Download App
76.89% Cakya

Chapter 193: Atap Sumatera...

Cakya masih memandu anggota KPA pendakian ke gunung Kerinci sesuai rencana. Terlihat anggota KPA sangat kelelahan saat sampai di Tugu Yudha.

Mereka memutuskan untuk tetap melangkah, karena mengejar matahari terbit. Dengan perjuangan yang sangat sulit, akhirnya anggota KPA sampai kepuncak gunung. Spontan semua peserta KPA yang beragama Islam melakukan sujud syukur.

Beberapa anggota KPA langsung berteriak dan saling berpelukan. Beberapa yang lain memutuskan untuk berfoto. Cakya hanya duduk agak jauh dari yang lain seperti biasa, menikmati pemandangan yang ada di hadapannya.

"Atap Sumatera...", Erfly bicara pelan, kemudian duduk di samping Cakya.

Cakya hanya tersenyum mengiakan ucapan gadis kecil ini.

"Bunda pernah kesini Om...?", Erfly tiba-tiba bertanya.

Cakya menggeleng pelan, "Bunda kamu hanya sebentar waktu itu sekolah di sini. Terus pindah ke Garut", Cakya menjawab pelan, sembari melemparkan senyuman terbaiknya kepada bocah kecil disampingnya.

Erfly tiba-tiba mengambil foto dirinya dan Cakya, "Bunda pasti iri tahu Erfly sudah kesini terlebih dahulu dari bunda", Erfly tertawa girang.

"Kalau ayah kamu, sering kesini", Cakya kembali menambahkan.

"Ayah pernah cerita, katanya dia pernah tugas disini selama 2 tahun. Dan... Ayah katanya pernah punya teman mendaki yang hampir setiap minggu ke gunung.

Ayah juga pernah cerita, katanya dia sudah menganggap anak itu seperti adiknya sendiri", Erfly bicara polos.

Serasa diguyur air es, tubuh Cakya kaku seketika, setelah mendengar ucapan Erfly.

"Lalu...? Ayah sama bunda kamu sebelum menikah, sudah pacaran berapa lama...?", Cakya berusaha bertanya senatural mungkin.

"Em... Bunda pernah cerita, katanya bunda sama ayah g'ak pacaran. Bunda kenal ayah pas tugas di Kerinci, terus... Setelah itu bunda g'ak pernah ketemu sama ayah. Karena ayah di pindah tugas ke Bali.

Terus... Bunda katanya g'ak sengaja ketemu ayah lagi pas di Garut, ayah bantu bunda mencari seseorang gitu. Katanya, orang yang melakukan penipuan kerjasama sama bunda gitu.

Lalu... Waktu bunda sakit, ayah tiba-tiba ngelamar bunda. Dan... Akhirnya menikah", Erfly menjelaskan panjang lebar.

"Kan tinggal di Garut, kok bisa sampai ke Lombok...?", Cakya kembali menyelidiki.

"Ayahkan orang Semarang, jadi... Waktu nikah bunda milih nikah di Semarang aja. Karena bunda sudah tidak punya keluarga lagi.

Terus... Sehari setelah menikah, ayah di promosikan naik jabatan. Dan di tugaskan di Lombok Om", Erfly bicara pelan.

Pantas saja Cakya tidak bisa menemukan jejak Erfly dimanapun. Garut, Bandung, Bali, Erfly malah ke Semarang. Seketika hati Cakya terasa tercabik-cabik.

Begitu niatnya Erfly menghindari dirinya, pantas saja Jendral Lukman tidak bisa menemukan keberadaan Erfly. Karena posisi Satia yang berada dalam satuan khusus, maka biodata dirinya menjadi sangat rahasia.

***

Air mata Wulan mengalir tanpa permisi begitu melihat wajah lelaki yang menghilang tanpa kabar. Candra memutuskan pertunangan hanya dengan sepotong wa.

"Candra...", Wulan bicara hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Candra memaksakan senyumnya, "Hai, apa kabar...?", Candra bicara jauh. Tidak ada lagi Candra yang penuh kasih dan kelembutan bila menatap Wulan.

"Maaf mbak, bisa di tunjukkan sekarang dimana lokasinya...?", perempuan yang ada di samping Wulan bicara pelan, membuyarkan lamunan Wulan.

Wulan segera mengalihkan tatapannya kearah lain, menghapus kasar jejak air matanya. Kemudian dengan enggan berlalu bersama perempuan yang baru saja dikenalnya.

Wulan berusaha konsentrasi untuk mengarahkan Tasya dan teamnya. Saat Tasya sibuk bersama teamnya, Wulan mencuri waktu untuk kembali ke tempat mobil Candra di parkir sebelumnya. Benar saja, Candra merokok tidak jauh dari posisi sebelumnya. Wulan melangkah perlahan menghampiri Candra.

"Candra...", Wulan bicara lirih.

Candra menoleh sekilas, melihat wajah Wulan, kemudian kembali fokus menatap anak kecil yang tadi dia gendong sedang bermain dengan teman barunya.

Wulan memutuskan untuk duduk tepat disamping Candra.

"Kamu kemana saja...?", Wulan sekuat tenaga mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya kepada Candra.

"G'ak kemana-mana", Candra menjawab dingin.

"Candra...", Wulan menggenggam lengan tangan kanan Candra.

Candra dengan dingin menepis pelan jemari tangan Wulan. Kemudian berdiri dari kursinya, bermaksud ingin menyusul bocah kecil yang sedang bermain.

"Candra... Aku mau ngomong...", Wulan meraih jemari tangan Candra sekenanya, untuk menahan agar Candra tidak pergi.

Sekali lagi Candra menepis jemari tangan Wulan dengan dingin. "Mau ngomong apa...?", Candra tertawa remeh.

"Tentang kita...", Wulan mengejar dengan gigih.

Candra tertawa pahit, "Udah g'ak ada kata kita lagi, setelah 10 tahun yang lalu. Bagi aku semua udah selesai pada hari itu", Candra memberikan tekanan pada setiap ucapannya.

Air mata Wulan kembali menyerbu keluar, membanjiri pipinya yang memerah karena menahan amarah. "Itu buat kamu, bukan buat aku. Bagi aku masih ada yang belum selesai antara kita", Wulan bicara dengan susah payah, air matanya mengalir tanpa henti.

"Lupakan aku, sejak hari itu, Udah tidak ada kata kita lagi dalam hidup aku", Candra bicara dingin.

"Aku... Ingin... Kita kembali seperti dulu lagi...", Wulan menangis menghiba mengharapkan belas kasihan Candra.

"Aku g'ak bisa", Candra menjawab dengan nada dingin yang sama.

"Kenapa...?", Wulan gigih menagih jawaban.

"Aku udah nikah sama Tasya", Candra menjawab dingin, sekali lagi jawaban Candra membuat Wulan mendapatkan kejutan yang pahit.

"Menikah...? Tasya...?", Wulan kembali mengulang inti pembicaraan Candra, berharap dia salah menangkap ucapan Candra.

"Papi...", seorang anak kecil berumur sekitar 11 tahun menyerbu kepelukan Candra.

Candra segera menggendong perempuan imut yang menyerbu kepelukannya.

"Dari mana malaikat kecil putri papi ini...?", Candra bertanya lembut, kemudian mengecup lembut pipi Malika.

"Sekolahlah papi...", bocah kecil itu pura-pura ngambek.

"Oh... Papi yang salah bertanya. Sama siapa Malika kesini nak...?", Candra melemparkan pertanyaan yang lain.

"Sama mami Sinta, mama mana Pi...?", Malaikat kecil melirik kiri kanan mencari keberadaan ibunya.

"Kang, maaf lama...", Tasya muncul entah dari mana. "Lho... Malaikat kecil sudah disini aja ini", Tasya mengambil alih malaikat kecil, menariknya kedalam gendongannya.

"Udah selesai...?", Candra bertanya lembut kepada Tasya.

"Alhamdulillah udah Kang, anak-anak ntar bisa nyusul pulang sama mobil barang", Tasya menjawab dengan lembut, tidak lupa melemparkan senyuman terbaiknya.

"Kita langsung cari makan aja kalau gitu, Malika ajak adiknya masuk kedalam mobil cantik", Candra memberi perintah kemudian melangkah menuju mobil yang dimaksud.

Wulan segera meraih tangan Candra sekenanya untuk menahan langkah Candra. "Candra... Aku belum selesai", Wulan bicara penuh harap.

Candra menatap lekat wajah istrinya seolah meminta persetujuan Tasya.

Tasya malah tersenyum lembut, " Tasya ke mobil duluan kang sama anak-anak",Tasya bicara disela senyumnya. Kemudian beralih menatap Wulan, "Kalau ada apa-apa nanti yang kurang, bisa langsung sama pegawai saya saja", Tasya bicara lembut, senyum tidak pernah lepas menghiasi bibirnya.

Tidak perlu menunggu jawaban dari Wulan, Tasya segera menyusul anak-anaknya yang telah terlebih dahulu masuk kedalam mobil.

"Apa lagi...?", Candra bicara kesal, kesabarannya hampir habis menghadapi Wulan.

"Kamu mutusin aku gara-gara perempuan itu...? Apa bagusnya dia dibandingkan aku...?", Wulan bicara setengah berteriak penuh amarah.

"Aku g'ak pernah berniat mau menyakiti kamu. Tapi... Kalau begini caranya, aku g'ak bisa diam. Tasya g'ak ada hubungannya dengan rusaknya hubungan kita. Kalau kamu mau tahu alasan aku mengakhiri hubungan kita, kamu tanya papa kamu yang tercinta, apa yang telah pak Utama yang terhormat telah lakukan kepada perusahaan keluarga Wiratama", Candra memberi penekanan pada setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Detik berikutnya Candra berlalu meninggalkan Wulan, yang masih terpukul dengan berita yang baru saja didengarnya.

Kaki Wulan terasa lemah, tidak mampu menopang berat tubuhnya sendiri. Tubuhnya jatuh keatas tanah, tangisnya tidak mampu dibendungnya lagi.

Sahabatnya yang melihat Wulan tiba-tiba terduduk di tanah, berlari dari arah rumah. "Lan... Kamu kenapa...?", perempuan itu bertanya bingung.

Wulan menyerbu kepelukan sahabatnya, menangis sejadi-jadinya. Dadanya terasa sesak, seolah udara tidak bisa melewati tenggorokannya.

"Kamu kenapa...?", sahabat Wulan kembali bertanya bingung, Wulan bukannya menjawab pertanyaannya, malah tangisnya semakin menjadi-jadi.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C193
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login