Download App

Chapter 2: Chapter 2 - Salah Sasaran

Baru beberapa langkah menjauhi pondok, aku mendengar pengumuman menggunakan bahasa Arab yang tidak aku mengerti dan diakhiri dengan bahasa Jawa yang tak bisa juga aku mengerti. Sekarang aku bingung. Beginilah bila kita tidak memiliki tujuan yang jelas. Saat sedang bingung tiba-tiba aku melihat santri putri berlarian memakai atasan mukena berenda. Mereka membawa peralatan sholat, Al-Quran, dan buku bersampul tulisan Arab.

Aku bersembunyi di balik pohon, aku tau bersembunyi di balik pohon mangga itu tidak baik karena pasti ada penghuni di atas sana yang sedang mengamati. Ketika kewarasanku mulai kembali terjaga, aku justru berfikir bila di penghuni benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak, aku akan bersyukur, dan meminta ia untuk sekalian membunuhku. Namun, sayangnya aku tak mendengar apapun dari atas pepohonan. Mungkin karena arena ini tempat suci, jadi mereka tak berniat berada di sini.

Setelah tak ada santri lagi yang lewat aku keluar dari tempat persembunyianku. Batinku mengatakan bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk memulai aksi bunuh diri. Lalu, sebuah ide terlintas di benakku. Aku memandangi pondok pesantren itu lalu menimbang apakah 4 lantai dapat menghantarkanku ke akhirat. Ketika kurasa cukup berpotensi, akupun langsung mengendap-endap masuk ke dalam pondok karena kuyakin tidak semua santri berada di Masjid. Akhirnya, aku berhasil sampai di lantai paling atas.

"Sial! Kenapa lantai paling atas harus dijeruji sih? Trus gue lompat dari mana coba?" kataku geram.

Akupun turun lagi, kembali ke bawah pohon mangga dengan perasaan kesal setengah mati. Lalu kembali berpikir sambal mengacak kepalaku frustasi, "Apa gue lompat dari lantai 4 aja?" tanyaku pada diri sendiri.

"Lantai 4 cuman buat kamu masuk rumah sakit." kata suara bariton, mengejutkan.

Aku langsung membalikkan tubuhku. Mencari sosok laki-laki bersuara bariton. Ntah mengapa disaat seperti ini aku berharap pemilik suara bariton itu merupakan pemuda tampan yang siap membantuku. Mataku menangkap sesosok bersarung hijau, baju koko putih, dan berpeci hitam yang semakin menjauh. Jika dilihat dari perawakannya yang tinggi dan kulitnya yang putih, sepertinya dia memang tampan.

"Hei! Lo bisa ngomong pakai bahasa Indonesia?" teriakku. Aku begitu senang, terlebih ketika ia berbicara tak ada kesan medhok dalam bahasannya, itu artinya kemungkinan besar dia dari Jakarta.

Sejak aku sampai di sini, semua orang tidak menggunakan bahasa Indonesia, hanya Sang Kyai, Farha, dan Pemuda itu. Selainnya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Arab yang tak kumengerti artinya. Dari segi bahasa saja aku merasa seperti dibuang ke sebuah planet macam planet mars yang mau tak mau membuatku semakin sendirian dan kesepian. Sungguh penjara yang lebih penjara dari penjara.

Meski kupanggil berkali-kali, ia tetap tidak menoleh. Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Ternyata aku memang ditakdirkan untuk sendirian. Lihatlah, dia begitu sombong dan tak tahu tata karma. Melihatnya menjauh, aku semakin kesal. Aku mengambil sepatu hak tinggi/high heels sebelah kanan milikku, lalu melemparkan ke arah pemuda itu yang sebentar lagi berbelok ke sebuah gang.

PLETAKKK!

Sial! Lemparanku meleset begitu saja. –Umpatku dalam hati.

"Aduh!" ringis seseorang. Ternyata sepatuku mengenai orang lain. Dia seorang santri perempuan yang juga memakai mukena berenda ungu, ia berjongkok sambil memegangi kepalanya. Aku yakin, high heels-ku pasti mengenai kepalanya. Dia tidak sendiri, ia ditemani santri putri yang juga menggunakan mukena namun berenda merah.

Kabur-enggak, kabur-enggak, kabur-enggak.. Duh, gimana ya? Kabur gak ya? -batinku. Namun, hatiku membisikkan kalimat jahat untuk menghampiri kedua santri tersebut, ntah untuk menertawakannya atau untuk mengomelinya atas kegagalanku memberikan pelajaran kepada Pemuda Sombong itu. Aku menghampirinya, lalu menyilangkan tangan di dada. Si Renda Merah menatapku tajam, aku balas menatapnya tak kalah tajam. Lalu ia mulai mengamati pakaianku dari atas sampai bawah lalu tersenyum sinis.

"Ngapain lo senyum-senyum? Mau gue antar ke rumah sakit jiwa?" kataku.

Si Renda Merah mendekatiku. Sambil berbicara menggunakan bahasa Jawa yang tak sedikitpun aku mengerti.

"Ngomong gih sana sama tembok!" seruku. Sambal hendak berlalu meninggalkannya. Namun, tiba-tiba dia mencekal lenganku. Ia menarikku ke arah temannya yang sedang terisak.

"Minta maaf, Mbak!" perintahnya, dengan aksen medhok-nya.

"Punya hak apa lo suruh gue minta maaf? Lagi pula, di sini, pihak yang dirugikan itu gue. Coba, kalo gak ada kalian pasti gue bisa kasih pelajaran ke cowok tengik iti!" kataku, tersulut emosi.

"Aku pengurus, Mbak." kata Si Renda Merah, dari tatapannya ku tau ia marah.

"Trus kalo lo pengurus gue harus tunduk sama lo? Helo, lo bukan Tuhan." kataku.

"Apa susahnya minta maaf sih, Mbak?" tanya Si Renda Merah.

"Gue gak salah!" kataku, membentaknya. Tak kusangka Si Renda Merah kembali mencekal tanganku. Mungkin ia kira aku lemah. Untuk membuktikan bahwa aku tidak selemah yang difikirkannya akupun menghempaskannya dengan kasar. Namun, ia tidak menyerah. Kali ini dengan kekuatannya yang lebih besar, ia membawaku ke sebuah rumah yang merupakan tempat pertama kali aku kunjungi disini, Rumah Kyai.

"As-salamu 'alaikum, Umi." salam, Si Renda Merah.

"Wa 'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh. " jawab Umi. Aku tahu beliau Istri Kyai, karena tadi saat pertemuan keluarga beliau ada. Beliau mengamatiku lalu tersenyum lembut. Ntahlah, pokoknya berbeda sekali dengan semua orang yang kujumpai di pondok ini yang terus melihatku dengan tatapan seakan bilang 'Dih, baju apaan tuh?'.

Melihat senyuman Umi yang begitu tulus, aku tersenyum tipis. Namun, aku buru-buru memalingkan wajahku karena takut terlihat. Tujuanku ke sini bukanlah untuk menjadi anak baik, namun tujuanku adalah mengakhiri hidup secepat mungkin. Diam-diam, jauh di dalam sana, aku teringat Mama. Ah, tidak, anggap saja aku tak pernah mengatakannya.

Si Renda Merah kini sedang mengadu menggunakan bahasa Jawa kepada Umi. Dari lama bicaranya, aku tebak dia mulai menceritakan semuanya. Dan dari caranya memeragakan beberapa gerakan aku jadi semakin yakin dia sedang membuatku bersalah di mata Umi. Aku mengusap telingaku panas. Tak lama kemudian Si Renda Merah berpamitan pada Umi dan keluar, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.

"Nindy, tetap di sini, ya." Kata Umi. Langkahku otomatis terhenti. Beliau mengisyaratkan aku untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menggauk tengkukku yang tidak gatal sama sekali, perasaanku tak enak.

"Apa Nindy tahu apa kesalahan yang baru aja Nindy buat?" tanya Umi lembut. Aku hanya mengangguk. Lalu beliau kembali berkata, "Jangan diulangi lagi, ya."

"Maaf, tapi Nindy nggak mau janji, Umi." kataku.

"Umi tau Nindy anak baik." kata Umi lagi, kali ini beliau memelukku.

"Enggak sebaik itu Umi." Ntah mengapa kalimat ini terucap begitu saja.

Umi tersenyum. "Nindy, belum sholat Isya kan? Yuk, sholat bersama Umi." kata Umi sambil bangkit berdiri. Mau tak mau aku mengikutinya. Beliau menyiapkan mukenah untuk kami. Lalu kami ke kamar mandi.

Sesampainya di kamar mandi yang cukup luas itu aku hanya menggaruk tengkukku yang tak gatal, sudah lama sekali aki tidak sholat juga wudu. Jadi, aku lupa urutan gerakan wudu.

Aduh mati gue! Ini muka dulu baru kumur-kumur apa kuping dulu ya? -Batinku.

"Ikuti gerakan, Umi, ya." kata Umi. Beliau mengambil wudu dikeran air persis di sampingku. Kamar mandi ini kebetulan memiliki 3 keran air. Akupun mengikuti gerakan Umi.

Setelah selesai wudu. Umi mengajariku sholat. Setelahnya, kamipun sholat dengan Umi sebagai imam. Selesai sholat Umi memakaikanku jilbab. Aku diam saja, meski di dalam hati aku memikirkan nasib rambutku. Aku berani bertaruh jika setiap hari aku memakai kerudung atau mukena, rambutku yang rutin perawatan ini pasti akan rusak.

"Mulai besok kamu sholatnya di sini ya sama Umi." kata Umi.

Mendengar kalimat itu aku segera ingin pergi dari sana. Jadi, aku bangkit berdiri lalu berpamitan,

"Umi, Nindy pulang dulu. Bye Umi!" kataku. Langsung keluar.

"Tunggu!" sergah Umi. Saat aku menoleh, Umi memberiku isyarat untuk mendekat, akupun mendekati beliau lagi. Beliaupun berkata, "Bukan begitu cara berpamitan, cium tangan Umi terlebih dahulu lalu ucapkan As-salamu 'alaikum bukan bye, ya." kata Umi lagi. Lagi-lagi aku mengangguk.

Aku mencium tangan Umi, lalu berkata, "Salam, eh assalamu'alaikum."

"Wa 'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh." jawab Umi, sambil tersenyum. Aku membalas senyum Umi sekilas, lalu pergi.

Setelah keluar dari Rumah Umi, aku mengerutkan kening mendapati sepasang high heels-ku sudah terparkir rapi di depan Rumah Umi. Sepertinya Si Renda Merah yang meletakkannya. Aku mengangat bahu, memakainya, lalu berjalan menjauhi Rumah Umi. Namun di pertigaan aku bingung. Kini, dihadapanku terpampang 3 pondok yang bentuk dan warnanya sama persis.

"Aduh, kenapa harus sesial ini si hidup gue?" kataku sambil memijit pelipisku.

"Arah jam 1." suara itu lagi. Aku langsung berbalik, mencari keberadaan pemuda itu, namun tak ada siapapun. Aku pasti sudah gila. Tapi biarlah, akan aku ikuti suara aneh itu.

Aku mengarahkan kakiku, ternyata suara terkutuk itu menujukkan tempat yang benar. Ternyata, meski terkutuk, ia tetap berguna. Ku katakana betul karena dari dalam pondok Farha berlari ke arahku dengan raut khawatir.

"Ya Allah, Mbak, Mbak itu dari mana saja?" tanya Farha.

"Gue nyasar tadi, udah ah, anterin gue ke kamar, gue ngantuk!" kataku.

"Ehh, anu Mbak, tapi masih ada satu kali ngaji lagi, Mbak" kata Farha takut-takut.

"Gue gak peduli." Kataku langsung menerobos masuk. Mau tak mau Farha mengantarkanku ke kamar.

Sesampainya di kamar, sejenak aku mengamati tikar yang di atasnya diberikan bantal. Aku tebak ini adalah tempat tidurku. Untuk memastikan aku menoleh ke arah Farha, dia mengangguk mengerti.

Seketika dadaku sesak, aku mulai membayangkan Kak Ulfa yang sedang tidur nyenyak di atas tempat tidur mewahnya. Membandingkan keadaan kami membuat kepalaku semakin pusing.

Di kamar, beberapa anak yang juga bersiap pergi mengajai mengajakku berbicara. Namun aku hanya bisa berkata, "Pergi! Gue mau tidur!"


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login