Download App

Chapter 2: Kakak kelas

"Bagaimana tadi di sekolah?" ibu menanyai ku yang masih berusaha melepas kan sepatu ini.

"Gedung sekolah nya bagus. Tapi kakak malu. Banyak yg merendahkan ku karena aku lulusan SD. Kemuning." Aku melipat wajah ku.

"Coba sini cerita sama ibu." Ia lalu menarik ku ke dalam pelukan nya.

Di belai nya kepala ini. Aku pun mulai berbicara. Menceritakan semua yang aku alami selama di sekolah tadi. Aku tidak menangis. Aku hanya kesal saja. Ibu selalu mengajari ku untuk tidak gampang menangis untuk hal-hal kecil.

"Ya sudah. Biarkan saja orang-orang itu. Sekarang kakak harus bisa buktikan. Bahwa biar pun kakak berasal dari sekolah yang di bilang buangan itu. Kakak bisa berprestasi." Ibu berpesan padaku.

Aku tahu sebenarnya dengan cara bagaimana pun untuk saat ini aku tidak bisa membungkam sikap dan bicara mereka padaku. Benar seperti yang ibu kata kan. Satu-satu nya cara adalah membiarkan waktu dan kemampuan ku yang berbicara.

kami pun menyudahi pembicaraan itu. Aku segera melepas seragam yang ku kenakan itu lalu mengganti nya dengan baju rumah yang biasa ku pakai. Ku buka kembali catatan mengenai tugas dan keperluan yang harus ku bawa untuk MOS besok.

Aku mempersiapkan segala sesuatu nya di bantu oleh Ibu. Segera setelah selesai menyiapkan semua nya aku merebah kan diri ku di kamar.

"Akhir nya selesai," ucap ku.

Tak berapa lama ibu kemudian memanggil ku untuk menyantap makanan yang telah di persiapkan nya sore itu.

★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★

Hari baru pun di mulai. Belum juga matahari itu menyinari jendela kamar ku, tapi aku sudah harus bangun untuk mengawali hari. Aku kemudian melangkah menuju ke dalam kamar mandi dengan mata tertutup bersama dengan handuk yang sudah menggantung di bahu ku. Percaya lah biar pun aku begitu semangat untuk sekolah. Bangun pagi adalah hal yang paling ku benci. Setiap hari ku berharap untuk bisa sekolah tapi bangun siang. Aku rasa itu harapan setiap siswa.

Semua sudah rapih dan siap. Aku berpamitan pada ayah dan ibu. Kemudian berangkat ke sekolah. Sesampai nya di depan sekolah, seperti pagi sebelum nya, pekarangan tampak ramai dengan siswa baru dan orang tua nya. Tapi jujur deh, aku rasa lebih baik berangkat sendiri sehingga ayah dan ibu bisa mengerjakan hal yang lain atau bahkan tidur lebih lama agar bisa bekerja dengan keadaan yang segar.

MOS jaman ku masih kental dengan senioritas, tapi untung nya aku bersekolah di sekolahan swasta sehingga senioritas itu tidak se sadis sekolahan negri. Namun tetap saja yang nama nya senioritas itu seperti nya sudah menjadi budaya di Indonesia ini. Budaya yang nampak nya sangat melekat dari generasi ke generasi. Entah ini kah mentalitas generasi muda bangsa? Menindas yang jauh lebih lemah? Menindas mereka yang di sebut nya "anak baru" itu? Ini kah cara mereka untuk merasa memiliki kekuatan?

Kami kemudian di arah kan menuju sebuah aula. Di sana suasana MOS benar - benar terasa. Anak baru di perintah kan di hari sebelum nya untuk mengenakan berbagai atribut yang nampak konyol. Mulai dari dot bayi, papan nama, tas dari karung beras dan masih banyak lagi. Anak perempuan di minta menguncir rambut nya dengan jumlah yang sesuai dengan bulan kelahiran mereka. Beruntung lah mereka yang lahir di bulan Januari. Mereka tidak terlihat seperti badut konyol. Dan aku. Untung lah aku lahir di bulan Februari. Hanya butuh dua buah kunciran saja. Masih wajar untuk di lihat. Entah apa esensi mereka meminta kami untuk seperti itu.

★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★

Salah satu tugas dari MOS ini yang paling ku tunggu - tunggu, yaitu meminta tanda tangan kakak kelas. Alasan nya karena ini adalah salah satu cara ku agar dapat berinteraksi dengan John Ambrose. Dia adalah ketua OSIS SMP Pelita. Wajah nya yang rupawan, badan nya yang tinggi, senyuman nya yang manis. Semua anak perempuan mengidolakan nya termasuk diri ku. Namun aku tidak berani untuk berbasa-basi dengan nya. Inilah kesempatan yang ku punya.

Hati ku berdegup kencang saat akan meminta tanda tangan nya. Aku hampir mundur. Sangking berdebar nya. Aku pun kemudian memberanikan diri.

"Kak, boleh minta tanda tangan nya?" Aku menghampiri Kak John.

Percayalah hati ku saat itu berdetak bagaimana mesin bertenaga kuda. Dia membalas ku dengan senyuman nya.

Oh Tuhan! Aku ingin terbang rasa nya. Keceriaan memenuhi hati ku. Mungkin dia dapat melihat nya. Aku sangat buruk saat menyembunyikan perasaan gugup ku.

"Ada syarat nya," ucap John Ambrose.

Setiap kata yang keluar dari mulut nya entah mengapa membuat perut ku merasa di penuhi kupu-kupu yang siap keluar kapan saja.

"Syarat kak?"

Entah mengapa dengan dia memberi syarat aku jadi kesenangan. Mungkin karena hal itu membuat obrolan kita menjadi lebih panjang.

"Iya, syarat nya kamu jawab dulu pertanyaan dari ku." John Ambrose tersenyum.

Tanpa di sadari aku sedari tadi ternyata terus menerus tersenyum. Aku pun menganggukkan kepala ku.

"Oke pertanyaan nya adalah...." Ia diam sesaat. Jantung ku berdebar semakin kencang. Lanjut nya "Siapa aku?"

Aku pun bernapas lega. Tentu saja aku tau siapa diri nya melebihi yang dia ucap kan kemarin saat memperkenalkan diri. Sepulang sekolah kemarin aku langsung mencari nama nya di segala jenis platform sosial media. Dari situ aku banyak tahu tentang diri nya. John Ambrose, seorang kapten basket dan ketua OSIS SMP Pelita. Hobi nya adalah fotografi. Ia memiliki satu orang kakak laki-laki dan satu orang kakak perempuan serta adik perempuan. Ajaib bukan bagaimana sosial media dapat membuat orang lain mengetahui identitas kita dengan lebih mudah. Tanpa perlu secara langsung mengobrol atau pun berinteraksi secara langsung.

"Nama kakak John Ambrose. Kakak Ketua OSIS SMP Pelita dan juga kapten basket."

"Betul! Sini buku nya." Aku kemudian menyerahkan buku MOS itu untuk di tandatangani nya.

"Siapa nama mu?" John Ambrose melihat nama ku yang tertera di buku itu. "Alexandra Hampton. Nama yang bagus." Lelaki itu tersenyum.

Sesaat setelah lelaki itu menyebut nama ku, ingin teriak rasa nya. Akhir nya dia mengetahui namaku. Oh Tuhan!!

"Terima kasih kak."

"Sama-sama." Lelaki itu mengedipkan mata nya.

Aku membalikkan badan kemudian langsung berlari meninggalkan John Ambrose. Aku kemudian melompat-lompat kegirangan sambil menghampiri Natasha.

"Kenapa, Lex?" Natasha terlihat bingung.

"Kak John ganteng banget ya!" Aku menutup muka ku. "Yaampun aku berasa ingin meledak. Kyaa!!!"

Natasha hanya cekikikan melihat tingkah ku saat itu.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login