Download App
100% Bintang.

Chapter 7: Pulang Bareng

Pagi ini, Bintang masuk ke dalam kelas dengan kerutan samar di dahinya. Ia bingung, tepatnya, karena tempat duduknya dikerubungi oleh lima orang teman kelasnya. Bintang tahu sedikit tentang mereka—mereka adalah gerombolan gadis yang duduk di pojok belakang, di dekat jendela.

"Eh, itu Bintang datang," bisik salah seorang di antara mereka kepada yang lain dengan agak terlalu keras sehingga Bintang bisa mendengarnya. Serempak, mereka berlima menoleh ke ambang pintu kelas—tempat gadis itu berdiri.

Kerutan di dahi Bintang semakin dalam. "Ada apa, ya?" tanyanya.

Kelima gadis itu lalu berdiri dari posisi duduk mereka. Bayangkan, mereka duduk berlima dalam dua kursi yang digabungkan—kursi milik Bintang dan Mita—saking langsingnya.

"Mmm...," Gadis yang berada di tengah buka suara. Ia memainkan ujung rambutnya yang panjang bergelombang dengan jemari yang kuku-kukunya tampak habis dipoles dengan cat kuku berwarna turquoise. "Sini dulu deh, Bintang," ucapnya.

Bintang menatapnya heran, namun tetap melangkah mendekat ke arah lima temannya itu. Ia disambut dengan senyum ramah dari kelimanya.

"Kita belum kenalan, kan?" tanya gadis itu lagi. Ia mengulurkan sebelah tangannya. "Kenalin, gue Mei."

Bintang menyambut uluran tangannya dengan kaku.

"Gue Anya." Gadis berpotongan rambut bob yang berdiri paling kiri ikut menyahut.

"Gue Katie," sahut gadis di sebelah Anya, yang seragamnya dipermak sehingga tampak lebih pas di badannya.

"Gue Chika," ucap gadis berparas imut di sebelah kanan Mei. Kulit wajahnya pucat, tampak kontras dengan pewarna bibir berwarna pink yang ia kenakan.

"Gue Prilly." Terakhir, gadis yang berdiri paling kanan. Matanya bulat besar, efek dari lensa kontak yang digunakannya. Di antara yang lain, tampaknya ia yang paling kalem.

Bintang hanya mengangguk-angguk kecil, belum mengerti maksud dan tujuan mereka datang kepadanya. Ia tidak mengucapkan apapun sebagai balasan, menunggu mereka pembicaraan. Bintang ingin tahu kemana arah pembicaraan ini tertuju.

"Gue liat, lo sering sendirian," ucap Mei, dengan masih memasang senyum terbaiknya.

"Nggak juga," balas Bintang skeptis, sedikit tersinggung dengan pernyataan lawan bicaranya. Dia tidak sebegitu seringnya sendirian, karena biasanya gadis itu bersama Thalia atau Mita.

"Lo boleh gabung bareng kita, kalo lo mau," ucap Mei lagi, tanpa memperdulikan nada tersinggung dalam suara Bintang. "Iya nggak, girls?"

"Yup." Keempat teman Mei yang lain mengangguk menyetujui.

Bintang memicingkan mata, merasa ada sesuatu yang diincar dari kelima gadis itu darinya.

"Lo bisa hang out bareng kita. Ke kantin bareng, belajar bareng...," tukas Katie.

"...pokoknya serba barengan deh!" lanjut si imut—yang Bintang tidak ingat namanya.

"Ya, lo nggak bakal sendirian lagi," ucap Anya sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Gimana menurut lo?"

Bintang hanya diam, sambil memandang kelimanya lamat-lamat, mencari ketulusan di mata mereka. Namun, yang ia dapat hanya pancaran ambisi yang membara. Mereka pasti punya niat lain, Bintang mengambil kesimpulan.

"Eh, gue denger lo dekat sama Kak Langit, ya?"

Tuh, kan.

Bintang tersenyum bengis kepada Mei yang melontarkan pertanyaan barusan. "Dengar darimana?" tanyanya acuh.

"Banyak yang ngomong gitu," jawab Mei. "Katanya waktu itu Kak Langit narik-narik lo di halaman sekolah."

Bintang terperangah, tidak menyangka dirinya sempat menjadi bahan pembicaraan teman-temannya hanya karena ia ditarik—lebih tepatnya, diseret oleh si cowok brengsek di halaman sekolah.

"Awalnya kita nggak percaya," lanjut Mei. "Tapi pas Kak Langit nganterin kunci loker lo, kita langsung yakin kalo gosip itu benar."

Bintang masih diam, menunggu kelanjutan ucapan Mei.

"Bintang, bantuin gue deket sama dia, ya?" ucap Mei akhirnya, dengan suara memelas yang manja.

Dengan sigap, Bintang menggeleng. Nggak.

"Ayolah," bujuknya lagi. "Kita kan teman."

"Sorry, bukannya gue nggak mau, tapi gue juga nggak kenal sama tuh orang. Yang kejadian di halaman sekolah itu, dia tiba-tiba aja datang dan nyeret gue. Dan soal kunci loker, gue juga nggak tau kenapa kunci loker gue bisa ada sama dia," jelas Bintang.

Mei terenyak mendengar kalimat terpanjang yang diucapkan Bintang padanya itu. Sementara keempat 'ekor'nya mengekspresikan keterkejutannya dengan cara serupa—membelalakkan mata.

"Dan..., sejak kapan kita jadi teman?" tambah Bintang, menancapkan bendera akhir tanda pembicaraan ini telah usai. Tanpa sepatah kata lagi, Mei beranjak dari tempat duduk Bintang. Keempat antek-anteknya mengekori di belakang.

Bintang terkekeh pelan, menertawai kebodohan Mei dan kawan-kawannya.

Mita datang, tepat saat bel masuk berdering. Gadis itu terengah-engah, mengatur nafas karena telah berlari dari ruang loker ke kelas. Ia mengernyit saat melihat wajah Bintang. "Kok senyum-senyum sendiri?" tanyanya.

Yang ditanya hanya mengendikkan bahu dingkat, masih sambil tersenyum. "Gue seneng karena lo yang jadi temen sebangku gue," ucapnya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Mita menatap Bintang heran, namun tidak bertanya apa maksud ucapan gadis itu.

Padahal waktu pertama masuk, gue nyesel punya temen sebangku kayak Mita, Bintang mendengus geli, mengingat kesan pertamanya pada Mita yang kaku dan tidak bisa memegang kendali pembicaraan.

Tapi ternyata ia salah. Justru sekarang, Bintang balik bersyukur karena bukan Mei dan kawanannya yang jadi teman sebangkunya. Karena Bintang tahu, ia tidak butuh teman seperti mereka.

Semoga Mita tidak akan bermetamorfosis menjadi mereka.

***

Bel pulang berbunyi, lantas membuat Mita memekik girang. Bintang sampai mendelik kepadanya, lantaran suaranya yang melengking dan tidak enak didengar. "Yeay! Hari ini latihan pertama marching band," ucap Mita, tanpa diminta. "Gue excited banget."

"Yeay, gue juga," balas Bintang datar. Sarkastik, seperti biasanya.

Mita tertawa mendengar ucapan Bintang, tampaknya mulai terbiasa dengan kesinisan gadis itu. "Udah sana, lo pulang aja. Dasar anak rumah," ejeknya.

"Mending anak rumah daripada anak jalanan. Ya kan?" Nada bicara Bintang masih sama datarnya. "Udah, gue pulang, ya. Bye."

Bintang beranjak ke kelas sebelah, untuk mencari Thalia dan mengajaknya pulang. Namun, langkahnya terhenti tepat sebelum ia memasuki ruang kelas itu. Bintang tersadar, Thalia juga bergabung dengan marching band.

Ia ingat beberapa waktu lalu, saat pulang dari demo ekskul, Thalia langsung menelponnya dan menceritakan bagaimana indahnya visualisasi yang diciptakan oleh bendera warna-warni milik colour guard dalam marching band itu. Menurut Thalia, tanpa colour guard, marching band hanya sekumpulan pemain musik monoton tanpa hiburan visual. Itulah mengapa colour guard sangat menarik. Dan karena itu, Thalia ingin menjadi bagian dari mereka—para colour guard.

"Bintang!"

Baru saja Bintang hendak beranjak dari kelas Thalia, ia sudah ditahan oleh temannya itu. Thalia, seperti biasa, dengan senyum ceria khasnya. "Pasti nyariin gue, kan?" sambar gadis itu langsung.

Bintang mengangguk. "Tapi lo ada ekskul, kan? Ya udah gue pulang aja. Bye, Thalia," ucapnya. Sebelum Thalia sempat menginterupsi, Bintang buru-buru menambahkan, "Nggak, nggak papa. Gue bisa pulang sendiri. Waktu itu juga gue pulang sendiri dan gue selamat, kan?"

Thalia mengangguk dengan ragu. "Hati-hati ya, Bintang. Kabarin gue kalo udah nyampe rumah."

"Sip," ucap gadis itu. "Dah, Thalia."

Bintang beranjak ke ruang loker dan mengambil tas. Saat membuka loker, pandangannya terpaku sejenak pada sebuket bunga Dandelion yang didapatkannya dari si pengirim rahasia tadi pagi. Ia senang karena si pengirim mengiriminya bunga favoritnya itu, terlebih lagi menuliskan nama bunga itu di note kecil di atasnya. Bintang sendiri tidak tahu nama bunga itu, sampai membaca note kecil yang diberikannya.

Dengan gegas, Bintang mengambil tas lalu menguci kembali pintu lokernya. Ia memutuskan untuk membiarkan bunga itu berada di loker saja.

***

"Pulang sendiri lagi?"

Bintang menoleh, merasa pertanyaan itu ditujukan untuknya. Dan benar saja, Dewa sudah berdiri di belakangnya. Menenteng tas dan berjalan ke arah yang sama dengannya—ke gerbang sekolah.

"Iya," jawab Bintang. Ia melanjutkan langkah bersisian dengan Dewa.

"Bareng gue aja, yuk?" tawar Dewa.

Bintang mengangguk. "Boleh."

Gadis itu bingung saat Dewa menariknya ke pelataran parkir sekolah. "Eh, naik bus, kan?" tanyanya.

"Nggak." Dewa membuka pintu mobil hitam yang sama dengan yang waktu itu terparkir di halaman toko bunga. Ia membukakan pintu belakang untuk Bintang, dan menyuruhnya masuk. Dewa sendiri memutar dan masuk melalui pintu depan, di samping pengemudi. "Bareng kakak gue. Tapi dia ada urusan sebentar. Paling lima menit lagi datang."

"Ng—gue naik bus aja deh," ucap Bintang sungkan. "Nggak papa, beneran. Nggak enak sama lo, soalnya."

"Nggak boleh," jawab Dewa. "Lo tadi udah nerima tawaran gue."

"Tapi gue kira bareng naik bus."

Dewa menggeleng pelan. "Udah, nyantai aja. Hitung-hitung jadi ucapan terima kasih gue buat bunga gratis kemarin."

"Harusnya terima kasihnya sama Oma, bukan sama gue," balas Bintang.

"Lo ini keras kepala banget, ya," ucap Dewa. Meskipun begitu, senyuman lebar terukir di wajahnya, membuat cekuk di pipi kirinya terlihat jelas.

Tiba-tiba, pintu kemudi terbuka. Seseorang masuk dan langsung melempar tasnya ke arah Dewa. "Udah gue bilang, nggak bakal lama, kan?" ucapnya.

Dewa melirik jam di pergelangan tangannya. "Lo telat tiga menit dari yang lo janjiin," balasnya.

"Tiga menit doang," katanya enteng. Saat ia melirik kaca spion di tengah, pandangannya bertemu dengan Bintang.

Deg.

Bintang membeku ketika tahu siapa kakak Dewa.

Langit.

"Eh, iya. Ini Bintang, temen gue." Dewa memperkenalkan, sambil menoleh kepada Bintang. "Bintang, ini kakak gue. Langit."

"Wa, kayaknya gue pulang naik bus aja deh, ya." Bintang menepi ke pintu, mengambil ancang-ancang untuk membukanya.

Namun sebelum sempat Bintang membuka pintu dan kabur, Langit sudah memacu mobil keluar dari pelataran parkir. Cowok itu melirik kaca spion tengah sekali lagi untuk melihat ekspresi muram Bintang. Bintang hanya memberengut lalu membuang pandangan keluar jendela. Ia betul-betul tidak ingin menyulut pertengkaran saat ini, di tempat ini.

Dalam hati, Bintang bersyukur karena rumahnya tidak jauh dari sini. Ia yakin seribu satu persen tidak akan sanggup berlama-lama berada di dekat Langit tanpa memaki atau mengutukinya.

"Lo udah ngisi formulir yang Mama kasih?" Di tengah hening perjalanan, Langit buka suara. Bintang sampai terkejut karena, tidak seperti biasanya, nada suara Langit rendah dan tenang.

Seperti Langitnya.

Bintang menggeleng, menepis pikiran asal yang terselip di benaknya itu. Nggak mungkin. Dunia nggak sesempit itu.

"Belum," jawab Dewa. "Nanti aja."

"Ck, lo ini." Langit menggeleng kecil. "Mama kayak gitu buat lo juga, kan?" Dewa terdiam, memilih untuk menganggap perkataan kakaknya barusan adalah angin lalu. Ia memencet tombol on di radio, yang kemudian mengumandangkan lagu pop yang sedang marak belakangan ini. Namun, Langit dengan tangkas kembali mematikan radio.

"Lo ikutin mau Mama ajalah, Dewa," ucap Langit, masih dengan nada rendah dan intonasi tenang yang sama. Manik matanya tidak terlepas dari jalanan di depan.

Mata itu.

Bintang membisu di belakang, menonton kakak-beradik itu berargumen entah untuk masalah apa. Dalam hati, ia kembali bertanya apakah Langit kakak Dewa ini adalah Langitnya yang dulu. Pasalnya, keduanya memiliki mata hitam pekat yang mirip. Namun, sekali lagi, segera ditepisnya jauh-jauh pikirannya itu.

Langitnya punya tatapan teduh yang menenangkan, bukan tatapan menyebalkan yang memancing emosi seperti Langit ini.

Langitnya punya keluarga yang berantakan, sama seperti dirinya.

Dan, Langitnya tidak punya adik.

Jelas Langit ini bukan Langitnya.

"Udah sampai, Bintang." Ucapan Dewa membuyarkan lamunan Bintang. "Yuk, gue anterin masuk."

"Nggak usah," cetus Bintang. Di saat yang sama, Langit juga berkata demikian.

"Gue aja," tambah Langit. "Lo tetep di mobil." Ia lalu turun dari mobil dan membuka pintu belakang buat Bintang.

Sebelum beranjak turun, Bintang menoleh pada Dewa. "Makasih buat tumpangan pulangnya, Dewa," ucapnya, sembari mengulas senyum. "Oh iya. Buat Dandelion-nya juga. Akhirnya gue tau nama bunga itu."

Dewa mengernyit, namun tak lama berujar, "Sama-sama." Senyumnya mengembang seperti biasa.

Belum sempat Bintang pamit, tangannya sudah ditarik oleh Langit. "Lama banget, sih," gerutunya dengan nada yang, seperti biasa, menyebalkan.

Bintang ingin membalas, tapi mengingat cowok itu yang mengantarnya pulang, ia langsung bungkam. Bintang hanya melangkah cepat menyusuri halaman rumahnya di samping toko bunga untuk sampai di pintu depan rumahnya.

"Mmm...," Bintang menghembuskan nafas singkat. "Makasih," ucapnya dengan berat hati.

Langit menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya, Buat apa?

"Makasih udah nganterin pulang," jelas Bintang. "Nggak usah nunggu sampai Oma bukain pintu. Lo pulang aja," usirnya halus.

Cowok itu mengernyit seraya menatap Bintang aneh. "Siapa juga yang mau nungguin."

Bintang mendengus. "Gue lupa lo nyebelin," gumamnya. "Pulang sana!" usirnya, kali ini tanpa dihalus-haluskan lagi.

Langit mengedikkan bahu singkat. "Oh iya. Harusnya ucapan terima kasih yang tadi buat gue, bukan Dewa."

Setelah itu, ia beranjak pergi. Meninggalkan Bintang yang bergeming di tempat, bertanya-tanya apa maksudnya.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login