Pukul enam sore Aleta dalam perjalanan pulang ke kos. Ia ingin segera sampai di kamarnya, melanjutkan tidurnya yang ia rasa masih jauh dari kata cukup.
Sampai di depan gerbang kos - Aleta tak langsung masuk, ia memandangi arsitektur bangunan rumah itu dengan lebih seksama. Memang terkesan angker jika diperhatikan dari luar. Ditambah lagi suasana juga amat sepi.
"Ah mungkin penghuni lain belum pulang." Ucapnya dalam hati.
Aleta membuka gerbang perlahan. Walau cat-nya sudah mengelupas namun gerbang ini terlihat masih sangat kokoh.
Aleta berjalan melewati taman depan kos. Disana terdapat sebuah ayunan yang nampaknya sudah berkarat. Dua buah lampu taman terlihat sangat berdebu belum dinyalakan, karena ini masih sore.
Aleta berjalan namun pandangannya tak bisa lepas dari taman itu.
"brakk.."
"Duh.. maaf nyonya."
"Tak apa Aleta."
Aleta menabrak nyonya Ramses tepat di depan tangga menuju kamarnya. Beberapa detik memandang wajah Nyonya Ramses kemudian Aleta menunduk dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Sampai di kamar, jantung Aleta berdegup sangat kencang. Ia sempat melihat wajah Nyonya Ramses saat insiden tadi. Wajah itu begitu dingin walaupun nyonya Ramses menunduk.
Aleta membaringkan tubuhnya di kasur kapuk itu. Tanpa sadar ia tertidur.
Beberapa jam kemudian …
"Leta..Leta." Sebuah suara yang begitu halus membangunkan Aleta dalam tidurnya.
Aleta membuka mata. Seorang gadis cantik dengan rambut ikal berwarna keemasan dengan gaun khas noni Belanda sudah ada di depannya. Sepertinya mereka seumuran. Aleta terdiam. Ia yakin bahwa gadis ini bukan manusia.
"Tak usah takut, aku penghuni kamar sebelah. Kau anak baru kan? Tadi kau lupa menutup pintu kamarmu. Maaf jika aku lancang masuk tanpa izin. Aku hanya ingin berkenalan."
Aleta memandangi gadis itu dengan sangat teliti. Kakinya menempel di lantai, kulitnya putih bersih bukan putih pucat. Sepertinya memang dia manusia.
"Hai, iya tak apa. Siapa namamu?" tanya Aleta dengan nada hambar karena ia masih terkejut.
"Aku Salia." Jawabnya singkat.
Setelah kejadian itu keduanya nampak terlihat sangat akrab. Setiap Aleta pulang dari kampus, Salia selalu menemani Aleta dalam kamarnya. Mereka berbincang – bincang. Salia sangat memahami sejarah. Terutama saat Indonesia ada di jaman Belanda. Hingga tahunnya pun Salia hapal diluar kepala. Wajar saja, Salia keturunan Belanda. Ayahnya adalah seorang Belanda yang bekerja di Indonesia, ibunya suku pribumi. Wajahnya bisa dibilang sempurna. Cantik luar dan dalam.
Beberapa minggu berlalu, Aleta mulai merasakan ada yang aneh di rumah kos ini. ia merasa seakan – akan hanya dirinya, Nyonya Ramses, dan Salia yang tinggal disana. Karena ia selalu menemukan kos dalam keadaan sepi. Tak ada suara riuh khas kos perempuan. Sampai pada suatu malam saat ia dan Salia tengah asik menikmati green tea di kamar Aleta.
"Sal, apa kamu kenal dengan penghuni yang lain?"
"Hah? Oh kenal tapi aku jarang berinteraksi dengan mereka. Kenapa Leta?"
"Tidak apa, hanya heran, sejak awal datang aku hanya meihatmu dan nyonya Ramses."
"Kau harus terbiasa dengan kondisi sepi. Seperti aku."
Aleta diam, ia masih penasaran mengapa kos ini nampaknya amat sangat hening. Ia berniat besok saat libur kuliah ia akan menyambangi kamar penghuni lainnya untuk berkenalan.