Download App
74.5% Cakya

Chapter 187: Aku g'ak punya hak untuk meminta dia memilih

Candra memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tentang keluarga Utama. Semakin Candra menemukan kebenaran, Candra semakin hancur.

Ternyata Utama juga merupakan dalang dibalik runtuhnya perusahaan ayahnya, kerajaan Wiratama yang dibangun dari nol, berhasil dihancurkan dalam sekejap mata oleh Utama.

Utama bermain sangat cantik, dia berhasil menghasut pemerintah untuk menutup paksa usaha Wiratama. Sehingga perusahaan rugi besar dan hampir gulung tikar. Kalau saja Candra tidak mengambil kebijakan untuk menyelamatkan 3 perusahaan, dan menjual cabang sisanya. Candra juga akan ditarik ke lubang hitam, sekarang dia sudah ada dijalanan sebagai gembel.

Semua uang hasil Utama menipu perusahaan properti, dengan menawarkan furnitur fiktif. Digunakan oleh Utama untuk menyogok para petinggi daerah, agar menyudutkan perusahaan Wiratama.

Candra duduk dengan gelisah di atas kursi salah satu kafe, disini menjadi tempat favorit Candra untuk bertemu dengan orang bayarannya. Bahkan di tempat ini juga, Candra bisa dengan gampang menemukan istri teman Sinta yang memberikan dia informasi sebelumnya.

"Ini gila...", Candra bicara kesal, kemudian meneguk habis minuman yang ada di gelas. Tenggorokannya tiba-tiba terasa terbakar karena api amarah.

Candra membanting gelas dengan kasar keatas meja, hingga hancur berkeping-keping, sebagian pecahan menusuk tangannya hingga mengeluarkan darah segar.

"Astagfirullah dek...", Sinta segera berlari menghampiri Candra begitu mendengar suara gelas pecah.

"Tangan kamu berdarah dek, sebentar mbak minta P3K dulu", Sinta berlari mencari pelayan Kafe.

"Tunggu... Anda... Bukannya tunanganya Cakya...?", Candra tiba-tiba melemparkan pertanyaan yang spontan membuat Sinta terkejut.

Erfly hanya kelemparkan senyuman terbaiknya, kemudian mengangguk pelan.

"Dulu...", Erfly tersenyum pahit.

"Oh... Saya mulai paham. Anda melepaskan keluarga Utama begitu saja karena anda masih mencintai Cakya...?", Candra tersenyum penuh arti.

"Rasa itu sudah lama hilang. Saya sengaja melepaskan keluarga Utama, saya anggap itu hanya untuk balas budi kepada mereka, yang telah menerima saya tanpa syarat dimasalalu", Erfly bicara dengan suara lirih.

"Maksud anda...?", Candra kembali bertanya, keningnya berkerut karena tidak mengerti.

"Saya rasa anda tidak perlu tahu, itu kehidupan pribadi saya", Erfly bicara dengan nada paling dingin.

Candra tidak berani bicara lagi, Erfly tepat memukulnya ditempat yang tepat. Mulutnya seakan terkunci untuk mengeluarkan kalimat selanjutnya.

Sinta kembali menghampiri Candra, membawa kotak P3K. Dengan telaten Sinta mengobati luka Candra.

"Saya rasa, saya susah tidak ada urusan lagi dengan saudara. Saya harap setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi", Erfly mengakhiri pertemuannya dengan Candra.

Erfly berlalu pergi dari hadapan Candra dan Sinta, diikuti sekretaris pribadinya yang selalu setia menemaninya.

"Apa dia selalu sedingin itu jadi cewek...? Teman mbak g'ak salah jatuh cinta sama cewek seperti itu...?", Candra protes dengan perlakuan Erfly.

"Udahlah dek, bukan urusan kita juga ngurusin kehidupan pribadinya teman mbak", Sinta berusaha menenangkan Candra.

Sinta masih membersihkan luka Candra, "Terus... Apa rencana kamu selanjutnya dek...?", Sinta bertanya lembut.

"G'ak tahu mbak, Candra masih pusing", Candra menjawab setingkat yang dia bisa.

"Mbak minta maaf dek...", Sinta bicara lirih. Setelah menyelesaikan pengobatan kepada tangan Candra yang luka, seluruh luka Candra kini terbungkus rapi dengan perban.

"Lho... Kok mbak malah minta maaf...? Maaf buat apa mbak...?", Candra malah balik bertanya bingung.

"Gara-gara mbak, kamu harus menghadapi semua ini", Sinta bicara lirih.

"Mbak g'ak salah apa-apa kok. Malah harusnya Candra yang harusnya berterima kasih sama mbak. Kalau bukan karena mbak, Candra tetap saja jadi orang bodoh yang tidak pernah tahu apa-apa", Candra membesarkan hati Sinta.

"Kamu harus kuat dek, mbak yakin kamu bisa melalui semua ini", Sinta bicara lembut.

"Terima kasih mbak, kalau tidak ada mbak, Candra g'ak tahu lagi harus bagaimana menjalani ini semua", Candra memeluk Sinta dengan penuh kasih.

Sejak Candra ada masalah dengan anaknya pak Jendral hingga harus dipenjara, hanya Sinta yang selalu mengulurkan tangan untuk menjaga Candra. Sinta bahkan bisa menggantikan sosok seorang ibu bahkan kakak yang dia cari selama ini. Candra tidak habis pikir, apa jadinya dia kalau tidak ada Sinta.

***

Erfly memutuskan untuk pulang kerumahnya, duduk diteras rumah menikmati matahari yang perlahan ditelan lautan.

"Len...", Nadhira angkat bicara setelah matahari sepenuhnya tenggelam.

"Hem... Kenapa teh...?", Erfly bertanya lembut, menatap Nadhira penuh makna.

"Kamu... G'ak menyesal dengan keputusan kamu ini Len...?", Nadhira tiba-tiba bertanya diluar dugaan Erfly.

"Maksud pertanyaan Teteh...?", Erfly malah balik bertanya.

"Kamu akhirnya memilih untuk menikah dengan Satia. Meninggalkan Cakya begitu saja", Nadhira kembali membuka lembar cerita kelam hidup Erfly.

"Ini yang terbaik untuk kita semua mbak", Erfly bicara lirih, suaranya tercekat karena menahan tangis.

"Len... Kamu juga berhak untuk bahagia dengan orang yang kamu cintai", Nadhira menuntut.

"Aku g'ak punya hak untuk meminta dia memilih", Erfly bicara lirih.

"Kenapa Len...? Kalian saling suka, saling sayang", Nadhira kali ini tidak setuju dengan ucapan Erfly.

"Itu keluarganya teh, Utama itu ayah kandungnya Cakya. Kalau diminta Ilen untuk hidup bersama Cakya, dan harus melihat ayahnya yang telah menghancurkan keluarga Ilen.

Jujur Ilen g'ak bisa. Dimata Cakya ayahnya adalah sosok lelaki yang sempurna, Ilen g'ak ada hak untuk menghancurkan itu. Lebih lagi, Ilen g'ak ada hak untuk meminta dia memilih, Ilen atau keluarganya. Itu g'ak akan pernah adil buat Cakya teh", Erfly bicara panjang lebar.

"Tapi... Len...", Nadhira kembali ingin bicara, akan tetapi Erfly kembali menyela.

"Waktu di gunung tujuh terakhir kali. Teteh tahu apa yang diucapkan mas Satia sama Ilen...?", Erfly kembali mengingatkan kenangan terakhir kali dia di gunung tujuh, saat Cakya melamarnya.

"Apa...?", Nadhira bertanya lembut.

"Kamu harus bahagia. Kalau tidak... Satia akan merebut kamu dari Cakya", Erfly tersenyum lembut mengingat ucapan Satia saat di gunung tujuh.

"Tapi... Apa kamu mencintai Satia...?", Nadhira kembali mengajukan pertanyaan yang langsung menusuk tepat keatas luka Erfly.

Erfly tersenyum penuh makna, "Ilen akan berusaha belajar mencintai mas Satia. Seiring berjalannya waktu, rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya teh", Erfly bicara dengan nada paling pelan.

"Len...", Nadhira menggenggam jemari tangan kanan Erfly.

"Teteh pernah bertanya, siapa orang yang selalu ada dibelakang Ilen selama ini. Yang selalu berada satu langkah dibelakang Ilen, selalu siap bergerak setiap Ilen punya masalah. Selalu jadi tameng yang kuat untuk perusahaan...", Erfly bicara dengan suara nyaris berbisik.

"Yah...", Nadhira menjawab pelan, Nadhira segera merubah posisi duduknya, bersiap untuk menerima kejutan berikutnya dari Erfly.

"Orang itu mas Satia teh", Erfly bicara lirih.

"Satia...? Sejak kapan...? Bahkan seingat teteh kalian tidak pernah bertemu sejak terakhir kali di gunung tujuh itu", Nadhira mulai memandang, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar saat ini.

Erfly tersenyum lembut, "Awalnya g'ak sengaja teh. Ilen butuh orang untuk menyelidiki kasus calo yang membawa lari uang sewa Villa di Bali. Ilen minta bli Putu untuk mencari detektif atau Intel yang bisa dipercaya.

Bli Putu mengajukan temannya, katanya dia petugas khusus satuan Angkatan Udara. Pernah menyamar menjadi Polisi Hutan, dan di tugaskan di BTNKS (Balai Taman Nasional Kerinci Seblat), mencari pencuri kayu dan hewan langka.

Awalnya Ilen pikir kita akan cocok untuk kerjasama. Akhirnya Ilen bertemu sama orang yang dimaksud bli Putu, kebetulan waktu itu dia lagi ada latihan gabungan di Garut.

Kita ketemu di kafe waktu itu. Ilen kaget yang muncul malah mas Satia dengan pakaian lengkap angkatan Udara. Akhirnya... Mas Satia menceritakan semua tentang dirinya. Mas Satia di Kerinci hanya menjalankan tugas.

Dan... Keluarga yang Ilen kenal waktu di Gunung tujuh, itu keluarga angkatnya.

Kita sepakat untuk merahasiakan ini semua, karena mas Satia tahu Ilen masih bersama Cakya. Dia tidak mau terjadi masalah.

Waktu mendengar kabar Ilen pingsan di Sungai Penuh dari ko Alfa, akhirnya mas Satia memberanikan diri untuk maju. Menepati janjinya waktu di Gunung Tujuh", Erfly menjelaskan panjang lebar.

Begitu Erfly menyelesaikan ceritanya, Nadhira menyeka air matanya yang keluar tanpa permisi.

"Teteh kenapa...?", Erfly bertanya bingung melihat Nadhira yang tiba-tiba menangis.

"Teteh kangen sama Aa...", Nadhira bicara dengan deraian air mata.

Erfly berusaha keras menahan tawanya melihat tingkah Nadhira, sekretaris ajaib yang satu ini. Erfly hanya bisa geleng-geleng kepala.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C187
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login