Download App
100% Gugur

Chapter 2: Bab 2

Hari ini adalah hari keberangkatan ibu ke negeri Jiran. Bang Aan tampak begitu sedih dan lesu mengekori ibu kemana-mana, sedangkan aku tak merasakan apapun, dan ibu juga tampak biasa saja menghadapiku.

Aku tak peduli ibu mau apa dan kemana, semua itu tidak ada hubungannya denganku. Menangis pun percuma, tidak akan merubah apapun.

Kulihat mobil yang disewa ibu sudah tiba, seorang lelaki paruh baya turun dari balik kemudi. Disusul seorang anak perempuan, usianya mungkin seumuranku, rambutnya lurus, mata bulat, kulitnya putih dengan pipi tembam. Wajahnya lucu. Ia terus tersenyum ceria menyapa Ibu dan Bang Aan.

Selama ini, aku belum pernah berteman dengan anak perempuan seusiaku. Membuat mata ini terus memperhatikannya. Apa yang dia lakukan dan caranya berbicara dengan ibu tampak sopan. Dia pasti anak kesayangan ayahnya. Beruntungnya dia.

Saat aku diam-diam memperhatikannya, tiba-tiba tatapan mata kami bertubrukan. Membuatku mengalihkan pandangan dengan cepat, rasanya memalukan ketahuan memerhatikannya.

Awalnya kukira, dia akan takut melihatku dan menjauhiku seperti anak-anak lainnya. Namun, dia justru tersenyum padaku dan melangkah ke arah tempat aku duduk termangu sepanjang pagi.

"Hai, aku Rara. Namamu siapa?" sapanya ramah.

Mulutku terasa terkunci dan hanya bisa bungkam, padahal hanya seorang anak perempuan, tetapi kenapa membuatku gugup dan membisu seperti ini? Kesal. Itulah yang terlintas di hatiku.

"Maaf, kalau kamu merasa terganggu. Soalnya aku gak punya teman. Abaikan saja aku," lanjutnya dengan wajah masam kemudian duduk diam di sampingku.

"Reno."

"Apa?" tanyanya tampak heran.

"Namaku, Reno," ucapku pelan.

"Ayo berteman!" serunya riang.

Rara mengulurkan tangannya dan kami pun bersalaman. Kami sama-sama tersenyum canggung dan kaku. Seolah kehabisan kata-kata dan memilih memandangi ibu bersama ayahnya mengangkut barang ke mobil.

Sembari menunggu para orangtua bersiap, Rara mengajakku bermain di sekeliling rumah, saat ia melihat pohon rambutan yang landai dan berbuah lebat, seketika ia pun menelan ludah. Lucu sekali ekspresinya.

"Kamu mau?" tanyaku padanya.

"Mau! Eh, tapi apa boleh?" tanyanya lagi.

"Boleh."

Aku pun pergi mengambil galah di belakang rumah, saat kembali, kulihat Rara menangis di atas pohon.

"Kamu ngapain sih?" tanyaku sedikit kaget melihatnya nangkring di sana.

"Katamu tadi kan boleh ambil, ya kupanjatlah ... ta-tapi, lupa! Aku bisa manjat tapi gak berani turun," ungkapnya sesenggukan dengan mulut penuh rambutan.

"Hahaha, kamu ini konyol banget sih".

Tingkah Rara yang unik membuatku terhibur dan nyaman, aku senang dapat teman baru.

"Bentar! Aku panggilin ayahmu deh! seruku dari bawah.

"Jangan! Aku takut dimarahi ayah," ucapnya lesu.

"Astaga, terus gimana dong?" tanyaku frustasi.

"Kamu berdiri di bawah sini, buat pijakan aku," ucapnya mendapat ide.

Terpaksa kuturuti keinginannya, perlahan ia mulai menjulurkan kakinya dan berpijak pada pundakku. Namun, saat kaki kedua mulai berpijak, seekor ulat bulu jatuh mengenai tanganku yang melingkari pohon. Tak sadar, aku pun melompat dan kehilangan keseimbangan.

Bruuuk!

Rara menimpa tepat di atasku, punggungku terasa nyeri dan sakit. Sedangkan tanganku gatal dan panas.

"Aduh, gimana sih, kok kamu lepasin? Kan jatuh jadinya," sungutnya seraya berdiri.

"Aku lebih sakit tau, udah jatuh ketimpa gajah pula," ucapku kesal.

"Dih, siapa yang gajah!" serunya kesal.

"Bukan siapa-siapa kok, tadi ada ulat bulu, liat nih tanganku bengkak," sahutku mengalihkan perhatiannya.

"Ya ampun, kok bisa sih, ayo minta obat sama nenekmu," jawabnya seraya menarikku ke dapur.

Sesampainya di dapur, kami langsung menghampiri nenek, sejujurnya aku sedikif takut untuk bicara.

"Nek, minta obat buat Reno," ucap Rara mendahuluiku seraya menunjukkan tanganku. Seakan ia bisa membaca pikiran orang.

"Kenapa kok bisa kayak gini?" tanya Nenek seraya mengomel plus ceramah.

***

Setelah diobati, kami pun duduk di teras depan sambil makan pisang goreng buatan nenek. Kulihat, persiapan ibu pun sudah selesai.

"Rara! Ayo!" seru ayahnya memberi isyarat.

"Baik, Ayah!"

Kami pun berangkat mengantar ibu sampai ke pelabuhan, sepanjang jalan hujan rintik mengguyur bumi. Membuat udara menjadi dingin, kulihat ayah Rara mengulurkan jaket untuknya. Begitu perhatian dan penuh kasih sayang. Membuat iri saja.

Sedangkan ibu, terus memeluk Bang Aan yang tak berhenti menangis. Aku menatap jalanan dengan tatapan kosong. Padahal aku di sini, Bu. Lihatlah sekali saja ... kumohon.

Secepat kilat kuhapus bulir bening yang hampir turun dari mata. Aku tidak mau terlihat cengeng di depan ibu. Meskipun hatiku juga sedih, rindu juga benci.

Kupejamkan mata, menahan isak yang menggerogoti dada, berusaha untuk tidur. Namun, aku merasakan sebuah tangan memegang bahuku. Membuatku kembali terjaga.

"Reno ... maafkan ibu, Sayang," ucapnya pilu.

Ibu memelukku begitu erat dengan air mata yang terus mengalir. Pelukan ibu begitu hangat, detak jantung ibu begitu cepat, aku merasakannya, semua perasaan ibu seolah mengalir kepadaku. Tak dapat kutahan lagi, runtuh sudah dinding ego yang mati-matian kupertahankan. Aku menangis sejadinya di pelukan ibu.

Rara menatapku dengan tersenyum penuh arti, aku pun membalas senyumannya. Ia seolah memberi kekuatan melalui senyumannya. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.

Setibanya di pelabuhan, ibu memelukku dan juga Bang Aan dengan erat.

"Bang, jaga adikmu ya, Nak?"

"Iya, Bu," sahut Bang Aan dengan mata yang merah.

"Reno, bantu Abangmu ya, Nak?"

Aku mengangguk, ibu berpesan agar kami saling menjaga dan menyayangi. Perasaanku sedikit terobati dan dianggap. Kulambaikan tangan saat ibu mulai memasuki kapal. Ini adalah kali terakhir bisa bertemu ibu. Entah berapa lama, bulan kah, atau tahun kah, kapan kami bisa berkumpul lagi? Sesak rasanya.

***

Sepanjang jalan pulang hanya heninglah yang menyelimuti. Bang Aan termenung menatap jalanan dan rintik hujan yang tersisa, dia pasti sedih mengingat ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Saat aku mengalihkan pandang ke depan, ternyata Rara memperhatikanku sedari tadi melalui kaca mobil. Dia tersenyum menguatkan.

Merangkak senja, mobil berhenti di pinggir jalan, ayah Rara mengajak kami untuk makan, mengingat kami tak sempat makan siang. Ayam penyet pun menjadi menu pilihan kami, daging ayam goreng yang enak dan harum membuatku keroncongan seketika. Ditambah nasi hangat, sambal dan lalapan. Lengkap, meskipun aku tak begitu menyukai sayuran.

Tak butuh waktu lama, semua makanan sudah ludes. Kami pun melanjutkan perjalanan, menjelang malam kami tiba di kampung, tempat nenek tinggal.

Ayah Rara berpamitan pada Nenek, Bang Aan langsung mengurung diri di kamar, sedangkan aku menunggu Rara mengajakku bicara lagi.

"Kapan-kapan, kita bertemu dan main bareng ya!" seru Rara bersemangat, padahal kami semua kelelahan setelah perjalanan jauh. Namun, Rara seolah pembawa energi positif yang baik.

"Iya!"

"Janji?" tanya Rara memastikan.

"Iya, janji."

Begitulah awal pertemuanku dengan Rara, penuh kekonyolan dan kenangan.

Bersambung ...


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login