri menyusul Ruri ke pantry. Dia membantu wanita itu mengeluarkan semua isi dari bungkusan dan berseru melihat semua kue yang dibeli Ruri.

"Kau menyuruh aku dan Hideo Senpai gendut ya dengan semua kue ini." Daiki menyindir sambil mengambil sebuah dan memakannya.

Ruri tertawa seraya membuka lemari gantung mengambil beberapa mangkuk. "Sejak kalian menjadi detektif, pola makan kalian benar-benar rusak."

Daiki menatap Ruri dengan lekat. Kadang dia sendiri merasa kagum akan diri Ruri yang berhasil mengatasi hidupnya sejak mengalami masa kecil yang kelam meski pun sejak Ruri bersama keluarganya, hidup Ruri menjadi lebih baik. Tapi Daiki tahu, jauh di dalam diri Ruri yang sekarang selalu ada sosok Ruri kecil yang hidup dengan rasa takut akan trauma masa lalu.

Suara televisi di ruang tengah menjadi latar belakang mereka yang berada di pantry.

"Tersangka pembunuhan Bank Asing Saitama berhasil ditangkap oleh kepolisian Tokyo kemarin petang. Berdasarkan dari bukti yang didapat ternyata sidik jari tersangka juga terdapat pada alat yang digunakan pada pembunuhan 19 tahun lalu yang menimpa diri Akemi Kondoo..."

PRANG!!!

Suara pecahan mangkuk kaca terdengar nyaring di pantry hingga ke ruang tengah yang membuat Hideo berlari menuju pantry.

"Saat ini tersangka sedang berada di kepolisian Tokyo dan dilakukan interogasi secara ketat selama siang ini. Laporan dari Kepala Divisi Kriminal, Ichiro Nakano, dapat dipastikan tersangka juga terlibat atas pembunuhan yang terjadi di Toshima 19 tahun lalu. Untuk diketahui, kasus tersebut ditutup dengan tidak jelas. Kepala Detektif Nakano mengatakan dia akan membuka kembali kasus tersebut agar berjalan bersamaan dengan kasus terkini. Apakah memang pembunuhan ini berkaitan?"

Daiki segera mendekati Ruri yang tampak gemetaran di tempatnya berdiri. Hideo yang sudah berada di pantry dapat melihat betapa Ruri menggigil di dalam rangkulan Daiki.

Ruri mendongak untuk menatap Daiki. "Apakah...apakah itu benar?" ucapnya lirih.

Daiki diam saja melainkan membawa Ruri untuk keluar dari pantry. Tapi Ruri membalikkan badannya dan mencengkram lengan kemeja Daiki. "Daiki...jawab aku."

Daiki menarik lepas jari-jari yang mencengkram lengan kemejanya. Dia menatap mata bening Ruri. Suara Hideo terdengar jelas di telinga Ruri.

"Untuk itulah malam ini kami datang ke sini."

Ruri mendengarkan semua penuturan Hideo tentang kasus pembunuhan yang terjadi.

"Aku dan Daiki kini bergabung bersama tim penyidik untuk mengusut kasus ini. Mulai besok kami akan mencari keterangan yang ada di apartement Jiro. Meskipun masih sangat samar, kami memiliki keyakinan bahwa dia bekerja di bawah sebuah kelompok."

Daiki hanya diam menatap Ruri yang duduk di seberangnya dengan kedua tangan dikatupkan. Wanita itu berjuang untuk membuat dirinya tenang.

"Jika...jika memang pembunuhan itu saling berkaitan...apa aku akan menjadi saksi..." Ruri mencetuskan rasa bimbangnya sejak mendengar penuturan Hideo.

Daiki membuka suaranya secara spontan. "Kau takkan pernah menjadi saksi untuk siapa pun," tukas Daiki.

Bola mata Ruri membulat. "Tapi...satu-satunya yang menyaksikan ibu dibunuh hanyalah aku...aku..aku yang berada di dalam lemari," Ruri seakan dapat melihat kembali kenangan malam naas itu. Seolah mimpi buruknya kembali merangkulnya. Suara-suara teriakan ayahnya, tubuh kurus ibunya yang menjadi sasaran pukulan, ibunya yang sakit-sakitan, ibunya yang meninggal di depan matanya. Darah yang mengalir dari dada ibunya, tatapan kosong ibunya yang tertuju pada dirinya di dalam lemari itu. Semuanya seolah kembali menyergap Ruri. Dia memejamkan matanya erat-erat.

Daiki mengulurkan tangannya. Diraihnya kedua tangan yang terkepal itu ke dalam telapak tangannya. Digenggamnya jemari yang menggigil itu.

"Ruri..saksi pembunuhan ibumu bukan dirimu satu-satunya. Saksi kunci yang sebenarnya adalah ayahmu yang kabur, Kenji Fujita," Daiki berkata halus.

Suara Daiki yang tenang itu sangat kontras akan suasana ruangan yang tiba-tiba sunyi. Hideo dan Ruri menatap Daiki tanpa berkedip. Dengan masih menggenggam jemari Ruri, Daiki tersenyum tipis.

"Aku berencana akan mengunjungi Ayah di Koto. Orang tua itu memiliki semua referensi tentang kasus ibumu. Diam-diam dia dan paman Yoshio menyelidiki kasus itu di luar dari status detektif mereka di kepolisian." Daiki tidak mau menceritakan bahwa kecurigaan ayahnya tertuju pada kelompok yakuza besar yang saat itu begitu berpengaruh di Jepang. Bahwa kecurigaan itu dimulai dengan ditemukannya cairan sperma ayah Ruri pada tubuh wanita yang gantung diri di kediaman sang yakuza. Bahwa wanita itu adalah isteri dari sang yakuza yang kini menghilang entah ke mana. Bahwa ayah Ruri berselingkuh dan merampok harta wanita itu dan juga sejumlah besar uang yang berada di brankas sang yakuza.

Dia dan Hideo berniat untuk menggeledah habis-habisan di apartemen Jiro. Mereka akan mencari tahu jenis pekerjaan apa yang dimiliki pria itu. Mengapa dia membunuh Pemilik Bank Asing di Saitama. Dan juga mengapa dia bisa menjadi pembunuh Akemi Kondoo?

Suara dering ponsel Hideo membuyarkan percakapan serius itu. Dia melirik dering yang membandel itu dan tersenyum lebar melihat siapa yang menelponnya. Dia mengacungkan ponselnya dengan tampang konyol sambil berbisik. "Naoko menelponku," lalu tanpa menunggu reaksi dari kedua orang di depannya, dia langsung menyambut telepon itu.

"Ah Naoko. Aku di apartemen Ruri. Tidak, jangan kemari. Aku akan ke tempatmu sekarang juga. Kau tunggu saja. Bye." Hideo menghentikan percakapannya dan tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Dia menoleh dan terkejut melihat wajah Daiki dan Ruri sudah begitu dekat di depan wajahnya, membuat dia terloncat dari duduknya.

"Aish!! Apa-apaan kalian!" serunya dengan wajah merah padam.

Daiki menyunggingkan senyum miringnya. "Kau mau kencan hah?" goda Daiki semakin mendekat.

"Apa yang sudah Naoko perbuat padamu hingga kau bisa tersenyum-senyum sendiri, Senpai?" Ruri melanjutkan godaan Daiki untuk mengganggu Hideo. Ruri tahu bahwa Hideo sifatnya kurang lebih seperti Daiki, pendiam. Namun Hideo lebih pendiam dan serius dibanding Daiki.

Sejak kecil mereka tumbuh bersama. Apalagi sejak Hideo menyelamatkan dia dan Daiki di lautan Odaiba, ikatan batin mereka menjadi lebih kuat. Hideo hampir tidak pernah memikirkan hubungan percintaan antara pria dan wanita sehingga Ruri selalu mencari akal untuk menciptakan kencan buta untuk Hideo. Tapi semua usahanya selalu gagal. Hideo selalu menertawainya dan berkata tidak akan ada wanita mana pun yang bisa menggerakkan hatinya.

Ketika Ruri mencoba usaha terakhir dengan memperkenalkan Hideo pada Naoko Abe, satu-satunya teman wanita yang berhasil dipertahankan Ruri di sisinya, ternyata semua di luar dugaan. Hideo langsung tertarik pada Naoko pada pertemuan pertama. Dan 3 bulan kemudian mereka berpacaran dan setahun kemudian bertunangan. Hubungan keduanya sudah berlangsung 3 tahun dan sangat awet.

Hideo tersenyum melihat tawa Ruri. Diketuknya dahi wanita itu dan dipeluknya dengan hangat. Sekilas dikecupnya dahi itu. "Akhirnya kau tertawa juga.." tapi Hideo meringis ketika merasakan tepukan pada kepalanya. Dia menghela napas dan melepaskan pelukannya pada Ruri yang kembali tertawa.

Hideo melotot pada Daiki yang berdiri di belakang sofanya dan menepuk kepalanya dengan cukup keras. Senyum garang muncul membuat Hideo berdiri dan pura-pura ingin membalas mengetuk kepala pria itu.

"Kau masih saja sama seperti dulu. Memangnya aku dilarang menyentuh Ruri?"

Alis Daiki terangkat. "Sejak Ruri dewasa kau dilarang mencium dia seperti sebelum itu," omel Daiki.

Hideo terbahak begitu juga dengan Ruri yang mendengar omelan Daiki. Dengan senyum penuh rahasia, Hideo berkata membuat wajah Daiki memerah. "Jadi karena itu kau tidak pernah lagi memeluk Ruri heh?"

Ruri terdiam. Dia menatap Daiki yang menjadi memerah dan salah tingkah. Jantungnya berdebar kencang mendengar kalimat Hideo. Dengan tersenyum penuh kemenangan, Hideo meraih jaketnya dan sekali lagi mengecup pipi Ruri. "Aku pulang duluan. Oke?"

Ketika dia melewati Daiki, Hideo mengacak rambut Daiki dengan sayang. "Temani Ruri sampai dia tidur, baru kau boleh pulang. Berita barusan bisa membuat dia cemas."

Daiki menatap Hideo yang keluar dari apartemen Ruri sambil bersenandung. Di ruangan itu hanya tinggal dia bersama Ruri yang kini tengah menatapnya lekat. Pengaruh ucapan Hideo masih sangat melekat pada keduanya.

Ruri memeluk kedua tangannya. Tiba-tiba saja dia kembali merasakan rasa yang aneh pada Daiki. Rasa yang timbul begitu berbeda dengan apa yang selama bertahun-tahun dirasakannya terhadap Daiki. Sejenak dia tidak lagi menganggap pria itu sebagai seorang kakak. Tidak lagi menganggap Daiki sebagai seorang saudara laki-laki. Tidak lagi menganggap Daiki sebagai sahabat kecilnya. Entah sejak kapan dia memandang Daiki sebagai seorang pria.

Daiki sendiri berusaha menekan perasaan yang melandanya saat itu. Ucapan Hideo seakan telah menelanjangi perasaannya di hadapan Ruri bulat-bulat. Ruri adalah wanita pintar dan dapat mengerti arti dari ucapan senpainya itu. Menyadari bahwa Daiki tidak lagi menganggap Ruri sebagai adik perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Menyadari bahwa Daiki menganggapnya sebagai wanita seutuhnya. Wanita yang diam-diam dicintai Daiki selama belasan tahun ini. Dasar sialan kau, Senpai!

"Bukankah Senpai sangat kurang ajar sekali meninggalkan semua kotoran ini begitu saja?" Daiki mencoba mengalihkan situasi dan dia dapat menangkap senyum kecil Ruri di sudut bibir yang indah itu.

"Biarkan saja seperti itu Daiki. Besok pagi akan kubersihkan." Ruri menatap sisa kue pengantin yang sudah ludes dan bekas sushi di atas meja depan televisi. "Kalau kau ingin pulang tidak apa-apa, kok".

Daiki menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dan mengeluarkan ponselnya. Dia memandang Ruri yang mengangkuti piring sisa sushi ke pantry. "Kau tidur saja ke kamarmu. Aku disini menunggu kau tidur sambil main game," ucap Daiki dan mulai membuka ponselnya.

Ruri berjalan menuju kamarnya dan berkata ringan pada Daiki. "Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa mengatasi rasa terkejutku."

"Tidak! Aku tetap akan di sini sampai kau benar-benar tertidur." Daiki mengangkat matanya dari layar ponselnya. "Jangan membantah, Ruri."

****

Ruri tidur dengan gelisah. Di dalam mimpinya semua kejadian saat dia masih kecil datang kembali. Dia bisa melihat dengan jelas penderitaan ibunya. Bagaimana ayahnya tiap kali membuat ibunya selalu menangis.

Mimpi buruk akan kejadian malam naas itu hadir seperti hantu yang muncul pelan-pelan. Semuanya bagai slow motion saat dia melihat ibunya ditusuk oleh tangan besar yang memegang pisau. Pisau itu berkilauan dan begitu runcing. Ruri yakin bahwa dia kembali berada di dalam lemari rumah mereka. Dia bisa melihat dengan jelas ibunya yang ringkih jatuh begitu saja di lantai dan ayahnya yang kabur lewat jendela. Di antara airmatanya dia bisa melihat dua pasang kaki mendekati mayat ibunya. Dia melihat sebuah ujung tongkat dari kuningan yang menyibak ujung rambut ibunya. Dia melihat dari celah lemari seorang lelaki tua dan anak lelaki.

Ruri menjerit dalam mimpi. Rasanya seperti itulah jeritannya ketika dia tidak mau berbicara. Suara jeritan Ruri melengking nyaring menembus pintu kamarnya.

Daiki yang nyaris mengunci pintu apartemen Ruri mendengar jeritan itu. Dia masuk kembali ke dalam apartemen dan berlari menuju kamar Ruri.

Dia membuka pintu kamar yang tidak pernah dikunci itu dan melihat bagaimana Ruri bergerak gelisah di tempat tidurnya dengan jeritan yang tak kunjung berhenti. Wanita itu menjerit dalam tidurnya.

"Ruri!!" Daiki berlari melintasi kamar dan menghampiri tempat tidur. Ditepuknya pipi Ruri agar segera bangun. "Bangunlah, Ruri!!"

Tepukan pada pipinya membuat Ruri tersadar seketika. Dia membuka matanya lebar-lebar dan dengan gerakan spontan mencelat bangun dan memeluk Daiki. Dadanya bergemuruh kencang dan kedua tangannya melingkari leher Daiki dengan erat. Dia menyusupkan wajahnya di lekuk leher pria itu. Seperti kebiasaannya waktu kecil jika merasa ketakutan.

Daiki terpaku merasakan betapa kuatnya Ruri memeluk dirinya. Dia merasakan napas Ruri yang memburu dan helai rambut lembab wanita itu menyentuh lehernya.

Di dalam rasa paniknya, Ruri memeluk Daiki begitu saja tanpa peduli pada letak selimut yang kini tidak lagi menutupi tubuhnya.

Daiki menepuk punggung Ruri dan darahnya berdesir ketika bagaimana dengan gerakan lambat Ruri bernapas. Daiki memejamkan matanya berusaha menahan gejolak dirinya untuk dalam keadaan sadar sepenuhnya.

"Ruri...kau tidak lagi sendirian," ucap Daiki pelan. Dia hampir tidak berani bergerak.

Perlahan Ruri melepas rangkulannya pada leher Daiki dan menjauhkan wajahnya dari lekuk leher kokoh itu. Dia menunduk dan baru menyadari keadaan dirinya. Rasa jengah menjalari seluruh wajah dan tubuhnya.

"Maaf...Daiki...kau masih di sini?" Ruri mendongak dan terdiam ketika melihat betapa dekatnya jarak wajah mereka.

Daiki menatap manik mata Ruri yang bening, rambut panjang yang berantakan dengan wajah pucat pasi. Ruri masih saja dihantui oleh kenangan pahit itu. Berpikir akan hal itu membuat Daiki menggerakkan tangannya dan menyentuh pipi Ruri yang menghangat.

Rasa sayang, cinta terpendam dan putus asa membuat Daiki ingin meremukkan tubuh wanita itu agar menyatu dengannya. Dia tidak ingin Ruri terluka lagi oleh masa lalu. Berita penangkapan tersangka pembunuhan itu mengguncang ketenangan diri Ruri begitu juga dengan pertahanan Daiki.

Ruri merasakan hangat telapak tangan Daiki pada pipinya. Jantungnya berdetak terlalu kencang membuat dia khawatir benda itu akan meloncat melalui kerongkongannya. Wajah Daiki bergerak mendekat dan dia memejamkan matanya. Menanti.

Daiki memejamkan matanya sejenak. Digigitnya bibirnya dengan keras dan dengan menghela napas, dikecupnya dahi Ruri dengan frustasi. "1...2..3..lupakan rasa takutmu." bisik Daiki.

Ruri membuka matanya. Dia menelan rasa kecewa yang muncul tiba-tiba. Perlahan Daiki melepas bibirnya dari dahi Ruri bersamaan dengan bunyi dering ponselnya.

Daiki meraih ponselnya dan menyahut panggilan dari Kepala Divisi Ichiro Nakano. Kesempatan itu membuat Ruri bisa menjauhkan dirinya dan menarik selimut.

"Hallo..."

"Segera datang ke markas. Tersangka Jiro Miura ditemukan mati tertembak di selnya."

****

Junichi bersama wanita berambut cokelat malam itu yang merupakan salah satu dari sekian banyak wanita yang menemaninya. Seorang wanita barat tunangan dari pengusaha muda sebuah perusahaan iklan yang terdapat di Los Angeles. Dia menjadi salah satu wanita yang memiliki hubungan rahasia dengannya. Bagi para wanita, Junichi merupakan mimpi fantasi liar mereka. Bisa menjadi kekasih semalam pria itu merupakan sebuah keberuntungan sekejab.

Junichi merasa jengkel dengan berita yang dilihatnya beberapa jam lalu tentang Jiro Miura di televisi. Dia membutuhkan tempat penyaluran emosinya saat itu juga. Dia tidak mungkin memintanya dengan Sayuri. Wanita itu sudah memilih menemani ayahnya minum teh sambil menikmati taman bunga mawarnya daripada memikirkan kegelisahan tunangannya.

"Apa tunanganmu yang cantik tidak curiga kau bersama denganku di kamar tersembunyi ini?" Sherly, wanita berambut cokelat itu menumpukan lengannya di atas dada bidang Junichi.

Tatapan Junichi tak berpindah dari langit-langit di atasnya. Merasa tidak dipedulikan oleh pria itu, Sherly mulai mencari cara membuat perhatian pria itu teralihkan. Junichi sama sekali tidak menghiraukan apa yang diperbuat Sherly. Pikirannya menerawang menembus masa lalu.

Kenangan di balik lubang kunci selalu membayangi perkembangan psikologis Junichi. Membuat dia selalu dapat merasakan sakit hati dan dendam terhadap wanita. Membuat dia selalu ingin menyiksa perasaan wanita. Tapi dia tidak pernah sanggup menyakiti Sayuri walaupun dia tahu wanita itu mungkin tidak pernah memikirkannya.

Junichi memejamkan matanya dan mengepalkan tinjunya. Bayangan ibunya di bawah tubuh pria itu membangkitkan amarah Junichi. Rasa benci berkobar besar di diri Junichi. Membuat dia ingin segera mendapatkan keluarga Fujita berikut akarnya. Tiba-tiba saja wajah cantik tunangannya tercetak di dalam benaknya.

"Sayuri..."erang Junichi.

Namun suara ketukan pada pintunya membuyarkan semua apa yang terjadi di dalam kamar itu, membuat Junichi menggeram jengkel dan mendorong Sherly menjauh darinya. Dia bersuara kasar menyambut ketukan itu.

"Siapa!!!"

"Saya, Junichi-sama." Sebuah suara datar menjawab seruan kasar Junichi.

Mendengar suara asistennya, Junichi duduk tegak menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. "Kau boleh pergi sekarang!" perintahnya datar pada Sherly yang menatapnya dengan kecewa.

Sherly sudah paham jika mafia muda itu bersuara datar seperti itu. Itu adalah tanda bahwa petualangan mereka telah usai. Dengan santai Sherly bangkit dari ranjang dan turun dengan gemulai.

Junichi melirik Sherly yang mulai memunguti pakaiannya dan memakainya satu persatu. Lalu perhatiannya kembali pada pintu yang masih tertutup.

"Masuk. Kau tahu berapa nomor kombinasinya."

Tak lama setelah berkata begitu, terdengar suara klek pintu terbuka dan muncullah seorang pria jangkung berwajah datar.

Pria jangkung itu adalah Koji Hayashi, asisten Junichi yang sangat efisien dan teriorganisir. Jarang bicara namun apa pun yang diperintahkan Junichi selalu selesai sesuai permintaan sang mafia.

Kali ini Koji datang ke blue room -sebutan Junichi bagi sarangnya- karena apa yang ditunggu oleh pria itu telah terletak rapi di atas meja kerjanya.

"Semua telah siap di atas meja anda." Koji memandang pemandangan yang selalu sama jika dia datang ke kamar itu. Wanita-wanita yang datang silih berganti. Kali ini dia melihat seorang wanita berambut cokelat tengah berpakaian.

Alis Junichi terangkat sebelah. "Kau yakin dia mengirimnya secepat itu?" dia menyibak selimut dan dengan santai berjalan di ruangan itu dengan tubuhnya yang maskulin. Dia meraih jeansnya dan memakainya. Dia sama sekali tidak peduli pada Sherly yang mengecup pipinya sebelum berlalu.

"I will miss you, Honey." bisik wanita itu serak.

Tanpa menoleh, Junichi menjawab acuh tak acuh. "Pergilah segera."

Setelah Sherly berlalu, dengan hanya mengenakan jeansnya, Junichi berjalan cepat menuju ruang kerjanya yang berada di lantai paling atas rumahnya diikuti oleh Koji.

Pintu lift langsung terbuka pada sebuah ruangan luas bergaya elegan itu dan dia menuju meja mahoninya. Di atas meja itu terletak sebuah amplop cokelat berukuran sedang. Diraihnya benda itu dan dibukanya perlahan. Dia mengeluarkan sekumpulan foto dan menatapnya satu persatu di tangannya. Lama dia memperhatikan foto-foto itu. Kemudian dia melihat layar komputernya berkedip. Sebuah pesan masuk pada kotak emailnya.

Junichi mengklik tanda pesan itu dan membaca singkat email yang masuk. Hanya sebaris kalimat pendek di dalam inbox tapi hal itu membuat senyum Junichi terkembang.

"Sudah beres, sel polisi."

Junichi menumpukan kedua tangannya di meja dan tertawa ketika membaca pesan singkat itu. Dia menoleh Koji.

"Siapkan pesawat. Katakan pada Nona Sayuri bahwa besok pagi aku akan membawanya."

"Anda akan bepergian?"

Junichi membalikkan tubuhnya. Wajah itu tersenyum amat tampannya. Tapi sepasang mata itu tidak ikut tersenyum. "Jepang. Kita akan ke Tokyo." Dilemparnya sekumpulan foto ke atas meja. Tampak foto-foto seorang wanita sedang berada di sebuah restoran bertebaran di meja. Foto seorang wanita cantik berambut panjang yang sama tengah membayar sesuatu di meja kasir. Foto diri seorang Ruri Fujita.

****

Malam itu Kepolisian Tokyo tampak sibuk menghadapi serbuan para wartawan yang mendapat kabar seperti angin ribut.

Daiki dan Ruri tiba di halaman gedung kepolisian dan melihat tangga gedung itu dikerumuni wartawan yang berusaha ingin masuk k edalam.

Daiki membuka pintu mobil dan menatap Ruri yang tampak duduk memeluk kedua tangannya. "Kau tunggu di sini?" tanya Daiki.

Ruri merapatkan kerah sweaternya. Dia membuka pintu mobil. "Aku ikut. Aku ingin melihat mayat pria itu," jawab Ruri.

Alis Daiki berkerut. Ruri berjalan mendekatinya dan tampak sebuah mobil lain berhenti tepat di samping mereka.

Hideo keluar dari mobil dengan tergopoh-gopoh dengan rambut berantakan sambil mengancing kemejanya.

Daiki dan Ruri menatap Hideo dengan senyum terkulum. Hideo melotot pada keduanya. "Jangan tersenyum seperti itu!" tukasnya dengan wajah memerah.

Senyum miring Daiki tersungging. Telunjuknya menunjuk ke arah celana jeans Hideo. "Cepat tutup resletingmu, Senpai."

Dengan cepat Hideo melakukan apa yang diucapkan Daiki. Ruri tertawa pelan dan segera mengikuti kedua pria itu menuju gedung.

Ruri merapat di belakang Daiki yang segera mengeluarkan lencana polisinya di hadapan semua awak media bersama Hideo. "Polisi. Harap menepi."

Sebagian dari wartawan itu memberi mereka jalan. Namun ada satu orang wartawan nekat menyodorkan mic kecil pada Daiki.

"Apakah pembunuhan tersangka dimaksudkan untuk tutup mulut? Berarti memang ada hubungannya dengan pembunuhan 19 tahun lalu? Apakah tersangka bekerja di bawah suatu kelompok atau perorangan?"

Mic kecil itu tersodor tepat di depan wajah Daiki. Dengan sorot mata tajam, Daiki menatap wartawan tersebut. Tatapannya terlihat bengis membuat wartawan itu mundur teratur.

Daiki dan Hideo beserta Ruri memasuki gedung yang seketika tampak begitu sibuk. Telepon di mana-mana berdering nyaring. Kejadian tersangka terbunuh di dalam gedung kepolisian sangat jarang terjadi apalagi di Kepolisian Tokyo.

Mereka menuju ruang mayat yang berada di lantai dasar gedung di mana terdapat mayat Jiro Miura. Daiki dan Hideo memasuki ruangan itu yang sudah ada pula Kepala Divisi Kriminal, Ichiro Nakano dan Detektif Taro Itoo. Ruri memilih untuk menunggu di luar ruangan namun dia bisa melihat keadaan di dalam melalui kaca pintu tersebut.

Tampak Daiki dan Hideo bercakap-cakap dengan dua orang pria di dalam sana. Ruri memiliki kesempatan memperhatikan mayat yang terbujur kaku di atas meja mayat yang dingin. Dia hanya melihat kedua kaki yang kaku dan tubuh yang besar dan panjang. Rasa penasaran membuat Ruri mendorong pintu mayat itu.

Ke empat pria itu tampak begitu asyik membahas kematian tak terduga Jiro Miura sehingga tidak sadar bahwa Ruri memasuki ruangan itu dengan diam-diam.

"Dia ditembak dalam jarak dekat yang berasal dari Baretta 92 kalau aku tidak salah meneliti jenis pelurunya. Sasaran tepat mengarah jantung dan korban meninggal seketika. Waktu kematian sepuluh menit sebelum kebakaran yang terjadi di tong sampah samping gedung," detektif Taro Itoo menjelaskan sebab kematian Jiro Miura.

"Kebakaran di tong sampah?" tanya Hideo heran. "Bagaimana bisa ada kebakaran di tong sampah? Apa penyebabnya karena api rokok atau..."

"Tidak. Tak ada sepuntung rokok pun di sana. Hampir separuh polisi yang bertugas di gedung menuju tempat kebakaran dan berusaha mematikan api sebelum besar. Seorang penjaga menemukan Jiro Miura sudah terbujur kaku di selnya, tak jauh dari jeruji." jawab Ichiro.

Daiki mengangkat mukanya yang dari tadi hanya menatap lantai marmer di bawah kakinya. Ada sesuatu yang janggal dari keterangan tersebut. Jiro Miura ditembak dari jarak dekat. Kebakaran di tong sampah samping gedung. Jarak dekat? Berarti ada kemungkinan sang pembunuh masuk ke dalam sel? Tidak! Jiro Miura tergeletak tak jauh dari jeruji sel, itu berarti dia mendekati sang pembunuh? Artinya Jiro Miura mengenali pembunuhnya!

Ichiro melihat dahi Daiki berkerut. Dia menegur dengan pelan. "Apa kau mempunyai pendapat?"

Daiki menatap mata Ichiro. "Jiro Miura mengenal pembunuhnya."

Sementara mereka saling berpikir, Ruri mendekati mayat yang berada di ujung ruangan itu. Dia memandang wajah pucat yang terbaring tak bernyawa dan dia menahan jeritannya. Dia termundur dan menabrak lemari besi di belakangnya sehingga menimbulkan suara berisik.

Ke empat pria itu menoleh dan mendapati Ruri terduduk di lantai di depan meja mayat Jiro Miura. Wanita itu tampak menutup mulutnya dengan wajah pucatnya.

"Ruri!" Daiki segera berjalan cepat dan merangkul bahu Ruri yang bergetar hebat.

Hideo juga segera mendekat bersama Ichiro dan Taro. Ruri yang masih saja memaku tatapannya pada mayat yang ada di meja mayat itu berkata terputus-putus. "Dia...dia..dia yang menusuk ibuku..." Ruri menoleh Daiki dan mengguncang lengan pria itu. "Daiki! Pria itu yang membunuh ibuku! Aku ingat tangan itu! Wajah itu."

Seketika para pria itu terpaku mendengar kalimat Ruri. Daiki melihat bagaimana airmata mulai menggenang di pelupuk mata bening Ruri. Dipeluknya Ruri dengan erat. "Aku tahu. Aku tahu, Ruri."

Ichiro maju selangkah. Dia berjongkok di samping Daiki yang memeluk Ruri yang terlihat shock.

"Anda siapa Nona?"

Daiki menoleh Ichiro. "Dia adalah anak dari Akemi Kondoo dan Kenji Fujita. Korban penusukan 19 tahun silam.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C9
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login